Product Quality Improvement Design in Palm Based Commodity Supply Chain.

(1)

PERENCANAAN PENINGKATAN MUTU PRODUK

DALAM RANTAI PASOK KOMODITI

BERBASIS KELAPA SAWIT

MUHARAMIA NASUTION

SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini, saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Perencanaan Peningkatan Mutu Produk dalam Rantai Pasok Komoditi Berbasis Kelapa Sawit adalah karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini.

Bogor, September 2011 Muharamia Nasution NRP. F351070171


(3)

ABSTRACT

MUHARAMIA NASUTION. Product Quality Improvement Design in Palm Based Commodity Supply Chain. Under direction of MARIMIN and INDAH YULIASIH

Supply Chain Management (SCM) becomes one of technique to achieve a competitive advantage. The objective of study is mapping of SCM problems, expecially about Controlling on quality product PT ASL Jambi and Palm Oil at PT PKB Bekasi.. This study examines the supply chain of palm oil-based commodities, identifying and analyzing the dominant factors affecting the quality. Next determine how to improve quality and establish quality improvement plans based on palm oil commodities.

The structure of commodity-based supply chain starts from the oil palm main plantations and Plasma - Cooperative - Processing Plant Palm Oil - CPO Processing Plant (Refinery) - cooking oil consumer. The dominant factors affecting the quality of the Fishbone diagram analysis (1) palm fruit bunches; (2) palm oil; (3) cooking oil; (4) the process of harvesting; (5) palm oil processing; and (6) cooking oil processing.

Quality control is done from incoming materials to the product at PT ASL and PT PKB was developed with the approach of food safety management system (HACCP). Control is done by closely monitoring at any point that is considered critical and can affect the quality of oil and commodity derivatives. In the post-harvest control performed on the area where the collection of palm. At the refinery plant, the observation point on the filling process by controlling the sources of physical hazards that may exist from plastic packaging used.

Planning to improve the quality of palm oil-based commodity approach which is interpreted through the QFD House of Quality. From the integrated analysis of the results obtained, factors affecting commodities and product quality improvement which is a technique of harvesting, the process of pressing and distribution process of CPO.


(4)

RINGKASAN

MUHARAMIA NASUTION. Perencanaan Peningkatan Mutu Produk dalam Rantai Pasok Komoditi Berbasis Kelapa Sawit. Dibimbing oleh MARIMIN dan INDAH YULIASIH.

Sawit merupakan salah satu komoditi pada sektor perkebunan yang mempunyai pertumbuhan paling pesat pada dua dekade terakhir. Kompetisi produk sawit di pasar dunia semakin ketat, sejumlah negara, khususnya negara konsumen secara nyata mempengaruhi terhadap kualitas sawit. Persyaratan mutu sawit yang sesuai dengan standar menjadi peranan penting bagi industri yang menggunakan dan mengolah agar produk yang dihasilkan bermutu tinggi dan seragam. Keseragaman mutu sawit ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya yaitu kegiatan panen, transportasi, pengolahan dan penyimpanan.

Penelitian ini mengkaji rantai pasok komoditi berbasis kelapa sawit, mengidentifikasikan dan menganalisis faktor-faktor yang dominan mempengaruhi mutu. Selanjutnya menentukan cara peningkatan mutu dan menetapkan perencanaan peningkatan mutu komoditi berbasis kelapa sawit.

Rantai pasok yang terdapat dalam komoditas kelapa sawit dan turunannya mengikuti pola sourcemake deliver. Struktur rantai pasok komoditi berbasis kelapa sawit diawali dari kebun Inti dan Plasma – Koperasi – Pabrik Pengolah Kelapa Sawit – Pabrik Pengolah CPO (Refinery) – konsumen minyak goreng.

Faktor-faktor yang dominan mempengaruhi mutu berdasarkan analisis diagram Fishbone yaitu (1) tandan buah sawit, meliputi persyaratan pemanenan, kematangan buah, berat TBS, brondolan, panjang tangkai dan pengumpulan TBS di tempat penampungan; (2) minyak sawit, meliputi kadar asam lemak, kadar air, kadar pengotor, harga dan ketepatan pengiriman; (3) minyak goreng, meliputi warna minyak cerah, produk sesuai dengan SNI minyak goreng, informasi produk dan kemasan produk; (4) proses pemanenan, meliputi teknik pemanenan, pengukuran kematangan buah, pengutipan brondolan, perlakuan TBS di TPH, pengumpulan TBS di TPH dan transportasi TBS ke pabrik minyak kelapa sawit; (5) proses pengolahan minyak sawit, meliputi penerimaan TBS dan sortir, pembongkaran TBS, perebusan, pelumatan, pengepresan, penyaringan, penyimpanan sementara, dan pendistribusian


(5)

CPO; (6) proses pengolahan minyak goreng , meliputi penerimaan CPO, degumming, bleaching/deodorizing, fractination/crystalizationdan pengemasan.

Pengendalian mutu yang dilakukan sejak bahan masuk hingga menjadi produk di PT ASL dan PT PKB dikembangkan dengan pendekatan sistem manajemen keamanan pangan (HACCP). Pengendalian dilakukan dengan memantau secara ketat di setiap titik yang dianggap kritis dan dapat mempengaruhi mutu komoditas sawit dan turunannya. Pada pasca panen pengendalian dilakukan pada area tempat pengumpulan hasil (TPH). Titik kritis yang diamati adalah areal TPH harus selalu bersih serta pencegahan kotoran fisik yang mungkin terikut saat pengambilan brondolan, sehingga sebaiknya pengambilan brondolan dilakukan secara manual. Pada pabrik pengolah kelapa sawit, titik kritis yang diamati adalah kemungkinan kontaminasi solar saat tandan buah sawit (TBS) diangkut menggunakan truk yang digunakan juga untuk mengangkut solar. Selain solar, kontaminasi pupuk juga dikhawatirkan mencemari TBS, dengan sumber kontaminan berasal dari truk yang dipergunakan bersamaan dengan pengangkutan pupuk. Pada pabrik refinery, pengamatan titik kritis pada proses filling dengan mengendalikan sumber bahaya fisik yang mungkin ada dari kemasan plastik yang dipergunakan.

Perencanaan peningkatan mutu komiditi berbasis kelapa sawit dengan pendekatan QFD yang diinterpretasikan melalui House of Quality. Dari analisa terintegrasi diperoleh hasil, faktor yang berpengaruh terhadap peningkatan mutu komoditas dan produk yaitu teknik pemanenan, proses pengepresan dan proses pendistribusian CPO. Dari faktor yang mempengaruhi tersebut, perencanaan peningkatan mutu dapat dilakukan melalui perbaikan teknik pemanenan dengan melakukan sosialisasi kepada petani secara konsisten mengenai prosedur kerja. Dalam proses pengepresan perencanaan peningkatan mutu dapat dilakukan dengan mengendalikan seluruh aspek dimulai dari sumber daya manusia di bagian pengepresan dan mesin press agar mutu yang diinginkan yang dilihat dari kandungan asam lemak bebas dapat terpenuhi. Dalam proses pendistribusian CPO, perencanaan dilakukan dengan mengendalikan kegiatan pendistribusian dengan tujuan mempertahankan kandungan asam lemak bebas pada CPO selama pendistribusian dan pengendalian agar tidak terjadi kontaminasi selama pendistribusian.


(6)

@ Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor

2. Dilarang menggunakan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin Institut Pertanian Bogor.


(7)

PERENCANAAN PENINGKATAN MUTU PRODUK

DALAM RANTAI PASOK KOMODITI

BERBASIS KELAPA SAWIT

MUHARAMIA NASUTION

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(8)

Penguji Luar Komisi:


(9)

Judul Tesis : Perencanaan Peningkatan Mutu Produk dalam Rantai Pasok Komoditi Berbasis Kelapa Sawit

Nama : Muharamia Nasution NIM : F351070171

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Marimin, M.Sc Dr. Ir. Indah Yuliasih, M.Si

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Teknologi Industri Pertanian

Dr. Ir. Machfud, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Agr


(10)

KATA PENGANTAR

Alhamdulilah, Puji syukur penulis haturkan hanya pada Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayahNya dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul “Perencanaan Peningkatan Mutu Produk dalam Rantai Pasok Komoditi Berbasis Kelapa Sawit”. Penelitian dan tesis ini disusun guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada program Studi Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Dalam penyusunan tesis ini, penulis mendapatkan bimbingan dan arahan dari berbagai pihak. Ucapak terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada

1. Prof. Dr. Ir. Marimin, M.Sc, selaku Ketua Komisi Pembimbing akademik atas bimbingan, arahan dan nasehat kepata penulis sejak perkuliahan di TIP, penelitian dan penyusunan tesis.

2. Dr. Ir. Indah Yuliasih, M.Si selaku anggota komisi pembimbing atas bimbingan dan arahannya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

3. Dr.Ir.HartrisariHardjomidjojo, DEA, sebagai penguji atas saran dan masukannya dalam penyempurnaan tesis ini pada ujian sidang.

4. Prof. Dr. Ir. Tun Tedja Irawadi, M.Sc dan Dr. Ir. Hermawan Thaheer yang telah banyak memberikan saran, masukan, dan dorongan moral sehingga penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana IPB. 5. Dr. Ir. Machfud, MS dan Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, M.Si sebagai Ketua dan

Sekretaris Program Studi TIP yang dengan penuh perhatian dan dedikasi tinggi senantiasa mendorong para mahasiswa TIP untuk dapat menyelesaikan studi dengan baik.

6. Keluarga besar di Lembaga Sertifikasi laboratorium Terpadu IPB, teman-teman pascasarjana TIP 2007 terimakasih atas dukungan dan semngat yang diberikan kepada penulis.

7. PT Astra Agro Lestari atas izin penelitian di PT SAL 1 – Jambi, terutama Pak Cahyo, Pak Hadi, Sari dan Ibu Fifi yang banyak membantu dalam penelitian ini. 8. Pak Maurul yang banyak membantu dalam pengumpulan data proses Refinery


(11)

9. Tak lupa, penulis sangat berterima kasih kepada Abah Zein, Mamih Ella, Ayah Giri, Ami, Icha, Chacha, Ade Ucok dan seluruh keluarga yang telah mengiringi dengan kekuatan doa dan ketulusan cinta.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu dengan segala ketulusan dan kerendahan hati, saran, kritik dan masukan yang konstruktif sangat diharapkan untuk perbaikan dan penyempurnaan dimasa mendatang. Semoga karya tulis ini dapat bermanfaat.

Bogor, September 2011 Penulis


(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor, pada tanggal 22 Desember 1976 dari ayah Muhamad Zein nasution dan (Almarhumah) Ibu Siti Rochmah. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 1988 di SD Negeri Polisi 1 Bogor. Pada tahun 1991 menamatkan pendidikan menengah di SMP Negeri 4 Bogor dan pada tahun 1994 lulus dari SMA Negeri 5 Bogor. Penulis diterima untuk melanjutkan pendidikan tinggi di Institut Pertanian Bogor pada tahun 1994 dan belajar di Fakultas Teknologi Pertanian, Jurusan Teknologi Industri Pertanian hingga lulus pada tahun 2000. Selanjutnya penulis melanjutkan program master pada tahun 2007 di program studi Teknologi Industri Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Saat ini penulis bertugas di Lembaga Sertifikasi Laboratorium Terpadu sejak Agustus 2003 sebagai Administrasi, Keuangan dan Lead Auditor.

Penulis menikah dengan Giri Pramono, S.TP dan telah dikarunia dua putri bernama Annisa Nur Fajriah dan Zahra Syawa Pramia serta seorang putra M. Abbad R. Pramono.


