HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN EMOSIONAL KELUARGA DENGAN PENERIMAAN DIRI PADA PENYANDANG CACAT TETAP AKIBAT GEMPA BUMI DI KABUPATEN BANTUL

(1)

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN EMOSIONAL KELUARGA DENGAN PENERIMAAN DIRI PADA PENYANDANG CACAT

TETAP AKIBAT GEMPA BUMI DI KABUPATEN BANTUL

SKRIPSI

Dalam rangka penyusunan skripsi sebagai salah satu syarat

guna memperoleh gelar Sarjana Psikologi Program Pendidikan Strata I Psikologi

Oleh: Imaduddien Sobri

G0106008

Pembimbing:

1. Dra. Salmah Lilik, M. Si 2. Tri Rejeki Andayani, S. Psi, M. Si

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2010


(2)

HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi dengan judul : Hubungan Antara Dukungan Emosional Keluarga dengan Penerimaan Diri Pada Penyandang Cacat Tetap Akibat Gempa Bumi Di Kabupaten Bantul

Nama Peneliti : Imaduddien Sobri

NIM : G0106008

Tahun : 2006

Telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Pembimbing dan Penguji Skripsi Prodi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada

Hari: Kamis, tanggal 08 Desember 2010

Pembimbing Utama

Dra. Salmah Lili, M. Si. NIP. 194904151981032001

Pembimbing Pendamping,

Tri Rejeki Andayani, S. Psi., M. Si. NIP. 197401091998022001

Koordinator Skripsi,


(3)

HALAMAN PENGESAHAN Skripsi dengan judul:

Hubungan antara Dukungan Emosional Keluarga dengan Penerimaan Diri pada Penyandang Cacat Tetap Akibat Gempa Bumi di Kabupaten Bantul

Imaduddien Sobri, G0106008, Tahun 2006

Telah diuji dan disahkan oleh Pembimbing dan Penguji Skripsi Prodi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada Hari : Tanggal :

1. Pembimbing I (________________)

Dra. Salmah Lilik, M. Si. NIP. 194904151981032001

2. Pembimbing II (________________)

Tri Rejeki Andayani, S. Psi., M. Si. NIP. 197401091998022001

3. Penguji I (________________)

Dra. Machmuroch, M. S. NIP. 195306181980032002

4. Penguji II (________________)

Nugraha Arif Karyanta, S. Psi. NIP. 197603232005011002

Surakarta, ________________

Koordinator Skripsi,

Rin Widya Agustin, M. Psi. NIP. 197608172005012002

Ketua Pengelola,

Drs. Hardjono, M. Si. NIP. 195901191989031002


(4)

MOTTO

Tidak ada seorangpun yang mampu merubah dunia dengan kekuatannya, yang dapat dilakukan adalah berdamai dengan kenyataan yang kita dapati.

(Penulis)

“Tuhan,karuniakanlah diriku ketentraman batin untuk dapat menerima hal-hal yang takkan mungkin kuubah,

keberanian untuk mengubah hal-hal yang dapat kuubah, dan kebijaksanaan untuk mengetahui perbedaannya”


(5)

PERSEMBAHAN

Dengan segala kerendahan hati, penulis persembahkan karya sederhana ini kepada : Ibu dan Bapak tercinta atas keikhlasan dan kesabarannya. Adik-adik penulis, atas motivasinya


(6)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT dengan segala rahmat, hidayah dan kemurahan-Nya sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan karya sederhana ini. Satu hal yang penulis sadari, bahwa terselesaikannya penulisan skripsi ini, tentunya tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu dengan segala kerendahan hati dan penghargaan yang tulus, penulis mengucapkan terimakasih yang tiada terhingga kepada :

1. Drs. Hardjono, M. Si. selaku Ketua Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Dra. Suci Murti Karini, M. Si. selaku dosen pembimbing akademik atas bimbingan selama penulis belajar

3. Dra. Salmah Lilik, M. Si. selaku pembimbing utama yang telah berkenan memberikan pengarahan, saran serta petunjuk dalam penyusunan skripsi ini. 4. Tri Rejeki Andayani, S. Psi., M. Si. selaku pembimbing pendamping yang

telah berkenan memberikan pengarahan, petunjuk dan masukan dalam penyusunan skripsi ini.

5. Dra. Machmuroch, M. S. yang telah bersedia meluangkan waktu memberikan pengarahan, petunjuk dan masukan dalam penyusunan skripsi ini.

6. Nugraha Arif Karyanta, S. Psi. yang telah bersedia meluangkan waktu memberikan pengarahan, petunjuk dan masukan dalam penyusunan skripsi ini. 7. Seluruh staf pengajar dan tata usaha Program Studi Psikologi yang telah

memberikan ilmu dan kemudahan dalam proses penyusunan skripsi ini. 8. Drs. Sulistiyo, S.H., CN., M. Si. selaku Kepala Dinas Sosial Propinsi Daerah


(7)

9. Deabby S. Psi. selaku Kepala Pendampingan Pusat Rehabilitasi Terpadu Penyandang Cacat Pundong, Bantul, Yogyakarta, atas segala pelayanan dan bimbingannya.

10. Seluruh klien PRTPC yang telah bersedia menjadi responden penelitian dan atas keceriaan yang telah kita ukir bersama.

11. Seluruh pihak Pusat Rehabilitasi Terpadu Penyandang Cacat yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian ini.

12. Ibunda Dra. Wahyuningsih dan Ayahanda Drs. Umar Sobri yang kusayang dan hormati atas segala cinta kasih, dukungan, pengorbanan dan doa untuk penulis sehingga dapat menyelesaikan kuliah hingga selesai.

13. Adik-adikku Izuddien dan Inase yang senantiasa memberi motivasi dalam penyelesaian skripsi ini.

14. Sahabat-sahabatku Dika, Eli, Candra, Redy, Akbar, Wildan, Burhan, Prehaten, Gendig dan kawan-kawan Psikologi 2006 yang selalu memberikan keceriaan di tiap langkah.

15. Kawan-kawan BEM FK UNS 2007, BEM FK UNS 2008 dan Dewan Mahasiswa Fakultas Kedokteran UNS 2009 yang telah berjuang bersama dalam segala langkah.

16. Kawan-kawan Yayasan Psikologi Bina Asih Yogyakarta yang telah

memberikan dorongan, semangat, dan kelonggaran sehingga peneliti dapat menyelesaikan penelitian ini.

Harapan penulis, semoga karya sederhana ini dapat memberikan sumbangan dan manfaat khususnya bagi perkembangan dunia psikologi serta tidak terhenti pada penelitian ini saja. Amin.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Surakarta, Januari 2011 Penulis


(8)

ABSTRAKSI

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN EMOSIONAL KELUARGA DENGAN PENERIMAAN DIRI PADA PENYANDANG CACAT

TETAP AKIBAT GEMPA BUMI DI KABUPATEN BANTUL Imaduddien Sobri

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

Gempa Bumi tanggal 27 Mei 2006 mengguncang Daerah Istimewa Yogyakarta dan sebagian Jawa Tengah dengan pusat di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta menyisakan duka yang mendalam bagi para korban, sebagian di antaranya mengalami kecacatan tetap. Banyak di antara korban yang kini menyandang kecacatan tetap belum dapat menerima diri. Salah satu faktor yang membantu penyandang cacat tetap menerima diri adalah dukungan sosial, terutama dari keluarga. Aspek yang paling mendasar dari dukungan sosial adalah dukungan emosional. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Apakah ada

hubungan antara dukungan emosional keluarga dengan penerimaan diri pada

korban gempa bumi di Kabupaten Bantul yang mengalami kecacatan permanen”.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dukungan emosional keluarga dengan penerimaan diri penyandang cacat tetap akibat gempa bumi di Kabupaten Bantul. Hipotesis yang diajukan ada hubungan positif antara dukungan emosional keluarga dengan penerimaan diri penyandang cacat tetap akibat gempa. Populasi penelitian ini adalah seluruh penyandang cacat tetap akibat gempa di Kabupaten Bantul yang jumlahnya tidak dicatat secara pasti, namun menurut data Departemen Sosial Kabupaten Bantul, diperkirakan berjumlah 300 orang. Sampel yang digunakan adalah penyandang cacat tetap yang menjalani rehabilitasi di Pusat Rehabilitasi Terpadu Penyandang Cacat, Pundong, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta berjumlah 30 orang. Sampling yang digunakan purposive insidental sampling. Metode pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan Skala Penerimaan Diri Penyandang Cacat dan Skala Dukungan Emosional Keluarga. Analisa data menggunakan analisis regresi sederhana.

Berdasarkan hasil analisis regresi sederhana diperoleh nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0,527; p = 0,003 (p < 0,05) artinya ada hubungan positif yang signifikan antara dukungan emosional keluarga dengan penerimaan diri penyandang cacat tetap. Sumbangan efektif dukungan emosional keluarga terhadap penerimaan diri penyandang cacat tetap sebesar 27,8%. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah ada hubungan positif yang signifikan antara dukungan emosional keluarga dengan penerimaan diri penyandang cacat tetap. Artinya, semakin tinggi atau banyak dukungan emosional keluarga yang diperoleh, maka akan semakin tinggi penerimaan diri penyandang cacat tetap akibat gempa bumi di Kabupaten Bantul.


(9)

ABSTRACT

CORRELATION BETWEEN FAMILY EMOTIONAL SUPPORT AND SELF ACCEPTANCE OF PERMANENT DISABLED DUE TO

EARTHQUAKE IN BANTUL Imaduddien Sobri

PSYCHOLOGY DEPARTEMENT, MEDICAL FACULTY SEBELAS MARET UNIVERSITY, SURAKARTA, INDONESIA

May 27, 2006 an earthquake with epicentrum at Bantul, Yogyakarta has devastated Yogyakarta Central Java region. The earthquake leaves great sorrows for the victims, much of them become permanent disabled, and until now, any of

them can’t accept their disabilities. A factor which increase self acceptance was

social support, especially from their family as their significant other, and the basic aspect of social support is emotional support. Fomulation of the problem in this

research is: “Is there any correlation between family emotional support and self acceptance of permanent disabled?” Our objectives was to examine correlation between family emotional support and permanent disabled’s self acceptance of the

earthquake victims. Our hypothesis was there are a positive correlation between

family emotional support and permanent disabled’s self acceptance.

This research use every victims of May 27 2006 who was permanently disabled and live in Bantul, Yogyakarta (approximately 300 people). This

research use purposive incidental sampling, with 30 attendant of “Pusat Rehabilitasi Terpadu Penyandang Cacat” (Integrated Rehabilitation Centrum for Disabled), Pundong, Bantul, Yogyakarta, as sample. Data taken by Disabled’s

Self Acceptance Scale and Family Emotional Support Scale. Data analyzed with simple regression analysis.

