Tabel 12 Hubungan antar peubah dengan besarnya limbah
Peubah Penduga T Hitung
P
Kemiringan lereng -2,35
0,066 Intensitas tebang
-4,32 0,008
LBDS 6,87
0,001 Keterampilan penebang
-0,05 0,959
Hasil pengujian Tabel 12 menunjukkan bahwa faktor yang sangat nyata mempengaruhi ragam volume limbah adalah luas bidang dasar pohon yang
ditebang dan intensitas tebang dengan nilai peluang nyata sebesar 0,001 dan 0,008 p0,01. Kemiringan lereng dan keterampilan penebang tidak lagi berpengaruh
nyata terhadap keragaman limbah penebangan setelah dijelaskan oleh luas bidang dasar pohon yang ditebang dan intensitas tebang.
Hal tersebut sesuai dengan penelitian Lim 1992 di IUPHHK PT. Kayu Pasaguan menunjukkan hubungan yang sangat nyata antara luas bidang dasar
pohon yang ditebang dengan volume limbah yang terjadi, yaitu: limbah tunggak, limbah batang bebas cabang, limbah batang bagian atas, dan limbah cabang.
Semakin besar luas bidang dasar pohon yang ditebang, maka semakin besar limbah yang terjadi di petak tebang. Selanjutnya menurut hasil penelitian Partiani
2010 menunjukkan adanya hubungan yang nyata antara intensitas tebang dengan volume limbah yang terjadi, yaitu: limbah tunggak, limbah batang bebas cabang,
limbah batang bagian atas, dan limbah cabang.
5.8 Faktor Eksploitasi
Faktor eksploitasi dalam penelitian ini didefinisikan sebagai angka yang menunjukkan persentase pemanfaatan kayu dari suatu batang bebas cabang yang
ditebang terhadap volume potensial batang bebas cabang tersebut. Dalam penentuan faktor eksploitasi menggunakan dua pendekatan, yaitu: pendekatan
persentase limbah dan perhitungan indeks tebang, indeks sarad, serta indeks angkut. Nilai faktor eksploitasi tiap petak contoh terdapat pada Tabel 13.
Limbah yang dihitung dalam penentuan faktor eksploitasi ini merupakan limbah yang berasal dari tunggak dan batang bebas cabang. Nilai faktor
eksploitasi sangat bergantung dari besarnya limbah yang terjadi pada pohon yang ditebang. Adanya limbah yang besar di dalam kegiatan pemanenan kayu berarti
volume kayu yang dimanfaatkan dan besaran faktor eksploitasi akan semakin kecil. Hal ini menunjukkan pemanfaatan kayu masih kurang efisien. Volume yang
seharusnya dapat dimanfaatkan dari satu pohon yang ditebang adalah 100 , tetapi pada saat penebangan dilakukan terjadi limbah kayu baik karena faktor
alam, keadaan pohon, atau karena kesalahan teknis penebangan.
Tabel 13 Nilai faktor eksploitasi pada setiap petak contoh
No. plot Persen
limbah Volume yang
dimanfaatkan m
3
ha Indeks
tebang
it Indeks
sarad is
Indeks angkut
ia Faktor eksploitasi
limbah itxisxia
22 H-1 23,61
55,87 0,76
1,00 1,00
0,7639 0,7639
22 H-2 26,10
52,69 0,76
0,97 1,00
0,7390 0,7390
23 G-3 26,86
103,66 0,73
1,00 1,00
0,7314 0,7314
23 G-4 27,76
118,00 0,75
0,93 0,93
0,7224 0,7224
23 G-5 24,37
169,99 0,76
1,00 1,00
0,7563 0,7563
22 H-6 25,79
77,56 0,80
0,92 1,00
0,7421 0,7421
23 H-7 20,58
74,83 0,80
1,00 1,00
0,7942 0,7942
23 H-8 19,79
67,04 0,80
1,00 1,00
0,8021 0,8021
23 H-9 28,64
86,93 0,71
1,00 1,00
0,7136 0,7136
23 H-10 28,10
38,98 0,71
1,00 1,00
0,7190 0,7190
Rata-rata 25,16
84,56 0,76
0,98 0,99
0,7484 0,7484
Hasil penelitian ini menunjukkan besarnya faktor eksploitasi berdasarkan persentase limbah adalah 0,7484 Tabel 13. Angka tersebut berarti 74,84
batang yang dapat dimanfaatkan dan besarnya limbah adalah 25,16 yang
diperoleh dari hasil perhitungan besarnya limbah batang bebas cabang dibandingkan dengan potensi kayu yang seharusnya dapat dimanfaatkan. Hasil
perhitungan faktor eksploitasi tiap pohon contoh dengan pendekatan persen limbah disajikan pada Lampiran 5.
