Efek Jamur Tiram Putih (Pleurotus Ostreatus) Terhadap Sel Beta Pankreas Tikus Wistar Jantan Model Diabetes Mellitus Tipe 2 Yang Diberi Pakan Tinggi Lemak Dan Streptozotocin Dosis Rendah
SEL BETA PANKREAS TIKUS WISTAR JANTAN MODEL DIABETES MELLITUS TIPE 2 YANG DIBERI PAKAN TINGGI
LEMAK DAN STREPTOZOTOCIN DOSIS RENDAH
T E S I S
OLEH
NINGRUM WAHYUNI 117008006/BM
PROGRAM STUDI MAGISTER (S-2) ILMU BIOMEDIK FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(2)
BETA PANKREAS TIKUS WISTAR JANTAN MODEL DIABETES MELLITUS TIPE 2 YANG DIBERI PAKAN TINGGI LEMAK DAN
STREPTOZOTOCIN DOSIS RENDAH
T E S I S
Untuk melengkapi persyaratan memperoleh Gelar Magister Biomedik
dalam Program Studi Magister Ilmu Biomedik
pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Oleh
NINGRUM WAHYUNI 117008006/ BM
PROGRAM STUDI MAGISTER (S-2) ILMU BIOMEDIK FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(3)
PANKREAS TIKUS WISTAR JANTAN MODEL DIABETES MELLITUS TIPE 2 YANG DIBERI PAKAN TINGGI LEMAK DAN STREPTOZOTOCIN DOSIS RENDAH
Nama : NINGRUM WAHYUNI
Nomor Pokok : 117008006
Program Studi : ILMU BIOMEDIK
Menyetujui Komisi Pembimbing,
(Prof.Dr.Drs.Syafruddin Ilyas, M. Biomed) (dr.Alya Amila Fitrie,M.Kes,Sp.PA) Ketua Anggota
Ketua Program Studi Biomedik, Dekan,
(dr. Yahwardiah Siregar, Ph.D) (Prof. dr. Gontar A.Siregar,SpPD,KGEH) NIP : 195508071985032001 NIP : 195402201980111001
(4)
PANITIA PENGUJI TESIS
KETUA : Prof. Dr. Drs. Syafruddin Ilyas, M. Biomed Anggota : 1. dr. Alya Amila Fitrie, M.Kes, Sp.PA
2. Dr. M. Pandapotan Nasution, MPS, Apt 3. dr. Mardianto, Sp.PD-KEMD, FINASIM
(5)
RENDAH ABSTRAK
Latar belakang: Selama lebih dari 30 tahun terakhir, jumlah penderita diabetes melitus meningkat dua kali lipat secara global. Menurut data Global Prevalence of Diabetes (2000), jumlah penderita DM di Indonesia diperkirakan mencapai angka 21,3 juta pada tahun 2030. Disfungsi jaringan adiposa berperan penting pada kejadian resistensi insulin. Jaringan adiposa menghasilkan TNF ; dihubungkan dengan timbulnya resistensi insulin, obesitas dan diabetes. Jamur secara tradisional juga telah digunakan untuk pencegahan diabetes. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek antioksidan dari jamur Pleurotus ostreatus terhadap sel beta pankreas.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan rancangan posttest only control goup design. Subjek penelitian ini adalah 24 ekor tikus Wistar jantan, dibagi menjadi enam kelompok (n = 4 ekor/perlakuan). Grup P0 diberi akuades dan citrate buffer. Grup P1 diberi pakan tinggi lemak dan STZ dosis rendah (30 mg/kgBB). Grup P2 dan P3 diberi pakan tinggi lemak dan STZ dosis rendah bersamaan dengan ekstrak etanol Pleurotus ostreatus (200mg/kgBB/hari dan 250mg/kgBB/hari). Grup P4 dan P5 diberi pakan tinggi lemak dan STZ dosis rendah, setelah itu diberi ekstrak etanol Pleurotus ostreatus (200 mg/kgBB/hari dan 250mg/kgBB/hari). Pengukuran KGD dan perhitungan area sel beta pankreas dilakukan pada hari ke 57 setelah perlakuan. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan uji one way ANOVA.
Hasil: Hasil uji one way ANOVA menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna antara keenam kelompok (p<0,05). Hasil uji Post Hoc menunjukkan adanya perbedaan KGD dan jumlah area sel beta pankreas antara kelompok P0 dengan kelompok P1, dan juga antara kelompok P2 dan P3 dengan kelompok P1. Sementara kelompok P4 dan P5 tidak berbeda bermakna dengan P1.
Kesimpulan: Ekstrak etanol jamur Pleurotus ostreatus dapat mencegah kerusakan sel beta pankreas pada dosis 200 dan 250 mg/kgBB tikus namun tidak dapat memperbaiki kerusakan sel beta.
