MODIFIKASI PROSES PENGOLAHAN MINUMAN FUNGSIONAL

Penambahan ekstrak jeruk limau dan jeruk purut disukai oleh panelis mungkin karena terdapat perbedaan komposisi komponen volatilnya dengan jeruk lemon dan jeruk nipis. Komposisi minyak esensial jeruk limau belum diketahui, sedangkan minyak esensial pada jeruk purut terdiri dari sabinene 14.0, limonene 15.0, terpinen-4-ol 15.0, β-pinene 13.4, α- terpineol 9.8, γ-terpinene 4.0, cis-linalool oxide 3.6, isopulegol 3.3, dan trans-linalool oxide 3.1 Anonim, 2008. Minyak esensial pada jeruk lemon terdiri dari limonen 72, β-pinene 12.7, γ-terpinene 8.5, α-pinene 2.7, geranial 0.61, neral 0.51, geranyl acetate 0.40, citronelil acetate 0.17, dan octanal 0.15 Shaw, 1977. Minyak esensial pada jeruk nipis terdiri dari limonene 48, γ-terpinene 16, β-pinene 12, geranial 5.1, neral 3.2, neryl acetate 3, bisabolene 2.5, α-pinene 2.4, dan β-Caryophyllene 1.5 Shaw, 1977.

