Tahap-Tahap Penerimaan Diri Pada Penyandang Cacat

commit to user b. Penyesuaian sosial Penerimaan diri biasanya disertai dengan adanya penerimaan dari orang lain. Orang yang memiliki penerimaan diri akan merasa aman untuk memberikan perhatiannya pada orang lain, seperti menunjukkan rasa empati. Dengan demikian orang yang memmiliki penerimaan diri dapat mengadakan penyesuaian sosial yang lebih baik dibandingkan dengan orang yang merasa rendah diri atau merasa tidak adekuat sehingga mereka itu cenderung untuk bersikap berorientasi pada dirinya sendiri self oriented. Penerimaan diri sangat berhubungan erat dengan konsep diri karena penerimaan diri memiliki peranan yang penting dalam pembentukan konsep diri dan kepribadian yang positif. Orang yang memiliki penerimaan diri yang baik maka dapat dikatakan memiliki konsep diri yang baik pula, karena selalu mengacu pada gambaran diri ideal, sehingga bisa menerima gambaran dirinya yang sesuai dengan realitas. Berdasarkan pada paparan di atas, dapat dilihat bahwa penerimaan diri sangat penting bagi penyandang cacat untuk dapat menyesuaikan diri baik di dalam dirinya sendiri, maupun di dalam pergaulan di lingkungan sosial. Orang yang dapat menerima diri niscaya akan berusaha untuk melakukan hal-hal yang realistis agar dapat menyesuaikan diri di dalam pribadi maupun di lingkungan sosial.

