kemempuan panelis untuk mendeteksi dan mengenali adanya perbedaan. Uji deskriptif digunakan untuk menentukan karakter dan intensitas perbedaan
tersebut. Uji-uji deskripsi lebih tepat digunakan untuk pengembangan produk, reformulasi produk, dan untuk meneliti perbedaan produk percobaan
dengan produk komersial. Untuk keperluan uji deskripsi, jenis panel yang diperlukan adalah panel terlatih yang telah melalui proses seleksi dan
pelatihan sehingga memiliki kemampuan dan kecakapan yang akurat. Uji afektif didasarkan pada evaluasi preferensi atau penerimaan untuk
menentukan preferensi relatif. Uji-uji afektif yang meliputi preference dan acceptance test
bertujuan untuk melihat tingkat penerimaan konsumen terhadap produk. Panelis yang diperlukan mewakili target populasi
konsumen Meilgaard, 1999; Poste, 1991. Uji afektif digunakan untuk mengevaluasi kecenderungan subjektif
suatu produk berdasarkan properti sensorinya. Hasil uji afektif mengindikasikan pilihan, kesukaan, atau penerimaan suatu produk. Uji
afektif umumnya dilakukan menggunakan responden tidak terlatih dalam jumlah besar untuk mengetahui indikasi daya tarik suatu produk
dibandingkan produk lainnya Poste, 1991. Secara umum terdapat dua macam uji afektif yaitu uji afektif
kualitatif dan uji afektif kuantitatif. Metode uji afektif kualitatif terdiri dari focus group
, focus panel, dan wawancara personal. Sedangkan metode uji afektif kuantitatif terdiri dari uji kesukaan atau uji hedonik dan uji
penerimaan Meilgaard, 1999. Kata hedonik didefinisikan sebagai “terkait dengan kesenangan”. Uji kesukaan yang disebut dengan uji preferensi ini
merupakan metode pengujian yang paling umum dilakukan untuk mengukur kesukaan suatu sampel bila dibanding sampel lain Poste, 1991.
F. PENGAWETAN PANGAN
Pengawetan bahan pangan dapat dilakukan dengan beberapa cara seperti pengolahan dengan panas, pengurangan kandungan air bebas,
pengawetan dengan pendinginan, irradiasi bahan pangan, penambahan bahan pengawet, penurunan pH, dan pengemasan yang hermetis Desrosier,
1983. Proses pengolahan dengan panas diantaranya adalah blansir dan
pasteurisasi.
Menurut Fardiaz et.al., 1980 blansir adalah pemanasan pendahuluan yang bertujuan untuk menginaktifkan enzim-enzim di dalam
bahan pangan. Blansir dapat dilakukan dengan menggunakan uap steam blancher
atau air panas hot water blancher. Blansir oleh air panas dapat melarutkan dan merusak nilai-nilai gizi pangan. Namun, cara ini lebih sering
digunakan karena praktis. Blansir dalam air panas yang berlebihan akan menyebabkan tekstur menjadi lunak, mengurangi flavor dan warna, serta
menyebabkan kehilangan nilai gizi Muchtadi, 1989. Pasteurisasi adalah proses pemanasan pada suhu dan waktu tertentu
dimana semua patogen yang berbahaya bagi manusia akan terbunuh, misalnya bakteri penyebab tuberkulosis Fardiaz, 1992. Prinsip dari
pasteurisasi adalah produk dipanaskan secara singkat sampai mencapai kombinasi suhu dan waktu tertentu, yang cukup untuk membunuh semua
mikroorganisme patogen, tetapi menyebabkan kerusakan sekecil mungkin terhadap produk akibat panas Woodrof, 1975. Pasteurisasi biasanya
digunakan untuk produk yang mudah rusak bila dipanaskan atau tidak dapat disterilisasi secara komersial Desrosier, 1983. Pasteurisasi membunuh
seluruh mikroorganisme psikrofilik, mesofilik, dan sebagian yang bersifat termofilik. Biasanya perlakuan pasteurisasi dipadukan dengan sistem
penyimpanan produk pangan dalam suhu rendah yang bertujuan untuk mencegah tumbuhnya mikroorganisme termofilik yang suhu pertumbuhan
minimumnya cukup tinggi. Asam paling sedikit mempunyai dua pengaruh antimikroorganisme.
Pertama adalah karena pengaruhnya terhadap pH dan yang lainnya adalah sifat keracunan yang khas dari asam-asam yang tidak terurai, yang beragam
untuk asam-asam yang berlainan. Setiap organisme mempunyai kisaran nilai pH dimana pertumbuhan masih memungkinkan dan masing-masing
biasanya mempunyai pH optimum. Kebanyakan mikroorganisme dapat tumbuh pada kisaran pH 6.0-8.0, dan nilai pH di luar kisaran 2.0-10.0
biasanya bersifat merusak Buckle et.al., 1987.