(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ...………. i

DAFTAR TABEL ...………. iv

DAFTAR GAMBAR ....……… vi

DAFTAR LAMPIRAN…..………... viii

BAB I. PENDAHULUAN……...………. 1

1.1. Latar Belakang .……… 3

1.2. Tujuan Penelitian ……….. 4

1.3. Ruang Lingkup ……….. 4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ……….... 5

2.1. Komoditi dan Produk Berbasis Sawit ………... 5

2.2. Manajemen Rantai Pasok ………... 9

2.3. Metode SCOR untuk Evaluasi SCM ……… 11

2.4. Sistem Manajemen Mutu Keamanan Pangan..………... 15

2.5. Teknik Pengendalian Kualitas……… 17

2.5.1. Cause and Effect Diagram………...……....……….. 17

2.5.2. Quality Function Deployment(QFD)………...…...…………... 19

2.6. Penelitian Terdahulu dan Pelaksanaan Penelitian……… 21

BAB III. METODE PENELITIAN………... 26

3.1. Tahapan Penelitian……… 26

3.2. Metoda Pengumpulan Data……… 26

3.3. Kerangka Logika Penelitian………... 27

3.4. Metode Sampling Pengambilan Data………. 28

3.5. Metoda Analisis Data………... 33

3.5.1. Analisis Rantai Pasok Sawit………...……… 33

3.5.2. Desain Model Peningkatan Mutu ..…………... 33

3.5.3. Identifikasi Faktor-faktor Domonan Berpengaruh terhadap Mutu Rantai Pasok Komoditas dan Komoditi Berbasis Kelapa Sawit………...………... 37


(14)

3.5.3. Perencanaan Mutu dan Strategi Peningkatan Mutu Sawit……..….... 37

3.6. Lokasi dan Waktu Penelitian……… 37

BAB IV. PERKEMBANGAN MINYAK SAWIT DAN TURUNANNYA DI INDONESIA ...………... 38

BAB V. ANALISIS RANTAI PASOK……… 43

5.1. Struktur Rantai Pasokan……….……… 43

5.2. Sasaran Rantai……… 53

5.3. Sumber Daya Rantai………..……… 60

5.4. Proses Bisnis Rantai………... 66

5.5. Desain Metrik Pengukuran Rantai Pasok Komoditi Berbasis Kelapa Sawit dengan Pendekatan SCOR Model……….... 68

BAB VI. PENINGKATAN MUTU PRODUK KOMODITAS BERBASIS KELAPA SAWIT…………...………... 74

6.1. Atribut Mutu Kelapa Sawit……….………... 74

6.2. Atribut Mutu Minyak Sawit ...……….. 77

6.3. Atribut Mutu Minyak Goreng……… 79

6.4. Atribut Mutu Minyak Integrasi……… 81

BAB VII. FAKTOR-FAKTOR DOMINAN BERPENGARUH TERHADAP MUTU………... 84

7.1. Faktor-Faktor Dominan yang Mempengaruhi Mutu Proses Pemanenan… 86 7.2. Faktor-Faktor Dominan yang Mempengaruhi Mutu Proses Pengolahan Minyak Sawit………... 87

7.3. Faktor-Faktor Dominan yang Mempengaruhi Mutu Proses Pengolahan Minyak Goreng……….. 89

BAB VIII. PENINGKATAN MUTU MELALUI SISTEM HACCP………… 90

8.1. Pembentukan Tim HACCP……… 91

8.2. Deskripsi Produk……… 96

8.3. Identifikasi Pengguna Produk……… 97

8.4. Penyusunan Bagan alir……… 97


(15)

8.6. Analisa Bahaya ....………..……..………… 98

8.6.1. Identifikasi Bahaya ..……….……… 98

8.6.2. Penetapan Bahaya ...………..…….... 99

BAB IX. KESIMPULAN DAN SARAN ……….... 102

9.1. Kesimpulan ...……… 102

9.2. Saran ...……… 103

DAFTAR PUSTAKA ………... 104

LAMPIRAN ………... 107


(16)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Luasan lahan yang tersedia untuk kelapa Sawit ………... 7

Tabel 2. Kesediaan lahan produksi kelapa sawit ………. 9

Tabel 3. Model Hierarki SCOR ………..…………. 15

Tabel 4. Dokumen GMP Amerika Serikat ………... 16

Tabel 5. Tujuh prinsip HACCP dan duabelas langkah penerapannya ………... 17

Tabel 6. Perbandingan dan posisi penelitian yang dilakukan ……… 25

Tabel 7. Kerangka Logika Penelitian ……….. 29

Tabel 8. Keterangan responden ahli penelitian ……….. 30

Tabel 9. Formulir kegiatan pasca panen mitra petani – perusahaan …………. 32

Tabel 10. Formulir kegiatan proses didalam rantai pasok ………. 32

Tabel 11. Produksi Perkebunan Besar menurut Jenis Tanaman, Indonesia (Ton), Periode 1995-2009 ……….. 39

Tabel 12. Volume dan nilai ekspor, Impor Indonesia ………. 40

Tabel 13. Anggota rantai pasok ……… 48

Tabel 14. Standar kualitas buah sawit ……… 50

Tabel 15. Standar kualitas minyak sawit kasar (CPO) ……… 50

Tabel 16. Standar kualitas minyak goreng ………. 51

Tabel 17. Perusahaan peserta tender CPO pengiriman melalui pelabuhan Talang Duku dan Teluk Bayur ………...… 51

Tabel 18. Performancepabrik PT ASL Tahun 2010 ……….. 54

Tabel 19. Kriteria faktor pemilihan mitra..………... 57

Tabel 20. Kriteria pemilihan mitra menurut Dickson dalam Pujawan ……... 57

Tabel 21. Ketersediaan Lahan Produksi Kelapa Sawit ………... 61

Tabel 22. Metrik Level 1 dan Atribut Performa SCOR ………... 71

Tabel 23. Tabel Hierarki Metrik ... 72

Tabel 24. Atribut mutu tandan buah sawit ... 74

Tabel 25. Atribut mutu minyak sawit ...………..………… 77

Tabel 26. Atribut mutu minyak goreng ………..………… 79

Tabel 27. Derajat kesulitan faktor-faktor dominan yang mempengaruhi mutu komoditas berbasis kelapa sawit ……… 84


(17)

Tabel 28. Deskripsi produk ………. 95 Tabel 29. Penentuan bahaya potensial nyata proses produksi CPO ……… ….. 99 Tabel 30. Penentuan bahaya potensial nyata proses produksi minyak


(18)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Pohon industri kelapa sawit ………. 8

Gambar 2. Luas dan produksi kelapa sawit propinsi Jambi, Tahun 2008 …... 9

Gambar 3. Aliran material ... 10

Gambar 4. Skema ruang lingkup SCOR ... 12

Gambar 5. SCOR sebagai model referensi proses bisnis ………... 14

Gambar 6. Diagram sebab akibat ……….. 18

Gambar 7. Matriks rumah kualitas ……… 21

Gambar 8. Diagram alir penelitian peningkatan mutu produk pada rantai pasok komoditas dan produk berbasis sawit ……… 28

Gambar 9. Kerangka analisis manajemen rantai pasokan ……… 31

Gambar 10. Bentuk hierarki kebutuhan pelanggan (WHATs) ………. 34

Gambar 11. Bentuk hierarki kepentingan pelanggan ……… 35

Gambar 12. Karakteristik proses (HOWs) ………. 35

Gambar 13. Hubungan karakteristik pelanggan dan karakteristik proses ……. 36

Gambar 14. Hubungan antar karakteristik proses ………. 37

Gambar 15. Volume dan Nilai Ekspor Komoditi kelapa Sawit, 2000-2006 … 41 Gambar 16. Stuktur rantai pasok sawit ………. 44

Gambar 17. Buah sawit mentah ………. 58

Gambar 18. Buah Sawit Matang ……… 58

Gambar 19. Buah Sawit Busuk ……… 58

Gambar 20. Diagram alir proses pengolahan kelapa sawit ………. 64

Gambar 21. Diagram alir proses minyak goreng ……….. 65

Gambar 22. Rumah kualitas (QFD I) atribut mutu kelapa sawit dengan tahapan proses ……….... 76

Gambar 23. Kandungan asam lemak bebas PT ASL tahun 2010 …………... 77

Gambar 24. Rumah kualitas (QFD II) atribut mutu minyak sawit kasar dengan tahapan proses ……….. 78

Gambar 25. Rumah kualitas (QFD III) atribut mutu minyak goreng dengan tahapan proses ………. 80


(19)

Gambar 26 Rumah kualitas (QFD IV) atribut mutu integrasi ... 83 Gambar 27. Diagram sebab akibat (Fishbone) pada komoditas berbasis kelapa


(20)

LAMPIRAN

Lampiran 1. Kuisioner ...………... 107 Lampiran 2. Performance PT ASL produk CPO ………... .. 121 Lampiran 3. Jawaban responden tingkat kepentingan dan atribut

mutu kelapa sawit ...………... 122 Lampiran 4. Jawaban responden tingkat kepentingan dan atribut

mutu minyak sawit kasar ...………... 124 Lampiran 5. Jawaban responden tingkat kepentingan dan atribut

mutu minyak goreng ...………... 126 Lampiran 6. Hasil uji minyak sawit kasar ... 128 Lampiran 7. Hasil uji minyak goreng ... 129 Lampiran 8. Standar Nasional Indonesia (SNI) Minyak Sawit Kasar (CPO) 130 Lampiran 9. Standar Nasional Indonesia Minyak Goreng ... 145


(21)

BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara penghasil kelapa sawit terbesar kedua setelah Malaysia. Kelapa sawit merupakan salah satu komoditi pada sektor perkebunan yang mempunyai pertumbuhan paling pesat pada dua dekade terakhir. Pertumbuhan kelapa sawit memberikan manfaat yang besar bagi industri hilir pengolah minyak sawit dan berperan dalam menyediakan kesempatan kerja bagi masyarakat sekitar kawasan industri (pabrik). Selain itu, beberapa faktor yang melandasi perkembangan produk berbasis sawit yaitu tingkat efisiensi yang tinggi dari minyak sawit dimulai dari produktivitas lahan dan produksi minyak sawit (Crude Palm Oil = CPO). Faktor lain yaitu sekitar 80% dari penduduk dunia, khususnya di negara berkembang masih berpeluang meningkatkan konsumsi per kapita untuk minyak dan lemak. Faktor berikutnya adalah terjadinya pergeseran dalam industri yang menggunakan bahan baku minyak bumi ke bahan yang lebih bersahabat dengan lingkungan yaitu oleokimia yang berbahan baku CPO.

Kompetisi sawit dan produk hasil olahannya di pasar dunia semakin ketat, sejumlah negara, khususnya negara konsumen secara nyata mempengaruhi terhadap kualitas sawit dan produk hasil olahannya. Persyaratan mutu sawit dan produk olahannya sesuai dengan standar menjadi peranan penting bagi industri yang menggunakan dan mengolah agar produk yang dihasilkan bermutu tinggi dan seragam. Keseragaman mutu sawit dan produk olahannya ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya yaitu kegiatan panen, transportasi, pengolahan hulu dan hilir dan penyimpanan, yang merupakan satu rangkaian kegiatan bersinambung dan terkoordinasi. Namun dalam pelaksanaan, keseragaman mutu sepanjang rantai kegiatan sulit untuk diperoleh. Selain faktor bahan baku yang tidak memenuhi spesifikasi standar, juga tahapan proses yang tidak mampu menghasilkan produk sesuai standar.

