Jumlah Pohon yang Ditebang Volume dan Persentase Limbah Pemanenan Kayu Berdasarkan Bagian Pohon

5.3 Jumlah Pohon yang Ditebang

Pohon yang ditebang adalah pohon-pohon terpilih yang masuk dalam pohon layak tebang, yaitu: pohon- pohon yang telah berdiameter ≥ 60 cm, sehat, bernilai komersil, dan berlabel merah dari hasil inventarisasi tegakan sebelum penebangan ITSP. Kegiatan ITSP Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan dalam penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana kondisi tegakan pada plot yang diteliti sebelum dilakukannya kegiatan penebangan. Jumlah pohon yang ditebang dari seluruh plot penelitian ditampilkan dalam Tabel 4. Tabel 4 Jumlah pohon yang ditebang No. Petak- Plot Pohon Layak Tebang Pohon yang Ditebang Jumlah pohonha Volume m 3 ha Jumlah pohonha Volume m 3 ha LBDS m 2 ha 22 H-1 10 105,40 7 66,25 3,73 22 H-2 12 156,28 5 79,73 3,77 23 G-3 19 232,30 10 157,97 7,22 23 G-4 21 199,65 15 150,13 8,99 23 G-5 22 246,24 21 227,63 11,64 22 H-6 11 137,40 7 105,18 5,16 23 H-7 19 178,38 9 80,73 4,13 23 H-8 9 76,04 8 70,19 4,02 23 H-9 10 179,99 7 131,03 7,30 23 H-10 11 114,32 3 36,58 2,13 Rata-rata 14,4 162,60 9,2 110,54 58,08 Hasil inventarisasi tegakan sebelum penebangan pada plot penelitian menunjukkan bahwa potensi rata-rata pohon layak tebang sebesar 14,4 pohonha atau 162,60 m 3 ha. Tidak seluruh pohon layak tebang berlabel merah akan ditebang, hal ini tergantung pada penetapan jatah tebang di petak tersebut dan pertimbangan-pertimbangan teknis dari penebang. Pohon yang ditebang hanya 9,2 pohonha dari total pohon layak tebang yang berada dalam plot penelitian dengan volume dan LBDS yang dihasilkan sebesar 110,54 m 3 ha dan 58,08m 2 ha. Hasil inventarisasi dijelaskan pada Lampiran 1

