Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

commit to user

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Gempa bumi yang mengguncang Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah pada hari Kamis 27 Mei 2006 telah lama berlalu menyisakan kenangan pahit bagi para korbannya. Gempa bumi berkekuatan 5.9 skala Richter yang berpusat di Kecamatan Pundong, Kabupaten Bantul ini telah memporak- porandakan beberapa kabupaten dan kota di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah. Gempa bumi ini juga memakan banyak korban, terhitung sebanyak 6.234 warga meninggal dunia dan lebih dari 50.000 warga lainnya mengalami luka-luka, baik luka ringan, sedang, hingga berat http:www.wikipedia.org. Banyak di antara korban luka pada gempa bumi Yogyakarta mengalami kecacatan permanen. Tingkat kecacatan tersebut bermacam-macam, mulai dari kehilangan anggota gerak, kehilangan anggota badan, infeksi menetap pada anggota badan, hingga kelumpuhan total. Para korban gempa bumi tersebut sebagian besar juga kehilangan tempat tinggal, terhitung lebih dari 1,3 juta jiwa kehilangan tempat tinggal mereka IOM Indonesia Newsletter, Agustus 2006. Kabupaten Bantul sebagai kabupaten yang mengalami kerusakan paling parah dalam bencana gempa bumi tanggal 27 Mei 2006 juga menjadi kabupaten dengan jumlah korban paling banyak. Data dari Kabupaten Bantul tercatat sebanyak 3.098 korban meninggal dunia dan 6.437 korban mengalami luka berat yang diperkirakan akan mengalami kecacatan seumur hidupnya dan lebih banyak commit to user lagi korban yang mengalami luka sedang yang diperkirakan akan mengalami kecacatan sementara http:www.atmajaya.ac.id. Bagi banyak korban yang selamat dari maut pada kejadian tersebut, menerima kenyataan bahwa dirinya telah kehilangan banyak hal akibat Gempa bumi sangatlah menyakitkan dan sulit diterima. Kehilangan rumah, harta benda, sanak saudara, dan bahkan bagi sebagian orang harus menerima kenyataan bahwa dirinya harus mengalami kecacatan untuk selamanya merupakan suatu cobaan yang sangat berat Akbar dan Afiatin, 2009. Terlebih bagi korban yang mengalami cacat fisik, selain telah kehilangan sanak saudara dan harta benda, kecacatan yang dialami juga mengubah keadaan hidup mereka, baik secara fisik maupun psikologis. Jumlah penyandang cacat tetap akibat gempa bumi Yogyakarta cukup banyak. Menurut Harian Suara Merdeka, terdapat 1.500 orang korban gempa bumi yang harus mengalami kecacatan seumur hidup, dengan jumlah terbesar adalah korban yang berasal dari Kabupaten Bantul. Data dari Dinas Sosial Kabupaten Bantul menunjukkan, hingga bulan November 2009 di Kabupaten Bantul tercatat sekitar 300 warga di Kabupaten Bantul yang masih menjalani perawatan karena mengalami kecacatan www.sosial.bantulkab.go.id . Versi lain menurut data dari Palang Merah Indonesia PMI cabang Bantul menyebutkan, hingga bulan Februari 2010, tercatat 900 warga Kabupaten Bantul yang masih menjalani fisioterapi di PMI cabang Bantul. Sebagian besar dari jumlah tersebut mengalami kecacatan permanen, mulai dari tidak sempurnanya keseluruhan atau sebagian bentuk tubuh, kehilangan sebagian atau keseluruhan organ tubuh, commit to user kehilangan anggota gerak, paraplegia atau kelumpuhan tubuh bagian bawah akibat terjadi penekanan terhadap sistem saraf pusat akibat fraktur pada tulang belakang, hingga tetraplegia atau kelumpuhan yang disebabkan cedera pada tulang belakang yang menyebabkan hilangnya seluruh penggunaan dari semua anggota badan dan dada yang terutama diakibatkan oleh penekanan terhadap sistem saraf pusat akibat fraktur pada tulang belakang bagian atas bagian leher. Sebanyak 20 orang dari 900 orang yang masih menjalani fisioterapi di PMI cabang Bantul rawan depresi. Hal ini dilihat dari fakta bahwa 20 orang tersebut pernah melakukan percobaan bunuh diri http:www.indosiar.com. Berbagai kecacatan yang dialami oleh korban gempa bumi di Kabupaten Bantul tersebut mengakibatkan berbagai reaksi. Salah satu kasus yang terjadi adalah kasus bunuh diri atau percobaan bunuh diri. Kasus bunuh diri atau percobaan bunuh diri yang dilakukan oleh penyandang cacat akibat gempa bumi di Kabupaten Bantul pernah beberapa kali terjadi. Selain kasus bunuh diri atau percobaan bunuh diri, ada pula penyandang cacat tetap yang berkeinginan kuat untuk sembuh. Terlalu besarnya keinginan untuk sembuh membuat penyandang cacat tersebut berusaha mencari jalan untuk sembuh dari kecacatannya dengan cara-cara tidak ilmiah yang membahayakan bagi dirinya sendiri. Berikut ini adalah contoh kasus yang pernah terjadi di Kabupaten Bantul: Contoh kasus pertama dialami oleh seorang gadis belia berusia 23 tahun berinisial ”Sum” yang beralamat di Dusun Pandean, Desa Gilangharjo, Kecamatan Pandak, Kabupaten Bantul. ”Sum” yang terpaksa menjalani amputasi kaki kanan hingga sebatas lutut akibat infeksi patah tulang terbuka yang dia alami commit to user pada saat terjadi