Minyak sawit memegang peranan penting dalam perdagangan dunia. Oleh karena itu, syarat mutu harus menjadi perhatian utama dalam perdagangannya. Istilah mutu minyak sawit dapat dibedakan menjadi dua arti yang sangat penting yaitu : Pertama; benar-benar murni dan tidak bercampur dengan minyak nabati lain.


(22)

Mutu minyak sawit tersebut dapat ditentukan dengan menilai sifat-sifat fisknya, yaitu dengan mengukur nilai titik lebur angka penyabunan dan bilangan iodium. Kedua: pengertian mutu minyak sawit berdasarkan ukuran. Dalam hal ini syarat mutu yang diukur berdasarkan spesifikasi standar mutu nasional dan Internasional yang meliputi kadar ALB, air, kotoran, logam tembaga, peroksida dan ukuran pemucatan.

Manajemen rantai pasok (supply chain management) produk pertanian/perkebunan mewakili manajemen keseluruhan proses produksi secara keseluruhan dari kegiatan pengolahan, distribusi, pemasaran, hingga produk yang diinginkan sampai ke tangan konsumen. Manajemen rantai pasok produk pertanian/perkebunan berbeda dengan manajemen rantai pasok produk manufaktur lainnya karena: (1) produk pertanian/perkebunan bersifat mudah rusak, (2) proses penanaman, pertumbuhan dan pemanenan tergantung pada iklim dan musim, (3) hasil panen memiliki bentuk dan ukuran yang bervariasi, (4) produk pertanian bersifat kamba sehingga produk sulit untuk ditangani (Austin, 1992; Brown, 1994). Seluruh faktor tersebut harus dipertimbangkan dalam desain manajemen rantai pasok produk pertanian karena kondisi rantai pasok produk pertanian lebih kompleks daripada rantai pasok pada umumnya.

Manajemen rantai pasok adalah keterpaduan antara perencanaan, koordinasi dan kendali seluruh proses dan aktivitas bisnis dalam rantai pasok untuk memenuhi kebutuhan konsumen dengan biaya termurah (Chopra dan Meindel, 2007). Rantai pasok lebih ditekankan pada beberapa aliran dan transformasi produk, aliran informasi dan keuangan dari tahapan bahan baku sampai pada pengguna akhir (Handfield, 2002). Sementara, manajemen rantai pasok menekankan pada upaya memadukan kumpulan rantai pasok dalam rangka untuk meningkatkan efektifitas, efisiensi dan responsifitas sistem rantai pasok tersebut (Van der Vorst, 2004).

Ketentuan mutu sawit di Indonesia, mulai dari penanaman sampai dengan penanganan pasca panen, sesungguhnya telah mengacu pada aturan yang terdapat di dalam standar mutu secara umum, seperti SNI (Standar Nasional Indonesia) dan beberapa persyaratan mutu, seperti GAP (Good Agriculture Practices), GHP (Good Handling Practices), GMP (Good Manufacturing Practices), SPS (Sanitary and Phytosanitary Measures), serta MRLs (Maximum Residu Limits). Dalam penerapan yang ditemui di PT ASL, standar mutu dan syarat mutu buah tersebut belum


(23)

sempurna atau sering salah. Penyebabnya ada beberapa hambatan, seperti inkonsistensi petani di hulu dalam perawatan, pemanenan, dan pengolahan, infrastruktur dan laboratorium penguji belum siap, keterbatasan SDM (Sumber Daya Manusia) bermutu, dan mekanisme pengawasan dan pemeriksaan ketetapan standar dan syarat mutu oleh lembaga pemerintah belum efektif.

Hal cukup prinsip yang juga mempengaruhi keberhasilan penerapan standar dan syarat mutu ini adalah adanya keselarasan penerapan. Beberapa standar dan syarat mutu yang telah disebutkan di atas ternyata belum selaras atau sinkron satu sama lainnya. Hal ini tentunya memerlukan penyelarasan sehingga syarat dan standar mutu tersebut dapat bersifat terintegrasi dan komprehensif. Salah satu upaya menselaraskan yang telah dilakukan khususnya untuk sawit adalah dengan membuat SOP (Standar Operasional Prosedur) mengenai pemanenan sawit hingga pengolahannya dan mensosialisasikan kepada petani. Harapan dari tersusunnya SOP ini adalah dapat menjadi acuan penerapan di lapangan, sekaligus merangsang minat petani untuk dapat mengatasi permasalahan mutu sawit yang selama ini terjadi.

PT ASL merupakan salah satu perusahaan yang bergerak di bidang produksi pengolahan kelapa sawit, dengan produk yang dihasilkan yaitu CPO dan Kernel. CPO dan kernel yang dihasilkan dikumpulkan pada gudang kernel dan tangki CPO yang terletak di pabrik untuk selanjutnya didistribusikan dan disimpan sementara di tangki pelabuhan. Pemasaran Kernel ditujukan sebagian untuk ekspor dan sebagian diolah untuk menjadi minyak inti sawit (Palm Kernel Oil = PKO) dan sedangkan CPO untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik dan ekspor. Dalam memenuhi kebutuhan pasar, permasalahan yang muncul yaitu ketidak-konsisten mutu CPO yang dihasilkan, yang menyebabkan penurunan harga yang telah disepakati dan akan mempengaruhi terhadap mutu pada proses lanjut CPO. Oleh karena itu, diperlukan kajian mengenai aspek mutu sepanjang rantai proses turunan sawit untuk mempertahankan mutu sepanjang rantai proses yang diharapkan dapat menurunkan biaya produksi, meningkatkan mutu produk, serta meningkatkan keuntungan bagi perusahaan.


(24)

1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan Penelitian ini adalah :

1. Mengidentifikasi dan menganalisis rantai pasok komoditi berbasis kelapa sawit. 2. Mengidentifikasikan dan menganalisis faktor-faktor yang dominan

mempengaruhi mutu komoditi berbasis kelapa sawit.

3. Menentukan cara peningkatan mutu komoditi berbasis kelapa sawit.

4. Menetapkan perencanaan peningkatan mutu komoditi berbasis kelapa sawit.

1.3. Ruang Lingkup

Lingkup kajian penelitian ini dimulai dari panen, pengumpul/pasca panen, Pengolahan Kelapa Sawit (PKS) dan pengolahan minyak sawit (Refinery). Lokasi penelitian untuk kajian pengolahan kelapa sawit dilakukan di PT ASL – Jambi dan kajian pengolahan minyak sawit dilakukan di PT BKP – bekasi. Dalam bahasan dibatasi pada :

1. Komoditi berbasis kelapa sawit antara lain Tandan Buah Segar (TBS), pengolahan TBS menjadi CPO dan Kernel, dan pengolahan CPO menjadi minyak goreng.

2. Identifikasi struktur mutu rantai pasok komoditi berbasis kelapa sawit melalui pendekatan SCOR (Supply Chain Operation Reference)

3. Analisis dan penilaian perencanaan mutu melalui pendekatan sistem manajemen keamanan pangan dan SPC (Statistical Process Control)

4. Analisis perencanaan peningkatan mutu komoditi berbasis kelapa sawit melalui pendekatan QFD (Quality Function Deployment).


(25)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Komoditi dan produk berbasis sawit

Kelapa sawit adalah tanaman perkebunan/industri berupa pohon batang lurus dari famili Palmae. Tanaman tropis ini dikenal sebagai penghasil minyak sayur yang berasal dari Amerika. Brazil dipercaya sebagai tempat di mana pertama kali kelapa sawit tumbuh. Dari tempat asalnya, tanaman ini menyebar ke Afrika, Amerika Equatorial, Asia Tenggara, dan Pasifik Selatan. Benih kelapa sawit pertama kali yang ditanam di Indonesia pada tahun 1984 berasal dari Mauritius, Afrika. Perkebunan kelapa sawit pertama dibangun di Tanahitam, Hulu Sumatera Utara oleh Schadt (Jerman) pada tahun 1911.

Klasifikasi kelapa sawit adalah sebagai berikut :

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledonae

Keluarga : Palmaceae

Sub keluarga : Cocoideae

Genus : Elaeis

Spesies : Elaeis guineensis Jacq

Varietas unggul kelapa sawit adalah varietas Dura sebagai induk betina dan Pisifera sebagai induk jantan. Hasil persilangan tersebut memiliki kualitas dan kuantitas yang lebih baik.

Produk minyak sawit sebagai bahan makanan mempunyai dua aspek kualitas. Aspek pertama berhubungan dengan kadar dan kualitas asam lemak, kelembaban dan kadar kotoran. Aspek kedua berhubungan dengan rasa, aroma dan kejernihan serta kemurnian produk. Kelapa sawit bermutu prima (SQ, Special Quality) mengandung asam lemak (FFA = Free Fatty Acid) tidak lebih dari 2 % pada saat pengapalan. Kualitas standar minyak kelapa sawit mengandung tidak lebih dari 5 % FFA. Setelah pengolahan, kelapa sawit bermutu akan menghasilkan rendemen minyak 22,1 % - 22,2 % (tertinggi) dan kadar asam lemak bebas 1,7 % - 2,1 % (terendah).

Syarat mutu diukur berdasarkan spesifikasi standar mutu internasional yang meliputi kadar asam lemak bebas (ALB), air, kotoran, logam besi, logam tembaga,


(26)

peroksida, dan ukuran pemucatan. Kebutuhan mutu minyak sawit yang digunakan sebagai bahan baku industri pangan dan non pangan masing-masing berbeda. Oleh karena itu keaslian, kemurnian, kesegaran, maupun aspek higienisnya harus lebih diperhatikan. Rendahnya mutu minyak sawit sangat ditentukan oleh banyak faktor. Faktor-faktor tersebut dapat langsung dari sifat induk pohonnya, penanganan pascapanen, atau kesalahan selama pemrosesan dan pengangkutan.

Dari beberapa faktor yang berkaitan dengan standar mutu minyak sawit, didapat hasil dari pengolahan kelapa sawit, seperti di bawah ini :

· Crude Palm Oil · Crude Palm Stearin · RBD Palm Oil · RBD Olein · RBD Stearin · Palm Kernel Oil

· Palm Kernel Fatty Acid · Palm Kernel

· Palm Kernel Expeller (PKE) · Palm Cooking Oil

· Refined Palm Oil (RPO)

· Refined Bleached Deodorised Olein (ROL) · Refined Bleached Deodorised Stearin (RPS) · Palm Kernel Pellet

· Palm Kernel Shell Charcoal

Selain sebagai sumber minyak goreng kelapa sawit, produk turunan kelapa sawit ternyata masih banyak manfaatnya (Gambar 1) dan sangat prospektif untuk dapat lebih dikembangkan, antara lain:

1. Produk turunan CPO. Produk turunan CPO selain minyak goreng kelapa sawit, dapat dihasilkan margarine, shortening, vanaspati (vegetable ghee), ice creams, bakery fats, instans noodle, sabun dan detergent, cocoa butter extender, chocolate dan coatings, specialty fats, dry soap mixes, sugar confectionary, biskuit cream fats, filled milk, lubrication, textiles oilsdan biodiesel.


(27)

Khusus untuk biodiesel, permintaan akan produk ini pada beberapa tahun mendatang akan semakin meningkat, terutama dengan diterapkannya kebijaksanaan di beberapa negara Eropa dan Jepang untuk menggunakan renewable energy.

2. Produk turunan minyak inti sawit. Dari produk turunan minyak inti sawit dapat dihasilkan shortening, cocoa butter substitute, specialty fats, ice cream, coffee whitener/cream, sugar confectionary, biscuit cream fats, filled mild, imitation cream, sabun, detergent, shampoodan kosmetik.