Bahan pengawet adalah setiap bahan yang dapat menghambat, memperlambat, menutupi atau menahan proses fermentasi, pembusukan,
pengasaman, atau dekomposisi lainnya didalam atau pada setiap bahan pangan. Bahan pengawet yang sering digunakan untuk pengawet pada bahan
makanan adalah asam sorbat, asam benzoat, sulfur dioksida, dan nisin Buckle et.al., 1987. Efektivitas bahan pengawet ditentukan oleh beberapa
faktor: yaitu konsentrasi bahan pengawet, jenis mikroorganisme yang akan dihambat, suhu dan waktu, serta sifat fisik dan kimia dari bahan yang akan
diawetkan Buckle et.al., 1987. Pengemasan merupakan suatu cara dalam memberikan kondisi
sekeliling yang tepat bagi bahan pangan dan dengan demikian membutuhkan pemikiran dan perhatian yang lebih besar daripada yang biasanya diketahui.
Semua bahan pangan mudah rusak dan ini berarti bahwa setelah suatu jangka waktu penyimpanan tertentu, ada kemungkinan untuk membedakan
antara bahan pangan segar dan bahan pangan yang telah disimpan dalam waktu tertentu. Kerusakan yang terjadi mungkin saja spontan, tetapi ini
sering disebabkan keadaan di luar dan kebanyakan pengemasan digunakan untuk membatasi antara bahan pangan dan keadaan normal sekelilingnya
untuk menunda proses kerusakan dalam jangka waktu yang diinginkan Buckle et.al., 1987.
Bahan pangan mempunyai sifat yang berbeda-beda dalam kepekaannya terhadap penyerapan atau pengeluaran gas udara dan uap air.
Untuk bahan pangan yang beraroma tinggi, umumnya memerlukan kemasan yang dapat menahan keluarnya komponen volatil Syarief et al., 1989.
Pengelompokan dasar dari bahan-bahan pengemas yang digunakan untuk bahan pangan termasuk logam, gelas, plastik, kertas, dan lapisan laminate
dari satu atau lebih bahan-bahan di atas. Kemasan gelas merupakan kemasan yang paling popular penggunaannya dalam bidang pangan. Sebagai bahan
kemas, gelas mempunyai sifat-sifat yang menguntungkan seperti inert tidak bereaksi, kuat, tahan terhadap kerusakan, sangat baik sebagai barier
terhadap benda padat, cair, dan gas Buckle et.al., 1987.
III. BAHAN DAN METODE
A. BAHAN DAN ALAT
Bahan baku utama yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah rimpang jahe, temulawak, kayu secang, daun kumis kucing, jeruk lemon,
jeruk nipis, jeruk purut, dan jeruk limau. Rimpang jahe Zingiber officinale Roscoe. dan temulawak Curcuma xantorrhiza didapatkan dari Balai
Penelitian Tanaman Rempah dan Obat-obatan BALITTRO, Cimangu- Bogor. Kayu secang Caesalpinia sappan Linn. didapatkan dari petani di
daerah Sumedang. Daun kumis kucing segar Orthosiphon aristatus BI. Miq didapatkan langsung dari pekarangan sekitar kampus IPB Darmaga.
Berbagai varietas jeruk dibeli dari Giant hypermarket yang ada di Bogor. Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis adalah radikal bebas
DPPH 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl, metanol, larutan penyangga asam asetat, akuades, asam askorbat, media Plate Count Agar PCA untuk uji
total mikroba, media Potato Dextrose Agar PDA dan asam tartarat untuk uji total kapang-khamir, serta bahan-bahan lainnya yang digunakan untuk uji
organoleptik. Bahan yang ditambahkan untuk membuat minuman yaitu gula pasir, hidrokoloid Carboxyl Methyl Cellulose CMC, Natrium Benzoat,
Kalium Sorbat, Kalsium Propionat, dan air minum. Alat-alat yang digunakan untuk mendapatkan ekstrak jahe,
temulawak, dan jeruk adalah juice extractor, sedangkan untuk mendapatkan ekstrak secang dan kumis kucing diperlukan saringan vakum dan rotary
evaporator rotavapor untuk pemekatan ekstrak. Untuk mempersiapkan
bahan baku diperlukan baskom, pisau, talenan, dan panci. Untuk membuat formulasi minuman digunakan botol kaca, pipet tetes, dan neraca analitik.
Untuk sterilisasi botol dan pasteurisasi produk minuman akhir digunakan autoclave
dan water bath. Alat-alat yang digunakan untuk analisis adalah pH meter,
refraktometer, kromameter, mikropipet, spektrofotometer, alat-alat uji mikrobiologi cawan petri, inkubator, alat-alat uji organoleptik, dan alat-
alat gelas lainnya.