gempa bumi tanggal 27 Mei 2006. Akibat tidak tahan lagi dengan kecacatan yang dia derita, pada tanggal 04 Oktober 2006, ”Sum” melakukan tindakan nekad dengan membakar dirinya sendiri dengan menggunakan bensin. ”Sum” yang ditemukan dalam kondisi luka bakar serius kemudian dilarikan ke Rumah Sakit Prof. Dr. Sardjito, Yogyakarta http:www.indosiar.com. Contoh kasus kedua dialami oleh ”ES”, seorang gadis berusia 26 tahun yang tinggal di Desa Kranggotan, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul. Sebelum terjadi gempa bumi Yogyakarta tanggal 27 Mei 2006, “ES” dikenal sebagai seorang sarjana MIPA yang banyak beraktivitas dan supel dalam pergaulan. “ES” bahkan bersama dengan kekasihnya telah merencanakan pernikahan yang sedianya akan segera dilaksanakan. Namun Tuhan berkehendak lain, pada saat gempa bumi terjadi, “ES” terjatuh dan tertimpa tembok rumahnya sehingga mengalami patah tulang belakang yang mengakibatkan paraplegia, sehingga “ES” mengalami kelumpuhan anggota gerak bagian bawah. Kelumpuhan yang dialami membuat “ES” kehilangan banyak hal yang dahulu dapat dinikmatinya. Keterbatasan fisik membuat “ES” tidak dapat beraktivitas seperti dahulu, menganggap dirinya tidak berguna, hingga puncaknya adalah pada saat keluarga kekasihnya tidak mau menerima keadaan fisiknya sekarang. Merasa kecewa, “ES” kemudian nekad mencoba untuk bunuh diri dengan cara memotong urat nadi tangan. Usaha bunuh diri pertama kali gagal karena perawat menemukan “ES” dalam kondisi bersimbah darah. Tidak puas dengan usaha pertama, “ES” mencoba melakukan usaha kedua dengan cara yang sama, namun sekali lagi usaha tersebut gagal karena perawat menemukannya dalam kondisi kritis. Usaha ketiga commit to user dilakukan “ES” dengan jalan yang sama, namun mengalami kegagalan karena diketahui oleh salah seorang kerabatnya. Contoh kasus yang ketiga dijumpai di Rumah Sakit Ortopedi Prof. Dr. Soeharso, Surakarta, yaitu seorang laki- laki bernama ”S” yang ditinggalkan oleh istrinya karena ”S” mengalami paraplegia akibat fraktur pada tulang belakangnya. Istri ”S” menyatakan bahwa akan pergi hingga ”S” bisa berjalan lagi. Keinginan untuk dapat berkumpul dengan istrinya membuat ”S” melakukan segala cara agar dapat berjalan kembali. Berbekal informasi dari seorang rekan , ”S” melakukan terapi bagi dirinya sendiri, yaitu dengan merendam kaki hingga sebatas paha dengan air hangat. Namun, karena saraf di daerah kaki ”S” sudah tidak dapat berfungsi lagi, maka ”S” tidak dapat merasakan panas dari air yang digunakannya. ”S” kemudian menambah air panas pada air yang digunakannya. Alhasil, kaki ”S” mengalami luka bakar grade II dan harus menjalani perawatan di rumah sakit, sedangkan kelumpuhan yang dialami tidak juga sembuh. Ketiga kasus yang telah dipaparkan di atas mencerminkan bahwa banyak di antara penyandang cacat akibat gempa bumi Yogyakarta yang belum dapat menerima diri. Beberapa penyandang cacat tetap yang belum dapat menerima kecacatannya ada yang memiliki keinginan yang sangat besar untuk kembali normal, sehingga melakukan cara-cara yang kurang rasional untuk mencapainya. Hal ini dapat dilihat dari paparan kasus ketiga. Selain itu, ada pula beberapa penyandang cacat tetap yang kehilangan harapan hidup, sehingga melakukan tindakan nekad dengan berusaha mengakhiri hidupnya. commit to user Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat betapa pentingnya penerimaan diri seseorang. Anderson 1959 menyatakan bahwa self acceptance penerimaan diri penting untuk mengintegrasikan tubuh, pikiran, dan jiwa kita. Menurut Calhoun dan Acocella dalam Badaria dan Astuti, 2004, penerimaan diri merupakan aset pribadi yang berharga karena mempunyai pengaruh terhadap penyesuaian diri yang dilakukan oleh individu, sehingga sifat-sifat dalam dirinya seimbang dan terintegrasi. Orang-orang yang penerimaan dirinya positif, berarti orang itu mampu memahami dirinya dan menerima kenyataan bahwa dirinya berbeda dengan orang lain, dalam menerima dirinya sendiri, seseorang harus dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat dan kehidupannya. Hal ini sangat sesuai dengan Hurlock 1974 yang menyatakan bahwa penerimaan diri adalah faktor utama yang membentuk kepribadian yang sehat. Penerimaan individu terhadap cacat yang mereka alami berbeda-beda, dan sering kali tidak sebanding lurus dengan tingkat kecacatannya. Hal ini dikarenakan sikap-sikap mereka dipengaruhi oleh situasi sosial yang lebih luas. Setiap individu yang cacat fisik memiliki kebutuhan emosional khusus, kemampuan bawaan, dan latar belakang pengalamannya sendiri. Jika penyandang cacat dengan cacat fisiknya diterima oleh orang-orang yang berarti dalam lingkungannya, maka ini merupakan kesempatan yang baik untuk bisa menerima cacatnya dan mengatur cara menyesuaikan diri dengan cacatnya. Sebaliknya, apabila individu tersebut ditolak atau dilindungi secara berlebihan, maka persepsi terhadap