3. Produk turunan Oleochemicals kelapa sawit. Dari produk turunan minyak kelapa sawit dalam bentuk oleochemical dapat dihasilkan methyl esters, plastic, textile processing, metal processing, lubricants, emulsifiers, detergent, glicerine, cosmetic, explosives, pharmaceutical productsdan food protective coatings.

Ketersediaan lahan produksi kelapa sawit disajikan dalam Gambar 2. Menurut Taher et al.(2000), enam propinsi potensi terbesar untuk ketersediaan lahan produksi kelapa sawit yaitu propinsi Jambi, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Papua Barat. Kisaran luasan lahan tersebut disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Luasan lahan yang tersedia untuk kelapa Sawit

Propinsi Luas (000 ha)

Jambi 50

Kalimantan tengah 310 Kalimantan Timur 370 Sulawesi Selatan 130

Sulawesi tengah 200

Papua Barat 2000

Total 3060

Sumber : Taher et al., 2000

Provinsi Jambi saat ini sedang giat mengembangkan perkebunan kelapa sawit, baik oleh perkebunan swasta, negara maupun rakyat. Keragaman perkebunan kelapa sawit di Provinsi Jambi disajikan pada Tabel 2. Dari total luasan tersebut, luas perkebunan swasta mencapai 139.276 ha (38,2%), perkebunan negara 19.671 ha (5,4%), dan perkebunan rakyat 205.599 ha (56,4%).


(28)

Gambar 1. Pohon industri kelapa sawit (Departemen Pertanian, 2009)

Tandan Buah Segar (TDS) Kelapa Sawit

Buah Kelapa Sawit Sludge Tandan Kosong

Daging Kelapa Sawit Minyak Kelapa

Sawit

Biji Kelapa Sawit Inti Kelapa Sawit

Tempurung Serat

Carotene Tocopherol Olein Stearin Free Fatty Acid

(FFA)

Soap Stock Bungkil Minyak inti sawit

(palm kernel oil) TempurungTepung BahanBakar

Arang Bahan

selulosa

Cocoa

Butter GorengMinyak Minyak Margarine Shortening Vegetable Ghee Minyak Glyserin Sabun Komponen Fatty acid Lauric acid Myristic acid Briket Arang Aktif Asam Kertas

Fatty Alkohol

(Ester) Mettalic Salt Polyethoxylated

Derivatives Fatty Amines Ester of Dibasic Acid Oxygenated Fatty Acid Fatty alcohol, dll Fatty Acid Amides

Palmitic / Propanol Palmitic / Butanol

Stearic / Butanol Stearic / Glycol

Oleic / Glycol Oleic / Melhanol Oleic / Oleoalkohol

Palmitic Stearic / Ca.Zn Stearic / Ca.Mg

Stearic / Al. Li Oleic / Zn, Pb Oleic / Ba

Palmitic / Ethylene Propylene Oxide Stearic / Ethylene

Propylene Oxide Oleic Acid Dimer Ethylene Propylene

Oxide

Primary C16 & C18 C16 & C18 / Ethoxylated C16 & C18 /

Guanidine Ethoxylated Secondary C16 & C18 / Ehoxylated Quatenary C16 &

C18

Azelaiz / Butanol Octanol as Ester Azelaiz / Glycol Esters

Oleic Acid Dimer / Butanol & Octanol Esters

Epoxy Stearic / Octanol Esters Elthio Stearin Mono & Polyhidric Alkohol Esters

C16 & C18 Alcohol / Sulphated C16 & C18 Alcohols / Esterified with higher saturated Fatty Acids

C16 & C19 and C16 & C19 alcohol /

Ethoxylation Monoglycerides Monoglycerides Ethoxylation C16 Aldehyde Stearamide Oleamide Alkanolamides Sulphated Alcanolamide of Palmitic, Stearic

and Oleic Acids


(29)

Gambar 2. Kesediaan lahan produksi kelapa sawit (Taher, et al, 2000) Tabel 2. Luas dan produksi kelapa sawit propinsi Jambi, Tahun 2008

Kabupaten TBM TM LuasTR Jumlah Produksi (ton) Produktivitas (kg/ha)

Batanghari 9.808 52.695 2.980 65.483 160.882 3.053 Muaro Jambi 31.785 95.461 368 127.614 297.226 3.114 Bungo 10.385 39.062 155 49.602 145.221 3.718 Tebo 17.323 21.876 1.287 40.486 85.881 3.926 Merangin 7.308 43.326 - 50.634 153.676 3.547 Sarolangun 8.991 30.049 420 39.460 100.557 3.346 Tanjung

Jabung Barat 15.685 68.633 280 84.598 229.285 3.341 Tanjung

Jabung

Timur 13.430 12.767 - 26.197 30.705 2.408

Kerinci 63 - - 63 -

-Jumlah 114.778 363.869 5.490 484.137 1.203.433 3.307

Sumber : Dinas Perkebunan Propinsi Jambi, 2009

Keterangan : TBM = Tanaman belum menghasilkan, TM = Tanaman menghasilkan, TR = Tanaman Rusak

2.2. Manajemen Rantai Pasok

Agroindustri perkebunan merupakan rantai beberapa pelaku usaha (antara lain petani, pengumpul, pengepak, pengolah, penyedia layanan penyimpanan dan transport, pedagang besar, eksportir, importir, distributor, dan pengecer) yang bekerja sama dalam hubungan sebagai pemasok dan konsumen. Manajemen rantai pasok komoditas perkebunan pada saat ini masih lemah karena:

1. Teknik berkebun masih diusahakan secara tradisional dan belum mendapatkan masukan teknologi yang memadai.


(30)

2. Kelembagaan yang ada masih belum berfungsi dalam membentuk koordinasi antar para pelaku usaha yang terkait sehingga manajemen rantai pasok komoditas perkebunan belum dapat diterapkan dengan baik.

3. Pengelolaan rantai pasok komoditas perkebunan di Indonesia belum didukung oleh kebijaksanaan pemerintah dan iklim usaha yang tepat. Berdasarkan konsep rantai pasok terdapat tiga tahapan dalam aliran material. Bahan mentah didistribusikan ke manufaktur membentuk suatu sistem physical supply, manufaktur mengolah bahan mentah, dan produk jadi didistribusikan kepada konsumen akhir membentuk sistem physical distribution. Aliran material tersebut dapat dilIhat pada Gambar 3.

Gambar 3. Aliran material (Arnold dan Chapman, 2004).

Menurut Indrajit dan Djokopranoto (2002), hubungan organisasi dalam rantai pasok adalah sebagai berikut:

 Rantai 1 adalah Supplier. Jaringan bermula dari sini, yang merupakan sumber penyedia bahan pertama, dimana mata rantai penyaluran barang akan dimulai. Bahan pertama ini bias berbentuk bahan baku, bahan mentah, bahan penolong, bahan dagangan, dan suku cadang. Jumlah supplier bias banyak bias sedikit.

S U P P L I E R

MANUFACTUR DISTRIBUTION SYSTEM

C U S T O M E R

DOMINANT FLOW OF PRODUCTS AND SERVICES

DOMINANT FLOW OF DEMAND AND DESIGN INFORMATION Physical


(31)

 Rantai 1-2 adalah Suppliermanufaktur. Manufaktur yang melakukan pekerjaan membuat, memfabrikasi, meng-assembling, merakit, mengkonversikan, ataupun menyelesaikan barang. Hubungan dengan mata rantai pertama ini sudah mempunyai potensi untuk melakukan penghematan. Misalnya, inventori bahan baku, bahan setengah jadi, dan bahan jadi yang berada di pihak supplier, manufaktur, dan temapt transit merupakan target penghematan ini. Penghematan sebesar 40-60%, bahkan lebih dapat diperoleh dengan menggunakan konsep supplier partnering.

 Rantai 1-2-3 adalah supplier manufaktur distributor. Barang yang sudah jadi dari manufaktur disalurkan kepada pelanggan. Walaupun tersedia banyak cara untuk menyalurkan barang kepada pelanggan, yang umum adalah melalui distributor dan ini biasanya ditempuh dengan supply chain. Barang dari pabrik melalui gudangnya disalurkan ke gudang distributor atau pedagang besar dalam jumlah besar dan pada waktunya nanti pedagang besar menyalurkan dalam jumlah yang lebih kecil kepada pengecer.

 Rantai 1-2-3-4 adalah supplier manufaktur distributor ritel. Pedagang besar biasanya mempunyai fasilitas gudang sendiri atau dapat juga menyewa dari pihak lain. Gudang ini digunakan untuk menimbun barang sebelum disalurkan lagi ke pihak pengecer. Pada rantai ini bisa dilakukan penghematan dalam bentuk inventori dan biaya gudang, dengan cara melakukan desain kembali pola-pola pengiriman barang baik dari gudang manufaktur maupun ke toko pengecer.

 Rantai 1-2-3-4-5 adalah supplier manufaktur distributor ritel pelanggan. Pengecer menawarkan barangnya kepada pelanggan atau pembeli. Mata rantai pasok baru benar-benar berhenti ketika barang tiba pada pemakai langsung.

2.3. Metode SCOR untuk Evaluasi SCM

SCOR (Supply Chain Operation Reference) adalah suatu model referensi proses yang dikembangkan oleh Dewan Rantai Pasokan (Supply Chain Council)


(32)

sebagai alat diagnosa (diagnostic tool) supply chain management. SCOR dapat digunakan untuk mengukur performa rantai pasokan perusahaan, meningkatkan kinerjanya, dan mengkomunikasikan kepada pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. SCOR merupakan alat manajemen yang mencakup mulai dari pemasok hingga ke konsumen. Ruang lingkup metode SCOR tersebut disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4. Skema ruang lingkup SCOR (SSC, Supply Chain Council, 2006).

Supply Chain Council (2006) memaparkan tiga pilar utama yang membangun Model SCOR, sesuai dengan Gambar 4, yaitu :

1. Pemodelan proses

Merupakan acuan untuk memodelkan suatu rantai proses rantai pasok dan memudahkan untuk diterjemahkan dan dianalisis.

Dalam SCOR, proses rantai pasok didefinisikan dalam lima proses terintegrasi, yaitu : Plan – Source – Make –Deliver – Return

a. Perencanaan (PLAN),

Merupakan proses untuk merencanakan rantai pasok dimulai dari mengakses sumberdaya rantai pasokan, perencanaan penjualan dengan mengagregasi besarnya permintaan, merencanakan penyimpanan (inventory) dan distribusi, perencanaan kebutuhan bahan baku, perencanaan pemilihan suplier dan perencanaan saluran penjualan.

b. Pengadaan (SOURCE),

Merupakan proses yang berkaitan dengan pengadaan bahan baku (Raw Material) dan pelaksanaan outsource. Proses ini meliputi kegiatan negosiasi dengan suplier, komunikasi dengan suplier, penerimaan barang, inspeksi dan verifikasi barang, hingga pada pembayaran (pelunasan) barang ke suplier.