Kata kunci : DM tipe 2, sel beta pankreas, Pleurotus ostreatus, pakan tinggi lemak, KGD
(6)
STREPTOZOTOCIN
ABSTRACT
Background: Over the last 30 years, the amount of DM incident has been increased. According to Global Prevalence of Diabetes (2000) DM incident in Indonesia estimated about 21.3 million in 2030. Adipose tissue dysfunction plays a significant role in the insulin resistance. Adipose tissue produces TNF lead to the insulin resistance incident, obesity, and diabetes. Traditionally, mushroom has been used to prevent diabetes. This study aimed to perceive the antioxidant effect of Pleurotus ostreatus to the beta cell pancreas.
Methods: This research was an experimental study using randomized control group posttest only design. Subjects of this research were 24 male Wistar rats and divided into six groups (n=4 rats/treatment). Group P0 just received aquadest and buffer citrate. Group P1 received high fat diet and low dose STZ. Group P2 and P3 received high fat diet and low dose STZ together with ethanolic extract of Pleurotus ostreatus (respectively 200mg/body weight/day and 250mg/body weight/day). Group P4 and P5 received high fat diet and low dose STZ, then treated with ethanolic extract of Pleurotus ostreatus (respectively 200mg/body weight/day and 250mg/body weight/day). Blood glucose level measurement and beta cell area calculation were done at 57 day after treatment. Data from this research was analyzed using one way ANOVA.
Results: There were significant difference among six groups (p<0,05). The result of Post Hoc test for blood glucose level and beta cell area showed the significant difference between P0 with P1, and between P2 and P3 to P1. And P4 and P5 didn’t show significant difference to P1.
Conclusion: Ethanolic extract of Pleurotus ostreatus prevented beta cell pancreas damage at 200 and 250 mg/bodyweight but did not ameliorate the beta cell damage.
Key Words: type 2 DM, beta cell pancreas, Pleurotus ostreatus, high fat diet, blood glucose level
(7)
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul ”Efek Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) terhadap Sel Beta Pankreas Tikus Wistar Jantan Model Diabetes Mellitus tipe 2 yang Diberi Pakan Tinggi Lemak dan Streptozotocin Dosis Rendah”, sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan jenjang pendidikan Magister pada program studi Ilmu Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Proses penulisan tesis ini tidak lepas dari bimbingan, bantuan, dukungan dan doa dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya saya sampaikan dengan hormat kepada :
1. Prof. Dr. Syahril Pasaribu, DTMH, MSc (CTM), SpA(K), Rektor Universitas Sumatera Utara
2. Prof. dr. Gontar A. Siregar, SpPD-KGEH., Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
3. Dr. Yahwardiah Siregar, PhD., Ketua Program Studi Biomedik, yang memberi
banyak masukan kepada penulis.
4. Prof. DR. Drs. Syafrudin Ilyas, M. Biomed, Ketua Komisi Pembimbing yang senantiasa bersedia meluangkan waktu untuk membimbing, memberikan masukan dan pemikiran dengan penuh kesabaran kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini.
5. dr. Alya Amila Fitrie, M.Kes, Sp.PA, anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan, motivasi dan dukungan kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini.
6. DR. M. Pandapotan Nasution, MPS, Apt., Dosen Pembanding yang juga turut meluangkan waktu dan banyak memberikan masukan, dan motivasi kepada penulis untuk perbaikan tesis ini.
7. dr. Mardianto, Sp.PD-KEMD, FINASIM, Dosen Pembanding yang juga turut meluangkan waktu memberikan masukan untuk perbaikan tesis ini.
8. dr. Mutiara Indah Sari, M.Kes., sekretaris program studi yang banyak membantu penulis memberikan motivasi.
(8)
menyelesaikan pendidikan ini.
10.Kepada keluarga saya, terutama suami yang telah bersabar dan mendoakan kemudahan untuk penyelesaian tesis ini hingga rampung.
11.Kepada sahabat-sahabat saya, terima kasih atas pengertian, perhatian, dukungan dan doa sehingga saya bisa menyelesaikan pendidikan ini.
12.Kepada teman-teman seangkatan 2011 yang banyak memberikan dorongan dan
motivasi.
13.Kepada seluruh staf Anatomi – Histologi FK UISU yang telah banyak memberikan dukungan, doa dan semangat serta motivasi yang besar.
Masih banyak lagi saudara/i ku yang lain yang tidak mungkin saya sebutkan satu persatu, terima kasih untuk semuanya. Penulis berharap, semoga proses pendidikan yang penulis jalani memberikan manfaat baik bagi penulis sendiri dan bagi orang lain. Penulis berterima kasih atas masukan, saran dan kritikan dari semua pihak guna perbaikan dari penelitian ini.