3. Tahap-Tahap Penerimaan Diri Pada Penyandang Cacat

Tahapan penerimaan diri yang dilalui oleh penyandang cacat bervariasi, ada yang mengalami seluruh tahapan secara berurutan, ada yang mengalami commit to user seluruh tahapan secara tidak berurutan, bahkan ada pula yang tidak mengalami sebagian tahapan. Secara garis besar diungkapkan oleh Glaser 1966, tahapan penyesuaian diri penyandang cacat sesuai dengan skema penerimaan diri sebagai berikut: Disclosure Membuka Diri Depression Depresi Acceptance Menerima Denial Menolak Active Preparation Persiapan Aktif Passive Preparation Persiapan Pasif Gambar I: Skema Penerimaan Diri menurut Glaser 1966 Menurut Glaser, tahapan penerimaan diri seorang penyandang cacat tetap adalah sebagai berikut: a. Tahap Pertama: Disclosure Membuka Diri Tahap pertama dalam penerimaan diri penyandang cacat tetap adalah sang penyandang cacat mengetahui kondisi fisiknya, yaitu bahwa sekarang sang penyandang cacat tetap tersebut akan mengalami kecacatan permanen. Penyandang cacat tetap yang mengetahui keadaan fisiknya, kemudian mencari informasi-informasi mengenai bagaimana kondisi fisik yang dialami, cara menyembuhkan dirinya dari kecacatan yang disandangnya, dan informasi- informasi lainnya. commit to user Setelah membuka diri, seorang penyandang cacat akan mengetahui kondisi riil mengenai keadaan yang dialami, salah satunya adalah bahwa kecacatan yang dialami akan disandang seumur hidup. Kondisi ini tentunya sangat mengejutkan karena tidak ada lagi harapan untuk memiliki tubuh yang sempurna kembali seperti sedia kala. Hal ini membuat sebagian besar penyandang cacat tetap akan menjalani suatu tahap atau fase yang disebut sebagai depresi. b. Tahap Kedua: Depression Depresi Adanya kesenjangan antara harapan dengan kenyataan yang ditemui oleh penyandang cacat tetap yang mayoritas diakibatkan oleh suatu kecelakaan atau bencana membuat mereka masih berharap bahwa kondisi fisiknya akan kembali seperti sedia kala. Harapan para penyandang cacat tetap agar dapat kembali seperti sedia kala merupakan sesuatu yang wajar. Namun, karena kecacatan yang disandangnya bersifat permanen, maka harapan untuk dapat kembali seperti semula adalah hal yang mustahil. Tidak terpenuhinya harapan untuk kembali seperti sedia kala membuat penyandang cacat tetap mengalami depresi dan tidak mau menerima kondisi fisik yang dialami. Masing-masing penyandang cacat memiliki karakteristik yang berbeda, sehingga antara penyandang cacat yang satu dengan yang lain berbeda- beda dalam melalui tahap depresi ini. Ada penyandang cacat yang melalui tahap depresi dalam jangka waktu yang singkat, ada yang melalui tahap ini dalam jangka waktu yang lama, dan bahkan ada penyandang cacat yang tidak melalui tahap depresi, namun bisa langsung menerima diri. commit to user c. Tahap Ketiga: Acceptance or Denial Menerima atau Menolak Tahap ketiga penerimaan diri penyandang cacat adalah menerima atau menolak kecacatan permanen yang disandangnya. Jika seorang penyandang cacat menolak kondisi kecacatan fisik yang dialami, maka ada beberapa kemungkinan hal yang akan dialami. Penyandang cacat mungkin akan mengalami depresi yang berkepanjangan, atau mungkin akan berusaha dengan cara apapun untuk dapat kembali seperti semula, bahkan dengan cara-cara yang irrasional, bahkan ada pula yang karena tidak mampu menerima kondisi fisik yang dialami, seorang penyandang cacat tetap nekad untuk berusaha mengakhiri hidupnya. Hal ini sesuai dengan contoh kasus yang telah disajikan di bagian pendahuluan. Apabila seorang penyandang cacat menerima kondisi fisik yang dialami sekarang, maka ada dua kemungkinan hal yang akan dilakukan oleh penyandang cacat tersebut. Dua hal tersebut adalah: 1 Active Preparation Persiapan Aktif, yaitu bersiap-siap menghadapi kecacatan yang disandangnya dengan cara aktif dalam melakukan latihan kemandirian, lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, aktif dalam bersosialisasi, dan lain-lain. Hal yang membedakan antara active preparation dengan passive preparation penyandang cacat yang melakukan active preparation berusaha untuk melakukan persiapan seperti belajar menggunakan kursi roda, mengikuti fisioterapi, mengikuti terapi okupasi secara aktif, tidak tergantung pada orang-orang di lingkungannya. 2 Passive Preparation Persiapan Pasif, yaitu juga melakukan persiapan untuk menghadapi kecacatan yang harus disandang seumur hidup namun secara commit to user pasif. Perbedaan yang ada jika dibandingkan dengan penyandang cacat yang melakukan active preparation adalah penyandang cacat yang melakukan passive preparation masih sangat tergantung oleh orang-orang yang ada di lingkungannya untuk mau melakukan persiapan, seperti dalam mengikuti fisioterapi harus diingatkan oleh keluarganya, kurang inisiatif untuk belajar menggunakan kursi roda, dan sebagainya. Ahli lain yang menjabarkan mengenai tahapan emosional penyandang cacat sejak dari tahap krisis hingga tahap penerimaan diri adalah LeMaistre 1999. LeMaistre menyatakan ada enam tahap yang harus dilalui oleh seorang penyandang cacat hingga mampu menerima diri. Tahap-tahap tersebut dijabarkan sebagai berikut: a. Tahap Krisis Pada tahap krisis, penyandang cacat merasa menderita dan sangat ketakutan. Secara fisik maupun psikologis, penyandang cacat akan mengalami penurunan kemampuan dalam merespons orang lain, disorientasi, dan mengalami peningkatan kecemasan. Selama masa krisis, dukungan emosional sangat dibutuhkan oleh penyandang cacat. Tahap krisis dilalui oleh hampir semua pasien penyandang cacat dengan energi dan perhatian yang difokuskan pada persiapan fisik dalam menanggapi sakit yang dideritanya, sehingga bertahan adalah perhatian utama. Selain itu, pasien penyandang cacat dan keluarganya harus