dirinya sendiri berupa kebencian atau perasaan kasihan terhadap diri sendiri karena kecacatan tersebut Semiun, 2006. Kepercayaan masyarakat commit to user terhadap kecacatan juga mempengaruhi sikap terhadap penyandang cacat, misalnya, kecacatan masih dianggap sebagai suatu aib dan memalukan, sehingga anggota penyandang cacat harus disembunyikan dari penglihatan warga lainnya. Hal ini menyebabkan penyandang cacat tidak dapat menerima kecacatannya Kasim, 2002. Menurut Semiun 2006, dampak cacat fisik tidak jelas dan langsung, namun sampai batas tertentu, cacat itu ditentukan oleh hubungan-hubungan antarpribadi yang dialami oleh orang-orang yang cacat. Dengan kata lain, respon, sikap, serta perlakuan keluarga dan orang-orang yang penting dalam lingkungan sangat mempengaruhi reaksi-reaksi tingkah laku individu terhadap cacat fisik yang dialami. Reaksi orang-orang di lingkungan penyandang cacat menurut Schuster dan Ashburn 1992 dapat berupa penolakan rejection, idealisasi idealization, merasa kasihan, dan dapat pula berupa penerimaan secara realistis realistic acceptance. Reaksi penolakan terhadap penyandang cacat dapat berupa upaya menyingkirkan individu penyandang cacat. Cara yang ditempuh seperti memasukkan penyandang cacat ke yayasan yang mengurusi penyandang cacat, menitipkan di tempat saudara lain, hingga menelantarkan begitu saja. Reaksi idealisasi berupa penolakan terhadap kecacatan yang disandang oleh individu penyandang cacat, dan senantiasa berusaha membuat penyandang cacat tersebut dapat menjadi normal kembali sesuai dengan keinginan mereka. Reaksi merasa kasihan termanifestasi dalam memberikan perhatian yang sangat berlebihan kepada penyandang cacat, hingga mengurangi kewajiban namun menambah hak commit to user yang harus diperoleh penyandang cacat. Adapun reaksi penerimaan realistis termanifestasi dalam sikap memberikan pengarahan menuju kehidupan mandiri penyandang cacat. Reaksi penerimaan realistis oleh lingkungan akan berupa sikap-sikap penerimaan terhadap penyandang cacat. Adapun sikap penerimaan terhadap penyandang cacat dapat berupa pemberian dukungan sosial yang menurut House dalam Smet, 1994 memiliki aspek atau bentuk tertentu. Bentuk atau aspek tersebut meliputi 1 Dukungan Emosional, mencakup ungkapan empati, kepedulian dan perhatian terhadap orang yang bersangkutan; 2 Dukungan Penghargaan, meliputi ungkapan formal, dorongan untuk maju, serta membantu seseorang untuk melihat segi-segi positif yang ada dalam dirinya dibandingkan dengan keadaan orang lain yang berfungsi untuk menambah penghargaan diri; 3 Dukungan Instrumental, mencakup bantuan langsung, sesuai dengan yang dibutuhkan orang lain; 4 Dukungan Informatif, meliputi pemberian nasihat- nasihat, petunjuk, saran-saran dan umpan balik. House dalam Corneil, 1998 juga menilai bahwa dukungan emosional sebagai bentuk yang paling penting dari dukungan sosial karena merupakan dasar dari ketiga bentuk dukungan yang lain. Hal ini didapatkan dari kenyataan bahwa aspek-aspek dukungan emosional seperti perasaan empati, kepedulian, dan kemampuan untuk mendengarkan merupakan dasar yang nantinya akan menggerakkan orang-orang di lingkungan seorang individu untuk memberikan aspek-aspek lain dalam dukungan sosial kepada individu yang bersangkutan. commit to user Reaksi lain yang mungkin ditampilkan oleh orang-orang di lingkungan penyandang cacat adalah penolakan. Penolakan terhadap penyandang cacat dapat berupa menyembunyikan penyandang cacat tersebut dari lingkungan, membedakan hak dan kewajiban penyandang cacat tersebut dengan individu lain di lingkungannya, hingga membuang penyandang cacat tersebut baik dengan cara yang halus menitipkan ke yayasan pembinaan orang cacat ataupun dengan cara yang kasar membiarkan menggelandang, dan lain-lain. Perlakuan orang-orang tersebut sangat berpengaruh terhadap penerimaan diri sang penyandang kecacatan, mengingat tidak mungkin seorang penyandang cacat dapat menerima dirinya dengan kecacatannya jika orang-orang di lingkungannya tidak menerima kehadirannya. Berdasarkan pada uraian di atas, dapat dilihat betapa pentingnya dukungan emosional keluarga bagi penyandang cacat tetap. Dukungan emosional sangat diperlukan untuk mempersiapkan penyandang cacat untuk menghadapi realita kecacatan yang akan disandang seumur hidupnya. Dukungan emosional membuat penyadang cacat tetap menjadi lebih mampu menerima diri sehingga tidak lagi mencari jalan pintas untuk mengakhiri hidupnya atau mencoba cara-cara yang irasional yang berbahaya karena keinginan untuk sembuh dari kecacatannya. Mencermati fenomena yang telah dipaparkan, serta melihat pentingnya dukungan emosional untuk meningkatkan penerimaan diri penyandang cacat tetap, peneliti berinisiatif untuk melakukan penelitian mengenai hubungan antara dukungan emosional keluarga dengan penerimaan diri pada penyandang cacat tetap akibat gempa bumi di Kabupaten Bantul. commit to user