Medan, Agustus 2014 Penulis
(9)
Nama : Ningrum Wahyuni
Tempat/Tgl Lahir : Medan, 5 April 1984
Agama : Islam
Alamat : Jl. Polonia Komp. Flamingo no-J-11
Medan 20157
Telp : 081265022696
Ayah : Tri Marsono
Ibu : Sudarmawan
Anak ke : 1 dari 3 bersaudara
Email : [email protected]
PENDIDIKAN:
SD Angkasa 2 Lanud Medan : Tahun 1990-1996
MTs Muhammadiyah Kwalamadu Binjai : Tahun 1996-1999
SMU Negeri 1 Medan : Tahun 1999-2002
Fakultas Kedokteran UISU Medan : Tahun 2003- 2009
PEKERJAAN :
Dosen Tetap Kontrak FK-UISU staff Anatomi Histologi dari tahun 2010 s/d sekarang Dokter IGD RSI Al-Ummah dari tahun 2010 s/d sekarang
(10)
ABSTARK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... v
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR GAMBAR ... x
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
DAFTAR SINGKATAN ... xiv
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 5
1.3. Tujuan Penelitian ... 5
1.3.1. Tujuan Umum ... 5
1.3.2. Tujuan Khusus ... 5
1.4. Hipotesis Penelitian ... 5
1.5. Manfaat Penelitian ... 6
1.6. Kerangka Konsep ... 6
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7
2.1. Diabetes Melitus Tipe 2 ... 7
2.1.1. Definisi ... 7
2.1.2. Klasifikasi ... 7
2.1.3. Epidemiologi ... 8
2.1.4. Diagnosis ... 9
2.1.5. Faktor Resiko ... 9
2.1.6. Konsumsi Lemak dan DM tipe 2 ... 11
a. Jaringan Adiposa ... 11
b. Resistensi Insulin ... 13
c. Reactive Oxygen Species (ROS) ... 16
2.1.7. Pencegahan dan Pengobatan Diabetes Melitus tipe 2 ... 19
a. Diet dan Olahraga ... 20
b. Obat Anti Diabetes Oral ... 21
c. Terapi Insulin ... 22
2.2. Pankreas ... 22
2.2.1. Anatomi ... 22
2.2.2. Histologi ... 24
2.2.3. Insulin ... 25
(11)
2.4.3. Morfologi Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) ... 32
2.5. Kerangka Teori ... 34
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 35
3.1. Jenis Penelitian ... 35
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 35
3.2.1. Lokasi Penelitian ... 35
3.2.2. Waktu Penelitian ... 35
3.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 35
3.3.1. Populasi Penelitian ... 35
3.3.2. Sampel Penelitian ... 36
3.4. Variabel Penelitian ... 36
3.4.1. Variabel Bebas ... 36
3.4.2. Variabel Terikat ... 37
3.4.3. Variabel Kendali ... 37
3.5. Definisi Operasional ... 37
3.6. Etika Penggunaan Hewan ... 38
3.7. Alat dan Bahan ... 38
3.7.1. Alat ... 38
3.7.2. Bahan ... 39
3.8. Prosedur Penelitian ... 40
3.8.1. Persiapan Hewan Percobaan ... 40
3.8.2. Ransum Pakan Standar ... 41
3.8.3. Pemberian Air Minum ... 41
3.8.4. Pembagian Kelompok dan Pemberian Perlakuan ... 41
3.8.5. Pembuatan Eksrak Etanol Jamur Tiram Putih ... 43
3.8.6. Penentuan Dosis ... 45
3.8.7. Alur Penelitian ... 47
3.9. Prosedur Pemeriksaan ... 48
3.9.1. Prosedur Pembuatan Preparat Imunohistokimia ... 48
3.9.2. Prosedur Analisa Preparat Imunohistokimia ... 50
3.9.3. Prosedur Pemeriksaan KGD ... 50
3.10. Analisis Data ... 51
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 53
4.1. Hasil Identifikasi dan Skrining Jamur Tiram Putih... 53
4.2. Hasil Penelitian ... 54
4.2.1. Hasil Pengukuran Kelompok Preventif ... 54
4.2.1.1. Pengukuran kadar gula darah ... 54
4.2.1.2. Perhitungan luas area sel beta pankreas ... 56
(12)
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 71
5.1. Kesimpulan ... 71
5.2. Saran ... 71
DAFTAR PUSTAKA ... 73
(13)
Tabel Halaman
2.1. Klasifikasi Diabetes Melitus ... 7
2.2. Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus ... 9
2.3. Faktor Resiko DM tipe 2 ... 10
4.1. Hasil Identifikasi dan Klasifikasi Jamur Tiram Putih ... 53