5.4 Volume dan Persentase Limbah Pemanenan Kayu Berdasarkan Lokasi Terjadinya Limbah

Limbah pemanenan kayu dapat terjadi di petak tebang, TPn tempat pengumpulan kayu, dan TPK tempat penimbunan kayu. Limbah yang dihitung adalah limbah di bawah cabang pertama yang terdiri atas limbah tunggak dan limbah batang bebas cabang. Volume limbah yang terjadi dari 92 pohon yang ditebang sebesar 303,67 m 3 dengan rata-rata 3,3 m 3 pohon atau 30,37 m 3 ha. Persentase limbah pada tiap lokasi berdasarkan total limbah yang terjadi dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Limbah pemanenan kayu berdasarkan lokasi Lokasi Volume m 3 Persen Limbah Total m 3 Rata-rata m 3 ha Rata-rata m 3 pohon Petak Tebang 293,30 29,33 3,19 96,17 TPn 11,68 1,17 0,13 3,83 TPK 0,00 0,00 0,00 0,00 Total Limbah 304,98 30,50 3,32 100,00 Keterangan : tidak terjadi limbah Berdasarkan Tabel 5, total limbah yang dihasilkan sebagian besar terjadi di petak tebang sebesar 96,17 , sedangkan limbah yang terjadi di TPn 3,83 dan limbah yang terjadi di TPK 0 . Dari hasil pengamatan di lapangan, limbah yang terjadi di TPn sedikit sekali karena hasil produksi penebangan dan penyaradan dibayar berdasarkan volume kayu yang sehat. Jadi operator penebangan dan penyaradan saling bekerja sama dan berusaha agar kayu yang dikeluarkan sudah bersih dari cacat sehingga limbah yang terjadi di TPn sedikit. Limbah yang terjadi di petak tebang lebih besar karena kegiatan di petak tebang terdiri dari penebangan, pemotongan, dan pembagian batang. Keadaan ini sesuai dengan pendapat Sastrodimedjo dan Simarmata 1978 yang menyatakan bahwa limbah di petak tebang lebih besar daripada di logpond, limbah yang terjadi di petak tebangan adalah 71,5 serta sisanya terjadi di logpond. Selanjutnya hasil penelitian Sukanda 1995 menyebutkan rata-rata limbah di petak tebang sebesar 85,84 m 3 99,28 dan di TPn sebesar 0,62 m 3 0,72 . Kesalahan dalam pemotongan, pembagian batang dan kurangnya pengawasan di petak tebang menyebabkan besarnya limbah yang terjadi. Selain itu, adanya batang yang cacat alami karena gerowong menambah besarnya limbah yang terjadi. Besarnya persentase limbah bebas cabang yang terjadi berdasarkan total potensi kayu yang ditebang sebesar 25,16 yang terdiri dari 24,06 terdapat di petak tebang, 1,10 terdapat di TPn, dan 0 terdapat di TPK Lampiran 2. Besarnya persentase limbah tersebut dapat menunjukkan besarnya tingkat pemanfaatan dari kegiatan pemanenan yang dilakukan. Bila dilihat dari angka tersebut, maka besarnya tingkat pemanfaatan kayu sebesar 74,84 . Persentase limbah pemanenan yang rendah menunjukkan bahwa tingkat pemanfaatan terhadap potensi kayu yang ada cukup besar. Limbah yang terjadi dalam penelitian ini lebih kecil jika dibandingkan dengan limbah yang terjadi di IUPHHK PT. Sumalindo Lestari Jaya yang dilakukan oleh Sasmita 2003 menyebutkan bahwa besarnya volume limbah yang terjadi akibat kegiatan pemanenan mencapai 36 dari keseluruhan volume kayu yang ditebang, limbah ini terdiri dari limbah yang terjadi di petak tebang, yaitu: 33,15 , limbah yang terjadi di TPn 2,68 , dan limbah yang terjadi di TPK sebesar 0,98 . Perbedaan persentase limbah ini dikarenakan faktor penyebab terjadinya limbah di IUPHHK PT Sumalindo Lestari Jaya yaitu banyak pohon yang cacat ditebang oleh operator, bukan merupakan penyebab yang dominan terhadap terjadinya limbah dalam penelitian ini. Namun hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Partiani 2010 yang menyebutkan persentase limbah bebas cabang berdasarkan total potensi kayu yang ditebang sebesar 24,58 , terdiri dari 23,60 di petak tebang, 0,98 di TPn, dan 0 di TPK. Kriteria yang berbeda dalam mendefinsikan dan mengklasifikasikan limbah pemanenan kayu dengan kondisi lokasi penelitian yang berbeda akan menghasilkan limbah yang berbeda pula.

