Deskripsi Persepsi Responden Mengenai Fungsi Sosial-ekonomi Hutan Mangrove

mangrove dimana memiliki kemampuan untuk membentuk tegakan murni dan secara dominan mencirikan struktur komunitas. Selain itu, juga memiliki kemampuan mekanisme fisiologis untuk mengontrol garam Tomlinson, 1984 dalam Kusmana et.al, 2003. Hal ini karena hutan mangrove di Desa Sedari terdiri dari spesies dominan seperti Rhizophora, Avicennia, dan Nypa dimana spesies ini merupakan termasuk ke dalam flora mangrove inti dan flora mangrove mayor. Hal ini yang menjadikan hutan mangrove Desa Sedari memiliki fungsi ekologi yang dapat melindungi masyarakat Desa Sedari dari berbagai ancaman bencana alam seperti angin topan, abrasi, tsunami, dan banjir.

6.3 Deskripsi Persepsi Responden Mengenai Fungsi Sosial-ekonomi Hutan Mangrove

Selain memiliki fungsi ekologi, hutan mangrove juga memiliki fungsi sosial-ekonomi yang dapat dimanfaatkan pesanggem untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Fungsi sosial-ekonomi ini baik disadari pesanggem maupun tidak sebenarnya terdapat dalam hutan mangrove namun dibutuhkan pengetahuan dan teknologi agar dapat dimanfaatkan hasilnya secara optimal. Oleh karena itu, persepsi responden mengenai fungsi sosial-ekonomi hutan mangrove perlu diukur sebagai salah satu cara untuk mengetahui persepsi responden mengenai hutan mangrove dimana hutan mangrove biasa dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari- hari pesanggem. Tabel 12. Frekuensi Persepsi Responden Mengenai Fungsi Sosial-ekonomi Hutan Mangrove Kategori Persepsi Jumlah Responden orang Presentase Negatif 52 74,29 Positif 18 25,71 Total 70 100 Sumber: Data primer diolah Sebagian besar responden memiliki persepsi negatif mengenai fungsi sosial- ekonomi hutan mangrove. Dapat dilihat pada Tabel 12 bahwa sebesar 74,29 persen responden memiliki persepsi negatif mengenai fungsi sosial-ekonomi hutan mangrove. Sementara itu, sebagian kecil saja 25,71 persen responden memiliki persepsi positif mengenai fungsi sosial-ekonomi hutan mangrove. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar pesanggem di LMDH Mina Wana Lestari memiliki persepsi negatif mengenai fungsi sosial-ekonomi hutan mangrove karena mereka belum memahami dengan benar fungsi sosial-ekonomi hutan mangrove atau memang tidak ditemukan teknologi yang memadai di wilayah Desa Sedari agar mendapatkan keuntungan sosial-ekonomi yang maksimal dari hutan mangrove. Selama ini menurut pengalaman mereka, kayu dari hutan mangrove hanya dapat dimanfaatkan sebagai kayu bakar. Hal ini dikemukakan oleh para responden, yaitu mereka sama sekali belum mengetahui bahwa dari hutan mangrove dapat dihasilkan bahan baku kertas, tannin, dan bahan bangunan. Dapat dilihat pada Tabel 13 bahwa nilai rataan skor untuk hampir semua indikator tergolong rendah, hanya persepsi bahwa hutan mangrove dapat dijadikan tempat wisata saja yang tinggi. Teknologi yang cukup memadai untuk menghasilkan keuntungan sosial-ekonomi misalnya mengolah kayu dari hutan mangrove di wilayah Desa Sedari yang menjadi tempat tinggal responden memang belum ditemukan. Hal ini berimplikasi pada responden yang hanya mengetahui sedikit manfaat sosial-ekonomi dari hutan mangrove. Selain itu, peraturan dari Perhutani yang melarang masyarakat menebang kayu dari pohon payau juga menyebabkan masyarakat hanya dapat memanfaatkan kayu dari pohon payau yang telah tumbang. Hutan mangrove yang dapat dijadikan sarana rekreasi tempat wisata sudah jelas dipahami pesanggem dengan benar karena memang di wilayah Desa Sedari telah dibangun hutan mangrove wisata hasil kerjasama Perum Perhutani, LMDH Mina Wana Lestari, dan pihak Pemerintahan Desa Sedari. Namun, hutan mangrove wisata ini belum berjalan optimal karena kendala keua ngan dan jalan utama yang menuju lokasi wisata. Kendala ini menyebabkan fasilitas di hutan wisata tersebut yang masih minim dan hanya beroperasi pada hari Sabtu dan Minggu karena jalan utama yang rusak tidak bisa