Kehidupan politik Kehidupan ekonomi
Kehidupan Kerajaan-Kerajaan Hindu-Buddha di Nusantara
15
kekuasaan Sriwijaya. Kalimat terakhir prasasti ini berbunyi: Menghukum bumi Jawa yang tidak tunduk kepada Sriwijaya.
Prasasti ini menjadi bukti serangan Sriwijaya terhadap Tarumanegara yang membawa keruntuhan kerajaan tersebut.
d Prasasti Karang Berahi berangka tahun 608 Saka 686 M. Isinya hampir sama dengan prasasti Kota Kapur, hanya saja kalimat terakhir pada prasasti Kota
Kapur tidak dimuat lagi dalam prasasti ini. Isi prasasti ini memperjelas bahwa secara politik, Sriwijaya bukanlah negara kecil, melainkan memiliki wilayah
yang luas dan kekuasaannya sangat besar. Penaklukkan daerah Jambi dimuat dalam prasasti ini.
e Prasasti Telaga Batu tidak berangka tahun. Prasasti ini menyebutkan bahwa negara Sriwijaya berbentuk kesatuan. Prasasti ini juga menyebutkan kedudukan
putra-putra raja, antara lain, Yuwaraja atau putra mahkota calon raja, Pratiyuwaraja
atau putra mahkota yang lebih muda atau kedua, dan Raja Kumara
atau putra raja yang tidak berhak menjadi raja. f Prasasti Ligor berangka tahun 697 Saka 775 M ditemukan di Tanah Genting
Kra. Prasasti ini bermuka dua. Ligor A berisi pujian kepada leluhur Sriwijaya dan pendirian Buddha Sakyamuni, Aralukiteswara, serta Wajrapani. Ligor B
berisi sebutan Cailendravamsaprabumigadata sebagai gelar yang artinya pembunuh musuh yang gagah berani yang diberikan kepada raja-raja dari dinasti
Syailendra. Prasasti ini memuat juga kisah penaklukan Pulau Bangka dan Tanah Genting Kra Melayu oleh Sriwijaya.
g Prasasti Palas Pasemah tidak berangka tahun ditemukan di Lampung berisi penaklukan Sriwijaya terhadap Kerajaan Tulangbawang pada abad ke-7.
Dari sumber-sumber sejarah tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, pendiri Kerajaan Sriwijaya adalah Dapunta Hyang Sri Jayanegara yang
berkedudukan di Minangatwan. Kedua, Raja Dapunta Hyang berusaha memperluas wilayah kekuasaannya dengan menaklukkan wilayah di sekitar Jambi. Ketiga,
Sriwijaya semula tidak berada di sekitar Pelembang, melainkan di Minangatwan, yaitu daerah pertemuan antara Sungai Kampar Kanan dan Sungai Kampar Kiri.
Setelah berhasil menaklukan Palembang, barulah pusat kerajaan dipindah dari Minangatwan ke Palembang.