5.4.1 Limbah Pemanenan Kayu di Petak Tebang

Limbah pemanenan kayu di petak tebang dalam penelitian adalah limbah yang berasal dari pohon yang ditebang terdiri dari limbah di bawah cabang pertama yaitu tunggak dan batang bebas cabang, serta limbah di atas cabang pertama yaitu limbah batang bagian atas dan cabang. Pada umumnya limbah yang yang terjadi masih dalam keadaan baik. Volume limbah pada tiap plot contoh disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Volume limbah rata-rata pada tiap plot contoh No.Petak Plot Limbah di Bawah Cabang Pertama Limbah di Atas Cabang Pertama Limbah Total m 3 pohon m 3 ha m 3 pohon m 3 ha m 3 pohon m 3 ha 22 H-1 2,57 17,96 1,35 9,42 3,91 27,38 22 H-2 3,89 19,45 2,04 10,20 5,93 29,65 23 G-3 4,71 47,07 2,07 20,72 6,78 67,79 23 G-4 2,54 38,14 1,90 28,44 4,44 66,58 23 G-5 2,45 51,44 1,14 23,98 3,59 75,42 22 H-6 2,68 18,76 1,69 11,81 4,37 30,57 23 H-7 1,99 17,95 1,01 9,13 3,01 27,08 23 H-8 1,87 14,99 1,67 13,37 3,55 28,36 23 H-9 8,04 56,30 3,63 25,41 11,67 81,71 23 H-10 3,75 11,25 2,75 8,24 6,50 19,49 Rata-rata 3,45 29,33 1,92 16,07 5,37 45,40 Volume limbah penebangan dihitung berdasarkan volume per hektar dan volume per pohon Lampiran 3. Volume limbah per hektar adalah volume total limbah dari pohon yang ditebang dibagi dengan luasan plot contoh, sedangkan volume limbah per pohon adalah jumlah limbah yang terjadi pada setiap pohon yang ditebang. Berdasarkan Tabel 6, volume limbah yang terjadi di petak tebang adalah 45,40 m 3 ha terdiri dari limbah di bawah cabang pertama sebesar 29,33 m 3 ha dan limbah di atas cabang pertama sebesar 16,07 m 3 ha. Volume limbah yang terjadi pada tiap pohon yang ditebang adalah 5,37 m 3 pohon terdiri dari limbah di bawah cabang pertama 3,45 m 3 pohon dan limbah di atas cabang pertama 1,92 m 3 pohon. Volume rata-rata limbah penebangan per hektar di petak 22 H sebesar 29,20 m 3 ha, di petak 23 G sebesar 69,93 m 3 ha dan di petak 23 H sebesar 39,16 m 3 ha. Limbah rata-rata yang terjadi di petak 23 G lebih besar dibandingkan limbah yang terjadi di petak 22 H dan 23 H. Hal tersebut terjadi karena pada petak 23 G, penebang banyak meninggalkan limbah pada saat trimming pangkal dan ujung karena terdapat cacat pada log yang ditebang, baik cacat alami maupun cacat mekanis. Namun ada juga log dalam keadaan baik. Selain itu, intensitas tebang yang dilakukan pada petak tersebut lebih tinggi bila dibandingkan dengan petak 22 H dan 23 H sehingga menghasilkan limbah yang lebih besar. Sistem yang dilakukan pada ketiga petak penebangan tersebut yaitu setelah pohon di tebang langsung disarad ke TPn. Sistem tersebut dinamakan sistem tumbang tarik. Secara umum limbah yang terjadi di petak tebang disebabkan oleh keterampilan penebang dalam menebang setiap pohonnya dan kondisi pohon. Kesalahan dalam melaksanakan teknik penebangan pembuatan takik rebah dan takik balas dapat menyebabkan bagian pangkal pohon tercabut, retak atau yang disebut dengan barber chair, yaitu berupa serabut pada pangkal batang. Sehingga akan mengurangi panjang batang bebas cabang yang seharusnya dapat dimanfaatkan. Pemotongan batang di petak tebang dilakukan oleh penebang tanpa bantuan scaler, sehingga menimbulkan limbah. Selain itu, adanya gerowong pada pohon yang ditebang, akan mengurangi panjang batang yang dapat dimanfaatkan. Penebang pertama menebang pohon di plot 22 H-1, 22 H-2, 22 H-6. Penebang kedua menebang pohon di plot 23 G-3, 23 G-4, 23 G-5 dan penebang ketiga menebang pohon di plot 23 H-7, 23 H-8, 23 H-9 dan 23 H-10. Penebang pertama, kedua, dan ketiga memiliki keterampilan yang berbeda-beda dalam menebang pohon. Penebang pertama dan ketiga lebih terampil dari penebang kedua sehingga limbah yang dihasilkan oleh penebang pertama dan ketiga lebih sedikit jika dibandingkan dengan penebang kedua. Peningkatan keterampilan pekerja melalui latihan kerja yang diberikan dapat memperkecil jumlah limbah yang terjadi pada kegiatan penebangan Sinaga et al. 1984.