dilalui kendaraan roda empat atau lebih sehingga pengunjung hanya sedikit. Hal ini seperti yang telah dikemukakan oleh salah satu narasumber Wjn, 38. “Di Sedari ada hutan wisata kerjasama Perhutani, LMDH, dan desa ... Dulu lumayan banyak yang dateng pas musim kering, jalannya ga belok gini, mobil juga bisa lewat. Sekarang mah cuma dikit, paling tiap Sabtu Minggu cuma 2 atau 3 motor yang dateng ... Fasilitas juga seadanya makanya paling yang dateng cuma jalan-jalan ama mancing gratis.” Tabel 13. Nilai Rataan Skor Indikator Persepsi Responden Mengenai Fungsi Sosial-ekonomi Hutan Mangrove Indikator Persepsi Rataan Sko r Hutan mangrove menghasilkan kayu bernila i e konomi untuk bahan bangunan 1,63 Hutan mangrove menghasilkan kayu bernila i e konomi untuk tannin 2,06 Hutan mangrove menghasilkan kayu bernila i e konomi untuk bahan baku ke rtas 1,90 Hutan mangrove dapat dijadikan sarana rekreasi 3,44 Hutan mangrove te mpat pemijahan benih udang 2,44 Hutan mangrove te mpat pemijahan benih ikan 2,09 Sumber: Data primer diolah Keterangan: Nilai rataan skor 1,00 - 2,49 tergolong rendah; Nilai rataan sk or 2,50 – 4,00 tergolong tinggi. Sementara itu, fasilitas hutan wisata yang terbatas dikemukakan alasannya oleh narasumber sebagai berikut Yyn, 39 “Rencana pembangunan hutan mangrove wisata sebenarnya sudah ada dari dulu yang digagas oleh Pak Diki Asisten Perhutani satu periode sebelum sekarang, namun tidak ada investor yang datang karena programnya masih mentah. Akhirnya pada tahun 2009, saya memberitahukan kepada masyarakat lebih baik mulai dari sekarang saja sehingga apabila ada investor masuk, posisi tawar masyarakat sudah tinggi dan tidak ditindas swasta karena masyarakat yang memulai membangun hutan wisata ini.” Kayu dari hutan mangrove yang dapat dimanfaatkan oleh pesanggem sebatas hanya digunakan untuk kayu bakar. Mereka memang tidak pernah menggunakan kayu dari pohon yang tumbuh di hutan mangrove untuk bahan bangunan, tannin, atau bahan baku pembuatan kertas. Hal ini karena keterbatasan informasi dan teknologi. Selain itu, masyarakat memang dilarang untuk menebang kayu dari hutan mangrove. Kayu yang digunakan oleh masyarakat Desa Sedari untuk kayu bakar hanya kayu yang berasal dari pohon yang telah tumbang atau ranting yang telah jatuh. Hal ini seperti yang telah dikemukaka n oleh salah satu narasumber Wjn, 38 “Nebang bako-bako mah ga boleh de, ga da yang berani, bisa ditangkep. Paling juga orang sini ngambil dari ranting yang jatoh atau bako-bako yang mati di empang. Itu juga orang kehutanan harus tau. ” Indikator persepsi responden bahwa hutan mangrove sebagai tempat pemijahan benih udang dan ikan juga tergolong rendah. Mereka percaya bahwa bandeng justru tidak akan besar dan berkembang biak dengan optimal jika ada tegakan mangrove. Hal ini seperti yang telah dikemukakan oleh salah satu narasumber Msl, 35 “Bohong itu kalau ada yang bilang ikan bandeng tumbuh baik di sekitar bako. Teori darimana? Ikan bandeng berkembang biak di laut dan tumbuh baik kalau terang dari bako. ” Bandeng berkembang biak di laut dan agar mereka tumbuh optimal harus terkena intensitas cahaya penuh tanpa teduhan. Berbeda halnya dengan benih udang yang menurut pesanggem memang dapat dihasilkan dari hutan mangrove karena udang berkembang biak dan mencari makan di akar-akar tanaman payau. Hal ini seperti yang telah dikemukakan oleh salah satu narasumber Wjn, 38 “Kalo udang bisa banyak di bako-bako, kan udang bisa makanin lumut-lumut di akar bako. Tapi kalo bandeng kayanya sih ga bisa dihasilin dari bako. ” Namun, memang beberapa tahun terakhir ini udang pun jarang ditemukan di wilayah hutan mangrove. Hal ini karena hutan mangrove semakin berkurang dan kualitas air juga semakin buruk karena limbah buangan dari perusahaan Pertamina. Oleh karena itu, dapat dilihat pada Tabel 13 bahwa nilai rataan untuk indikator persepsi ini juga tergolong rendah.

6.4 Deskripsi Persepsi Responden Mengenai Hutan Mangrove Secara Keseluruhan