This research result correlation coefficient (r) = 0,527; p = 0,003 (p<0,05), means there are a significant positive correlation between family emotional support and permanent disabled’s self acceptance. Family emotional support contribute 27,8% factor of permanent disabled’s self acceptance. The conclusions

is there are a positive correlation between family emotional support and self acceptance of permanent disabled. That means more family emotional support accepted, increase the self acceptance of permanent disabled.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL DEPAN i

HALAMAN JUDUL ii

HALAMAN PERSETUJUAN iii

HALAMAN PENGESAHAN iv

HALAMAN MOTTO v

HALAMAN PERSEMBAHAN vi

KATA PENGANTAR vii

ABSTRAK ix

DAFTAR ISI xi

DAFTAR TABEL xiii

DAFTAR GAMBAR xiv

DAFTAR LAMPIRAN xv

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Rumusan Masalah 10

C. Tujuan Penelitian 10

D. Manfaat Penelitian 11

BAB II. LANDASAN TEORI

A. Penerimaan Diri Penyandang Cacat 12

1. Pengertian Penerimaan Diri Penyandang Cacat 12

2. Pentingnya Penerimaan Diri pada Penyandang Cacat 18

3. Tahap-Tahap Penerimaan Diri pada Penyandang Cacat 20

4. Ciri-Ciri Individu yang Menerima Diri 27

5. Aspek-Aspek Penerimaan Diri 30

6. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Diri 36

B. Dukungan Emosional Keluarga 43

1. Pengertian Dukungan Emosional Keluarga 43


(11)

C. Hubungan Antara Dukungan Emosional Keluarga dengan Penerimaan Diri

Penyandang Cacat 47

D. Kerangka Pemikiran 50

E. Hipotesis 52

BAB III METODE PENELITIAN

A. Identifikasi Variabel Penelitian 53

B. Definisi Operasional Variabel 53

C. Populasi, Sampel dan Sampling 55

D. Teknik Pengumpulan Data 57

E. Metode Analisis Data 60

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Persiapan Penelitian 63

1. Orientasi Kancah Penelitian 63

2. Persiapan Penelitian 65

3. Uji Validitas dan Reliabilitas 69

B. Pelaksanaan Penelitian 76

C. Hasil Analisis Data Penelitian 77

1. Deskripsi Responden Penelitian 77

2. Deskripsi Statistik 77

3. Uji Asumsi 80

4. Uji Hipotesis 81

D. Pembahasan 83

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan 88

B. Saran 88

DAFTAR PUSTAKA 90


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1: Blue Print Skala Penerimaan Diri 58

Tabel 2: Blue Print Skala Dukungan Emosional 60

Tabel 3: Distribusi Aitem Valid dan Gugur Skala Penerimaan Diri

Penyandang Cacat 70

Tabel 4: Distribusi Aitem Skala Penerimaan Diri Penyandang Cacat

Setelah Uji Coba 72

Tabel 5: Distribusi Aitem Valid dan Gugur Skala Dukungan Emosional

Keluarga 74

Tabel 6: Distribusi Aitem Skala Dukungan Emosional Keluarga Setelah

Uji Coba 75

Tabel 7: Deskripsi Responden Penelitian Berdasarkan Usia 77

Tabel 8: Deskripsi Statistik Data Penelitian 78

Tabel 9: Kriteria Kategorisasi Penerimaan Diri Penyandang Cacat Tetap 79

Tabel 10: Kriteria Kategorisasi Dukungan Emosional Keluarga 79

Tabel 11: Hasil Uji Normalitas 80

Tabel 12: Rangkuman Hasil Uji Linearitas 81

Tabel 13: Hasil Regresi Linear Sederhana Dukungan Emosional Keluarga


(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar I: Skema Penerimaan Diri Menurut Glaser (1966) 20


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman A. Alat Ukur Penelitian

Skala Penerimaan Diri Penyandang Cacat dan Skala Dukungan

Emosional Keluarga 96

B. Data Uji Coba dan Penelitian Alat Ukur Penelitian

1. Data Hasil Uji Coba Skala Penerimaan Diri Penyandang Cacat 104

2. Data Penelitian Skala Penerimaan Diri Penyandang Cacat 105

3. Data Hasil Uji Coba Skala Dukungan Emosional Keluarga 106

4. Data Penelitian Skala Dukungan Emosional Keluarga 107

C. Uji Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur Penelitian

1. Hasil Uji Validitas Skala Penerimaan Diri Penyandang Cacat 109

2. Hasil Uji Validitas Skala Dukungan Emosional Keluarga 115

3. Hasil Uji Reliabilitas Skala Penerimaan Diri Penyandang Cacat 120

4. Hasil Uji Reliabilitas Skala Dukungan Emosional Keluarga 122

D. Analisis Data Penelitian

1. Hasil Uji Normalitas 125

2. Hasil Uji Linearitas 126

3. Hasil Deskriptif dan Distribusi Frekuensi 128

4. Hasil Analisis Uji Regresi Linear Sederhana 129

E. Surat Ijin dan Surat Keterangan Penelitian

1. Surat Permohonan Ijin Penelitian ProdiPsikologi FK UNS 132

2. Surat Pemberitahuan Penelitian Bakesbangpol Linmas Jateng 133

3. Surat Rekomendasi Ijin Penelitian dari Bakesbang Linmas DIY 135 4. Surat Keterangan Ijin Penelitian dari Sekretariat Daerah DIY 136

5. Nota Dinas dari Dinas Sosial Propinsi DIY 137


(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Gempa bumi yang mengguncang Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah pada hari Kamis 27 Mei 2006 telah lama berlalu menyisakan kenangan pahit bagi para korbannya. Gempa bumi berkekuatan 5.9 skala Richter yang berpusat di Kecamatan Pundong, Kabupaten Bantul ini telah memporak-porandakan beberapa kabupaten dan kota di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah. Gempa bumi ini juga memakan banyak korban, terhitung sebanyak 6.234 warga meninggal dunia dan lebih dari 50.000 warga lainnya mengalami luka-luka, baik luka ringan, sedang, hingga berat (http://www.wikipedia.org). Banyak di antara korban luka pada gempa bumi Yogyakarta mengalami kecacatan permanen. Tingkat kecacatan tersebut bermacam-macam, mulai dari kehilangan anggota gerak, kehilangan anggota badan, infeksi menetap pada anggota badan, hingga kelumpuhan total. Para korban gempa bumi tersebut sebagian besar juga kehilangan tempat tinggal, terhitung lebih dari 1,3 juta jiwa kehilangan tempat tinggal mereka (IOM Indonesia Newsletter, Agustus 2006).

Kabupaten Bantul sebagai kabupaten yang mengalami kerusakan paling parah dalam bencana gempa bumi tanggal 27 Mei 2006 juga menjadi kabupaten dengan jumlah korban paling banyak. Data dari Kabupaten Bantul tercatat sebanyak 3.098 korban meninggal dunia dan 6.437 korban mengalami luka berat yang diperkirakan akan mengalami kecacatan seumur hidupnya dan lebih banyak


(16)

lagi korban yang mengalami luka sedang yang diperkirakan akan mengalami kecacatan sementara (http://www.atmajaya.ac.id).

Bagi banyak korban yang selamat dari maut pada kejadian tersebut, menerima kenyataan bahwa dirinya telah kehilangan banyak hal akibat Gempa bumi sangatlah menyakitkan dan sulit diterima. Kehilangan rumah, harta benda, sanak saudara, dan bahkan bagi sebagian orang harus menerima kenyataan bahwa dirinya harus mengalami kecacatan untuk selamanya merupakan suatu cobaan yang sangat berat (Akbar dan Afiatin, 2009). Terlebih bagi korban yang mengalami cacat fisik, selain telah kehilangan sanak saudara dan harta benda, kecacatan yang dialami juga mengubah keadaan hidup mereka, baik secara fisik maupun psikologis.

Jumlah penyandang cacat tetap akibat gempa bumi Yogyakarta cukup banyak. Menurut Harian Suara Merdeka, terdapat 1.500 orang korban gempa bumi yang harus mengalami kecacatan seumur hidup, dengan jumlah terbesar adalah korban yang berasal dari Kabupaten Bantul. Data dari Dinas Sosial Kabupaten Bantul menunjukkan, hingga bulan November 2009 di Kabupaten Bantul tercatat sekitar 300 warga di Kabupaten Bantul yang masih menjalani perawatan karena mengalami kecacatan (www.sosial.bantulkab.go.id). Versi lain menurut data dari Palang Merah Indonesia (PMI) cabang Bantul menyebutkan, hingga bulan Februari 2010, tercatat 900 warga Kabupaten Bantul yang masih menjalani fisioterapi di PMI cabang Bantul. Sebagian besar dari jumlah tersebut mengalami kecacatan permanen, mulai dari tidak sempurnanya keseluruhan atau sebagian bentuk tubuh, kehilangan sebagian atau keseluruhan organ tubuh,


(17)

kehilangan anggota gerak, paraplegia atau kelumpuhan tubuh bagian bawah akibat terjadi penekanan terhadap sistem saraf pusat akibat fraktur pada tulang belakang, hingga tetraplegia atau kelumpuhan yang disebabkan cedera pada tulang belakang yang menyebabkan hilangnya seluruh penggunaan dari semua anggota badan dan dada yang terutama diakibatkan oleh penekanan terhadap sistem saraf pusat akibat fraktur pada tulang belakang bagian atas (bagian leher). Sebanyak 20 orang dari 900 orang yang masih menjalani fisioterapi di PMI cabang Bantul rawan depresi. Hal ini dilihat dari fakta bahwa 20 orang tersebut pernah melakukan percobaan bunuh diri (http://www.indosiar.com).

Berbagai kecacatan yang dialami oleh korban gempa bumi di Kabupaten Bantul tersebut mengakibatkan berbagai reaksi. Salah satu kasus yang terjadi adalah kasus bunuh diri atau percobaan bunuh diri. Kasus bunuh diri atau percobaan bunuh diri yang dilakukan oleh penyandang cacat akibat gempa bumi di Kabupaten Bantul pernah beberapa kali terjadi. Selain kasus bunuh diri atau percobaan bunuh diri, ada pula penyandang cacat tetap yang berkeinginan kuat untuk sembuh. Terlalu besarnya keinginan untuk sembuh membuat penyandang cacat tersebut berusaha mencari jalan untuk sembuh dari kecacatannya dengan cara-cara tidak ilmiah yang membahayakan bagi dirinya sendiri. Berikut ini adalah contoh kasus yang pernah terjadi di Kabupaten Bantul:

Contoh kasus pertama dialami oleh seorang gadis belia berusia 23 tahun

berinisial ”Sum” yang beralamat di Dusun Pandean, Desa Gilangharjo,

Kecamatan Pandak, Kabupaten Bantul. ”Sum” yang terpaksa menjalani amputasi


(18)

pada saat terjadi gempa bumi tanggal 27 Mei 2006. Akibat tidak tahan lagi dengan

kecacatan yang dia derita, pada tanggal 04 Oktober 2006, ”Sum” melakukan

tindakan nekad dengan membakar dirinya sendiri dengan menggunakan bensin.

”Sum” yang ditemukan dalam kondisi luka bakar serius kemudian dilarikan ke

Rumah Sakit Prof. Dr. Sardjito, Yogyakarta (http://www.indosiar.com).

Contoh kasus kedua dialami oleh ”ES”, seorang gadis berusia 26 tahun

yang tinggal di Desa Kranggotan, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul. Sebelum

terjadi gempa bumi Yogyakarta tanggal 27 Mei 2006, “ES” dikenal sebagai

seorang sarjana MIPA yang banyak beraktivitas dan supel dalam pergaulan. “ES”

bahkan bersama dengan kekasihnya telah merencanakan pernikahan yang sedianya akan segera dilaksanakan. Namun Tuhan berkehendak lain, pada saat gempa bumi terjadi, “ES” terjatuh dan tertimpa tembok rumahnya sehingga mengalami patah tulang belakang yang mengakibatkan paraplegia, sehingga “ES”

mengalami kelumpuhan anggota gerak bagian bawah. Kelumpuhan yang dialami

membuat “ES” kehilangan banyak hal yang dahulu dapat dinikmatinya.

Keterbatasan fisik membuat “ES” tidak dapat beraktivitas seperti dahulu,

menganggap dirinya tidak berguna, hingga puncaknya adalah pada saat keluarga

kekasihnya tidak mau menerima keadaan fisiknya sekarang. Merasa kecewa, “ES”

kemudian nekad mencoba untuk bunuh diri dengan cara memotong urat nadi

tangan. Usaha bunuh diri pertama kali gagal karena perawat menemukan “ES” dalam kondisi bersimbah darah. Tidak puas dengan usaha pertama, “ES” mencoba

melakukan usaha kedua dengan cara yang sama, namun sekali lagi usaha tersebut gagal karena perawat menemukannya dalam kondisi kritis. Usaha ketiga


(19)

dilakukan “ES” dengan jalan yang sama, namun mengalami kegagalan karena

diketahui oleh salah seorang kerabatnya.