(33)

c. Produksi (MAKE),

Proses ini merupakan proses yang berkaitan dengan proses produksi yang meliputi permintaan dan penerimaan kebutuhan bahan baku, pelaksanaan produksi, pengemasan dan penyimpanan produk di ruang penyimpanan. d. Distribusi (DELIVER)

Merupakan proses yang berkaitan dengan distribusi produk dari perusahaan kepada pembeli, meliputi pembuatan dan pemeliharaan database pelanggan, pemeliharaan database harga produk, pemuatan produk ke dalam armada distribusi, pemeliharaan produk di dalam kemasan, pengaturan proses, transportasi, dan verifikasi kinerja distribusi. e. Pengembalian (RETURN)

Merupakan kegiatan pengembalian produk ke perusahaan dari pembeli yang disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya yaitu kerusakan pada produk, cacat pada produk, ketidaktepatan jadwal pengiriman. Kegiatan lain yang dikategorikan sebagai kegiatan pengembalian yaitu kegiatan penerimaan produk yang dikembalikan (return), pengelolaan administrasi pengembalian, verifikasi produk yang di-return, disposisi dan penukaran produk.

2. Pengukuran performa/kinerja rantai pasokan

Pengukuran performa/kinerja rantai pasok dinyatakan dalam bentuk level tingkatan, yaitu level 1, level 2 dan level 3. Proses rantai pasok dimodelkan dalam bentuk hierarki proses. Hal yang sama juga dilakukan pada penilaian dimana metrik penilaiannya dimodelkan dalam bentuk hierarki penilaian. Kriteria yang digunakan dalam pengukuran performa rantai pasokan disebut dengan atribut performa yang meliputi realibilitas rantai pasokan, responsivitas rantai pasokan, fleksibilitas rantai pasokan, biaya rantai pasokan dan manajemen aset rantai pasokan. Masing-masing dari atribut performa tersebut terdiri dari satu atau lebih metrik level 1. Top manajemen perusahaan umumnya menggunakan metrik level 1 sebagai dasar untuk menetukan strategi pengembangan rantai pasokan yang akan dicapai dan disesuaikan dengan atribut performa yang paling dikehendaki oleh pembeli (eksternal) dan perusahaan (internal).


(34)

3. Penerapan best practise(praktek-praktek terbaik)

Model SCOR digunakan untuk menyediakan praktek-praktek terbaik (best practise) yang diapat diterapkan oleh perusahaan. Setelah dilakukan pengukuran performa rantai pasokan dan target pencapaiannya telah ditetapkan, maka dilakukan identifikasi praktek-praktek yang ditetapkan untuk mencapai target. Praktek-praktek tersebut diturunkan oleh anggota yang berpengalaman di dewan rantai pasokan (supply chain council) dan bersifat keterkinian, terstruktur, dapat diulang, memiliki metode yang jelas dan memberikan imbas yang positif ke arah kemajuan.

Metode SCOR merupakan suatu metode sistematis yang mengkombinasikan elemen-elemen seperti teknik bisnis, benchmarking, dan praktek terbaik (best practice) untuk diterapkan di dalam rantai pasokan. Kombinasi dari elemen-elemen tersebut diwujudkan ke dalam suatu kerangka kerja yang komprehensif sebagai referensi untuk meningkatkan kinerja manajemen rantai pasokan perusahaan tertentu. Alur pengembangan metode SCOR sebagai sebuah referensi model disajikan pada Gambar 5 (Supply Chain Council, 2006).

Gambar 5. SCOR sebagai model referensi proses bisnis (SSC, Supply Chain Council, 2006).

Model SCOR yang dibangun atas pemodelan proses, pengukuran performa kinerja rantai pasokan dan penerapan best practise (praktek-praktek terbaik) dengan gambaran masing-masing level, level dapat dilihat pada Tabel 3.

Resturkturisasi Proses

Bisnis Benchmarking Analisis Best Practise Model Referensi Proses

Menganalisis kondisi performa rantai pasokan yang existing, dan menentukan performa rantai pasokan yang dikehendak i Menentukan data pembanding sebagai acuan peningkatan performa rantai pasokan Mengidentifikasi praktek manajemen terbaik (best practice) disertai dengan solusi Menganalisis kondisi performa rantai pasokan existing, dan menentukan performa rantai pasokan yang dikehendaki. Menentukan data pembanding sebagai acuan peningkatan performa rantai pasokan Mengidentifikasi praktek manajemen terbaik (best practice)


(35)

Tabel 3. Model Hierarki SCOR

Level Skema Keterangan

# Deskripsi

Top Level (Tipe Proses)

Level 1 didefinisikan sebagai ruang lingkup / cakupan SCOR. Tahap ini merupakan dasar dari performa kompetitif ditetapkan

Konfigurasi Level (Kategori Proses)

Level 2 didefinisikan sebagai jenis atau konfigurasi yang terbagi ke dalam :

- Make to Stock - Make to Order - Make to Assamble

Level

Elemen Proses Level 3 didefinisikan sebagai aktivitas yang dijalankan oleh perusahaan, meliputi: - mendefinisikan proses - Mengatur input dan

output

- Metrik performa praktek terbaik best practise Level 3 merupakan penjabaran dari level 2

Level Implementasi (Dekomposisi Elemen Proses)

Level 4 merupakan tahapan implementasi dan penjelasan lebih detail dari tahapan pada level 3.

Sumber : SSC, Supply Chain Council, 2006

2.4. Sistem Manajemen Mutu Keamanan Pangan

Bagi produk makanan, sistem pengendalian mutu diawali dengan prinsip penerapan Good Manufacturing Practises (GMP) yakni mendefinisikan dan mendokumentasikan semua persyaratan yang diperlukan agar produk pertanian dapat diterima mutunya. Pada GMP pusat perhatian ditujukan pada keamanan mikrobiologis dan persyaratan mutu pangan. Dokumentasi yang dikembangkan pada regulasi Amerika Serikat mengenai GMP disajikan pada Tabel 4.

Lebih lanjut Lund et al. (2000) memasukkan prinsip Good Hygienic Practise (GHP) menjadi bagian pada penerapan sistem manajemen mutu pengolahan makanan. Kedua prinsip tersebut yakni GMP dan GHP, menjadi persyaratan dasar (pre requisite ) bagi penerapan sistem manajemen Hazard Analysis Critical Control Points (HACCP) (Badan Standardisasi Nasional, 1998).

P1.1 Identify, Prioritize, and Aggregate Supply-Chain

Requirements P1.2 Identify, Assess, and Aggregate Supply-Chain

Resources

P1.3 Balance Supply-Chain Resources with Supply-Chain Requirements

P1.4 Establish amd Communicate


(36)

Tabel 4. Dokumen GMP Amerika Serikat

NO PERSYARATAN

1. Persyaratan dasar 1.1. Ruang lingkup 1.2. Definisi 2. Personal

2.1. Status kesehatan dan pengendalian penyakit 2.2. Kebersihan

2.3. Pendidikan dan pelatihan 2.4. Penyeliaan

3. Bangunan dan fasilitas 3.1. Pabrik dan tanah 3.1.1. Tanah dan lokasi

3.1.2. Rancangan dan konstruksi pabrik 3.2. Operasi Kebersihan

3.2.1. Perawatan umum

3.2.2. Bahan untuk pembersihan, disinfektan dan penyimpanannya 3.2.3. Pengendalian hama

3.2.4. Kebersihan permukaan yang bersentuhan dengan makanan

3.2.5. Penyimpanan dan penanganan kebersihan perangkat canting dan peralatan 3.3. Pengendalian fasilitas kebersihan

3.3.1. Pasokan air 3.3.2. Pemipaan

3.3.3. Pembuangan air kotor 3.3.4. Fasilitas toilet 3.3.5. Fasilitas cuci tangan

3.3.6. Pembuangan sisa dan limbah 4. Peralatan

4.1. Rancangan perangkat dan peralatan 4.2. Pemeliharaan perangkat dan peralatan 5. Pengendalian produksi dan proses 5.1. Proses dan pengendaliannya

5.1.1. Bahan baku dan tambahan lain 5.1.2. Operasi manufaktur

5.2. Penggudangan dan distribusi 6. Dokumentasi dan Rekaman

Sumber: Lund et al.,2000

Publikasi sistem HACCP yang telah diperkenalkan Codex Alimentarius Commission tentang tujuh prinsip HACCP dan dua belas langkah pedoman penerapannya yang diadopsi oleh Badan Standardisasi Nasional disajikan lengkap pada Tabel 5.


(37)

Tabel 5. Tujuh prinsip HACCP dan duabelas langkah penerapannya

Langkah ke- Prinsip ke- Deskripsi

1 - Pembentukan tim HACCP

2 - Deskripsi produk

3 - Identifikasi rencana penggunaan 4 - Penyusunan bagan alir

5 - Konfirmasi bagan alir di lapangan

6 1 Pelaksanaan analisa bahaya. Persiapan suatu daftar tahapan proses di mana ditemukan bahaya signifikan dan deskripsi ukuran pencegahannya

7 2 Identifikasi titik kendali kritis (Critical Control Points-CCPs) dalam proses 8 3 Penetapan batas kritis untuk ukuran pencegahan berkaitan dengan setiap CCP teridentifikasi 9 4 Penetapan persyaratan pemantauan CCP. Penetapan prosedur dari hasil pemantauan untuk pengendalian proses dan pemeliharaan 10 5 Penetapan tindakan koreksi yang diambil manakala pemantauan mengindikasikan suatu penyimpangan dari batas kritis yang

ditetapkan

11 6 Penetapan prosedur efektif pemeliharaan rekaman dari dokumen sistem HACCP 12 7 Penetapan prosedur untuk verifikasi bahwa sistem HACCP telah bekerja dengan baik

Sumber : Codex, 1993 dan Badan Standardisasi Nasional, 1998

Sistem HACCP bersifat pencegahan yang berupaya untuk mengendalikan suatu areal atau titik dalam sistem pangan yang mungkin berkontribusi terhadap suatu kondisi bahaya baik kontaminasi mikroorganisme patogen, objek fisik, kimiawi terhadap bahan baku, suatu proses, penggunaan langsung oleh pengguna ataupun kondisi penyimpanan (Pierson dan Corlett, 1992). Sistem tersebut menurut Mortimore dan Wallace (1994) berisi tujuh prinsip yang secara garis besar dipergunakan untuk menetapkan, menerapkan, dan memelihara rencana HACCP suatu operasi.

2.5. Teknik Pengendalian Kualitas

2.5.1. Cause and Effect Diagram (Analisis Diagram Sebab Akibat -Fish Bone)

Diagram sebab akibat biasanya disebut juga diagram tulang ikan (fish bone). Diagram ini diperkenalkan oleh Kaoru Ishikawa, seorang pakar mutu dari Jepang. Alat statistik ini digunakan untuk menganalisis suatu proses dan menemukan


(38)

kemungkinan penyebab suatu persoalan atau masalah yang sedang terjadi untuk diambil tindakan memperbaiki penyebabnya. Setelah penyebab-penyebab yang paling vital ditandai, maka diperlukan sumbang saran dari sebuah tim khusus yang dibentuk, untuk menganalisis gagasan-gagasan yang membuktikan penyebab masalah tersebut. Dalam kegiatan ini biasanya akan bermanfaat jika pengelompokkan ide-ide di bawah judul penyebab yang sesuai. Penyebab-penyebab ini dapat diklasifikasikan dalam beberapa penyebab utama yaitu metoda kerja, bahan baku, pengukuran manusia dan lingkungan (Marimin, 2005).

Diagram sebab akibat digunakan pada tahap ini untuk memberikan gambaran visual yang jelas tentang masalah tersebut dengan menunjukkan penyebab-penyebab potensial dan hubungan-hubungan yang bisa jadi timbul di antara masing-masing penyebab. Diagram sebab akibat dapat dilihat pada Gambar 6 berikut.