B. Rumusan Masalah

Dokumen yang terkait

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DAN KONSEP DIRI DENGAN KEPERCAYAAN DIRI PADA Hubungan Antara Dukungan Sosial Dan Konsep Diri Dengan Kepercayaan Diri Pada Penyandang Tunanetra.

0 1 15

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DAN KONSEP DIRI DENGAN KEPERCAYAAN DIRI PADA PENYANDANG TUNANETRA Hubungan Antara Dukungan Sosial Dan Konsep Diri Dengan Kepercayaan Diri Pada Penyandang Tunanetra.

1 2 17

HUBUNGAN ANTARA PENERIMAAN DIRI DENGAN TINGKAT DEPRESI PADA REMAJA PENYANDANG CACAT TUBUH DI Hubungan Antara Penerimaan Diri Dengan Tingkat Depresi Pada Remaja Penyandang Cacat Tubuh Di Kecamatan Kedawung Kabupaten Sragen.

0 1 14

PENDAHULUAN Hubungan Antara Penerimaan Diri Dengan Tingkat Depresi Pada Remaja Penyandang Cacat Tubuh Di Kecamatan Kedawung Kabupaten Sragen.

0 1 4

DAFTAR PUSTAKA Hubungan Antara Penerimaan Diri Dengan Tingkat Depresi Pada Remaja Penyandang Cacat Tubuh Di Kecamatan Kedawung Kabupaten Sragen.

0 2 4

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN KOMPETENSI RELASI INTERPERSONAL PADA PENYANDANG CACAT Hubungan Antara Konsep Diri dengan Kompetensi Relasi Interpersonal pada Penyandang Cacat Tubuh.

0 1 16

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN MOTIVASI BERPRESTASI PADA PENYANDANG CACAT TUBUH Hubungan Antara Konsep Diri Dengan Motivasi Berprestasi Pada Penyandang Cacat Tubuh.

0 1 17

PENDAHULUAN Hubungan Antara Konsep Diri Dengan Motivasi Berprestasi Pada Penyandang Cacat Tubuh.

0 3 8

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DAN PENERIMAAN DIRI DENGAN RESILIENSI PADA REMAJA PENYANDANG TUNA RUNGU DI SLB-B KABUPATEN WONOSOBO.

1 1 17

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DAN RESILIENSI PADA REMAJA PENYANDANG CACAT FISIK

0 0 131