3. Siklus reproduksi relatif pendek, sebagian besar hanya mencapai beberapa
bulan dan sebagian lain mencapai 1 tahun. Hal tersebut memungkinkan dilakukannya pengamatan pada berbagai bentuk respon organisme ini
terhadap lingkungan hidupnya, yang dapat berupa variasi fenotip morfologi yang dapat terlihat dalam waktu relatif singkat. Perubahan
morfologi inilah yang banyak digunakan sebagai indikator lingkungan tempat hidupnya;
4. Publikasikan tentang foraminifera dan lingkungan hidupnya telah banyak
dibahas dalam beberapa dekade ini sehingga memudahkan dalam mendapatkan sumber acuan.
Keberadaanforaminifera akan dapat memberikan gambaran kondisi lingkungan hidupnya yang berbeda. Pada lingkungan perairan dengan tingkat
sedimentasi tinggi, distribusi foraminifera akan menunjukkan keanekaragaman jenis yang tinggi dengan tingkat populasi spesimen hidup yang rendah Rositasari,
2009. Penurunan kualitas lingkungan yang terjadi pada lingkungan muara sungai
menyebabkan hanya jenis tertentu yang dapat mempertahankan diri dan dapat berkembang di lingkungan ini. Rositasari 2002 menunjukkan bahwa masukan
air laut kebeberapa Sungai Ciawi, muara sungai Bekasi, Sungai Dadap, dan sungai Cilincing, memiliki kesamaan beberapa jenis yang mencirikan lingkungan
muara sungai, yaitu Ammonia becarii, berbagai jenis Elphidium sp. serta beberapa jenis foraminifera bentik penciri perairan payau seperti Trochammina,
Cyclammina, dan Rheopax.
Gambar 3. Spesies-spesies foraminifera yang terdapat di perairan Indonesia Dewi dan Darlan, 2008
Sejak beberapa dekade terakhir yang lalu mulai dipelajari mengenai pengaruh pencemaran lingkungan terhadap foraminifera bentonik oleh
Gustiantini,2001 dan disimpulkan bahwa: 1.
Spesies foraminifera sensitive terhadap polusi 2.
Spesies foraminifera tertentu muncul dan justru dominan pada area terkontaminasi;
3. Spesies tertentu membangun cangkang yang tidak normal pada area
polusi. Beberapa cangkang foraiminifera menunjukkan gejala abnormalitas akibat
tekanan lingkungan. Rositasari 2009 menyimpulkan bahwa tingginya tingkat kematian dan kemunculan cangkang abnormal erat kaitannya dengan pola arus ,
sebaran sedimen dan suspensi serta kandungan logam berat di perairan.
Abnormalitas pada morfologi cangkang foraminifera telah diamati oleh Alve 1991 dengan dugaan bahwa gejala tersebut akibat polusi logam berat.
2.5. Keterkaitan Karakteristik Oseanografi terhadapForaminifera
Karakteristik oseanografi ditentukan oleh berbagai parameter oseanografi, diantaranya suhu, salinitas, total padatan tersuspensi TSS, kedalaman,
fitoplankton, bahan-bahan terlarut, bahan anorganik, bahan organik, penetrasi cahaya, kandungan oksigen, gelombang, arus, turbiditas, substrat, nutrisi. Suhu
memiliki peranan dalam pembentukan ukuran cangkang dan bentuk morfologi cangkang Boltovskoy dan Wright, 1976. Foraminifera dapat ditemukan pada
kisaran suhu 1 - 30
C Boersma dan Haq, 1984 in Okvariani, 2002, namun pada suhu hangat tropis foraminifera dapat tumbuh optimal pada kisaran suhu
antara 21 sampai 26
C Boltovskoy dan Wright, 1976. Pada suhu terendah foraminifera mempunyai ukuran cangkang yang maksimal dan komposisi yang
padat, sedangkan pada suhu air yang tinggi foraminifera kurang dapat bertahan pada kondisi tersebut Okvariani, 2002.