Contoh kasus yang ketiga dijumpai di Rumah Sakit Ortopedi Prof. Dr. Soeharso, Surakarta, yaitu seorang laki-laki bernama ”S” yang ditinggalkan oleh istrinya karena ”S” mengalami paraplegia akibat fraktur pada tulang belakangnya.

Istri ”S” menyatakan bahwa akan pergi hingga ”S” bisa berjalan lagi. Keinginan

untuk dapat berkumpul dengan istrinya membuat ”S” melakukan segala cara agar

dapat berjalan kembali. Berbekal informasi dari seorang rekan, ”S” melakukan

terapi bagi dirinya sendiri, yaitu dengan merendam kaki hingga sebatas paha dengan air hangat. Namun, karena saraf di daerah kaki ”S” sudah tidak dapat berfungsi lagi, maka ”S” tidak dapat merasakan panas dari air yang digunakannya. ”S” kemudian menambah air panas pada air yang digunakannya. Alhasil, kaki ”S”

mengalami luka bakar grade II dan harus menjalani perawatan di rumah sakit, sedangkan kelumpuhan yang dialami tidak juga sembuh.

Ketiga kasus yang telah dipaparkan di atas mencerminkan bahwa banyak di antara penyandang cacat akibat gempa bumi Yogyakarta yang belum dapat menerima diri. Beberapa penyandang cacat tetap yang belum dapat menerima kecacatannya ada yang memiliki keinginan yang sangat besar untuk kembali normal, sehingga melakukan cara-cara yang kurang rasional untuk mencapainya. Hal ini dapat dilihat dari paparan kasus ketiga. Selain itu, ada pula beberapa penyandang cacat tetap yang kehilangan harapan hidup, sehingga melakukan tindakan nekad dengan berusaha mengakhiri hidupnya.


(20)

Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat betapa pentingnya penerimaan diri seseorang. Anderson (1959) menyatakan bahwa self acceptance (penerimaan diri) penting untuk mengintegrasikan tubuh, pikiran, dan jiwa kita. Menurut Calhoun dan Acocella (dalam Badaria dan Astuti, 2004), penerimaan diri merupakan aset pribadi yang berharga karena mempunyai pengaruh terhadap penyesuaian diri yang dilakukan oleh individu, sehingga sifat-sifat dalam dirinya seimbang dan terintegrasi. Orang-orang yang penerimaan dirinya positif, berarti orang itu mampu memahami dirinya dan menerima kenyataan bahwa dirinya berbeda dengan orang lain, dalam menerima dirinya sendiri, seseorang harus dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat dan kehidupannya. Hal ini sangat sesuai dengan Hurlock (1974) yang menyatakan bahwa penerimaan diri adalah faktor utama yang membentuk kepribadian yang sehat.

Penerimaan individu terhadap cacat yang mereka alami berbeda-beda, dan sering kali tidak sebanding lurus dengan tingkat kecacatannya. Hal ini dikarenakan sikap-sikap mereka dipengaruhi oleh situasi sosial yang lebih luas. Setiap individu yang cacat fisik memiliki kebutuhan emosional khusus, kemampuan bawaan, dan latar belakang pengalamannya sendiri. Jika penyandang cacat dengan cacat fisiknya diterima oleh orang-orang yang berarti dalam lingkungannya, maka ini merupakan kesempatan yang baik untuk bisa menerima cacatnya dan mengatur cara menyesuaikan diri dengan cacatnya. Sebaliknya, apabila individu tersebut ditolak atau dilindungi secara berlebihan, maka persepsi terhadap dirinya sendiri berupa kebencian atau perasaan kasihan terhadap diri sendiri karena kecacatan tersebut (Semiun, 2006). Kepercayaan masyarakat


(21)

terhadap kecacatan juga mempengaruhi sikap terhadap penyandang cacat, misalnya, kecacatan masih dianggap sebagai suatu aib dan memalukan, sehingga anggota penyandang cacat harus disembunyikan dari penglihatan warga lainnya. Hal ini menyebabkan penyandang cacat tidak dapat menerima kecacatannya (Kasim, 2002).

Menurut Semiun (2006), dampak cacat fisik tidak jelas dan langsung, namun sampai batas tertentu, cacat itu ditentukan oleh hubungan-hubungan antarpribadi yang dialami oleh orang-orang yang cacat. Dengan kata lain, respon, sikap, serta perlakuan keluarga dan orang-orang yang penting dalam lingkungan sangat mempengaruhi reaksi-reaksi tingkah laku individu terhadap cacat fisik yang dialami.

Reaksi orang-orang di lingkungan penyandang cacat menurut Schuster dan Ashburn (1992) dapat berupa penolakan (rejection), idealisasi (idealization), merasa kasihan, dan dapat pula berupa penerimaan secara realistis (realistic

acceptance). Reaksi penolakan terhadap penyandang cacat dapat berupa upaya

menyingkirkan individu penyandang cacat. Cara yang ditempuh seperti memasukkan penyandang cacat ke yayasan yang mengurusi penyandang cacat, menitipkan di tempat saudara lain, hingga menelantarkan begitu saja. Reaksi idealisasi berupa penolakan terhadap kecacatan yang disandang oleh individu penyandang cacat, dan senantiasa berusaha membuat penyandang cacat tersebut dapat menjadi normal kembali sesuai dengan keinginan mereka. Reaksi merasa kasihan termanifestasi dalam memberikan perhatian yang sangat berlebihan kepada penyandang cacat, hingga mengurangi kewajiban namun menambah hak


(22)

yang harus diperoleh penyandang cacat. Adapun reaksi penerimaan realistis termanifestasi dalam sikap memberikan pengarahan menuju kehidupan mandiri penyandang cacat.

Reaksi penerimaan realistis oleh lingkungan akan berupa sikap-sikap penerimaan terhadap penyandang cacat. Adapun sikap penerimaan terhadap penyandang cacat dapat berupa pemberian dukungan sosial yang menurut House (dalam Smet, 1994) memiliki aspek atau bentuk tertentu. Bentuk atau aspek tersebut meliputi (1) Dukungan Emosional, mencakup ungkapan empati, kepedulian dan perhatian terhadap orang yang bersangkutan; (2) Dukungan Penghargaan, meliputi ungkapan formal, dorongan untuk maju, serta membantu seseorang untuk melihat segi-segi positif yang ada dalam dirinya dibandingkan dengan keadaan orang lain yang berfungsi untuk menambah penghargaan diri; (3) Dukungan Instrumental, mencakup bantuan langsung, sesuai dengan yang dibutuhkan orang lain; (4) Dukungan Informatif, meliputi pemberian nasihat-nasihat, petunjuk, saran-saran dan umpan balik. House (dalam Corneil, 1998) juga menilai bahwa dukungan emosional sebagai bentuk yang paling penting dari dukungan sosial karena merupakan dasar dari ketiga bentuk dukungan yang lain. Hal ini didapatkan dari kenyataan bahwa aspek-aspek dukungan emosional seperti perasaan empati, kepedulian, dan kemampuan untuk mendengarkan merupakan dasar yang nantinya akan menggerakkan orang-orang di lingkungan seorang individu untuk memberikan aspek-aspek lain dalam dukungan sosial kepada individu yang bersangkutan.


(23)

Reaksi lain yang mungkin ditampilkan oleh orang-orang di lingkungan penyandang cacat adalah penolakan. Penolakan terhadap penyandang cacat dapat

berupa menyembunyikan penyandang cacat tersebut dari lingkungan,

membedakan hak dan kewajiban penyandang cacat tersebut dengan individu lain di lingkungannya, hingga membuang penyandang cacat tersebut baik dengan cara yang halus (menitipkan ke yayasan pembinaan orang cacat) ataupun dengan cara yang kasar (membiarkan menggelandang, dan lain-lain). Perlakuan orang-orang tersebut sangat berpengaruh terhadap penerimaan diri sang penyandang kecacatan, mengingat tidak mungkin seorang penyandang cacat dapat menerima dirinya dengan kecacatannya jika orang-orang di lingkungannya tidak menerima kehadirannya.

Berdasarkan pada uraian di atas, dapat dilihat betapa pentingnya dukungan emosional keluarga bagi penyandang cacat tetap. Dukungan emosional sangat diperlukan untuk mempersiapkan penyandang cacat untuk menghadapi realita kecacatan yang akan disandang seumur hidupnya. Dukungan emosional membuat penyadang cacat tetap menjadi lebih mampu menerima diri sehingga tidak lagi mencari jalan pintas untuk mengakhiri hidupnya atau mencoba cara-cara yang irasional yang berbahaya karena keinginan untuk sembuh dari kecacatannya. Mencermati fenomena yang telah dipaparkan, serta melihat pentingnya dukungan emosional untuk meningkatkan penerimaan diri penyandang cacat tetap, peneliti berinisiatif untuk melakukan penelitian mengenai hubungan antara dukungan emosional keluarga dengan penerimaan diri pada penyandang cacat tetap akibat gempa bumi di Kabupaten Bantul.


(24)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diambil rumusan masalah penelitian sebagai berikut :

1. Apakah terdapat hubungan antara dukungan emosional keluarga dengan penerimaan diri pada korban gempa bumi di Kabupaten Bantul yang mengalami kecacatan tetap?

2. Berapakah sumbangan efektif peran dukungan emosional keluarga terhadap penerimaan diri penyandang cacat tetap akibat gempa bumi di Kabupaten Bantul?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan atas rumusan masalah yang telah dipaparkan di atas, tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui adanya hubungan antara dukungan emosional keluarga dengan penerimaan diri penyandang cacat pada korban gempa bumi di Kabupaten Bantul yang mengalami kecacatan tetap.

2. Untuk mengetahui berapa besar sumbangan efektif dukungan emosional keluarga terhadap penerimaan diri penyandang cacat tetap akibat gempa bumi di Kabupaten Bantul.


(25)

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu manfaat secara teoritis dan manfaat secara praktis. Manfaat teoritis yang didapatkan dari peneilitian ini adalah:

1. Manfaat bagi keilmuan Psikologi untuk membuktikan adanya hubungan antara dukungan emosional keluarga dengan penerimaan diri korban gempa bumi di Kabupaten Bantul yang mengalami kecacatan permanen.

2. Manfaat bagi dunia penelitian, diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangsih pemikiran baru untuk dapat dikembangkan lebih jauh lagi dalam mengungkap hubungan antara dukungan emosional keluarga dengan penerimaan diri individu penyandang cacat tetap.

Adapun manfaat praktis yang dapat diambil dari penelitian ini adalah: 1. Bagi keluarga yang memiliki anggota keluarga seorang penyandang cacat

tetap, agar dapat memberikan perhatian dan perlakuan terutama dari segi emosional untuk mendukung anggota keluarga yang menyandang kecacatan tetap dalam mencapai penerimaan diri yang positif.

2. Bagi institusi yang melaksanakan rehabilitasi kepada penyandang cacat agar dapat merancang berbagai pendekatan khususnya yang berbasis pemberian dukungan emosional dengan pemberdayaan masyarakat agar dapat membantu penyandang cacat tetap mencapai penerimaan diri yang positif.


(26)

BAB II LANDASAN TEORI

A. Penerimaan Diri Penyandang Cacat 1. Pengertian Penerimaan Diri Penyandang Cacat

Penerimaan diri menurut Corsini (1999) adalah pengakuan atas kemampuan dan prestasi pribadi, bersama dengan pengakuan dan penerimaan keterbatasan pribadi. Kurangnya penerimaan diri secara umum dianggap sebagai ciri utama gangguan emosional. Menurut Rubin (1982), penerimaan diri merupakan sikap merefleksikan perasaan senang sehubungan dengan kenyataan pada dirinya. Hal ini sejalan dengan Pannes (dalam Hurlock, 1973), yang menyatakan bahwa penerimaan diri adalah ungkapan rasa penghargaan yang ditujukan pada kenyataan diri sendiri. Burns (1985) dan Johnson (1993) menyatakan bahwa penerimaan diri adalah tidak adanya sikap sinis mengenai diri sendiri. Chaplin (1999) mengatakan penerimaan diri adalah sikap yang pada dasarnya merasa puas dengan diri sendiri, kualitas-kualitas dan bakat-bakat sendiri, serta pengetahuan-pengetahuan akan keterbatasan-keterbatasan nya sendiri.