mengatasi rasa takut yang diakibatkan oleh ketidakjelasan nasib atau masa depannya. commit to user b. Tahap Isolasi Ketika sifat akut penyakit telah berkurang, namun pemulihan total tidak terjadi dan kecacatan menetap, penyandang cacat menyadari bahwa ada begitu banyak ketidakpastian mengenai masa depan. Penyandang cacat mengalami kegelisahan, sehingga pada malam hari mengalami kesulitan tidur. Ketidakpastian masa depan menjadi salah satu serangan besar dalam diri penyandang cacat. Kecemasan penyandang cacat sering mengakibatkan kekakuan dalam berhubungan dengan orang lain dan diri sendiri, sehingga penyandang cacat cenderung mengisolasi diri. Hal ini diakibatkan oleh kepercayaan pasien bahwa tidak ada orang yang dapat mengerti mengenai kesedihan dan kehilangan yang dialaminya. Keluarga sang penyandang cacat mungkin akan merasa marah, takut, bahkan jijik dengan situasi yang dialami oleh penyandang cacat tersebut. Pada saat itu, baik penyandang cacat maupun keluarganya kembali ke dalam pikirannya masing-masing dan kini dihantui oleh pengetahuan bahwa hidup mereka tidak akan sama seperti sebelumnya lagi. Pada tahap isolasi komunikasi terbuka sangat penting. Kedua belah pihak tidak boleh saling menyalahkan. Komunikasi harus dilakukan dengan intensif untuk memecahkan isolasi. c. Tahap AngerKemarahan Setelah mengetahui keadaan fisik yang sebenarnya, penyandang cacat merasa marah, cemas, tidak berdaya, merasa bahwa apa yang terjadi pada dirinya sangat tidak adil, sehingga secara emosional penyandang cacat akan marah, sering kali target kemarahan adalah pada dirinya sendiri. Kemungkinan yang paling commit to user berbahaya ketika hal ini terjadi adalah penyandang cacat tersebut akan melakukan percobaan bunuh diri. Ada dua alasan yang membuat penyandang cacat menjadikan dirinya sendiri sebagai target kemarahannya. Pertama, tidak mungkin untuk marah kepada nasib, karena tidak ada lawan eksternal. Kedua, kecacatan yang disandangnya melahirkan rasa tidak berdaya. Anggapan bahwa kecacatan yang sekarang disandangya tidak dapat disembuhkan dan itu semua adalah kesalahan penyandangnya sendiri. d. Tahap Rekonstruksi Tahap ini dialami oleh penyandang cacat yang telah merasa jauh lebih kuat secara fisik dan telah memiliki cukup waktu untuk memulai suatu keterampilan hidup baru. Pada tahap ini biasanya rasa aman mulai tumbuh, serta suasana hati lebih bahagia karena penyandang cacat sudah mulai berusaha untuk menguasai kemampuan-kemampuan baru untuk kehidupannya. Hal-hal yang direkonstruksi bukanlah hidup seperti yang sebelumnya, namun perasaan bahwa diri penyandang cacat tersebut adalah seseorang yang utuh entitas dan kohesif. Rekonstruksi ini memiliki beberapa aspek, seperti keterampilan baru, dan yang paling penting adalah kekuatan emosional. e. Tahap Intermitten Depression Depresi Berulang Setelah semua tampak lebih cerah bagi penyandang cacat, maka akan ada keinginan untuk melakukan jeda dalam melakukan aktivitas-aktivitas baru yang kini dilakukan. Ketika masa jeda atau masa istirahat dilakukan oleh penyandang cacat, maka akan muncul bayangan mengenai hal-hal yang dahulu sebelum commit to user menyandang kecacatan dilakukannya dengan lebih mudah. Bayangan-bayangan tersebut dapat menghasilkan kesedihan dan keputusasaan, apalagi jika kecacatan yang disandangya sekarang telah mengakibatkan banyak hal yang kurang menyenangkan terjadi dalam kehidupan sang penyandang cacat tersebut. Depresi berulang menggabungkan dua perasaan, yaitu kesadaran akan hilangnya fungsi yang biasa dilakukan sebelum menyandang kecacatan, dan hal yang disebut sebagai phantom psyche, yaitu bayangan-bayangan atau khayalan- khayalan yang muncul seperti bagaimana kehidupan yang seharusnya dilalui sekarang jika tidak menyandang cacat, atau bagaimana jika sekarang masih menjalani hidup sebagai manusia normal. Keinginan-keinginan untuk kembali normal membuat penyandang cacat mengalami depresi yang berulang-ulang. Hal ini terjadi karena sering kali pada saat senggang, bayangan-bayangan dan keinginan-keinginan tersebut muncul kembali dan berulang-ulang. f. Tahap RenewalPembaharuan Ketika masa kesedihan, kehampaan, penyesalan, dan keinginan yang sangat kuat untuk sembuh kembali telah hilang, telah menguasa teknik menggunakan kursi roda, dan telah bangga dengan prestasi yang didapatkan, yaitu dapat menjalani kehidupan mandiri meski menyandang kecacatan, seorang penyandang cacat mulai memasuki tahap renewal. Hal yang paling terlihat dalam tahap ini adalah adanya perubahan gaya hidup dan harus adanya keterampilan- keterampilan baru. Penyandang cacat yang telah masuk tahap renewal, mampu menerima keadaan yang dihadapinya sekarang. Penyandang cacat telah menguasai commit to user keterampilan-keterampilan untuk dapat mandiri dengan kondisinya sekarang, sehingga tidak lagi merasa cemas dengan masa depannya. Secara emosional, penyandang cacat juga lebih stabil. Berdasarkan pada teori-teori yang diungkapakan oleh para ahli mengenai tahapan-tahapan emosional yang dilalui oleh penyandang cacat sebagaimana dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tahapan emosional seorang penyandang cacat untuk menuju kepada penerimaan diri sangat berbeda-beda pada masing-masing orang. Ada orang yang melalui seluruh tahapan emosional secara berurutan, ada orang yang melalui seluruh tahapan emosional secara tidak berurutan, dan ada pula orang yang melalui sebagian saja tahapan emosional tersebut. Tahapan-tahapan emosional yang secara teoretis dilalui oleh seorang penyandang cacat terdiri atas enam tahapan, yaitu tahap krisis, tahap isolasi, tahap kemarahan, tahap rekonstruksi, tahap depresi berulang, dan tahap pembaharuan yang di dalamnya, penyandang cacat yang bersangkutan telah mampu menerima dirinya.