Gambar 6. Diagram sebab akibat (Ishikawa dalam Marimin, 2005)

Menurut Marimin (2005), terdapat dua tipe diagram sebab akibat yang dapat digunakan untuk melihat penyebab masalah yaitu analisis penyebaran dan analisis proses. Dalam analisis penyebaran, setiap cabang utama diisi secara lengkap sebelum dimulai berdiskusi dengan tujuan menganalisis penyebab dari penyebaran keragaman. Untuk analisis proses, setiap langkah proses produksi sebagai penyebab utama, sedangkan penyebab rincinya dihubungkan dengan penyebab utama. Lebih lanjut, untuk menunjang dalam analisis diagram sebab-akibat ini dapat digunakan analisis konsep 5 W + 1 H. Metode ini menganalisis diagram sebab akibat (fish bone)

Mutu Panah Cabang


(39)

dimana akar permasalahan sudah teridentifikasi, maka untuk mencari penyelesaiannya adalah dengan menguraikan lebih detail ke dalam konsep tersebut.

Manajemen mutu membutuhkan keterlibatan dari berbagai pihak, misalnya stakeholder agribisnis sawit, seperti semua pelaku saluran tata niaga agribisnis, pemerintah, dan akademisi. Selain itu juga manajemen mutu sifatnya dinamis atau berubah-ubah sesuai dengan perkembangan pasar menanggapi tentang mutu. Berdasarkan keterangan manajemen mutu ini, maka dibutuhkan suatu strategi yang dapat mengintegrasikan kebutuhan dan kondisi semua stakeholder, serta mengupayakan beradaptasi dengan lingkungan pasar dan lain-lain.

2.5.2. Quality Function Deployment (QFD)

Menurut Besterfield et al. (1999), Quality Function Deployment (QFD) merupakan suatu alat perencanaan dengan mekanisme terstruktur untuk memenuhi kebutuhan pelanggan dan menjadikan kebutuhan pelanggan itu sebagai pengendali (driver) bagi pengembangan atau pembuatan produk. Perencanaan yang dimaksud disini adalah perencanaan mutu. Perencanaan mutu merupakan bagian dari strategi operasi dalam suatu bisnis. Menurut Johns dan Harding (1996) menyatakan bahwa strategi operasi bertujuan untuk menghubungkan antara kegiatan operasi perusahaan ataupun produksi suatu bisnis terhadap kebutuhan pasar. Berdasarkan hal ini, perencanaan mutu merupakan suatu langkah berupa aktivitas dalam produksi untuk merancang mutu produk sesuai dengan keinginan konsumen. Begitu juga dengan yang didefinisikan oleh Gryna (2001), perencanaan mutu terdiri dari beberapa tindakan seperti mengidentifikasi konsumen, menemukan kebutuhan pelanggan, pengembangan produk, pengembangan proses, dan pengembangan pengendalian proses. Oleh karena itu, dalam perencanaan mutu, sebagian besar dititik beratkan harus memperhatikan dan mengakomodasi kepentingan konsumen akan mutu dan mempertimbangkan kemampuan pelaku usaha untuk mewujudkan perencanaan mutu tersebut. Dengan QFD, persyaratan-persyaratan kebutuhan pelanggan dapat teridentifkasi terlebih dahulu sebelum diproduksi, sehingga akan mengurangi biaya kesalahan. QFD, melalui pengertian tersebut, berusaha memahami kebutuhan-kebutuhan pelanggan melalui peningkatan mutu barang dan jasa yang dihasilkan.


(40)

Bentuk representasi QFD adalah pembuatan matriks House of Quality (HOQ). Matriks HOQ terdiri dari dua bagian utama, yaitu: bagian horisontal berisi informasi yang berhubungan dengan konsumen (customer table) sedangkan bagian vertikal berisi informasi teknis sebagai respon bagi input konsumen (technical table). Menurut Marimin (2005), matriks HOQ yang terdiri dari dua bagian besar dapat dipecah menjadi enam bagian utama, yaitu:

a. Voice of Customer (WHATs), berupa daftar persyaratan terstruktur yang berasal dari persyaratan konsumen.

b. Technical Response (HOWs), berupa daftar karakteristik produk terstruktur yang relevan dengan persyaratan pelanggan dan terukur.

c. Relationship Matrix, menggambarkan persepsi tim QFD mengenai keterkaitan antara technical dan customer requirement. Skala yang cocok diterapkan dan digambarkan dengan menggunakan angka 10 menandai hubungan kuat, angka lima menandai hubungan sedang, dan angka satu menandai hubungan lemah. d. Planning Matrix (WHYs), menggambarkan persepsi pelanggan yang diamati

dalam survei pasar. Termasuk didalamnya adalah kepentingan relatif dari persyaratan pelanggan, perusahaan, kinerja perusahaan dan pesaing dalam memenuhi persyaratan.

e. Technical Correlation (ROOF) Matrix, matriks ini digunakan untuk mengidentifikasikan dimana technical requirements saling mendukung atau saling mengganggu satu dengan yang lainnya di dalam desain produk.

f. Technical Requirement, Benchmarks and Targets, digunakan untuk mencatat prioritas yang ada pada matriks technical requirements, mengukur kinerja teknik yang diperoleh oleh produk pesaing dan tingkat kesulitan yang timbul dalam mengembangkan requirement. Output akhir dari matriks adalah nilai target untuk setiap technical requirement. Matriks rumah mutu (House of Quality/HOQ) dapat dilihat pada Gambar 7.


(41)

Gambar 7. Matriks rumah kualitas (Marimin, 2005)

2.6. Penelitian Terdahulu dan Usulan Penelitian

2.6.1. Penelitian yang dilakukan oleh Dedy dan Mellysa ( 2006) dengan judul Penerapan Fuzzy Quality Function Deployment dan Metode taguchi untuk Pengembangan Produk Biskuit Berlapis Krim Vanila di PT. Bumi Tangerang Coklat Utama, melakukan pengembangan produk biscuit coklat berlapis krim vanilla dengan menggunakan metode Fuzzy Quality Function Deployment. Pertama dilakukan pengidentifikasian karakteristik produk biscuit coklat berlapis krim vanilla yang diinginkan konsumen dan penentuan tingkat keunggulan produk perusahaan dibanding pesaingnya. Karakteristik kualitas yang digunakan adalah kerenyahan biscuit.

2.6.2. Penelitian yang dilakukan oleh Dedy dan Simangunsong (2005) dengan judul penelitian Pengembangan Produk Pintu bagian Pengemudi Mobil Xenia Pada PT. Astra Daihatsu Motor Dengan Menggunakan Fuzzy Quality Deployment (QFD) memungkinkan pengembangan produk dengan memberi prioritas pada keinginan dan kebutuhan pelanggan. Penentuan prioritas karakteristik teknis

CORRELATION MATRIX

HOW

RELATIONSHIP MATRIX

CUSTOMER COMPETITIVE ASSASEMENT

W H A T

HOW MUCH BENCHMARK

SERVICE REPAIR/COST DATA LEGAL/SAFETY CONTROL ITEM TECHNICAL IMPORTANCE RATING


(42)

dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan Fuzzy Quality Function Deployment dengan Trapezoidal fuzzy number. Hasil pemeringkatan karakteristik teknis yang paling tinggi adalah bahan arm rest, sedangkan karakteristik teknis yang paling rendah adalah posisi tempat minimum terhadap lantai. Hal ini menunjukkan yang paling tinggi merupakan prioritas utama untuk diperbaiki.

2.6.3. Penelitian Marimin dan Muspitawati (2001) mengkaji tentang strategi peningkatan mutu produk industri sayuran segar. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi atribut kunci peningkatan mutu sayuran segar, memantau proses yang berkaitan erat mempengaruhi atribut mutu sayuran segar, dan memformulasikan strategi peningkatan mutu. Penelitian dilakukan pada satu perusahaan sayuran, PT. X. Alat yang digunakan untuk mengkaji adalah QFD (Quality Function Deployment), SPC (Statistical Process Control), dan analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, dan Threats). Hasil penelitian yang didapatkan menunjukkan bahwa atribut mutu kunci yang diharapkan konsumen sayuran adalah kesegaran dan proses yang sangat berkaitan erat adalah penanganan bahan baku dan proses penyimpanan. Sementara itu, strategi peningkatan mutu yang dikembangkan adalah strategi S-O, yaitu mempertahankan mutu sayuran dan memberikan jaminan keamanan pangan melalui penerapan HACCP (Hazard Analysis Critical Control Points).

2.6.4. Penelitian oleh Farisi (2007) tentang mengkaji sistem manajemen mutu terpadu di PT. X. Tujuan penelitian ini adalah merumuskan strategi peningkatan manajemen mutu terpadu. Alat-alat analisis yang digunakan adalah QFD, diagram fishbone, dan AHP (Analytical Hierarchy Process). Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk meningkatkan manajemen mutu terpadu adalah dengan mengoptimalkan tiga respon teknik terbesar, yaitu komitmen pada mutu, perencanaan strategis, dan perbaikan berkesinambungan. Sedangkan strateginya adalah melaksanakan SOP (Standard Operation Procedure).


(43)

2.6.5. Shih–shue (2006), meneliti tentang aplikasi QFD (Quality Function Deployment) untuk pengembangan produk. Judul asli penelitian ini adalah The Application of Quality Function Deployment (QFD) in Product Development. Metode penelitian ini adalah studi kasus dan kajiannya adalah tentang kondisi bangunan hipermarket di Taiwan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dengan penggunaan alat analisis QFD, arsitek dan pemborong perlu melakukan pengembangan dalam melakukan desain bangunan agar dapat memenuhi keinginan konsumen. Penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan bahwa dengan alat analisis QFD dapat digunakan untuk menggabungkan antara kemampuan merespon dan harapan pelanggan.

2.6.6. Al-Mashari et al. (2005), meneliti tentang kunci sukses untuk pelaksanaan QFD (Quality Function Deployment). Judul penelitian ini adalah Key Enablers for The Effective Implementation of QFD: A Critical Analysis. Penelitian ini memiliki tujuan untuk menunjukkan konsep dan prinsip QFD yang diberlakukan di Ford Motor Company. Metode penelitiannya adalah studi literatur dan diskusi. Topik yang didiskusikan meliputi tentang penggunaan alat QFD dengan alat-alat mutu lainya. Hasil yang didapatkan dari penelitian ini adalah kunci sukses penerapan QFD di dalam kinerja organisasi adalah dengan membentuk lingkungan TQM (Total Quality Management) sebaik mungkin seperti keterlibatan manajemen dalam peningkatan secara kontinu. Selain itu juga, penerapan QFD perlu dibentuk tim-tim diskusi mutu dalam suatu perusahaan yang sering disebut dengan gugus kendali mutu.

2.6.7. Killen et al. (2005), meneliti tentang pembuatan rencana strategi dengan menggunakan metode QFD (Quality Function Deployment). Judul asli penelitian ini adalah Strategic Planning Using QFD. Tujuan penelitian ini adalah untuk perencanaan strategi dengan menggunakan alat bantu analisis QFD. Motivasi untuk menggunakan alat ini adalah karena QFD mampu untuk menjelaskan suatu keadaan yang dimana konsumen sebagai pengendali. Dengan demikian, organisasi akan


(44)

memiliki strategi yang dikendalikan oleh konsumen. QFD untuk perencanaan strategi melalui dua tahap, yaitu pengembangan strategi untuk konsumen dan pengembangan strategi secara umum. Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa QFD strategi akan menterjemahkan visi ke dalam aksi nyata melalui beberapa tahap. Tahapannya yaitu penelitian konsumen, analisis segmen, memilih peluang-peluang yang ada, dan menciptakan strategi yang inovasi yang cukup stabil untuk menghadapi lingkungan yang cepat berubah. Penelitian yang dilakukan adalah perencanaan peningkatan mutu dalam rantai pasok komoditi berbasis kelapa sawit menggunakan teknik QFD untuk menentukan faktor dominan yang berpengaruh terhadap mutu yang diadaptasi dari metode SCOR. Model yang dihasilkan mencakup metode perencanaan mutu dengan pendekatan metode HACCP dan integrasi dengan QFD. Posisi penelitian yang dilakukan dari berbagai cara, yaitu 1) Metode identifikasi karakteristik dan struktur mutu rantai pasok dengan mengadaptasi metode SCOR, 2) Identifikasi faktor-faktor dominan yang berpengaruh terhadap mutu dengan metode Fishbone, 3) Pendekatan dengan sistem manajemen keamanan pangan dan 4) Integrasi dengan QFD secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 6.