Sartain (1973) menyatakan bahwa penerimaan diri merupakan kemauan individu untuk menerima dirinya sebagaimana adanya dan untuk mengakui keadaan dirinya. Hal ini tidak berarti individu tersebut sudah tidak memiliki ambisi lagi, melainkan mereka masih memiliki keinginan untuk memperbaiki keadaan dirinya. Maslow (dalam Hjelle dan Ziegler, 1992) menyatakan bahwa


(27)

penerimaan diri merupakan sikap positif terhadap dirinya sendiri, orang yang menerima diri dapat menerima keadaan dirinya secara tenang, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Orang yang menerima diri bebas dari rasa bersalah, rasa malu, dan rendah diri karena keterbatasan diri serta kebebasan dari kecemasan akan adanya penilaian dari orang lain terhadap keadaan dirinya. Perls (dalam Schultz, 1991) mendefinisikan penerimaan diri berkaitan dengan orang yang sehat secara psikologis yang memiliki kesadaran dan penerimaan penuh terhadap siapa dan apa diri mereka.

Menurut Jersild (dalam Hurlock, 1974), individu yang menerima dirinya sendiri memiliki keyakinan akan standar-standar dan pengakuan terhadap dirinya tanpa terpaku pada pendapat orang lain. Orang yang menerima dirinya memiliki perhitungan akan keterbatasan dirinya serta tidak melihat dirinya sendiri secara irasional. Individu yang menerima dirinya menyadari potensi diri yang dimiliki, merasa bebas untuk menarik atau melakukan keinginan, serta menyadari kekurangan yang dimiliki tanpa menyalahkan diri sendiri.

Sheerer (dalam Cronbach, 1963) menyatakan bahwa orang yang menerima diri adalah orang yang memiliki konsep diri positif, sehingga dapat menerima keadaan-keadaan yang ada pada dirinya. Konsep diri sendiri menurut Burns (1985) adalah kesan yang ditangkap oleh seseorang mengenai diri sendiri secara menyeluruh, yang di dalamnya mencakup persepsi tentang diri sendiri, pendapat tentang gambaran diri di mata orang lain, dan pendapat tentang hal-hal yang telah dicapai. Sehingga dapat disimpulkan bahwa orang yang dapat menerima diri adalah orang yang memiliki kesan positif secara menyeluruh dalam


(28)

mempersepsikan diri, serta dalam menangkap dan mencerna pendapat orang lain mengenai dirinya sendiri. Menurut Sheerer, orang yang menerima diri percaya terhadap kemampuan diri, merasa sederajat dengan orang lain, memiliki orientasi ke luar diri, bertanggungjawab, berpendirian, menyadari keterbatasan, serta menerima sifat kemanusiaan.

Allport (dalam Hjelle dan Ziegler, 1992) menjelaskan bahwa penerimaan diri merupakan sikap yang positif, yang ketika individu menerima diri sebagai seorang manusia, maka dapat menerima keadaan emosionalnya (depresi, marah, takut, cemas, dan lain-lain) tanpa mengganggu orang lain. Ryff (dalam Kail dan Cavanaugh, 2000) mendefinisikan penerimaan diri sebagai pandangan positif tentang diri sendiri, mengakui dan menerima segi yang berbeda dari dirinya sendiri.

Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1980 tentang Usaha Kesejahteraan Sosial Penderita Cacat menyebutkan bahwa penyandang cacat adalah seseorang yang menurut ilmu kedokteran dinyatakan mempunyai kelainan fisik atau mental yang oleh karenanya merupakan suatu rintangan atau hambatan baginya untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan secara layak. Kecacatan terdiri atas cacat tubuh, cacat netra, cacat mental, cacat rungu-wicara, dan cacat bekas penyandang penyakit kronis. Definisi penyandang cacat kemudian dipersingkat dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 yang menyebutkan bahwa Penyandang Cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya. Penyandang cacat terdiri atas penyandang


(29)

cacat fisik, penyandang cacat mental, dan penyandang cacat ganda. Adapun penyadang cacat yang akan dibahas di sini adalah penyandang cacat fisik.

Coleridge (1997) mengemukakan definisi kecacatan dengan sudut pandang sosial. Definisi kecacatan yang diungkapkan oleh Coleridge terutama merujuk pada kecacatan fisik yang dilihat dari sudut pandang sosial. Menurut Coleridge, kecacatan terbagi menjadi dua, yaitu:

a. Impairment (kerusakan/kelemahan)

Impairment merujuk pada ketidaklengkapan atau ketidaknormalan yang

disertai akibat-akibatnya terhadap fungsi tertentu. Sebagai contoh adalah kelumpuhan di bagian bawah tubuh yang disertai ketidakmampuan untuk berjalan dengan kedua kaki.

b. Disability/Handicap (kecacatan/ketidakmampuan)

Disability merujuk pada kerugian atau keterbatasan dalam aktivitas

tertentu sebagai akibat faktor-faktor sosial yang hanya sedikit atau sama sekali tidak memperhitungkan orang yang menyandang kerusakan atau kelemahan tertentu dan karenanya mengeluarkan orang-orang tersebut dari arus aktivitas sosial.

Supratiknya (1995) membagi sebab-sebab cacat fisik menjadi dua, yaitu cacat bawaan atau cacat sejak lahir dan cacat non bawaan. Cacat bawaan atau cacat sejak lahir merupakan kecacatan yang terjadi sejak individu lahir karena sebelum proses kelahiran individu sudah mengalami kecacatan atau mungkin juga kecacatan disebabkan oleh proses yang salah pada saat kelahiran. Cacat non bawaan adalah cacat yang dialami oleh individu bukan sejak lahir tetapi terjadi


(30)

pada masa pertumbuhan yang disebabkan oleh penyakit atau trauma (kecelakaan atau peperangan).

Soenaryo (1995) mengklasifikasikan tingkat kecacatan fisik yang disandang seorang individu menjadi tiga tingkatan, yaitu:

a. Cacat fisik ringan

Seorang individu diklasifikasikan sebagai penyandang cacat fisik ringan apabila menyandang kecacatan, namun masih dapat mengurus dirinya sendiri dan belum memerlukan alat bantu untuk melakukan aktivitasnya. Contoh penyandang cacat ringan adalah individu yang satu tangan atau satu kakinya mengalami kelayuan, tidak dapat digunakan, atau putus. Contoh lain adalah individu yang cacat pada salah satu kakinya karena terpotong sampai dengan batas lutut.

b. Cacat fisik sedang

Seorang individu diklasifikasikan sebagai penyandang cacat fisik sedang apabila menyandang kecacatan yang mengharuskan penggunaan alat bantu seperti kruk, walker, atau kursi roda untuk dapat menjalani aktivitas sehari-harinya. Contoh individu yang menyandang cacat fisik sedang adalah individu yang mengalami kelayuhan pada dua kaki dan satu tangan, kedua kaki putus, dan sebagainya.

c. Cacat fisik berat

Seorang individu diklasifikasikan sebagai penyandang cacat fisik berat apabila menyandang kecacatan yang menyebabkan ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri. Individu yang menyandang cacat fisik berat memerlukan bantuan orang lain dalam menjalani kehidupannya serta


(31)

membutuhkan alat bantu untuk aktivitasnya. Contoh individu yang dikategorikan sebagai penyandang cacat fisik berat adalah penyandang cacat yang mengalami paraplegia, tetraplegia, dan kehilangan seluruh anggota geraknya.

Meskipun kami membahas mengenai klasifikasi tingkat kecacatan fisik, namun dalam penelitian ini, kami hanya akan melakukan penelitian mengenai hubungan antara dukungan emosional dengan penerimaan diri secara umum saja tanpa memandang mengenai tingkat kecacatan yang disandang oleh para responden.

Berdasarkan pendapat dari beberapa tokoh diatas, dapat dinyatakan bahwa penerimaan diri adalah kesan positif secara menyeluruh dalam mempersepsikan diri, serta dalam menangkap dan menerima pendapat orang lain mengenai dirinya. Orang yang menerima diri memiliki sifat percaya terhadap kemampuan diri, merasa sederajat dengan orang lain, memiliki orientasi ke luar diri, bertanggungjawab, berpendirian, menyadari akan keterbatasan diri, serta menerima sifat kemanusiaan yang dimiliki. Adapun penyandang cacat adalah orang yang mengalami ketidaklengkapan atau ketidaknormalan yang disertai akibat-akibatnya terhadap fungsi tertentu yang diakibatkan karena faktor bawaan atau faktor non bawaan. Kecacatan tetap diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu cacat ringan, cacat sedang dan cacat berat.

Berdasarkan pada paparan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa penerimaan diri pada penyandang cacat adalah kesan positif secara menyeluruh dalam mempersepsikan diri, serta dalam menangkap dan menerima pendapat orang lain mengenai keadaan diri sendiri yang dilakukan oleh orang dengan


(32)

ketidaklengkapan atau ketidaknormalan beserta akibat-akibatnya terhadap beberapa fungsi tertentu.

2. Pentingnya Penerimaan Diri Pada Penyandang Cacat

Penerimaan diri sangat mempengaruhi tingkat penyesuaian diri seseorang. Hurlock (1973) menyatakan bahwa semakin seseorang menyukai dirinya, maka orang tersebut akan semakin menerima dirinya. Semakin tinggi penerimaan diri seseorang, maka semakin tinggi pula tingkat penyesuaian dirinya. Hurlock juga menambahkan bahwa orang yang menerima dirinya akan merasa digunakan, disukai, dibutuhkan dan secara fundamental merasa berharga. Dalam hal ini terlihat sekali bahwa penerimaan diri adalah salah satu kunci untuk mencapai hidup yang bahagia. Hurlock kemudian membagi dampak dari penerimaan diri ke dalam dua kategori menurut lingkupnya yaitu:

a. Penyesuaian diri

Orang yang memiliki penyesuaian diri, mampu mengenali kelebihan dan kekurangannya. Salah satu karakteristik dari orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik adalah lebih mengenali kelebihan dan kekurangannya, biasanya memiliki keyakinan diri (self confidence). Selain itu juga lebih dapat menerima kritik, dibandingkan dengan orang yang kurang dapat menerima dirinya. Dengan demikian orang yang memiliki penerimaan diri dapat mengevaluasi dirinya secara realistis, sehingga dapat menggunakan semua potensinya secara efektif. Hal tersebut karena individu yang menerima dirinya memiliki anggapan yang realistis terhadap dirinya, sehingga akan bersikap jujur dan tidak berpura-pura.


(33)

b. Penyesuaian sosial

Penerimaan diri biasanya disertai dengan adanya penerimaan dari orang lain. Orang yang memiliki penerimaan diri akan merasa aman untuk memberikan perhatiannya pada orang lain, seperti menunjukkan rasa empati. Dengan demikian orang yang memmiliki penerimaan diri dapat mengadakan penyesuaian sosial yang lebih baik dibandingkan dengan orang yang merasa rendah diri atau merasa tidak adekuat sehingga mereka itu cenderung untuk bersikap berorientasi pada dirinya sendiri (self oriented).

Penerimaan diri sangat berhubungan erat dengan konsep diri karena penerimaan diri memiliki peranan yang penting dalam pembentukan konsep diri dan kepribadian yang positif. Orang yang memiliki penerimaan diri yang baik maka dapat dikatakan memiliki konsep diri yang baik pula, karena selalu mengacu pada gambaran diri ideal, sehingga bisa menerima gambaran dirinya yang sesuai dengan realitas.

