memperoleh pengetahuan saja, kendatipun tidak bisa dihindari akan tetapi yang menjadi pusat perhatian dari tujuan epistemologi adalah lebih penting dari itu,
yaitu ingin memiliki potensi untuk memperoleh pengetahuan.
141
Setiap obyek kajian keilmuan, menuntut suatu metode yang sesuai dengan obyek kajiannya itu, sehingga metode kajian selalu menyesuaikan obyeknya.
Metode kajian adalah jalan dan cara yang ditempuh untuk menemukan prinsip- prinsip kebenaran yang terkandug pada obyek kajiannya, dan kemudian
dirumuskan dalam konsep teoritik, dengan menyesuaikan dengan obyak kajian, sehingga tidak terjadi kesalahan pendekatan.
142
3. Epitemologi Islam
Dagobert D. Runes: epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas sumber, struktur, metode-metode dan validitas pengetahuan. Sementara itu,
Azyumardi Azra menambahkan bahwa epistimologi sebagai “ilmu yang membahas tentang keaslian, pengertian, struktur, metode, dan validitas ilmu
pengetahuan.
143
Ruang lingkup epistemologi meliputi hakikat, sumber dan validitas pengetahuan.
Epistemologi meliputi sebuah kajian, sebenarnya belum terlalu lama, yaitu sejak tiga abad yang lalu dan berkembang di dunia barat. Sementara di
dunia Islam kajian tentang ini sebagai sebuah ilmu tesendiri belum populer. Belakangan beberapa pemikiran dan filusuf Islam menuliskan buku tentang
epistimologi secara khusus seperti, Mutahhari dengan bukunya “Syinakht”, Muhammad Baqir Shadr dengan “Falsafatuna.”Jawad Amuli dengan
“Nadzariyyah al Ma‟rifah”-nya, dan Ja‟far Subbani dengan “Nadzariyyah al Ma‟rifah”-nya. Sebelumnya, pembahasan tentang epistimologi dibahas di sela-
sela buku-buku filsafat klasik dan mantiq. Mereka ibarat sangat menaruh perhatian yang besar terhadap kajian ini, karena situasi dan kondisi yang mereka
hadapi. Sementara itu, dalam konteks keilmuan islam, kerangka epistimologi
141
Mujamil Qomar, Epistemologi., h. 15.
142
Musa Asy‟arie, Filsafat Islam: Saunnah Nabi Dalam Berfikir, Cet. 2 Yogyakarta: LESFI, 2001, h. 72.
143
Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam Jakarta: Erlangga, 2005, h. 4.
islam perlu dijadikan sebagai alternatif terutama bagi filsafat pemikiran dan ilmuwan muslim untuk menyelamatkan mereka dari keterjebakan ke dalam arus
besar di bawah kendali epistimologi barat. Amrullah Achmad menyatakan bahwa tugas cendikiawan muslim yang mendesak dan harus segera dipenuhi adalah
mengembangkan episimologi Islam.
4. Aliran Epitemologi Islam
a. Nalar Bayani Olah Kata
Nalar bayani ini dalam Alquran surah Ar-Rahman
144
ayat
bisa disebut nalar yang berorientasi pada teks. Nalar adalah metode pemikiran khas
Arab yang menekankan otoritas teks nash, baik secara lansung atau tidak langsung, dan justikasi oleh akal kebahasaan yang digali lewat inferensi. Artinya
memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai
pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. Meski demikian, hal ini tidak berarti akal dan rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi
harus bersandar pada teks. Dalam bayani, rasio dianggap tidak mampu memberikan pengetahuan kecuali disandarkan pada teks. Dalam tinjauan
keagamaan, sasaran bidik metode bayani adalah aspek esoterik syariah.
145
Paradigma teksualis atau menurut al-Jabiri disebut dengan paradigma bayani, merupakan suatu cara berpikir dengan berpijak pada nash teks, baik
secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung artinya langsung menganggap teks sebagai pengetahuan jadi. Secara tidak langsung artinya
melakukan penalaran dengan berpijak pada teks itu. Dengan kata lain, paradigma ini beranggapan bahwa sumber pengetahuan adalah nash teks. Akal tidak akan
dapat memberikan pengetahuan, kecuali akal itu disandarkan pada nash teks. Karena menjadikan nash teks sebagai sumber pengetahuan sentral, maka tradisi
memahami dan memperjelas maksud teks menjadi sangat menonjol dalam
144
Departemen Agama RI, Alquran., h. 531.
145
A.Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, h. 177.
paradigma ini. Tradisi ini biasa disebut dengan tradisi al-Fiqh. Mencari pengetahuan dengan cara berpikir spekulatif liberal tidak dikenal dalam
epistemologi ini.
146
Dalam peradaban Arab-Islam, diskusi mengenai kajian-kajian bayani dikelompokkan menjadi dua antara lain sebagai berikut:
1. Terkait dengan aturan dalam menafsirkan wacana.
Tradisi untuk menafsirkan wacana sudah muncul sejak zaman Rasulullah saw, yaitu ketika para sahabat meminta penjelasan tentang makna lafadz atau
ungkapan yang terdapat didalam Alquran. Atau minimal sejak masa khulafaurrasyidin dimana banyak umat Islam bertanya kepada para sahabat
tentang kejelasan makna ayat atau kata yang terdapat dalam Alquran.
2. Terkait dengan syarat memproduksi wacana.