122
BAB VIII PERAN MASYARAKAT ADAT SERTA IMPLIKASI KEBIJAKAN
8. 1. Masyarakat Adat Pada kawasan Pegunungan Cycloops
Cagar alam Pegunungan Cycloops merupakan salah satu dari 30 kawasan konservasi yang berstatus cagar alam yang terdapat di Provinsi Papua Conservation
International. 2001. Kawasan ini ditetapkan sebagai kawasan konservasi karena memiliki potensi sumberdaya alam terutama ketersediaan air dan keanekaragaman
hayati. Kawasan cagar alam Pegunungan Cycloops secara turun temurun telah dihuni oleh lima masyarakat adat besar yang mempunyai kaitan dengan hak ulayat kawasan
ini, yaitu masyarakat adat Ormu dan masyarakat adat Tepera di bagian Utara dan masyarakat adat Mooi, masyarakat adat Sentani serta masyarakat adat Humbolt atau
Numbay di bagian Selatan. Kehidupan masyarakat adat yang berada di kawasan cagar alam Pegunungan
Cycloops, tergantung pada kawasan tersebut. Pemanfaatan sumberdaya alam oleh masyarakat adat yang berada di kawasan cagar alam Pegunungan Cycloops
mempunyai kearifan atau cara sendiri yang sudah diwariskan secara turun temurun. Pemanfaatan sumberdaya alam dengan baik yang dilakukan oleh masyarakat adat,
dapat dilihat pada proses kehidupan untuk pemenuhan kebutuhan hidup seperti hasil pertanian dan hasil hutan. Sebaliknya pola pemanfaatan yang dinilai kurang baik dan
merusak lingkungan pada kawasan ini terjadi bila masyarakat adat kurang bijak dalam melakukan kegiatan di sekitar kawasan cagar alam Pegunungan Cycloops,
yang mengakibatkan kerusakan alam atau ekosistem seperti punahnya flora dan fauna, terjadinya penggundulan tanah atau krisis lahan, terjadinya longsor, banjir,
pengendapan sedimen diperairan. Kearifan masyarakat adat perlu dikaji, karena banyak diantaranya yang
mempunyai nilai implikasi positif, dalam kaitan dengan pelestarian sumberdaya alam. Pengetahuan akan gejala alam dari masyarakat adat yang berada di Kabupaten dan
Kota Jayapura, tidak jauh berbeda jauh antar satu dengan yang lainnya. Seperti pola kepemimpinan tradisionalnya, sama dengan yang berlaku atau yang diterapkan oleh
123
suku-suku bangsa lainnya yang berada di sekitar kawasan cagar alam Pegunungan Cycloops, yaitu sistem kepemimpinan yang dikenal dengan sebutan Ondoafi atau
Kepala Suku. Juga pola pencaharian masyarakat setempat tidak banyak berbeda yaitu bercocok tanam dengan pola perladangan berpindah-pindah, meramu sagu, berburu
dan menangkap ikan. Masyarakat adat pada kawasan cagar alam Pegunungan Cycloops dalam
pengenalan akan lingkungan fisik sangatlah dipengaruhi oleh aktivitas mereka dalam kaitannya dengan pemanfataan hutan, tanah dan air sebagai sumberdaya alam bagi
kehidupan sehari-hari, seperti halnya pengenalan tanah menurut mereka dibagi berdasarkan jenis tanaman seperti tanah untuk berladang dan tanah khas untuk dusun
sagu. Pada kawasan hutan tertentu, tidak dimanfaatkan untuk berladang, karena fungsi utamanya sebagai penyediaan kayu untuk bangunan serta kayu sebagai bahan
bakar dan sumber kesegaran, disamping itu dinyatakan tertutup untuk kegiatan lainnya dengan alasan daerah tersebut mempunyai nilai religi yang berkaitan dengan
kepercayaan dan asal-usul leluhurnya. Pengetahuan klasifikasi batu-batuan terutama berkaitan dengan jenis-jenis batu yang dipergunakan dalam proses pembuatan kapak
batu. Masyarakat adat disana memiliki kepercayaan bahwa batu nomor satu disebut Jha
4
merupakan bahan utama kapak batu, batu nomor dua atau disebut weri dipergunakan sebagai pemecahan dan penghalus batu kapak, batu nomor tiga atau
tandere dipergunakan sebagai pengasah dan sekaligus memperlicin permukaan kapak batu. Pengetahuan masyarakat adat tentang air pun berdasarkan macam dan
pemanfaatnya bagi masyarakat adat di kawasan ini, yakni air untuk minum, air untuk mandi dan cuci dan air sungai besar sebagai jalur perhubungan.
Pengetahuan masyarakat tradisional atau adat mengenai tumbuhan sebagai bahan pangan, sebagai bahan obat-obatan, bahan papan dan kerajinan tangan, bahan
tali temali dan anyaman, sebagai pelengkap upacara adat dan kegiatan sosial berasal dari usaha pertanian mereka sendiri seperti berkebun atau berladang, dan juga dapat
mengambil langsung di hutan.
4
Sebutan Batu-batuan alami yang dibuat oleh Suku Ormu
124
Dalam pola pemanfaatan lahan masyarakat tradisional, hutan bukan sekedar tempat berlindung dan mencari makan, tetapi juga bermakna religi, dengan demikian
berlaku aturan dan batasa-batasan dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang ada di dalamnya serta menentukan status lingkungan tersebut.
8. 2. Peran Masyarakat Adat Dalam Pengelolaan Tumbuhan Sowang 1. Masyarakat adat Sentani