Berdasarkan pada paparan di atas, dapat dilihat bahwa penerimaan diri sangat penting bagi penyandang cacat untuk dapat menyesuaikan diri baik di dalam dirinya sendiri, maupun di dalam pergaulan di lingkungan sosial. Orang yang dapat menerima diri niscaya akan berusaha untuk melakukan hal-hal yang realistis agar dapat menyesuaikan diri di dalam pribadi maupun di lingkungan sosial.

3. Tahap-Tahap Penerimaan Diri Pada Penyandang Cacat

Tahapan penerimaan diri yang dilalui oleh penyandang cacat bervariasi, ada yang mengalami seluruh tahapan secara berurutan, ada yang mengalami


(34)

seluruh tahapan secara tidak berurutan, bahkan ada pula yang tidak mengalami sebagian tahapan. Secara garis besar diungkapkan oleh Glaser (1966), tahapan penyesuaian diri penyandang cacat sesuai dengan skema penerimaan diri sebagai berikut:

Disclosure (Membuka Diri)

Depression (Depresi)

Acceptance (Menerima) Denial (Menolak)

Active Preparation (Persiapan Aktif) Passive Preparation (Persiapan Pasif)

Gambar I: Skema Penerimaan Diri menurut Glaser (1966)

Menurut Glaser, tahapan penerimaan diri seorang penyandang cacat tetap adalah sebagai berikut:

a. Tahap Pertama: Disclosure (Membuka Diri)

Tahap pertama dalam penerimaan diri penyandang cacat tetap adalah sang penyandang cacat mengetahui kondisi fisiknya, yaitu bahwa sekarang sang penyandang cacat tetap tersebut akan mengalami kecacatan permanen. Penyandang cacat tetap yang mengetahui keadaan fisiknya, kemudian mencari informasi-informasi mengenai bagaimana kondisi fisik yang dialami, cara menyembuhkan dirinya (dari kecacatan yang disandangnya), dan informasi-informasi lainnya.


(35)

Setelah membuka diri, seorang penyandang cacat akan mengetahui kondisi riil mengenai keadaan yang dialami, salah satunya adalah bahwa kecacatan yang dialami akan disandang seumur hidup. Kondisi ini tentunya sangat mengejutkan karena tidak ada lagi harapan untuk memiliki tubuh yang sempurna kembali seperti sedia kala. Hal ini membuat sebagian besar penyandang cacat tetap akan menjalani suatu tahap atau fase yang disebut sebagai depresi.

b. Tahap Kedua: Depression (Depresi)

Adanya kesenjangan antara harapan dengan kenyataan yang ditemui oleh penyandang cacat tetap yang mayoritas diakibatkan oleh suatu kecelakaan atau bencana membuat mereka masih berharap bahwa kondisi fisiknya akan kembali seperti sedia kala. Harapan para penyandang cacat tetap agar dapat kembali seperti sedia kala merupakan sesuatu yang wajar. Namun, karena kecacatan yang disandangnya bersifat permanen, maka harapan untuk dapat kembali seperti semula adalah hal yang mustahil.

Tidak terpenuhinya harapan untuk kembali seperti sedia kala membuat penyandang cacat tetap mengalami depresi dan tidak mau menerima kondisi fisik yang dialami. Masing-masing penyandang cacat memiliki karakteristik yang berbeda, sehingga antara penyandang cacat yang satu dengan yang lain berbeda-beda dalam melalui tahap depresi ini. Ada penyandang cacat yang melalui tahap depresi dalam jangka waktu yang singkat, ada yang melalui tahap ini dalam jangka waktu yang lama, dan bahkan ada penyandang cacat yang tidak melalui tahap depresi, namun bisa langsung menerima diri.


(36)

c. Tahap Ketiga: Acceptance or Denial (Menerima atau Menolak)

Tahap ketiga penerimaan diri penyandang cacat adalah menerima atau menolak kecacatan permanen yang disandangnya. Jika seorang penyandang cacat menolak kondisi kecacatan fisik yang dialami, maka ada beberapa kemungkinan hal yang akan dialami. Penyandang cacat mungkin akan mengalami depresi yang berkepanjangan, atau mungkin akan berusaha dengan cara apapun untuk dapat kembali seperti semula, bahkan dengan cara-cara yang irrasional, bahkan ada pula yang karena tidak mampu menerima kondisi fisik yang dialami, seorang penyandang cacat tetap nekad untuk berusaha mengakhiri hidupnya. Hal ini sesuai dengan contoh kasus yang telah disajikan di bagian pendahuluan.

Apabila seorang penyandang cacat menerima kondisi fisik yang dialami sekarang, maka ada dua kemungkinan hal yang akan dilakukan oleh penyandang cacat tersebut. Dua hal tersebut adalah:

1) Active Preparation (Persiapan Aktif), yaitu bersiap-siap menghadapi kecacatan yang disandangnya dengan cara aktif dalam melakukan latihan kemandirian, lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, aktif dalam bersosialisasi, dan lain-lain. Hal yang membedakan antara active preparation dengan passive

preparation penyandang cacat yang melakukan active preparation berusaha

untuk melakukan persiapan (seperti belajar menggunakan kursi roda, mengikuti fisioterapi, mengikuti terapi okupasi) secara aktif, tidak tergantung pada orang-orang di lingkungannya.

2) Passive Preparation (Persiapan Pasif), yaitu juga melakukan persiapan untuk menghadapi kecacatan yang harus disandang seumur hidup namun secara


(37)

pasif. Perbedaan yang ada jika dibandingkan dengan penyandang cacat yang melakukan active preparation adalah penyandang cacat yang melakukan

passive preparation masih sangat tergantung oleh orang-orang yang ada di

lingkungannya untuk mau melakukan persiapan, seperti dalam mengikuti fisioterapi harus diingatkan oleh keluarganya, kurang inisiatif untuk belajar menggunakan kursi roda, dan sebagainya.

Ahli lain yang menjabarkan mengenai tahapan emosional penyandang cacat sejak dari tahap krisis hingga tahap penerimaan diri adalah LeMaistre (1999). LeMaistre menyatakan ada enam tahap yang harus dilalui oleh seorang penyandang cacat hingga mampu menerima diri. Tahap-tahap tersebut dijabarkan sebagai berikut:

a. Tahap Krisis

Pada tahap krisis, penyandang cacat merasa menderita dan sangat ketakutan. Secara fisik maupun psikologis, penyandang cacat akan mengalami penurunan kemampuan dalam merespons orang lain, disorientasi, dan mengalami peningkatan kecemasan. Selama masa krisis, dukungan emosional sangat dibutuhkan oleh penyandang cacat. Tahap krisis dilalui oleh hampir semua pasien penyandang cacat dengan energi dan perhatian yang difokuskan pada persiapan fisik dalam menanggapi sakit yang dideritanya, sehingga bertahan adalah perhatian utama. Selain itu, pasien penyandang cacat dan keluarganya harus mengatasi rasa takut yang diakibatkan oleh ketidakjelasan nasib atau masa depannya.


(38)

b. Tahap Isolasi

Ketika sifat akut penyakit telah berkurang, namun pemulihan total tidak terjadi dan kecacatan menetap, penyandang cacat menyadari bahwa ada begitu banyak ketidakpastian mengenai masa depan. Penyandang cacat mengalami kegelisahan, sehingga pada malam hari mengalami kesulitan tidur. Ketidakpastian masa depan menjadi salah satu serangan besar dalam diri penyandang cacat.

Kecemasan penyandang cacat sering mengakibatkan kekakuan dalam berhubungan dengan orang lain dan diri sendiri, sehingga penyandang cacat cenderung mengisolasi diri. Hal ini diakibatkan oleh kepercayaan pasien bahwa tidak ada orang yang dapat mengerti mengenai kesedihan dan kehilangan yang dialaminya.

Keluarga sang penyandang cacat mungkin akan merasa marah, takut, bahkan jijik dengan situasi yang dialami oleh penyandang cacat tersebut. Pada saat itu, baik penyandang cacat maupun keluarganya kembali ke dalam pikirannya masing-masing dan kini dihantui oleh pengetahuan bahwa hidup mereka tidak akan sama seperti sebelumnya lagi. Pada tahap isolasi komunikasi terbuka sangat penting. Kedua belah pihak tidak boleh saling menyalahkan. Komunikasi harus dilakukan dengan intensif untuk memecahkan isolasi.

c. Tahap Anger/Kemarahan

Setelah mengetahui keadaan fisik yang sebenarnya, penyandang cacat merasa marah, cemas, tidak berdaya, merasa bahwa apa yang terjadi pada dirinya sangat tidak adil, sehingga secara emosional penyandang cacat akan marah, sering kali target kemarahan adalah pada dirinya sendiri. Kemungkinan yang paling


(39)

berbahaya ketika hal ini terjadi adalah penyandang cacat tersebut akan melakukan percobaan bunuh diri.

Ada dua alasan yang membuat penyandang cacat menjadikan dirinya sendiri sebagai target kemarahannya. Pertama, tidak mungkin untuk marah kepada nasib, karena tidak ada lawan eksternal. Kedua, kecacatan yang disandangnya melahirkan rasa tidak berdaya. Anggapan bahwa kecacatan yang sekarang disandangya tidak dapat disembuhkan dan itu semua adalah kesalahan penyandangnya sendiri.

d. Tahap Rekonstruksi

Tahap ini dialami oleh penyandang cacat yang telah merasa jauh lebih kuat secara fisik dan telah memiliki cukup waktu untuk memulai suatu keterampilan hidup baru. Pada tahap ini biasanya rasa aman mulai tumbuh, serta suasana hati lebih bahagia karena penyandang cacat sudah mulai berusaha untuk menguasai kemampuan-kemampuan baru untuk kehidupannya.

Hal-hal yang direkonstruksi bukanlah hidup seperti yang sebelumnya, namun perasaan bahwa diri penyandang cacat tersebut adalah seseorang yang utuh entitas dan kohesif. Rekonstruksi ini memiliki beberapa aspek, seperti keterampilan baru, dan yang paling penting adalah kekuatan emosional.

e. Tahap Intermitten Depression / Depresi Berulang

Setelah semua tampak lebih cerah bagi penyandang cacat, maka akan ada keinginan untuk melakukan jeda dalam melakukan aktivitas-aktivitas baru yang kini dilakukan. Ketika masa jeda atau masa istirahat dilakukan oleh penyandang cacat, maka akan muncul bayangan mengenai hal-hal yang dahulu sebelum


(40)

menyandang kecacatan dilakukannya dengan lebih mudah. Bayangan-bayangan tersebut dapat menghasilkan kesedihan dan keputusasaan, apalagi jika kecacatan yang disandangya sekarang telah mengakibatkan banyak hal yang kurang menyenangkan terjadi dalam kehidupan sang penyandang cacat tersebut.

Depresi berulang menggabungkan dua perasaan, yaitu kesadaran akan hilangnya fungsi yang biasa dilakukan sebelum menyandang kecacatan, dan hal yang disebut sebagai phantom psyche, yaitu bayangan-bayangan atau khayalan-khayalan yang muncul seperti bagaimana kehidupan yang seharusnya dilalui sekarang jika tidak menyandang cacat, atau bagaimana jika sekarang masih menjalani hidup sebagai manusia normal. Keinginan-keinginan untuk kembali normal membuat penyandang cacat mengalami depresi yang berulang-ulang. Hal ini terjadi karena sering kali pada saat senggang, bayangan-bayangan dan keinginan-keinginan tersebut muncul kembali dan berulang-ulang.

f. Tahap Renewal/Pembaharuan

Ketika masa kesedihan, kehampaan, penyesalan, dan keinginan yang sangat kuat untuk sembuh kembali telah hilang, telah menguasa teknik menggunakan kursi roda, dan telah bangga dengan prestasi yang didapatkan, yaitu dapat menjalani kehidupan mandiri meski menyandang kecacatan, seorang penyandang cacat mulai memasuki tahap renewal. Hal yang paling terlihat dalam tahap ini adalah adanya perubahan gaya hidup dan harus adanya keterampilan-keterampilan baru.