(45)

Tabel 6. Perbandingan dan posisi penelitian yang dilakukan

No Peneliti Substansi Penelitian Metode pengukuran Mutu Produk

QFD Fuzzy QFD SPC SWOT AHP SCOR 1. Mellysa (2006) Penerapan Fuzzy QFD untuk

Pengembangan Produk Biskuit Berlapis Krim Vanilla

√ √

2. Simangunsong (2005) Pengembangan Produk Pintu bagian Pengemudi Mobil Xenia pada PT Astra Daihatsu Motor

√ √

3. Muspitawati (2001) Strategi Peningkatan Mutu Produk

Industri Sayuran Segar √ √ √

4. Farisi (2007) Sistem Manajemen Mutu Terpadu di PT X √ √

5. Shih-Shue (2006) Aplikasi QFD untuk pengembangan

produk √

6. Al-Mashari (2005) Konsep dan prinsip QFD yang diberlakukan di Ford Motor Company √

7. Killen (2005) Strategic Planning Using QFD

8. Penelitian yang

dilakukan (2010) Desain Model Pengendalian Mutu Produk Rantai Pasok Komoditas dan Produk Berbasis Sawit


(46)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Tahapan Penelitian

Tahapan pertama dari penelitian adalah mempelajari sistem rantai pasok komoditas sawit melalui studi literatur dan diskusi dengan beberapa pihak yang memahami rantai pasok komoditas sawit. Selain itu, studi pustaka dilakukan untuk meningkatkan pemahaman terhadap rantai pasok produk pertanian khususnya komoditas sawit dan metode yang akan digunakan dalam penelitian.

Tahapan kedua adalah wawancara lebih mendalam yang disertai dengan survey lapang. Pada tahapan ini dilakukan survei lapang ke beberapa pelaku dalam rantai pasok komoditas sawit mulai dari petani dan kelompok tani, pedagang pengumpul, perusahaan pengolah dan produk jadi. Survey lapang dilakukan untuk mengetahui rangkaian kegiatan rantai pasok komoditas sawit dan pengendalian mutu dari tiap-tiap rantai untuk mengembangkan sistem rantai pasok yang dapat menjamin peningkatan mutu produk.

Tahapan ketiga adalah melakukan desain model pengendalian mutu komoditas pada rantai pasok komoditas dan produk berbasis sawit. Pada tahap ini akan dilakukan analisis rantai pasok produk sawit melalui studi pustaka guna memahami kondisi eksisiting saat ini. Identifikasi struktur mutu produk pertanian berbasis sawit dan evaluasi sistem rantai pasokan dengan metode SCOR. Selanjutnya dilakukan identifikasi faktor-faktor dominan yang berpengaruh terhadap mutu produk pertanian berbasis sawit dengan metode Fishbone, dan penetapan perencanaan mutu serta perumusan strategi peningkatan mutu sawit dengan metode QFD. Diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 8.

3.2. Metoda Pengumpulan Data

Pengumpulan data primer dilakukan melalui beberapa cara, sebagai berikut : 1. Observasi lapangan, yaitu melihat secara langsung kegiatan-kegiatan

rantai pasok dari kebun (petani), prosesor, dan distribusi.

2. Wawancara, dilakukan untuk memperoleh informasi atribut mutu dimulai dari pembibitan sawit, perawatan, pemanenan, pengumpulan, pendistribusian, pengolahan hingga menjadi produk jadi.


(47)

3. FocusGroup Discussion (FGD), meliputi wakil petani/kelompok tani, prosesor, pemerintah (regulator), dan universitas/lembaga riset teknologi. Pada FGD dilakukan pendalaman terhadap kondisi eksisting untuk memperoleh alternative-alternatif peningkatan mutu pada rantai pasok. FGD juga melakukan verifikasi terhadap model pengendalian mutu rantai pasok produk berbasis sawit.

4. Opini Pakar (expert opinion), data ini merupakan data yang dibangkitkan dari para pakar dan expert judgement atau pertimbangan para pakar terhadap beberapa pilihan ‘metric’. Prioritarisasi ‘metric’ diperoleh berdasarkan kuisioner yang disusun berdasarkan hasil analisa dari proses sebelumnya.

3.3. Kerangka Logika Penelitian

Kerangka logika penelitian secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 7. Dijelaskan dalam tabel keterkaitan antara tujuan penelitian dengan permasalahan yang terkait dengan jenis data, sumber data, cara pengumpulan data serta cara pengolahan data yang telah diperoleh.

Kepuasan konsumen produk sawit akan terpenuhi jika mutu yang diberikan baik. Untuk memenuhi kepuasan tersebut, perlu mengetahui identifikasi mutu melalui harapan pelanggan akan atribut mutu. Atribut mutu harapan pelanggan ini akan menjadi acuan bagi pihak yang terlibat di dalam agroindustri sawit untuk dapat menyesuaikan aktifitasnya. Namun, keberhasilan aktivitas ini perlu memperhatikan faktor-faktor yang dominan mempengaruhi mutu, seperti SDM, tehnik melakukan proses, bibit buah sawit, dan lain-lain. Dalam kaitannya dengan perencanaan mutu, faktor-faktor tersebut akan menjadi pusat perhatian untuk peningkatan mutu karena pengaruhnya yang dominan.

Identifikasi atribut mutu dengan metode Fishbone. Identifikasi dilakukan pada empat lokasi pengamatan yaitu saat Pemanenen, Pasca Panen, Pengolahan Kelapa Sawit dan Refinery.


(48)

Gambar 8. Diagram alir penelitian peningkatan mutu produk pada rantai pasok komoditas dan produk berbasis sawit

3.4. Metoda Sampling Pengambilan Data

Sampling pengambilan data digunakan sebagai sumber data primer. Data primer penelitian ini merupakan data yang bersumber dari responden pakar. Responden ini dijadikan sebagai sumber data karena kepakarannya atau keahliannya di bidang agroindustri sawit. Keahlian atau kepakaran responden dapat terdiri dari keterampilan, intuisi, atau pengetahuan yang dimiliki. Tabel 8. menunjukkan keterangan dari responden ahli yang dibutuhkan.

Persiapan penelitian Latar belakang dan perumusan masalah

Tujuan Penelitian

Studi Pendahuluan Studi Literatur

Pembatasan Masalah

Analisis Kondisi Obyektif Rantai Pasok Komoditas & Produk Sawit

Identifikasi Karakteristik dan Struktur Mutu Rantai Pasok Komoditas Berbasis

Kelapa Sawit (pendekatan SCOR)

Identifikasi Faktor-faktor Dominan Bepengaruh Terhadap Mutu Rantai Pasok Komoditas Berbasis Kelapa Sawit

(Pendekatan Fishbone) Perencanaan Mutu & Strategi

Peningkatan Mutu Sawit (pendekatan HACCP) Peningkatan Mutu Produk Komoditas

Berbasis Kelapa Sawit (Pendekatan QFD)


(49)

Tabel 7. Kerangka logika penelitian

No. Tujuan Masalah Jenis Data Sumber Data Pengumpulan Cara

Data

Cara Pengolahan

Data 1. Mempelajari kondisi obyektif

rantai pasok komoditi erbasis kelapa sawit

Bagaimana kondisi rantai pasok komoditi erbasis kelapa sawit di Indonesia

Primer - Studi literatur

- Pakar - Penelusuran ilmiah - Survey Lapang - Interview 2. Mengidentifikasi karakteristik &

struktur mutu rantai pasok komoditi erbasis kelapa sawit

Bagaimana karakteristik & struktur mutu rantai pasok komoditi erbasis kelapa sawit di indonesia

Primer - Studi literatur

- Pakar - Penelusuran ilmiah - Survey Lapang - Interview

Pendekatan SCOR 3. Menetapkan perencanaan

peningkatan mutu komoditi berbasis kelapa sawit.

Bagaimana perencanaan yang tepat dalam peningkatan mutu produk

Primer - Data Produksi

- Data pengawasan mutu / hasil uji

- Data hasil audit penerapan haccp - Data hasil interview

dengan pakar

Penelitian di

Perusahaan - QFD

4. Mengidentifikasikan faktor-faktor dominan berpengaruh terhadap mutu rantai pasok komoditi erbasis kelapa sawit

Apakah faktor-faktor dominan yang berpengaruh terhadap mutu rantai pasok komoditi erbasis kelapa sawit

Primer - Studi literatur

- Pakar - Penelusuran ilmiah - Survey Lapang - Interview

Pendekatan Fishbone 5. Menentukan cara peningkatan

mutu komoditi berbasis kelapa sawit.

Bagaimana perencanaan mutu & strategi peningkatan mutu sawit

Primer Data penerapan sistem keamanan pangan yang diterapkan di tempat studi kasus perusahaan

Penelitian di


(50)

Tabel 8. Keterangan responden ahli penelitian

No. Peranan Institusi Jabatan

1. Pengolah Kelapa Sawit

PT ASL – Jambi 1. Administratur 2. Kepala Pabrik 2. Petani Kelompok Tani Kelapa Sawit

Kabupaten Hitam Ulu - Jambi 1.Kepala kebun Plasma 2.Kepala Kebun Inti 3. Pengolah

CPO (Refinari)

PT PKB - Bekasi 1. Kepala Produksi 2. Kepala Pengawasan

Mutu 3.5. Metoda Analisis Data

3.5.1. Analisis Rantai Pasok Sawit

Kondisi umum dan model rantai pasok dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif, melalui berbagai literatur, pendapat pakar dan nara sumber. Output dari analisis ini adalah gambaran umum kondisi obyektif rantai pasok sawit. Dalam mengidentifikasi performa rantai pasok komoditas dan produk berbasis sawit perusahaan menggunakan metode deskriptif menggunakan pengembangan rantai pasokan komoditas dan komoditi erbasis kelapa sawit yang dicanangkan oleh Asian Productivity Organization (APO), Jepang. Metode Pengembangan tersebut mengikuti kerangka proses yang telah dimodifikasi oleh Van der Vorst, 2005 (Gambar 9).

a. Struktur Rantai (Network Structure) i. Anggota Rantai dan Aliran Komoditas

Dijelaskan mengenai anggota atau pihak-pihak yang terlibat didalam rantai pasokan dan peranannya. Aliran komoditas terkait dengan mutu mulai dari hulu sampai hilir serta penyebarannya ke berbagai lokasi dijelaskan dan dikaitkan dengan keberadaan anggota rantai pasokan, serta bentuk kerjasama yang terjadi diantara berbagai pihak.