4.2. Hasil Skrining Fitokimia untuk Simplisia dan Ekstrak ... 53
4.3. Hasil Standarisasi Simplisia Jamur Pleurotus ostreatus ... 54
4.4. Rerata Pengukuran KGD pada Kelompok Preventif (mg/dl) ... 54
4.5. Rerata Perhitungan Area Sel Beta pada Kelompok Preventif (%) ... 59
4.6. Rerata Pengukuran KGD pada Kelompok Kuratif (mg/dl) ... 61
(14)
Gambar Halaman
1.1. Gambar kerangka konsep ... 6
2.1. Jalur transduksi sinyal insulin di otot polos ... 15
2.2. Hubungan antara peningkatan FFA dan hiperglikemia menghasilkan patofisiologi DM melalui pembentukan ROS ... 18
2.3. Tempat kerja obat oral yang diindikasikan ... 22
2.4. Posisi anatomi pankreas ... 23
2.5. Ductulus pankreas dan muaranya ... 24
2.6. Sel , sel dan sel pada pewarnaan imunoperoksidase ... 25
2.7. Struktur insulin ... 26
2.8. Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) ... 33
2.9. Skema Kerangka Teori ... 34
3.1. Alur Penelitian ... 47
4.1. Grafik Rerata KGD Tikus pada Kelompok Preventif ... 55
4.2. Gambaran Imunohistokimia Antibodi Anti-Insulin Pankreas Tikus Kelompok P0 yang Diberi Citrate Buffer ... 57
4.3. Gambaran Imunohistokimia Antibodi Anti-Insulin Pankreas Tikus Kelompok P1 yang Diberi Diet Tinggi Lemak dan STZ dosis rendah .. 57
4.4. Gambaran Imunohistokimia Antibodi Anti-Insulin Pankreas Tikus Kelompok P2 yang Diberi Diet Tinggi Lemak dan STZ dosis rendah bersamaan dengan Ekstrak Jamur PO 200 mg/kgBB ... 58
4.5. Gambaran Imunohistokimia Antibodi Anti-Insulin Pankreas Tikus Kelompok P3 yang Diberi Diet Tinggi Lemak dan STZ dosis rendah bersamaan dengan Ekstrak Jamur PO 250 mg/kgBB ... 58
4.6. Grafik Rerata Jumlah Area Sel Beta Pankreas pada Kelompok Preventif 59 4.7. Grafik Rerata KGD Tikus pada Kelompok Kuratif ... 61
(15)
4.9. Gambaran Imunohistokimia Antibodi Anti-Insulin Pankreas Tikus Kelompok P1 yang Diberi Diet Tinggi Lemak dan STZ dosis rendah .. 64 4.10. Gambaran Imunohistokimia Antibodi Anti-Insulin Pankreas Tikus
Kelompok P2 yang Diberi Diet Tinggi Lemak dan STZ dosis rendah, lalu diberi Ekstrak Jamur PO 200 mg/kgBB ... 65 4.11. Gambaran Imunohistokimia Antibodi Anti-Insulin Pankreas Tikus
Kelompok P2 yang Diberi Diet Tinggi Lemak dan STZ dosis rendah, lalu diberi Ekstrak Jamur PO 250 mg/kgBB ... 65 4.12. Grafik Rerata Jumlah Area Sel Beta Pankreas pada Kelompok Kuratif 66
(16)
Nomor Judul Halaman
1. Hasil Identifikasi dan Klasifikasi Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) 82 2. Hasil Skrining Fitokimia Simplisia ... 83 3. Hasil Skrining Fitokimia Ekstrak ... 87 4. Cara Perhitungan Dosis Ekstrak Jamur PO ... 89 5. Uji Normalitas terhadap Kadar Gula Darah (KGD) Tikus pada
Kelompok Preventif ... 89 6. Uji Kesamaan Varians terhadap KGD Tikus pada Kelompok Preventif ... 89 7. Uji post hoc Bonferroni Perbandingan data KGD pada Kelompok
Preventif ... 90 8. Uji Normalitas terhadap Area Sel Beta Pankreas Tikus pada Kelompok
Preventif ... 91 9. Uji Kesamaan Varians terhadap Area Sel Beta Pankreas Tikus Kelompok
Preventif ... 91 10. Uji post hoc Bonferroni Perbandingan data Area Sel Beta Pankreas pada
Kelompok Preventif ... 92 11. Uji Normalitas terhadap Kadar Gula Darah (KGD) Tikus pada
Kelompok Kuratif ... 92 12. Uji Kesamaan Varians terhadap KGD Tikus pada Kelompok Kuratif .... 93 13. Grafik Slope dan Power untuk Menentukan Rumus Transformasi data
KGD Tikus pada Kelompok Kuratif ... 93 14. Uji Kesamaan Varians Data dan Uji ANOVA Hasil Transformasi pada