Penyandang cacat yang telah masuk tahap renewal, mampu menerima keadaan yang dihadapinya sekarang. Penyandang cacat telah menguasai


(41)

keterampilan-keterampilan untuk dapat mandiri dengan kondisinya sekarang, sehingga tidak lagi merasa cemas dengan masa depannya. Secara emosional, penyandang cacat juga lebih stabil.

Berdasarkan pada teori-teori yang diungkapakan oleh para ahli mengenai tahapan-tahapan emosional yang dilalui oleh penyandang cacat sebagaimana dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tahapan emosional seorang penyandang cacat untuk menuju kepada penerimaan diri sangat berbeda-beda pada masing-masing orang. Ada orang yang melalui seluruh tahapan emosional secara berurutan, ada orang yang melalui seluruh tahapan emosional secara tidak berurutan, dan ada pula orang yang melalui sebagian saja tahapan emosional tersebut. Tahapan-tahapan emosional yang secara teoretis dilalui oleh seorang penyandang cacat terdiri atas enam tahapan, yaitu tahap krisis, tahap isolasi, tahap kemarahan, tahap rekonstruksi, tahap depresi berulang, dan tahap pembaharuan (yang di dalamnya, penyandang cacat yang bersangkutan telah mampu menerima dirinya).

4. Ciri-Ciri Individu yang Menerima Dirinya

Penerimaan diri yang dibentuk oleh seorang individu, menurut Schultz (1991) merupakan suatu hasil dari tinjauan pada seluruh kemampuan diri pribadi individu tersebut. Hal ini diperjelas oleh Jersild (1963) yang menyatakan bahwa terbentuknya pengertian tentang arti positif dari kenyataan mengenai kemampuan-kemampuan diri sendiri diperoleh dengan cara meninjau kemampuan-kemampuan tersebut berdasarkan pada nilai-nilai sosial yang sudah ada.


(42)

Sheerer (dalam Thompson, Gardiner, dan Di Vesta, 1959) menyebutkan bahwa orang yang menerima dirinya memiliki sejumlah nilai dan patokan dalam berperilaku. Nilai-nilai tersebut akan membentuk keutuhan pribadi orang termasuk dalam menerima keadaan dirinya. Sheerer (dalam Cronbach, 1963) mengungkapkan delapan ciri orang yang menerima dirinya, yaitu:

a. Memiliki keyakinan akan kemampuannya untuk menghadapi kehidupan. Yakin akan kemampuannya untuk menghadapi kehidupan di sini dapat berupa percaya terhadap dirinya sendiri, lebih melihat kelebihan daripada kekurangan yang ada dalam dirinya, serta puas menjadi diri sendiri. Orang yang menerima dirinya akan berpandangan optimis terhadap masa depan, sehingga apa yang ada di depannya akan nampak cerah.

b. Menganggap dirinya berharga sebagai seorang manusia yang sederajat dengan orang lain.

Orang yang menerima dirinya akan memandang bahwa harga dirinya sama dengan harga diri orang lain di sekitarnya. Hal ini membuat orang yang menerima dirinya merasa memiliki kedudukan yang sama dalam hak dan kewajiban dengan orang lain di sekitarnya.

c. Tidak menganggap dirinya abnormal atau aneh dan tidak mengharapkan orang lain menolak dirinya.

Menerima diri berarti menganggap dirinya sama dengan orang lain, bukan merupakan suatu anomali yang harus dijauhkan dari komunitas normal. Orang dengan penerimaan diri yang baik berarti mampu menempatkan diri sebagai


(43)

manusia seutuhnya tanpa memandang dirinya sebagai suatu hal yang ditolak oleh orang lain.

d. Tidak malu atau hanya senantiasa memperhatikan dirinya sendiri.

Orang dengan penerimaan diri yang baik akan memiliki orientasi diri lebih ke luar daripada ke dalam dirinya sendiri. Sikap menolong, ramah kepada orang lain, dan lain-lain dilakukan oleh orang dengan penerimaan diri yang baik. Hal ini akan membantu orang tersebut untuk lebih diterima secara sosial oleh orang lain. e. Berani memikul tanggung jawab terhadap perilakunya.

Orang dengan penerimaan diri yang baik berani memikul tanggung jawab atas akibat dari apa yang telah dia lakukan. Orang dengan penerimaan diri yang baik cenderung berani mengakui kesalahan yang diperbuat dan berani mengakui suatu hal yang memang menjadi haknya.

f. Menggunakan norma dirinya sendiri dalam berperilaku.

Orang dengan penerimaan diri yang baik cenderung untuk lebih mengikuti standar dirinya sendiri daripada bersikap conform terhadap tekanan sosial. Orang dengan penerimaan diri yang baik cenderung menganggap dirinya memiliki hak untuk memiliki ide, aspirasi dan pengharapan sendiri.

g. Menerima pujian dan celaan secara objektif.

Orang dengan penerimaan diri yang baik cenderung mampu melakukan penilaian yang realistik terhadap kelebihan dan kekurangannya. Hal ini juga terjadi dalam menerima pujian dan celaan. Orang dengan penerimaan diri yang baik cenderung akan bersikap asertif.


(44)

h. Tidak menyalahkan dirinya akan keterbatasan yang dimilikinya atau mengingkari kelebihannya.

Orang dengan penerimaan diri yang baik cenderung untuk menerima dirinya dan tidak menyangkal impuls emosinya. Orang dengan penerimaan diri yang baik cenderung untuk menganggap wajar kekurangan atau keterbatasan dirinya daripada orang lain, seperti ketika orang lain juga memiliki keterbatasan.

Berdasarkan pada teori mengenai ciri-ciri individu yang menerima dirinya seperti yang telah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa orang yang dapat menerima dirinya memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (a). Yakin atas kemampuannya dalam menghadapi kehidupan; (b). Menganggap dirinya sederajat dengan orang lain; (c). Menganggap dirinya normal dan tidak mengharapkan orang lain menolak dirinya; (d). Berorientasi ke luar; (e). Bertanggungjawab terhadap perbuatan yang telah dilakukan; (f). Menggunakan norma-norma diri sendiri dalam berperilaku; (g). Menerima celaan dan pujian secara objektif; (h). Tidak menyalahkan diri sendiri atas keterbatasan dan ketidakberdayaan yang dimiliki.

5. Aspek-Aspek Penerimaan Diri

Menurut Jersild (dalam Hurlock, 1974), individu yang menerima dirinya sendiri memiliki keyakinan akan standar-standar dan pengakuan terhadap dirinya tanpa terpaku pada pendapat orang lain. Orang yang menerima dirinya memiliki perhitungan akan keterbatasan dirinya serta tidak melihat dirinya sendiri secara irasional. Individu yang menerima dirinya menyadari potensi diri yang dimiliki,


(45)

merasa bebas untuk menarik atau melakukan keinginan, serta menyadari kekurangan yang dimiliki tanpa menyalahkan diri sendiri.

Secara rinci, Jersild (1963) mengemukakan beberapa poin mengenai aspek penerimaan diri sebagai berikut :

a. Persepsi mengenai diri dan sikap terhadap penampilan realistis.

Individu yang memiliki tingkat penerimaan diri yang baik akan berpikir lebih realistik tentang penampilan dan bagaimana ia terlihat dalam pandangan orang lain. Ini bukan berarti individu tersebut mempunyai gambaran sempurna tentang dirinya, melainkan individu tersebut dapat melakukan sesuatu dan berbicara secara objektif mengenai dirinya yang sebenarnya.

b. Sikap terhadap kelemahan dan kekutan diri sendiri dan orang lain realistis. Individu yang memiliki tingkat penerimaan diri yang baik akan memandang kelemahan dan kekuatan dalam dirinya dengan lebih baik daripada individu yang tidak memiliki penerimaan diri. Individu tersebut kurang menyukai jika harus menyia-nyiakan energinya untuk menjadi hal yang tidak mungkin, atau berusaha menyembunyikan kelemahan dari dirinya sendiri maupun orang lain. Ia pun tidak berdiam diri dengan tidak memanfaatkan kemampuan yang dimilikinya. Sebaliknya, akan menggunakan bakat yang dimilikinya dengan lebih leluasa. Individu yang bersikap baik dalam menilai kelemahan dan kekuatan dirinya akan bersikap baik pula dalam menilai kelemahan dan kekuatan orang lain.

c. Merasa sejajar dengan orang lain.

Seseorang individu yang terkadang merasakan infeoritas atau disebut dengan infeority complex adalah seseorang individu yang tidak memiliki sikap


(46)

penerimaan diri dan hal tersebut akan mengganggu penilaian yang realistik atas dirinya. Adapun orang yang menerima diri akan cenderung untuk merasa sejajar dengan orang lain dan memandang diri secara realistis.

d. Respon realistis atas penolakan dan kritikan

Individu yang memiliki penerimaan diri tidak menyukai kritikan, namun demikian ia mempunyai kemampuan untuk menerima kritikan bahkan dapat mengambil hikmah dari kritikan tersebut. Ia berusaha untuk melakukan koreksi atas dirinya sendiri, ini merupakan hal yang penting dalam perkembangannya menjadi seorang individu dewasa dan dalam mempersiapkan diri untuk menghadapi masa depan individu yang tidak memiliki penerimaan diri justru menganggap kritikan sebagai wujud penolakan terhadapnya. Yang penting dalam penerimaan diri yang baik adalah mampu belajar dari pengalaman dan meninjau kembali sikapnya yang terdahulu untuk memperbaiki diri.

e. Memiliki keseimbanganantara “real self” dan “ideal self

Individu yang memiliki penerimaan diri akan mempertahankan harapan dan tuntutan dari dalam dirinya dengan baik dalam batas-batas kemungkinan. Individu ini mungkin memiliki ambisi yang besar, namun tidak mungkin untuk mencapainya walaupun dalam jangka waktu yang lama dan menghabiskan energinya. Oleh karena itu, untuk memastikan ia tidak akan kecewa saat nantinya, ia menyeimbangkan antara ideal self dengan real self.

f. Menerima orang lain.

Apabila seorang individu menyanyangi dirinya, maka akan lebih memungkinan baginya untuk menyayangi orang lain. Sebaliknya, apabila seorang


(47)

individu merasa benci pada dirinya, maka akan lebih memungkinkan untuk merasa benci pada orang lain. Terciptanya hubungan timbal balik antara penerimaan diri dan penerimaan orang lain akan berakibat individu yang memiliki penerimaan diri merasa percaya diri dalam memasuki lingkungan sosial.

g. Berusaha untuk menuruti kehendak, dan menonjolkan diri.

Menerima diri dan menuruti diri merupakan dua hal yang berbeda. Apabila seorang individu menerima dirinya, hal tersebut bukan berarti ia memanjakan dirinya, akan tetapi, ia akan menerima bahkan menuntut kelayakan dalam kehidupannya dan tidak akan mengambil yang bukan haknya dalam mendapatkan posisi yang menjadi incaran dalam kelompoknya. Individu yang menerima dirinya tidak akan membiarkan orang lain selangkah lebih maju darinya dan menggagu langkahnya. Individu dengan penerimaan diri menghargai harapan orang lain dan meresponnya dengan bijak, memiliki pendirian yang terbaik dalam berfikir, merasakan dan membuat pilihan, serta tidak hanya menjadi pengikut setia inisiatif orang lain.

h. Spontanitas dan menikmati hidup

Individu dengan penerimaan diri yang baik mempunyai lebih banyak keleluasaan untuk menikmati hal-hal dalam hidupnya, namun terkadang ia kurang termotivasi untuk melakukan sesuatu yang rumit. Individu tersebut tidak hanya leluasa menikmati sesuatu yang dilakukannya, akan tetapi juga leluasa untuk menolak atau menghindari sesuatu yang tidak ingin dilakukannya.