B. MODIFIKASI PROSES PENGOLAHAN MINUMAN FUNGSIONAL

BERBASIS KUMIS KUCING Modifikasi pada proses pengolahan minuman fungsional berbasis kumis kucing meliputi penurunan pH dengan penambahan ekstrak jeruk purut, penambahan bahan pengawet, pengemasan dengan botol gelas berwarna gelap, dan pasteurisasi pada suhu 80 C selama 30 menit guna memperoleh masa simpan minimal 3 bulan. Proses penurunan pH dilakukan dengan menambahkan ekstrak jeruk purut. pH yang rendah akan menghambat pertumbuhan mikroba yang tidak tahan asam seperti kebanyakan bakteri proteolitik dan bakteri gram negatif berbentuk batang Buckle et.al., 1987. Ekstrak jeruk merupakan jenis asidulan alami yang dapat ditambahkan ke dalam formulasi minuman karena dapat menurunkan nilai pH Swisher dan Swisher, 1980 seperti dikutip oleh: Nagy dan Shaw, 1990. Pemilihan ekstrak jeruk sebagai bahan pengasam alami bertujuan untuk meminimalkan jumlah bahan tambahan pangan BTP sintetis yang ditambahkan ke dalam minuman. Ekstrak jeruk didapatkan dengan pemerasan jeruk segar tanpa penambahan air prosedur ekstraksi pada lampiran 3. Nilai pH minuman setelah ditambah ekstrak jeruk purut adalah 3.83 4.5. Penurunan pH perlu dilakukan sampai 4.5 karena di atas pH sekitar 4.5 – 4.6, bakteri pembusuk anaerobik dan pembentuk spora yang patogen, yaitu Clostridium botulinum dapat tumbuh Buckle et al., 1987. Proses pemanasan yang diperlukan untuk menghancurkan semua spora dari organisme ini sama dengan reduksi dua belas desimal pada suhu 121 C Buckle et al., 1987. Proses pemanasan pada suhu tersebut kemungkinan dapat merusak sebagian besar senyawa aktif yang terkandung dalam minuman. Frazier dan Westhoff 1979 mengemukakan bahwa kegunaan bahan pengawet yang utama adalah untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme yang terkontaminasi pada bahan. Pertumbuhan mikroorganisme tersebut dihalangi dengan cara merusak membran sel, mempengaruhi aktifitas enzim, atau merusak mekanisme genetik. Bahan pengawet yang digunakan pada penelitian ini adalah natrium benzoat, kalium sorbat, dan kalsium propionat. Natrium benzoat dipilih sebagai bahan pengawet minuman karena secara efektif mampu menghambat pertumbuhan kapang dan khamir Jay, 1978. Batas penggunaan maksimum jenis pengawet ini di dalam minuman adalah 600 mgkg PP No. 722 Menkes Per IX 1988. Dalam bahan pangan natrium benzoat terurai menjadi zat yang lebih efektif, yaitu asam benzoat yang tidak dapat terdisosiasi. Penghambatan pertumbuhan mikroorganisme oleh asam benzoat efektif pada pH 2.5-4.0 Winarno, 1992. pH minuman yang ditambahkan ekstrak jeruk purut adalah 3.82, sehingga penambahan natrium benzoat ke dalam minuman ini sudah tepat. Selain natrium benzoat, juga ditambahkan kalium sorbat dan kalsium propionat. Asam sorbat memiliki sifat antimikroba hingga pH 6.5 dan asam propionat aktif pada bahan pangan yang memiliki pH hingga 5.5 Sofos dan Busta, 2005. Penambahan asam sorbat, asam propionat, dan asam benzoat ke dalam minuman dilakukan untuk melihat efektivitas bahan pengawet dalam menghambat pertumbuhan mikroba pada minuman selama penyimpanan. Pengaruh penambahan bahan pengawet terhadap pertumbuhan total mikroba selama penyimpanan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Total mikroba yang tumbuh pada minuman kontrol dan minuman yang ditambahkan pengawet selama penyimpanan No Minuman Jumlah mikroba CFUml pada pengamatan minggu ke- 2 4 6 8 10 12 1 2 3 4 Kontrol +Propionat +Benzoat +Sorbat 1 1 1 1 1 3 3 1 60 2 Keterangan: = tidak ditambah pengawet Berdasarkan tabel tersebut dapat diamati bahwa selama 12 minggu penyimpanan, jumlah mikroba pada minuman rendah 2.0 x 10 2 CFUml. Apabila dilihat kesesuaian dengan ketentuan dalam SNI, keempat formula minuman yang disimpan selama 12 minggu pada suhu ruang telah memenuhi syarat mikrobiologis karena jumlah TPC pada produk minuman yang diuji masih di bawah batas yang ditetapkan dalam SNI 2.0 x 10 2 . Rendahnya total mikroba pada minuman mungkin disebabkan rendahnya nilai pH minuman 4.0. Nilai pH medium sangat mempengaruhi jenis jasad renik yang dapat tumbuh. Fardiaz 1992 menyatakan bahwa bakteri mempunyai pH optimum sekitar 6.5-7.5. Pada pH di bawah 5.0 dan di atas 8.5 bakteri tidak dapat tumbuh dengan baik kecuali bakteri asam. Berdasarkan hasil tersebut dapat disebutkan bahwa bahan pengawet tidak perlu ditambahkan ke dalam minuman fungsional berbasis kumis kucing, apabila hanya dilihat dari mutu mikrobiologisnya. Bahan pengemas yang digunakan dalam penelitian ini adalah botol gelas berwarna gelap yang sudah disterilisasi dengan tutup botol berbentuk ulir lihat Gambar 8. Dalam penelitian ini digunakan botol gelas karena gelas mempunyai sifat-sifat yang menguntungkan seperti inert tidak bereaksi, kuat, tahan terhadap kerusakan, sangat baik sebagai barier terhadap benda padat, cair, dan gas Buckle et al., 1987. Aktivitas antioksidan pada minuman disebabkan karena adanya kandungan flavonoid Pratt, 1992. Menurut Wang 2007, flavonoid sangat sensitif terhadap cahaya, sinar tampak, dan ultraviolet. Oleh karena itu, digunakan botol gelas yang berwarna gelap untuk meminimalkan kerusakan antioksidan pada minuman selama penyimpanan. Gambar 8. Botol gelas yang digunakan untuk mengemas minuman Sebelum dikemas dalam botol gelas, cairan minuman dipanaskan terlebih dahulu sampai ± 80 C. Setelah dipanaskan, cairan minuman segera dimasukkan ke dalam botol gelas. Uap panas dari cairan minuman dapat mengeluarkan oksigen yang terdapat pada head space antara produk minuman dengan tutup botol Buckle et al., 1987. Adanya proses ini diharapkan dapat membentuk kondisi anaerob pada kemasan gelas. Pada kondisi tingkat oksigen yang rendah, mikroba pembusuk yang tumbuh karena adanya oksigen dapat dicegah dan diperlambat pertumbuhannya Buckle et al., 1987. Pengolahan panas merupakan salah satu cara paling penting yang telah dikembangkan untuk memperpanjang umur simpan bahan pangan. Proses termal dilakukan pada bahan pangan untuk memusnahkan mikroba pembusuk dan patogen Fardiaz, 1992. Jenis proses termal yang dipilih pada penelitian ini adalah pasteurisasi. pH minuman fungsional berbasis kumis kucing ini berada di bawah 4.5, sehingga penerapan proses pasteurisasi sudah tepat. Menurut Jay 1978, proses pasteurisasi hanya efektif untuk produk pangan berasam tinggi dengan nilai pH 4.5. Proses pasteurisasi diterapkan pada minuman yang telah dikemas dalam botol. Proses pasteurisasi yang diterapkan adalah 80 C selama 30 menit. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Herold 2007, pembuatan minuman fungsional berbasis kumis kucing dilakukan dengan menerapkan proses pasteurisasi pada suhu 75 C selama 30 menit. Namun minuman yang telah dipasteurisasi pada kombinasi suhu dan waktu tersebut hanya tahan 9 hari jika disimpan pada suhu ruang. Hal tersebut dapat terjadi mungkin karena kecukupan panas yang diterima produk belum memadai. Oleh karena itu, pada penelitian ini diterapkan proses pasteurisasi dengan kombinasi suhu dan waktu 80 C selama 30 menit, sehingga diharapkan masa simpan produk minuman yang dihasilkan lebih lama.

C. PENGAMATAN STABILITAS MINUMAN SELAMA PENYIMPANAN