Selanjutnya nilai faktor eksploitasi rata-rata tiap pohon berdasarkan pendekatan indeks tebang, indeks sarad, dan indeks angkut sebesar 0,7484. Hasil
perhitungan faktor eksploitasi dengan pendekatan indeks tebang, indeks sarad, dan indeks angkut disajikan pada Lampiran 6. Indeks tebang diperoleh dari
perbandingan antara volume siap sarad dengan volume batang bebas cabang dari pohon yang ditebang. Hasil dari penebangan dan pembagian batang dari suatu
pohon adalah bagian-bagian batang bebas cabang atau sortimen yang siap sarad.
Nilai indeks tebang yang diperoleh adalah 0,76. Sortimen yang berada di TPn tidak semuanya terangkut, karena terjadi kerusakan pada beberapa log. Sortimen
yang memenuhi syarat kualita adalah sortimen yang siap angkut. Perbandingan antara sortimen siap angkut dengan siap sarad adalah indeks sarad. Nilai indeks
sarad yang diperoleh adalah 0,98. Pengangkutan merupakan proses yang membawa sortimen siap angkut ke TPK. Perbandingan antara sortimen kayu yang
ada di TPK dengan siap angkut adalah indeks angkut. Nilai indeks angkut yang diperoleh adalah 0,99.
Nilai faktor eksploitasi dari kedua pendekatan tersebut tidak jauh berbeda dengan angka yang ditetapkan oleh Departemen Kehutanan yaitu 0,70. Namun
faktor eksploitasi pada penelitian ini lebih kecil jika dibandingkan dengan hasil penelitian Dulsalam 1988 yang menyatakan faktor eksploitasi yang diperoleh
adalah 0,84. Lebih kecilnya faktor eksploitasi pada penelitian ini kemungkinan disebabkan kriteria yang berbeda di dalam mendefinisikan dan mengartikan
limbah. Pada penelitian ini, pengukuran tinggi limbah tunggak dimulai dari pangkal tunggak sampai ujung tunggak, sedangkan pada penelitian Dulsalam
1988 pengukuran tinggi limbah tunggak dimulai dari kelebihan tunggak dari tinggi yang dibenarkan. Tinggi tunggak yang dibenarkan adalah 13 diameter
setinggi dada untuk pohon yang tidak berbanir dan untuk pohon yang berbanir adalah setinggi banirnya.
Besarnya faktor eksploitasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, Lempang et al. 1995 menyatakan bahwa tinggi rendahnya faktor eksploitasi dipengaruhi:
1. Faktor non teknis, terdiri atas keadaan lapang, sifat kayu, cacat kayu, kerapatan tegakan, dan situasi pemasaran.
2. Faktor teknis yang dibagi meliputi : a. Pengorganisasian dan koordinasi antara penebang, penyarad dan juru ukur,
perencanaan hutan, peralatan, pengangkutan log, kemampuan memproses dan memanfaatkan kayu di industri, keterampilan penebang dan penyarad,
pengawasan aparat dan petugas perusahaan, penetapan kualitas, serta kondisi jalan angkutan.
b. Kebijakan perusahaan dan tujuan pemasaran.
c. Kebijakan pemerintah dan aturan-aturan ke industri dan pemukiman masyarakat setempat.
5.9 Biomassa Limbah Pemanenan Kayu Nekromassa