(48)

i. Aspek moral penerimaan diri: Jujur dalam menerima diri

Individu dengan penerimaan diri yang baik bukanlah individu yang berbudi baik dan bukan pula fleksibelitas dalam pengaturan hidupnya. Ia memiliki kejujuran untuk menerima dirinya sebagai apa dan untuk apa ia nantinya, dan ia tidak menyukai kepura-puraan. Individu ini dapat secara terbuka mengakui dirinya sebagai individu yang pada suatu waktu dalam masalah, merasa cemas, ragu, dan bimbang tanpa harus menipu diri dan orang lain.

j. Sikap terhadap penerimaan diri positif

Menerima diri merupakan hal peting dalam kehidupan seseorang. Individu yang dapat menerima beberapa aspek hidupnya, mungkin mengalami keraguan dan kesulitan dalam menghormati orang lain. Hal tersebut merupakan arahan agar dapat menerima dirinya. Individu dengan penerimaan diri membangun kekuatannya untuk menghadapi kelemahan dan keterbatasaannya. Banyak hal dalam perkembangan seorang individu yang belum sempurna, bagi seseorang individu akan lebih baik jika ia dapat menggunakan kemampuannya dalam perkembangan hidupnya.

Ahli lain, yaitu Sheerer (dalam Cronbach, 1963) mengungkapkan adanya tujuh aspek penerimaan diri, antara lain:

a. Percaya terhadap kemampuan diri

Individu yang menerima diri cenderung mempunyai kemampuan untuk menghadapi kehidupan sekarang dan yang akan datang, sehingga individu tersebut percaya bahwa kemampuan yang dimilikinya dapat membantu dirinya menghadapi kehidupannya, baik sekarang maupun yang akan datang.


(49)

b. Perasaan sederajat

Individu yang menerima diri menganggap diri sendiri berharga sebagai manusia yang sama derajatnya dengan orang lain. Perasaan ini akan mengarahkan individu tersebut untuk merasa sama seperti orang lain, tidak merasa dirinya menyimpang ataupun istimewa.

c. Orientasi ke luar diri

Individu yang menerima diri akan merasa tidak malu atau self conscious dalam berperilaku di lingkungannya. Hal ini akan membuat individu yang bersangkutan lebih memperhatikan dan toleran terhadap orang lain.

d. Bertanggungjawab

Individu yang menerima diri cenderung berani memikul tanggung jawab atas perilaku yang dilakukannya.

e. Berpendirian

Individu yang menerima diri akan cenderung lebih suka mengikuti standarnya sendiri daripada bersikap conform terhadap standard-standard yang diberlakukan oleh orang lain.

f. Menyadari keterbatasan

Individu yang menerima diri tidak menyalahkan diri atas keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki atau mengingkari kelebihan-kelebihan yang dimiliki. g. Menerima sifat kemanusiaan

Individu yang menerima diri tidak menyangkal impuls atau emosinya, atau merasa bersalah karenanya.


(50)

Setelah membandingkan antara dua teori mengenai aspek-aspek penerimaan diri di atas, penulis lebih cenderung menggunakan aspek-aspek penerimaan diri menurut Sheerer yang berisi: (a) Percaya terhadap kemampuan diri; (b) Perasaan sederajat; (c) Orientasi ke luar diri; (d) Bertanggungjawab; (e) Berpendirian; (f) Menyadari keterbatasan; (g) Menerima sifat kemanusiaan. Aspek-aspek dari Sheerer ini dipilih karena telah mewakili aspek-aspek yang ada pada teori yang lain, serta lebih mudah dioperasionalkan.

6. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Diri

Menurut Hurlock (1974), faktor-faktor yang mempengaruhi dalam penerimaan diri adalah :

a. Adanya pemahaman tentang diri sendiri.

Pemahaman tentang diri timbul karena adanya kesempatan seseorang untuk mengenali kemampuan dan ketidakmampuannya. Individu yang dapat memahami dirinya sendiri tidak akan hanya tergantung dari kemampuan intelektualnya saja, tetapi juga pada kesempatannya untuk penemuan diri sendiri, maksudnya semakin orang dapat memahami dirinya, maka semakin ia dapat menerima dirinya.

b. Adanya hal yang realistik

Hal yang realistik dalam hal ini timbul jika individu menentukan sendiri harapannya dengan disesuaikan dengan pemahaman dengan kemampuannya, dan bukan diarahkan oleh orang lain dalam mencapai tujuannya dengan memiliki harapan yang realistik, maka akan semakin besar kesempatan tercapainya harapan


(51)

itu, dan hal ini akan menimbulkan kepuasan diri yang merupakan hal penting dalam penerimaan diri.

c. Tidak adanya hambatan di dalam lingkungan

Ketika seseorang sudah memiliki harapan yang realistik, namun jika lingkungan disekitarnya tidak memberikan kesempatan atau bahkan menghalangi, maka harapan individu tersebut akan sulit tercapai. Sehingga, agar seseorang dapat menerima dirinya, maka hambatan-hambatan di dalam lingkungannya harus dihilangkan.

d. Sikap-sikap anggota masyarakat di lingkungan individu yang bersangkutan menyenangkan

Sikap-sikap anggota masyarakat di lingkungan individu yang

bersangkutan sangat mempengaruhi penerimaan diri individu yang bersangkutan. Hal yang harus menjadi perhatian adalah tidak mungkin seorang individu mampu menerima dirinya apabila sikap-sikap anggota masyarakat di lingkungannya sangat buruk terhadap individu yang bersangkutan.

Sikap anggota masyarakat di lingkungan individu yang bersangkutan (dalam hal ini adalah penyandang cacat) yang memberikan dukungan-dukungan terhadap individu yang bersangkutan memiliki peranan penting dalam pembentukan sikap penerimaan diri.

e. Tidak adanya gangguan emosional yang berat

Karakteristik orang yang sehat mental salah satunya adalah tidak mengalami gangguan emosional berat. Tidak adanya gangguan emosional yang


(52)

berat akan menciptakan kondisi individu dapat bekerja sebaik mungkin dan merasa bahagia.

f. Pengaruh keberhasilan yang dialami, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Keberhasilan yang dialami seorang individu akan dapat menimbulkan penerimaan diri. Sebaliknya, jika yang dialami individu adalah kegagalan, maka individu yang bersangkutan akan menolak dirinya sendiri.

g. Identifikasi dengan orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik

Individu yang mengidentifikasikan dengan individu yang memiliki penyesuaian diri yang baik akan dapat membangun sikap-sikap yang positif terhadap diri sendiri, dan bertingkah laku dengan baik sehingga menimbulkan penilaian diri yang baik dan penerimaan diri yang baik. Identifikasi dengan orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik akan menambah penerimaan sosial pula.

h. Adanya perspektif diri yang luas

Memiliki perspektif diri yang luas yaitu memperhatikan pandangan orang lain tentang diri. Perspektif yang luas ini diperoleh melalui pengalaman dan belajar. Usia dan tingkat pendidikan memegang peranan penting bagi seseorang untuk mengembangkan perspektif dirinya.

i. Pola asuh dimasa kecil yang baik

Pola asuh yang dialami oleh seorang individu pada masa kecilnya akan sangat berpengaruh terhadap tingkat penerimaan diri yang dimiliki. Seorang anak yang diasuh secara demokratis akan cenderung berkembang sebagai individu yang dapat menghargai dirinya sendiri.


(53)

j. Konsep diri yang stabil

Individu yang memiliki konsep diri yang stabil akan dapat mengaktualisasikan diri di hadapan orang lain karena memiliki kepercaan diri yang tinggi. Sedangkan, individu yang tidak memiliki konsep diri yang stabil, akan sulit menunjukkan pada orang lain, siapa ia yang sebenarnya, sebab ia sendiri ambivalen terhadap dirinya.

Ahli lain, Jersild (1963), menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan diri seseorang antara lain:

a. Usia

Menurut Jersild (1963), penerimaan diri individu cenderung sejalan dengan usia individu tersebut. Semakin matang dan dewasa seorang individu, semakin tinggi pula tingkat penerimaan dirinya.

b. Pendidikan

Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka semakin besar pula kesempatan individu tersebut dalam mengembangkan potensi yang dimiliki, dan kemampuan diri yang dimiliki, sehingga semakin tinggi kepuasan diri yang dapat diraih. Dengan semakin tingginya kepuasan diri yang didapatkan, otomatis tingkat penerimaan diri akan semakin tinggi.

c. Keadaan Fisik

Menurut Fuhrmann (1990), keadaan fisik seseorang akan mempengaruhi tingkat penerimaan diri. Remaja cenderung lebih mempertimbangkan keadaan fisik mereka daripada orang yang lebih tua dalam menerima diri, dan wanita lebih mempertimbangkan keadaan fisik mereka dalam menerima diri daripada laki-laki.


(54)

Penelitian yang dilakukan oleh Institute of Child Welfare, University of California mendapatkan data dari 93 anak laki-laki dan 83 anak perempuan. Hasil penelitian itu menyebutkan bahwa 29 orang anak laki dari total 93 responden anak laki-laki merasa terganggu oleh keadaan fisiknya, dan lima orang anak laki-laki-laki-laki mengalami masalah berkaitan dengan penyesuaian diri yang dikarenakan oleh kondisi fisiknya. Hasil penelitian dari 83 responden anak perempuan menyebutkan bahwa 38 orang anak perempuan merasa terganggu oleh keadaan fisiknya, dan 12 orang responden mengaku mengalami masalah penyesuaian diri yang dikarenakan oleh keadaan fisik.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Okoro dkk. (2009), prevalensi

serious psychological distress/SPD (tekanan psikologis serius) yang dialami oleh

orang dewasa yang menyandang kecacatan hampir tujuh kali lebih banyak dibandingkan dengan orang dewasa yang tidak mengalami kecacatan (14,1% pada orang dewasa penyandang cacat dan 1,8% pada orang dewasa normal).

d. Inteligensi

Faktor inteligensi juga mempengaruhi tingkat penerimaan diri yang dilakukan oleh seseorang. Orang dengan inteligensi yang lebih tinggi akan cenderung memiliki lebih banyak kemampuan dibandingkan dengan orang dengan inteligensi yang lebih rendah. Hal ini akan berimbas pada kepuasan individu yang lebih tinggi, sehingga akan lebih mudah dalam menerima diri.

e. Pola Asuh Orang Tua

Hurlock (1974) menyebutkan bahwa pola asuh demokratik membuat anak merasa dihargai sebagai manusia dalam keluarga. Anak yang merasa dihargai


(55)

sebagai manusia cenderung akan menghargai dirinya sendiri dan memperkirakan sendiri tanggung jawab yang harus dipikulnya, sehingga ia akan mengendalikan perilakunya sendiri dengan kerangka aturan yang ia buat dengan berpedoman pada norma-norma yang ada di masyarakat.

f. Dukungan Sosial

Salah satu faktor faktor yang paling penting dalam membuat seseorang meneriman dirinya, menurut Hurlock (1973) adalah dukungan sosial, terutama dari orang-orang yang berpengaruh bagi individu tersebut. Penerimaan diri juga lebih mudah dilakukan oleh orang-orang yang mendapat perlakuan yang lebih baik dan menyenangkan. Penelitian Okoro dkk, (2009) menemukan bahwa kurangnya dukungan sosial membuat orang dewasa penyandang cacat lebih rentan mengalami serious psychological distress (tekanan psikologis serius) jika dibandingkan dengan orang dewasa penyandang cacat yang mendapatkan dukungan sosial dari orang-orang di sekitarnya.