Kelompok Kuratif ... 94 15. Hasil bootstrap Data Kadar Gula Darah pada Kelompok Kuratif ... 94 16. Uji post hoc Bonferroni Perbandingan data KGD Kelompok Kuratif ... 95 17. Uji Normalitas terhadap Area Sel Beta Pankreas Tikus pada Kelompok
(17)
19. Uji post hoc Bonferroni Perbandingan Data Area Sel Beta Pankreas pada Kelompok Kuratif ... 97 20. Surat Ethical Clearance ... 98 21. Penjelasan Prosedur Penggunaan Kit Pemeriksaan Kadar Gula Darah .... 99 22. Foto Jamur Tiram Putih yang Digunakan pada Penelitian ... 101 23. Foto-foto Kegiatan selama Penelitian ... 102
(18)
Akt : Protein Kinase B
ALT : Alanine transaminase
AMPK : 5' Adenosine Monophosphate-Activated Protein Kinase
AST : Aspartate aminotransferase
CGA : Chlorogenic acid
CRP : C Reactive Protein
DAG : Diacylglycerol
DM : Diabetes Melitus
DNA : Deoxyribonucleic acid
DPPH : Diphenyl-picrylhydralazyl
FFA : Free Fatty Acid
GDM : Gestational Diabetes Mellitus
GLUT : Glucose Transporter
HDL : High Density Lipoprotein
HFD : High Fat Diet
IFG : Impaired Fasting Glucose
IGT : Impaired Glucose Tolerance
IL : Interleukin
IMT : Indeks Massa Tubuh
iNOS : inducible Nitric Oxide Synthase
IRS : Insulin Receptor Substrate
ISSR : Inter Simple Sequence Repeat
KGD : Kadar Gula Darah
LDL : Low Density Lipoprotein
MDA : Malondialdehyde
MODY : Maturity Onset Diabetes of The Young
mRNA : messenger Ribonucleic acid
NADPH : Nicotinamide adenine dinucleotide phosphate
NF- B :Nuclear Factor Kappa-Light-Chain-Enhancer Of Activated B Cells
(19)
OH : Hidroksil
PAC : Protocatechuic acid
PCO : Polycystic Ovary Syndrome
PI3K : Phospphatidyl Inositol 3 Kinase
PKC : Protein Kinase C
PO : Pleurotus ostreatus
PPAR : Peroxisome proliferator-activated receptor
ROS : Reactive Oxygen Species
STZ : Streptozotocin
TG/TAG : Trigliserida/Triacylglycerol
(20)
RENDAH ABSTRAK
Latar belakang: Selama lebih dari 30 tahun terakhir, jumlah penderita diabetes melitus meningkat dua kali lipat secara global. Menurut data Global Prevalence of Diabetes (2000), jumlah penderita DM di Indonesia diperkirakan mencapai angka 21,3 juta pada tahun 2030. Disfungsi jaringan adiposa berperan penting pada kejadian resistensi insulin. Jaringan adiposa menghasilkan TNF ; dihubungkan dengan timbulnya resistensi insulin, obesitas dan diabetes. Jamur secara tradisional juga telah digunakan untuk pencegahan diabetes. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek antioksidan dari jamur Pleurotus ostreatus terhadap sel beta pankreas.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan rancangan posttest only control goup design. Subjek penelitian ini adalah 24 ekor tikus Wistar jantan, dibagi menjadi enam kelompok (n = 4 ekor/perlakuan). Grup P0 diberi akuades dan citrate buffer. Grup P1 diberi pakan tinggi lemak dan STZ dosis rendah (30 mg/kgBB). Grup P2 dan P3 diberi pakan tinggi lemak dan STZ dosis rendah bersamaan dengan ekstrak etanol Pleurotus ostreatus (200mg/kgBB/hari dan 250mg/kgBB/hari). Grup P4 dan P5 diberi pakan tinggi lemak dan STZ dosis rendah, setelah itu diberi ekstrak etanol Pleurotus ostreatus (200 mg/kgBB/hari dan 250mg/kgBB/hari). Pengukuran KGD dan perhitungan area sel beta pankreas dilakukan pada hari ke 57 setelah perlakuan. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan uji one way ANOVA.
Hasil: Hasil uji one way ANOVA menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna antara keenam kelompok (p<0,05). Hasil uji Post Hoc menunjukkan adanya perbedaan KGD dan jumlah area sel beta pankreas antara kelompok P0 dengan kelompok P1, dan juga antara kelompok P2 dan P3 dengan kelompok P1. Sementara kelompok P4 dan P5 tidak berbeda bermakna dengan P1.