(51)

Gambar 9. Kerangka analisis manajemen rantai pasokan (Van der Vorst, 2005)

ii. Entitas Rantai Pasokan

Entitas rantai pasokan dijelaskan sebagai elemen-elemen didalam rantai pasokan yang mampu menstimulasi terjadinya berbagai proses bisnis. Elemen-elemen tersebut meliputi produk, pasar, stakeholderrantai pasokan dan situasi persaingan.

iii. Mitra – Petani

Dijelaskan mengenai hubungan kerjasama pada petani. Profil petani seperti kesepakatan mutu dalam kegiatan perawatan lahan pertanian, produktivitas pertanian, kegiatan pertanian, kegiatan pasca panen, juga disertakan dengan lengkap. Kegiatan pasca panen yang melibatkan petani dijelaskan dalam formulir seperti pada Tabel 9.

b. Sasaran Rantai (Chain Objectives) i. Sasaran Pasar

Dijelaskan mengenai bagaimana model suatu rantai pasokan berlangsung terhadap produk yang dipasarkan. Tujuan pasar dideskripsikan dengan jelas, serta siapa pelanggannya, apa yang diinginkan dan yang dibutuhkan dari produk terkait dengan mutu.

Tujuan rantai

Manajemen Mutu Rantai

Proses Bisnis Rantai

Performa rantai Struktur

jaringan  Siapa saja anggota rantai

dan apa peranannya  Bagaimana konfigurasi

peraturannya

 Siapa pelaku bisnis, dan proses apa dalam SCM?  Bagaimana integrasi

dari setiap proses

Sumber daya  Manajemen struktur apa yang

digunakan  Bagaimana ikatan

kontraktualnya  Peran pemerintah?

 Sumber daya apa saja yang digunakan (ICT, SDM, Teknologi)


(1)

IX. KESIMPULAN DAN SARAN

9.1. Kesimpulan

Hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Struktur rantai pasok komoditi berbasis kelapa sawit diawali dari Kebun Inti dan Plasma – Koperasi – Pabrik Pengolah Kelapa Sawit – Pabrik Pengolah CPO (Refinery) – konsumen minyak goreng.

2. Perencanaan peningkatan mutu komiditi berbasis kelapa sawit dengan pendekatan QFD yang diinterpretasikan melalui House of Quality. Dari analisa terintegrasi diperoleh hasil, faktor yang berpengaruh terhadap peningkatan mutu komoditas dan produk yaitu teknik pemanenan, proses pengepresan dan proses pendistribusian CPO. Dari faktor yang mempengaruhi tersebut, perencanaan peningkatan mutu dapat dilakukan melalui perbaikan teknik pemanenan dengan melakukan sosialisasi kepada petani secara konsisten mengenai prosedur kerja. Dalam proses pengepresan perencanaan peningkatan mutu dapat dilakukan dengan mengendalikan seluruh aspek dimulai dari sumber daya manusia di bagian pengepresan dan mesin press agar mutu yang diinginkan yang dilihat dari kandungan asam lemak bebas dapat terpenuhi. Dalam proses pendistribusian CPO, perencanaan dilakukan dengan mengendalikan kegiatan pendistribusian dengan tujuan mempertahankan kandungan asam lemak bebas pada CPO selama pendistribusian dan pengendalian agar tidak terjadi kontaminasi selama pendistribusian.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi sepanajang proses pemanenan adalah teknik pemanenan. Persyaratan yang menjadi acuan dalam pemanenan tandan buah sawit yaitu melalui pengukuran buah yang akan dipanen, brondolan yang jatuh, dan berat tandan buah sawit. Faktor lain yang diperhatikan dalam pemanenan yaitu area pemanenan, dan alat yang digunakan untuk memanen.

4. Tahapan proses yang mempengaruhi atribut mutu yaitu tahapan pengepresan dan pendistribusian minyak sawit (CPO). Tahapan pengepresan akan mempengaruhi kandungan asam lemak bebas minyak sawit yang dihasilkan,


(2)

minyak sawit yang dihasilkan. Dalam pendistribusian CPO, teknik pendistribusian dan lama pendistribusian akan mempengaruhi mutu CPO. Teknik pendistribusian ditinjau dari truk tangki yang dipergunakan dalam distribusi CPO dengan melihat riwayat penggunaan tangki apakah pernah digunakan untuk produk selain CPO, seperti solar atau pelumas lainnya.

5. Pengendalian mutu yang dilakukan sejak bahan masuk hingga menjadi produk di PT ASL dan PT PKB dikembangkan dengan pendekatan sistem manajemen keamanan pangan (HACCP). Pengendalian dilakukan dengan memantau secara ketat di setiap titik yang dianggap kritis dan dapat mempengaruhi mutu komoditas sawit dan turunannya. Pada pasca panen pengendalian dilakukan pada area tempat pengumpulan hasil (TPH). Titik kritis yang diamati adalah areal TPH harus selalu bersih serta pencegahan kotoran fisik yang mungkin terikut saat pengambilan brondolan, sehingga sebaiknya pengambilan brondolan dilakukan secara manual. Pada pabrik pengolah kelapa sawit, titik kritis yang diamati adalah kemungkinan kontaminasi solar saat tandan buah segar (TBS) diangkut menggunakan truk yang digunakan juga untuk mengangkut solar. Selain solar, kontaminasi pupuk juga dikhawatirkan mencemari TBS, dengan sumber kontaminan berasal dari truk yang dipergunakan bersamaan dengan pengangkutan pupuk. Pada pabrik refinery, pengamatan titik kritis pada proses filling dengan mengendalikan sumber bahaya fisik yang mungkin ada dari kemasan plastik yang dipergunakan.

9.2. Saran

Penelitian lebih lanjut disarankan :

1. Mengkaji keterkaitan yang lebih erat antara pengolah dengan penyedia bahan baku melaui sistem manajemen yang lebih baik, ditinjau dari aspek sumber daya manusia, metode kerja, infrastruktur dan alat dan mesin yang dipergunakan. 2. Sosialisasi yang berkelanjutan serta pemantauan diseluruh titik kritis agar mutu


(3)

PERENCANAAN PENINGKATAN MUTU PRODUK

DALAM RANTAI PASOK KOMODITI

BERBASIS KELAPA SAWIT

MUHARAMIA NASUTION

SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Mashari et al. 2005. Key Enablers for The Effective Implementation of QFD: A Critical Analysis.

Arnold, J. R dan Stephen N. Chapman. 2004. Introduction to Materials Management. Upper Saddle River. New Jersey.

Badan Ketahanan Pangan. 2007. Kinerja Pemantapan Ketahanan Pangan Nasional Tahun 2006. Laporan Kinerja Tahun 2006. Badan KetahananPangan.

Badan Pusat Statistika. 2010. Volume dan Nilai ekspor Komoditi Kelapa Sawit.

Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Standardisasi Nasional (BSN). 1998. Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-4852-1998: Sistem Analisa Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis (Hazard Analysis Critical Control Points - HACCP) serta Pedoman Penerapannya. BSN, Jakarta.

Besterfield, D.H., C.Besterfield, G.H. Besterfield, dan M. Besterfield. 1999. Total Quality Management. Prentice-Hall International, New Jersey.

Codex Alimentarius Commision. 2003. General Priciples Of Food Hygiene-CAC/RCP 1-1969 (rev 4. – 2003) Rome- Italy.

Chen, L.H. and Ming, C. W. 2003. A Fuzzy Model for Exploiting Quality Fucntion Deployment. Elsevier, Taiwan.

Chopra, S dan P. Meindl. 2007. Supply Chain Management : Strategy, Planning and Operation. Pearson Prentice Hall.

Djohar, S., Hendri T., dan Eko R.C. 2004. Membangun Keunggulan Kompetitif CPO Melalui Supply Chain Management : Studi kasus di PT Eka Dura Indonesia, Astra Agro Lestari, Riau. Jurnal Manajemen dan Agribisnis, Vol. 1 No. 1 p.20-32.

Farisi. 2007. Sistem Manajemen Mutu Terpadu di PT. X.

Hadiguna, R.A. 2010. Perancangan Sistem Penunjang Keputusan Rantai Pasok dan Penilaian Resiko Mutu pada Agroindustri Minyak Sawit Kasar. Desertasi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.


(5)

Indrajit, R. Eko dan R. Djokopranoto. 2002. Konsep Manajemen Supply Chain Cara Baru Memandang Mata Rantai Penyediaan Barang.Grasindo. Jakarta.

Keijiro, M., Tomohiko S., Mitsuru K., and Atsushi I. 2003. Applying Quality Function Deployment to Environmentally Conscious Design. The International Journal of Qualtiy and Reliability Management. Volume 20, No. 1, pp 90. Emerald Group.

Killen, C.P., M. Walker, and R.A. Hunt. 2005. Strategic Planning Using QFD. The International Journal of Qualtiy and Reliability Management. Volume 22, No. 1, pp 17. Emerald Group.

Lund, B., T.C. Bair-Parker, dan G.W. Gould. (Eds.). 2000. The Microbiological Safety and Quality of Food. Vol. I. Aspen Publisher, Inc., Gaithersburg, Maryland.

Marimin. 2005. Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Grasindo, Jakarta.

Marimin dan Maghfiroh. 2007. Preliminary Country Report, Supply Chains for Perishables Agricultural Products in Indonesia.Fateta, IPB. Bogor.

Marimin dan Muspitawati, H. 2002. Kajian Strategi Peningkatan Kualitas Produk Industri Sayuran segar (Studi Kasus di Sebuah Agroindustri Sayuran Segar). Jurnal Teknologi dan Industri Pangan Vol. XII No. 3. P 224-233.

Mellysa. 2006. Penerapan Fuzzy Quality Function Deployment dan Metode taguchi untuk Pengembangan Produk Biskuit Berlapis Krim Vanila di PT. Bumi Tangerang Coklat Utama. Skripsi pada Fakultas Teknologi Industri, Universitas Trisakti, Jakarta.

Mortimore, S. dan C. Wallace. 1995. HACCP : A practical approach. Chapman and Hall, London.

Pierson, M.D. dan D.A. Corlett, Jr. (Eds.). 1992. HACCP : Principles and Applications. Capman and Hall, London.

Pujawan, I.N. 2005. Supply Chain Managemebt. Guna Widya. Surabaya.

Rangkuti, F. 2005. Analisis SWOT: Teknik Membedah Kasus Bisnis. Gramedia, Jakarta.

Rustiani, F. dan Maspiyati. 1996. Usaha Rakyat dalam Pola Desentralisasi Produksi Subkontrak. AKATIGA. Bandung.


(6)

Simangunsong. 2005. Pengembangan Produk Pintu bagian Pengemudi Mobil Xenia Pada PT. Astra Daihatsu Motor Dengan Menggunakan Fuzzy Quality Deployment (QFD). Skripsi pada Fakultas Teknologi Industri, Universitas Trisakti, Jakarta.

Supply Chain Council. 2006. SCOR. Available : [http://www.supply-chain.org/index.ww](2006).

Suprihatini, Rohayati. 2009. Application Of Quality Function Deployment In Orthodox Black Tea Industry In Indonesia. Indonesian Tea and Cinchona Research Institut. Bandung.

Susila, R. W. 2005. Peluang Pengembangan kelapa sawit di Indonesia : Perspektif Jangka Panjang 2025. Lembaga Riset Perkebunan Indonesia. Bogor. [http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/(6) Soca-roda susila-kelapa sawit (1).pdf] [diunduh tanggal 10 Oktober 2009]

Thaheer, Hermawan. 2005. Sistem Manajemen HACCP, 1th edition. Bumiaksara.

Jakarta.

Van der Vorst, J.G.A.J., and A.J.M. Beulans. 2002. Performance Measurement In Agri Food Supply Chain Networks. International Journal of Agro-food Chains and networks for Development 13-24. Netherlands.