Dukungan sosial memiliki beberapa aspek. House (dalam Smet, 1994) memaparkan aspek-aspek dukungan sosial sebagai berikut:

1) Dukungan emosional

Dukungan emosional mencakup ungkapan empati, kepedulian, dan perhatian terhadap orang yang bersangkutan. Dukungan emosional akan nampak dari kualitas dan kuantitas interaksi yang dilakukan oleh orang-orang di lingkungan dengan penyandang cacat yang bersangkutan. Semakin baik kualitas dan semakin banyak kuantitas interaksi antara penyandang cacat yang bersangkutan dengan orang-orang di lingkungannya, maka semakin besar pula


(1)

sekitarnya selayaknya seorang individu pada umumnya. Bentuk-bentuk dukungan emosional yang paling signifikan terhadap penerimaan diri penyandang cacat tetap menurut hasil penelitian ini antara lain keluarga memahami kondisi yang dialami, keluarga ikut merasakan apa yang dialami, keluarga ada dan menemani selama responden menjalani pengobatan, keluarga memperhatikan kegiatan yang dilakukan, serta saudara-saudara memberikan inspirasi seperti menginformasikan peluang-peluang yang dapat digunakan untuk meraih impiannya, dan memberi nasehat bahwa banyak orang yang memiliki keterbatasan yang lebih berat daripada yang dialaminya namun memiliki ketabahan yang luar biasa.

Penyandang cacat tetap yang banyak mendapatkan dukungan emosional dari keluarganya akan menilai bahwa dirinya memiliki harga diri yang sama dengan orang lain, serta merasakan bahwa dirinya tetap dianggap sama seperti orang lain dan tidak dibeda-bedakan. Hal ini membuat penyandang cacat tetap yang bersangkutan memiliki pandangan positif yang menyeluruh terhadap dirinya, bahwa dirinya memiliki kekurangan, namun juga masih memiliki kelebihan. Pandangan positif inilah yang menandakan bahwa individu untuk menerima dirinya. Hal ini tercermin dalam hasil penelitian ini, yaitu bahwa semakin tinggi dukungan emosional keluarga yang didapatkan oleh seorang penyandang cacat, diikuti dengan semakin tinggi pula penerimaan diri penyandang cacat yang bersangkutan.

Adapun bentuk-bentuk penerimaan diri yang dilakukan oleh para responden menurut penelitian ini antara lain telah dapat menemukan potensi diri yang dapat dikembangkan, tidak lagi menangis ketika merasakan kesedihan, lebih


(2)

memperhatikan dan peka terhadap orang lain daripada sibuk memperhatikan dirinya sendiri, tidak menimpakan kesalahan yang diperbuat kepada orang lain, serta memiliki keyakinan yang teguh ketika berbeda dengan orang lain.

Sebaliknya, individu yang kurang mendapatkan dukungan emosional akan cenderung sulit menerima realita yang dialami, sehingga akan berimbas pada kesulitan dalam menerima diri. Sebagaimana diungkap oleh penelitian Okoro dkk, (2009), yang menemukan bahwa individu penyandang cacat yang kurang mendapatkan dukungan sosial secara umum dan dukungan emosional secara khusus, akan lebih rentan mengalami serious psychological distress (tekanan psikologis serius) jika dibandingkan dengan individu penyandang cacat yang lebih banyak mendapatkan dukungan dari orang-orang di sekitarnya. Berikutnya, individu yang mengalami serious psychological distress akan sulit menerima realita yang dialami, sehingga akan lebih sulit dalam menerima diri.

Penyandang cacat tetap yang kurang mendapatkan dukungan emosional, terutama dari keluarganya akan cenderung merasa dirinya berbeda dengan orang lain, menilai dirinya kurang berharga jika dibandingkan dengan orang lain, dan juga sering menolak keadaan yang dialami saat ini. Jika hal ini terjadi berkelanjutan, maka penyandang cacat tetap tersebut akan mengalami serious psychological distress. Tekanan psikologis yang terus menerus dialami oleh penyandang cacat tetap tersebut akan mengakibatkan penolakan terhadap dirinya sendiri.

Meskipun dalam penelitian ini didapatkan bahwa dukungan emosional keluarga memiliki hubungan yang signifikan dengan penerimaan diri penyandang


(3)

cacat tetap, namun ternyata sumbangan efektif dukungan emosional keluarga terhadap penerimaan diri penyandang cacat tetap tergolong kecil, yaitu 27,8%. Hal ini dikarenakan penerimaan diri penyandang cacat tetap dipengaruhi oleh banyak faktor-faktor lain, seperti pendapat Jersild (1963) bahwa aspek-aspek lain dari dukungan sosial yang berupa dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dan dukungan informatif juga mempengaruhi tingkatan penerimaan diri seseorang. Selain itu, ada beberapa faktor lain seperti pola asuh orang tua, tingkatan inteligensi, keadaan fisik, inteligensi dan usia yang juga berpengaruh terhadap tingkatan penerimaan diri seseorang.

Hal lain yang mempengaruhi tingkatan penerimaan diri penyandang cacat tetap yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah faktor budaya, mengingat sampel penelitian yang hidup dalam lingkungan budaya Jawa yang menekankan

sifat “nrimo” yang menurut Koentjaraningrat (1994) merupakan suatu bentuk

menyerah kepada takdir karena merasa tidak berdaya. Hal ini membuat orang-orang yang memiliki latar belakang lingkungan budaya Jawa memiliki toleransi

yang lebih tinggi terhadap stress. Sifat “nrimo” ini juga membuat orang-orang dari

lingkungan budaya Jawa lebih mudah dalam melakukan penyesuaian diri dan

penyesuaian sosial (Sya’roni, 2008).

Koentjaraningrat (1994) mengatakan bahwa sifat “nrimo” yang dimiliki oleh

orang yang memiliki latar belakang lingkungan budaya Jawa lebih mampu menerima perubahan, meskipun penerimaanya sering kali berupa penerimaan

secara pasif. Sifat “nrimo” ini pula yang membuat orang dengan latar belakang


(4)

adalah kehendak Tuhan, sehingga harus dijalani dengan sabar. Hal ini membuat para penyandang cacat tetap akibat gempa bumi di Kabupaten Bantul merasa bahwa kelanjutan hidupnya setelah menyandang kecacatan tetap sudah diatur oleh Tuhan, sehingga mereka tidak terlalu cemas dalam memikirkan hidup mereka selanjutnya.

Sifat lain yang dimiliki oleh orang dengan latar kebudayaan Jawa adalah

“syukur” atau menurut Koentjaraningrat (1994) adalah selalu bersyukur atas apa

yang telah didapatkan. Sifat syukur ini membuat orang dengan latar kebudayaan Jawa lebih mudah menerima kenyataan yang terjadi, karena mereka berpikir bahwa seburuk apapun kondisi yang dialami, masih harus disyukuri, karena masih banyak orang lain yang mengalami kondisi yang lebih buruk lagi.

Keterbatasan dalam penelitian ini adalah bahwa penelitian ini hanya mengungkap hubungan antara dukungan emosional keluarga dengan penerimaan diri penyandang cacat tetap secara umum, tanpa memandang tingkat kecacatan, jenis kelamin, serta faktor-faktor lain yang mungkin dapat mempengaruhi penerimaan diri penyandang cacat tetap. Selain itu, jumlah responden yang digunakan sebagai sampel dalam penelitian ini juga tergolong sedikit, hal ini dikarenakan sulitnya menemukan sampel yang sesuai dengan kriteria yang ditetapkan. Keterbatasan lain dalam penelitian ini adalah rentang usia sampel yang mayoritas berada pada usia dewasa muda, sehingga kurang mewakili penyandang cacat tetap akibat gempa bumi di Kabupaten Bantul yang memiliki rentang usia yang sangat bervariasi.


(5)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Ada hubungan positif yang signifikan antara dukungan emosional keluarga dengan penerimaan diri pada penyandang cacat tetap akibat gempa bumi di Kabupaten Bantul, dengan koefisien korelasi sebesar 0.527 dengan p value: 0,003 (p<0,05).

2. Sumbangan efektif peran dukungan emosional keluarga terhadap penerimaan diri penyandang cacat tetap akibat gempa bumi di Kabupaten Bantul adalah 27,8%.

B. Saran

1. Bagi Keluarga yang Mempunyai Anggota Penyandang Cacat Tetap

Kepada keluarga yang mempunyai anggota yang menyandang kecacatan tetap disarankan untuk memberikan dukungan emosional yang dapat berupa memfasilitasi kondisi dan kebutuhan anggota keluarganya yang menyandang kecacatan tetap, meluangkan waktu untuk menemani anggota keluarganya yang menyandang kecacatan tetap ketika harus melakukan terapi atau pengobatan, memberikan perhatian terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan anggota keluarganya yang menyandang kecacatan tetap, serta memberikan informasi serta peluang-peluang yang dapat dilakukan oleh anggota keluraganya yang


(6)

menyandang kecacatan tetap agar dapat berprestasi sesuai dengan kondisinya saat ini.

2. Bagi Institusi yang Melaksanakan Rehabilitasi Penyandang Cacat Tetap Kepada institusi yang melakukan rehabiitasi terhadap penyandang cacat tetap, disarankan agar selain memberikan rehabilitasi medik dan vokasional, juga memperhatikan kebutuhan para penyandang cacat tetap akan dukungan emosional keluarga, sehingga dapat dibuat program-program yang menunjang pemberian dukungan emosional dari keluarga para penyandang cacat tetap yang menjadi klien institusi yang bersangkutan. Adapun program-program tersebut antara lain dengan mengadakan rekreasi yang diikuti oleh klien beserta keluarganya, memberikan terapi keluarga bagi para klien beserta keluarganya, memberikan logoterapi kepada para klien, serta memberikan training-training psikologis bagi para kliennya.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

Bagi peneliti yang berminat untuk mengangkat tema yang sama, disarankan agar mengembangkan penelitian ini dengan menggunakan variabel lain yang mungkin juga mempengaruhi penerimaan diri. Peneliti juga menyarankan kepada peneliti selanjutnya untuk memperbanyak jumlah responden, serta memperhatikan tingkatan kecacatan yang dialami oleh responden.


Dokumen yang terkait

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DAN KONSEP DIRI DENGAN KEPERCAYAAN DIRI PADA Hubungan Antara Dukungan Sosial Dan Konsep Diri Dengan Kepercayaan Diri Pada Penyandang Tunanetra.

0 1 15

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DAN KONSEP DIRI DENGAN KEPERCAYAAN DIRI PADA PENYANDANG TUNANETRA Hubungan Antara Dukungan Sosial Dan Konsep Diri Dengan Kepercayaan Diri Pada Penyandang Tunanetra.

1 2 17

HUBUNGAN ANTARA PENERIMAAN DIRI DENGAN TINGKAT DEPRESI PADA REMAJA PENYANDANG CACAT TUBUH DI Hubungan Antara Penerimaan Diri Dengan Tingkat Depresi Pada Remaja Penyandang Cacat Tubuh Di Kecamatan Kedawung Kabupaten Sragen.

0 1 14

PENDAHULUAN Hubungan Antara Penerimaan Diri Dengan Tingkat Depresi Pada Remaja Penyandang Cacat Tubuh Di Kecamatan Kedawung Kabupaten Sragen.

0 1 4

DAFTAR PUSTAKA Hubungan Antara Penerimaan Diri Dengan Tingkat Depresi Pada Remaja Penyandang Cacat Tubuh Di Kecamatan Kedawung Kabupaten Sragen.

0 2 4

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN KOMPETENSI RELASI INTERPERSONAL PADA PENYANDANG CACAT Hubungan Antara Konsep Diri dengan Kompetensi Relasi Interpersonal pada Penyandang Cacat Tubuh.

0 1 16

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN MOTIVASI BERPRESTASI PADA PENYANDANG CACAT TUBUH Hubungan Antara Konsep Diri Dengan Motivasi Berprestasi Pada Penyandang Cacat Tubuh.

0 1 17

PENDAHULUAN Hubungan Antara Konsep Diri Dengan Motivasi Berprestasi Pada Penyandang Cacat Tubuh.

0 3 8

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DAN PENERIMAAN DIRI DENGAN RESILIENSI PADA REMAJA PENYANDANG TUNA RUNGU DI SLB-B KABUPATEN WONOSOBO.

1 1 17

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DAN RESILIENSI PADA REMAJA PENYANDANG CACAT FISIK

0 0 131