4. Ciri-Ciri Individu yang Menerima Dirinya

Dokumen yang terkait

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DAN KONSEP DIRI DENGAN KEPERCAYAAN DIRI PADA Hubungan Antara Dukungan Sosial Dan Konsep Diri Dengan Kepercayaan Diri Pada Penyandang Tunanetra.

0 1 15

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DAN KONSEP DIRI DENGAN KEPERCAYAAN DIRI PADA PENYANDANG TUNANETRA Hubungan Antara Dukungan Sosial Dan Konsep Diri Dengan Kepercayaan Diri Pada Penyandang Tunanetra.

1 2 17

HUBUNGAN ANTARA PENERIMAAN DIRI DENGAN TINGKAT DEPRESI PADA REMAJA PENYANDANG CACAT TUBUH DI Hubungan Antara Penerimaan Diri Dengan Tingkat Depresi Pada Remaja Penyandang Cacat Tubuh Di Kecamatan Kedawung Kabupaten Sragen.

0 1 14

PENDAHULUAN Hubungan Antara Penerimaan Diri Dengan Tingkat Depresi Pada Remaja Penyandang Cacat Tubuh Di Kecamatan Kedawung Kabupaten Sragen.

0 1 4

DAFTAR PUSTAKA Hubungan Antara Penerimaan Diri Dengan Tingkat Depresi Pada Remaja Penyandang Cacat Tubuh Di Kecamatan Kedawung Kabupaten Sragen.

0 2 4

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN KOMPETENSI RELASI INTERPERSONAL PADA PENYANDANG CACAT Hubungan Antara Konsep Diri dengan Kompetensi Relasi Interpersonal pada Penyandang Cacat Tubuh.

0 1 16

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN MOTIVASI BERPRESTASI PADA PENYANDANG CACAT TUBUH Hubungan Antara Konsep Diri Dengan Motivasi Berprestasi Pada Penyandang Cacat Tubuh.

0 1 17

PENDAHULUAN Hubungan Antara Konsep Diri Dengan Motivasi Berprestasi Pada Penyandang Cacat Tubuh.

0 3 8

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DAN PENERIMAAN DIRI DENGAN RESILIENSI PADA REMAJA PENYANDANG TUNA RUNGU DI SLB-B KABUPATEN WONOSOBO.

1 1 17

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DAN RESILIENSI PADA REMAJA PENYANDANG CACAT FISIK

0 0 131