Kesimpulan: Ekstrak etanol jamur Pleurotus ostreatus dapat mencegah kerusakan sel beta pankreas pada dosis 200 dan 250 mg/kgBB tikus namun tidak dapat memperbaiki kerusakan sel beta.
Kata kunci : DM tipe 2, sel beta pankreas, Pleurotus ostreatus, pakan tinggi lemak, KGD
(21)
STREPTOZOTOCIN
ABSTRACT
Background: Over the last 30 years, the amount of DM incident has been increased. According to Global Prevalence of Diabetes (2000) DM incident in Indonesia estimated about 21.3 million in 2030. Adipose tissue dysfunction plays a significant role in the insulin resistance. Adipose tissue produces TNF lead to the insulin resistance incident, obesity, and diabetes. Traditionally, mushroom has been used to prevent diabetes. This study aimed to perceive the antioxidant effect of Pleurotus ostreatus to the beta cell pancreas.
Methods: This research was an experimental study using randomized control group posttest only design. Subjects of this research were 24 male Wistar rats and divided into six groups (n=4 rats/treatment). Group P0 just received aquadest and buffer citrate. Group P1 received high fat diet and low dose STZ. Group P2 and P3 received high fat diet and low dose STZ together with ethanolic extract of Pleurotus ostreatus (respectively 200mg/body weight/day and 250mg/body weight/day). Group P4 and P5 received high fat diet and low dose STZ, then treated with ethanolic extract of Pleurotus ostreatus (respectively 200mg/body weight/day and 250mg/body weight/day). Blood glucose level measurement and beta cell area calculation were done at 57 day after treatment. Data from this research was analyzed using one way ANOVA.
Results: There were significant difference among six groups (p<0,05). The result of Post Hoc test for blood glucose level and beta cell area showed the significant difference between P0 with P1, and between P2 and P3 to P1. And P4 and P5 didn’t show significant difference to P1.
Conclusion: Ethanolic extract of Pleurotus ostreatus prevented beta cell pancreas damage at 200 and 250 mg/bodyweight but did not ameliorate the beta cell damage.
Key Words: type 2 DM, beta cell pancreas, Pleurotus ostreatus, high fat diet, blood glucose level
(22)
BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang
Diabetes tipe 2 merupakan kelainan heterogen yang ditandai dengan menurunnya kerja insulin secara progresif (resistensi insulin), yang diikuti dengan ketidakmampuan sel beta untuk mengkompensasi resistensi insulin (disfungsi sel beta pankreas) (Srinivasan et al., 2005). Selama lebih dari 30 tahun terakhir, jumlah penderita diabetes melitus meningkat dua kali lipat secara global, dan menjadi tantangan dalam bidang kesehatan di beberapa negara (Chen et al., 2011). Diabetes melitus (DM) tipe 2 ini merupakan tipe yang paling banyak diantara bentuk diabetes lainnya (Bi et al., 2012), bahkan pada tahun 2010 mencapai 90% dari total kejadian penyakit diabetes (Chen et al., 2011). Prevalensi DM tipe 2 telah mencapai proporsi epidemi di seluruh dunia dan menjadi ancaman kesehatan global ( Bi et al., 2012; Ramachandran & Snehalatha, 2012). Di Amerika Serikat, DM tipe 2 mengenai kira-kira 16 juta orang, di seluruh dunia mengenai 135 juta orang dan diperkirakan mencapai angka 300 juta pada tahun 2025 (Choi et al., 2005).
Masalah diabetes melitus saat ini berada pada negara berkembang dibandingkan negara maju, dengan 80% penderita berada di negara berkembang. Diantara 10 negara dengan prediksi jumlah penderita DM tipe 2 terbanyak pada tahun 2030, lima diantaranya adalah negara di Asia, yaitu China, India, Pakistan, Indonesia, dan Bangladesh (Chen et al., 2011). Di negara berkembang, mayoritas penderita diabetes berada pada rentang umur 45 – 64 tahun. Sebaliknya di negara maju mayoritas penderita diabetes berusia > 64 tahun. Menurut data Global
(23)
Prevalence of Diabetes, jumlah penderita DM di Indonesia pada tahun 2000 sebanyak 8,4 juta dan diperkirakan mencapai angka 21,3 juta pada tahun 2030 (Wild et al., 2004). DM tipe 2 meningkat angka kejadiannya pada anak-anak, remaja dan dewasa muda (Chen et al., 2011).
Sejumlah faktor mempengaruhi angka kejadian DM tipe 2, antara lain pola diet yang menyebabkan obesitas, kerentanan gen, merokok dan konsumsi alkohol ( Chen et al., 2011; Ramachandran & Snehalatha, 2012), gaya hidup yang kurang gerak dan terlalu banyak duduk (Bi et al., 2012), gangguan tidur dan depresi (Chen et al., 2011). Peranan diet lemak pada kejadian DM tipe 2 telah mejadi perhatian klinis selama beberapa dekade (Risérus et al., 2009).