Salinitas mempengaruhi pertumbuhan foraminifera, siklus reproduksi dan bertahan untuk hidup. Foraminifera planktonik sangat sensitif terhadap perubahan
salinitas. Foraminifera ini hidup pada salinitas normal dengan kisaran salinitas 30-40
‰. Foraminifera bentonik dominan pada kisaran salinitas 18-30‰ Boltovskoy dan Wright, 1976. Namun sebagian besar spesimen foraminifera
menunjukkan pertumbuhan rata-rata tertinggi dan kelimpahan populasi besar pada perairan salinitas 34
‰ Boltovskoy dan Wright, 1976. Kelimpahan foraminifera cenderung mengalami penurunan seiring dengan
bertambahnya kedalaman Adithya, 2008. Pada laut dangkal variasi jenis
foraminifera serta jumlah foraminifera semakin besar. Pada laut dalam yang memiliki tekanan yang besar menyebabkan foraminifera berdinding aglutinin saja
yang dapat bertahan walaupun dengan jumlah yang sangat sedikit. Pada laut dangkal kandungan oksigen masih tinggi dan nutrien phosphate dan nitrat
menyebabkan jumlah foraminifera benthonik pada area ini sangat tinggi. Bahan anorganik berupa, sisa bahan industri, buangan limbah pabrik,
sampah plastik, sisa-sisa bahan kimia, bahan bakar fosil dan kemasan produk serta detergen dapat mengganggu keberadaan, pertumbuhan, perkembangan dan
diversitas foraminifera. Bahan-bahan organik berupa detergen menyebabkan perairan yang terkontaminasi bahan tersebut menjadi asam dan mengganggu
metabolisme foraminifera dan mekanisme pembentukan cangkang foraminifera serta mengganggu proses sekresi kalsium karbonat CaCO
3
Rositasari, 1993 Penetrasi cahaya matahari berperan penting dalam fotosintesis fitoplankton
dan algae yang hidup bersimbiosis dengan foraminifera Okvariani, 2002 dan sebagai sumber makanan foraminifera Boltovskoy dan Wright, 1976. Apabila
organisme-organisme tersebut tidak dapat berfotosintesis kembali mengakibatkan jumlah foraminifera berkurang seiring menurunnya jumlah fitoplankton dan Algae
tersebut. Konsentrasi oksigen memiliki pengaruh terhadap struktur morfologi
cangkang. Pada umumnya foraminifera yang beradaptasi dengan oksigen minim berukuran kecil, tidak berornamentasi, tipis, hidupnya menempel, dan berdinding
cangkang gampingan. Kandungan oksigen yang minim dan pH yang asam mengakibatkan berkurangnya kemampuan foraminifera untuk mensekresi kalsium
karbonat Rositasari, 1993.
Gelombang dan arus berperan penting dalam difusi oksigen dari udara ke dalam perairan laut serta berperan dalam distribusi nutrien dan sumber makanan
bagi foraminifera. Arus juga berperan dalam distribusi organisme laut dan siklus reproduksinya. Arus membantu dalam penyebaran fase gamet dan embrio
foraminifera planktonik, dimana foraminifera tersebut sangat tergantung oleh arus Boltovskoy dan Wright, 1976; Pringgoprawiro et al., 1994.
Foraminifera memanfaatkan material substrat untuk mensekresikan bahan penyusun cangkang melalui mekanisme kimiawi Boltovskoy dan Wright, 1976.
Substrat lumpur dan lanau merupakan tempat yang ideal bagi foraminifera. Foraminifera yang hidup pada substrat lumpur
–lanau pada umumnya memiliki cangkang yang tipis, rapuh berbentuk bulat telur, struktur kamar trochospira.
Foraminifera jenis Elphidium sp banyak ditemukan pada area tersebut. Pada subtrat berpasir dan berkerikil kandungan bahan organiknya rendah cangkang
foraminifera tebal, ornamentasi unik, lonjong dan cembung-cembung seperti Quinqueloculina sp Rositasari, 1996.
Turbiditas dapat mengganggu proses fotosintesis antara algae dan fitoplankton sebagai sumber makanan bagi foraminifera. Hal ini mengakibatkan
ketersediaan makanan menjadi terbatas sehingga terjadi persaingan antara organisme termasuk predasi sehingga populasi foraminifera menjadi berkurang.
Turbiditas mempengaruhi proporsi jumlah foraminifera bentonik berdinding gampingan “calcareous”, sedangkan foraminifera pembentuk dinding cangkang
pasira agglutinated semakin meningkat karena tidak memerlukan bikarbonat dari hasil fotosintesis fitoplankton Boltovskoy dan Wright, 1976.