5.4.2 Limbah Pemanenan Kayu di TPn

Limbah pemanenan kayu dapat terjadi di TPn. Limbah yang terjadi berbentuk batang yang tidak memenuhi syarat kayu ekspor baik kualita maupun ukurannya. Misalnya kayu yang bengkok, pecah, busuk, dan sebagainya. Pada penelitian ini limbah di TPn terjadi karena kegiatan pemotongan ataupun pembagian batang. Limbah yang terjadi di TPn adalah log yang menjadi limbah karena batangnya belah, bengkok, dan gerowong Tabel 7. Volume total limbah yang terjadi di TPn sebesar 11,68 m 3 terdapat pada Tabel 7. Limbah ini terjadi karena beberapa faktor, yaitu: operator bulldozer tetap menyarad log ke TPn yang kayunya sebagian bengkok, log tersebut tidak dipotong terlebih dahulu di petak tebang, pemotong pangkal akibat gerowong Gambar 6 dan belah karena log tidak langsung diberi paku S dan tidak hati- hatinya operator bulldozer dalam menyusun log. Limbah yang terjadi dalam penelitian ini lebih kecil jika dibandingkan dengan limbah yang terjadi di IUPHHK-HA PT. Salaki Summa Sejahtera yang dilakukan oleh Partiani 2010 yang menyebutkan bahwa besarnya volume limbah yang terjadi di TPn sebesar 14,97 m 3 . Tabel 7 Limbah pemanenan kayu yang terdapat di TPn Jenis Pohon No. Pohon No. Kode Dimensi Limbah Keterangan Panjang m Diameter cm Volume m 3 Meranti 5571 5 2,5 98,5 1,90 Gerowong Keruing 1192 148 8,3 61,5 2,46 Belah Meranti 3025 102 5,6 82,5 2,99 Bengkok Meranti 2955 69 3,6 91 2,34 Gerowong Meranti 2320 11 4 71,5 1,61 Gerowong Meranti 12,29 113 0,66 85 0,37 Gerowong Total 11,68 Gambar 6 Limbah gerowong.

5.4.3 Limbah Pemanenan Kayu di TPK

Limbah yang terdapat di Tempat Penimbunan Kayu TPK pada umumnya terjadi karena penolakan kualita oleh pihak pembeli. Kayu-kayu yang kondisinya kurang baik tersebut mungkin disebabkan karena terlalu lama disimpan di TPK sehingga kayu pecah, busuk atau terserang jamur. Pada penelitian ini tidak ditemukan limbah pemanenan kayu di TPK yang berasal dari pohon yang diteliti karena tidak dilakukan pemotongan lagi terhadap log yang sampai ke TPK, selain itu kegiatan pengangkutan dan muat bongkar dari TPK ke Logpond telah dilaksanakan dengan baik karena waktu pemuatan dilaksanakan pada siang hari serta waktu penyimpanan log di TPK tidak berlangsung lama sehingga tidak ditemukan adanya log yang busuk atau cacat yang berasal dari batang yang diteliti.