Obesitas secara klinis didefinisikan sebagai Indeks Massa Tubuh (IMT) 30 kg/m2, merupakan penyakit yang memiliki prevalensi tinggi di segala usia dan dengan cepat mencapai proporsi pandemi (Tataranni, 2002). Studi terkini menemukan hubungan antara obesitas dengan DM tipe 2 yang melibatkan sitokin proinflamasi (TNF dan IL-6), resistensi insulin, terganggunya metabolisme asam lemak, dan proses seluler seperti disfungsi mitokondria (Eckel et al., 2011). Kualitas diet lemak sebagian besar mempengaruhi komposisi asam lemak membran sel dan karenanya mempengaruhi fungsi membran sel. Komposisi asam lemak membran sel diduga merubah sejumlah fungsi sel, termasuk ketidakstabilan membran, permeabilitas ion, dan afinitas/ikatan reseptor insulin (Risérus et al., 2009).
Pengaruh obesitas terhadap resiko DM tipe 2 tidak hanya ditentukan oleh derajat obesitas, namun juga dipengaruhi oleh dimana terjadinya akumulasi lemak. Meningkatnya lemak tubuh bagian atas termasuk sel adiposity visera, yang
(24)
terlihat pada rasio pinggang-panggul dikaitkan dengan sindroma metabolik, DM tipe 2, dan penyakit kardiovaskular (Eckel et al., 2011). Disfungsi jaringan adiposa memainkan peranan penting pada kejadian resistensi insulin (Snel et al., 2012). Jaringan adiposa menghasilkan TNF bersama monosit dan limfosit; dimana TNF terlibat dalam respon inflamasi dan dihubungkan dengan timbulnya resistensi insulin, obesitas dan diabetes (Bi et al., 2012).
Resistensi insulin merupakan abnormalitas metabolik utama pada sebagian besar pasien dengan DM tipe 2 (Glass & Olefsky, 2012), dimana baik pada hewan coba maupun manusia terdapat akumulasi lipid intrasel pada otot skeletal dan liver. Akumulasi lipid ini dapat menyebabkan hambatan GLUT4, yang kemudian menekan masuknya glukosa kedalam sel dan menghambat oksidasi glukosa dan sintesis glikogen (Wolf, 2008).
STZ telah digunakan sebagai agen alkilasi kemoterapi untuk pengobatan tumor sel pulau Langerhans metastasis. Pada tahun 1963 Rakieten melaporkan bahwa STZ merupakan diabetogenik dan sejak saat itulah STZ digunakan sebagai zat penginduksi DM di laboratorium hewan (Lenzen, 2007). Pada pemberian STZ, tanda-tanda DM yang terjadi seperti meningkatnya asupan makanan dan air, berat badan tidak bertambah, dan meningkatnya KGD (Wei et al., 2003). Pada pengamatan mikroskopis mencit yang diinduksi dengan STZ terlihat abnormalitas pankreas secara histomorfologi. Pulau Langerhans berbentuk tidak teratur dan ukurannya berkurang. Jumlah sel endokrin pankreas berkurang (Tian et al., 2010). Diabetes dapat dikontrol dengan manajemen diet yang tepat. Obat tradisional seperti jamur sangat bermanfaat untuk penatalaksanaan sejumlah masalah kesehatan. Jamur secara tradisional juga telah digunakan untuk pencegahan
(25)
diabetes, obesitas, penyakit jantung, konstipasi, kanker dan hipertensi (Agrawal & Chopra, 2010). Polisakarida (beta glucan) yang terdapat dalam jamur, secara khusus, dapat mengembalikan fungsi jaringan pankreas dengan meningkatan pelepasan insulin oleh sel fungsional, yang menurunkan kadar gula darah dan juga tampaknya dapat memperbaiki sensitivitas sel perifer terhadap insulin sirkulasi (Rathee & Rathee, 2012; Silva et al., 2012).
Spesies Pleurotus merupakan anggota filum Basidiomycota. Manfaat terapeutik dari Pleurotus ostreatus antara lain: antimikroba, antivirus, antineoplasma, antioksidan, antilipidemik, hipoglikemik, hipotensif, antiinflamasi, hepatoprotective, hipokolesterolemik. Efek hipoglikemiknya diduga karena adanya senyawa guanide yang bisa diekstrak dari jamur ini. Sementara efek antioksidannya karena adanya peran pleuran (beta glucan) yang pada penelitian sebelumnya menunjukkan efek positif terhadap lesi pra-kanker. Pleurotus ostreatus meningkatkan enzim antioksidan yang mengurangi kerusakan oksidatif pada manusia. Pleurotus ostreatus juga mengandung senyawa polifenol yang memiliki kemampuan untuk menghambat efek mutagen dan karsinogen (Patel et al., 2012). Pada penelitian Ikrimah pada tahun 2012, dibuktikan bahwa ekstrak jamur tiram terbukti mampu meregenerasi sel pulau Langerhans yang dilihat dari berat pankreas dan menurunkan kadar gula darah (Ikrimah & Permatasari, 2012). Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk meneliti efek ekstrak jamur tiram putih terhadap sel pankreas tikus yang diinduksi DM tipe 2 dengan menggunakan pakan tinggi lemak (high fat diet) dan streptozotocin dosis rendah.