5.5 Volume dan Persentase Limbah Pemanenan Kayu Berdasarkan Bagian Pohon

Limbah pemanenan kayu berdasarkan bagian pohon pada penelitian ini terdiri dari limbah tunggak, batang bebas cabang, batang atas, dan cabang. Keempat bagian pohon tersebut berasal dari petak tebangan, TPn, dan TPK. Besarnya limbah yang terjadi ditampilkan pada Tabel 8. Tabel 8 Volume limbah berdasarkan bagian pohon Jenis Limbah Volume Persen Limbah Total m 3 Rata-rata m 3 ha Rata-rata m 3 pohon Tunggak 83,39 8,34 0,91 17,91 Batang bebas cabang 221,60 22,16 2,41 47,58 Batang atas 124,39 12,44 1,35 26,71 Cabang 36,33 3,63 0,39 7,80 Total 465,71 46,57 5,06 100,00 Hasil dari Tabel 8 menjelaskan bahwa limbah batang bebas cabang merupakan bagian yang paling banyak menghasilkan limbah sebesar 22,16 m 3 ha atau 47,58 dari total limbah yang terjadi pada tiap pohon yang ditebang. Bagian yang kedua adalah batang atas sebesar 12,44 m 3 ha atau 26,71 , ketiga adalah tunggak sebesar 8,34 m 3 ha atau 17,91 , dan yang keempat adalah limbah yang berasal dari cabang sebesar 3,63 m 3 ha atau 7,80 . Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sukanda 1995 di IUPHHK Narkata Rimba Kalimantan Timur yang menyebutkan bahwa limbah batang bebas cabang merupakan bagian yang paling banyak menghasilkan limbah sebesar 12,67 m 3 ha 14,65 , kemudian limbah tunggak sebesar 4,26 m 3 ha 4,93 , limbah dari batang bagian atas dan cabang sebesar 11,09 m 3 ha 12,83 . Perbedaan besarnya limbah penelitian ini dengan Sukanda 1995 dikarenakan besarnya diameter pohon yang ditebang dan intensitas penebangan yang berbeda. Diameter pohon yang ditebang pada penelitian ini lebih besar dari penelitian Sukanda 1995, sehingga menghasilkan limbah yang lebih besar. Limbah total yang terjadi berdasarkan bagian pohon pada penelitian ini sebesar 46,57 m 3 ha. Limbah batang bebas cabang banyak ditemukan dalam bentuk sisa potongan akibat kegiatan trimming pangkal dan trimming ujung. Panjang sisa potongan pangkal batang dihitung dari batas potongan pangkal sampai batas potongan tunggak. Panjang sisa potongan ujung batang dihitung dari batas potongan sampai ke batang cabang pertama. Limbah batang bebas cabang memiliki nilai paling besar disebabkan oleh kesalahan penebang dalam pembagian batang serta kondisi pohon yang bergerowong. Brown 1958 menyatakan bahwa penebangan dan pembagian batang merupakan pekerjaan sangat penting karena kesalahan dalam pekerjaan ini akan dapat menimbulkan kerugian yang tidak sedikit, yaitu berupa penurunan kualitas, penurunan kelas dan penyusutan volume, yang kesemuanya merupakan suatu pemborosan kayu. Kegiatan membagi batang di lapangan dilakukan langsung di lokasi penebangan oleh penebang tersebut. Penebang melakukan pengukuran batang hanya dengan menggunakan tongkat yang ukurannya berdasarkan perkiraan saja. Meskipun penebang mengetahui ukuran yang sesuai untuk panjang bahan baku industri, namun dengan perkiraan menggunakan tongkat menyebabkan kurang optimalnya batang yang dimanfaatkan. Pembagian batang seharusnya tidak dilakukan oleh penebang melainkan oleh scaler, untuk itu perlu dilakukan pelatihan dan pengawasan dalam kegiatan membagi batang ini. Sastrodimejo dan Simarmata 1981 menyatakan bahwa cara kerja atau penguasaan teknik kerja yang baik akan mempengaruhi volume limbah yang terjadi. Pada penelitian ini, selain keterampilan penebang, kondisi pohon karena cacat alami yaitu gerowong dan mata kayu menyebabkan log kayu yang dimanfaatkan menjadi berkurang. Sehingga limbah yang terjadi pada batang bebas cabang semakin besar. Bagian yang menghasilkan limbah paling sedikit adalah bagian cabang sebesar 3,63 m 3 ha atau 7,80 dari total limbah yang terjadi. Limbah bagian cabang pada umunya belah dan hancur karena terbanting sangat keras dan cabang yang berada di bagian bawah pada saat rebah, hancur tertimpa batang bagian atas. Namun tidak sedikit pula cabang dalam kondisi baik. Limbah dari bagian cabang memiliki nilai paling kecil disebabkan karena tidak semua jenis pohon memiliki percabangan yang sama. Sebagian besar pohon yang ditebang memiliki percabangan yang tidak terlalu besar. Hal tersebut mengakibatkan sedikitnya cabang yang sesuai dengan batasan penelitian ini yaitu diameter minimal 30 cm. Batasan tersebut mengacu pada Peraturan Menteri Kehutanan No.8 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas P.55Menhut-II2006 tentang Penataan Hasil Hutan yang Berasal dari Negara, Pasal 1 Ayat 38a menyebutkan bahwa kayu berukuran diameter 30 cm sampai dengan 49 cm merupakan kayu bulat sedang yang dapat dipasarkan. Oleh karena itu limbah dari cabang pohon yang b erdiameter ≥ 30 cm seharusnya dapat dimanfaatkan.

5.6 Volume dan Persentase Limbah Pemanenan Kayu Berdasarkan Kondisi Limbah