(26)
1.2Perumusan Masalah
Bagaimanakah efek pemberian ekstrak etanol jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) terhadap sel beta pankreas yang mengalami degenerasi disebabkan resistensi insulin oleh induksi pakan tinggi lemak dan STZ dosis rendah?
1.3Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui efek ekstrak etanol jamur tiram putih terhadap sel pankreas tikus wistar jantan yang diberi pakan tinggi lemak dan streptozotocin dosis rendah.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mendapatkan ekstrak etanol jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) untuk digunakan dalam penelitian ini serta mengetahui kandungannya secara kualitatif.
2. Mengetahui efek pemberian ekstrak etanol jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) dalam menurunkan kadar gula darah tikus Wistar jantan yang diinduksi dengan pakan tinggi lemak dan streptozotocin dosis rendah.
3. Mengamati efek ekstrak etanol jamur tiram putih Pleurotus ostreatus terhadap sel pankreas pada tikus Wistar jantan yang diinduksi dengan pakan tinggi lemak dan streptozotocin dosis rendah.
1.4Hipotesis Penelitian
Ekstrak etanol jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) dapat mencegah dan memperbaiki kerusakan sel pankreas tikus Wistar jantan DM tipe 2 yang diinduksi dengan pakan tinggi lemak dan streptozotocin dosis rendah.
(27)
1.5Manfaat Penelitian
1.5.1 Menyediakan informasi ilmiah mengenai jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) dan efeknya terhadap DM tipe 2
1.5.2 Penelitian ini dapat dijadikan tambahan informasi untuk pengembangan bahan obat dari alam.
1.6Kerangka Konsep
Gambar 1.1 Gambar kerangka konsep DM tipe 2
High fat diet +
Streptozotocin dosis rendah
Tikus Wistar jantan
Ekstrak etanol Pleurotus ostreatus
- Kadar Gula Darah <<< - Morfologi sel pankreas
(28)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1Diabetes Melitus tipe 2 2.1.1 Definisi
Diabetes melitus (DM) merupakan sekelompok kelainan heterogen secara genetis dan klinis yang ditandai dengan kadar gula didalam darah yang meningkat secara tidak normal. Kelainan ini terjadi, baik ketika pankreas tidak bisa memproduksi insulin yang cukup maupun saat tubuh tidak dapat menggunakan insulin yang dihasilkan secara efektif. Pada kelainan ini, biasanya juga terjadi gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein (Harris, 2004; WHO, 2013).
2.1.2 Klasifikasi
Secara umum diabetes dibagi menjadi 4 subkelas, yaitu DM tipe 1, DM tipe 2, DM gestasional dan tipe DM tipe khusus. Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 2.1 Klasifikasi Diabetes Melitus (Goldman & Bennet, 2000)
I. DM tipe 1. Sebelumnya disebut sebagai insulin-dependent diabetes mellitus (IDDM) atau “juvenile onset diabetes”
II. DM tipe 2. Sebelumnya disebut sebagai non-insulin-dependent diabetes mellitus (NIDDM) atau “adult onset diabetes”
III. DM tipe khusus
A. Kerusakan genetik fungsi sel (misal: maturity onset diabetes of the young (MODY) tipe 1 – 3 dan point mutation pada DNA mitokondria) B. Kerusakan genetik kerja insulin
C. Penyakit eksokrin pankreas (pankreatitis, trauma, pankreatektomi, neoplasma, cystic fibrosis, hemokromatosis, fibrocalculous pancreatopathy)
D. Endocrinopathies (akromegali, sindroma Cushing, hipertiroidisme, feokromasitoma, glukagonoma, somastotatinoma, aldosteronoma) E. Diinduksi oleh obat atau bahan kimia (glukokortikosteroid, tiazid,
(29)
diazoksid, pentamidin, vacor, hormon tiroid, fenitoin, agonis , kontrasepsi oral)
F. Infeksi (rubella kongenital, sitomegalovirus)
G. Bentuk diabetes immune-mediated yang jarang (sindroma “stiff-man”, antobodi reseptor anti-insulin)
H. Sindroma genetik lainnya (sindroma Down, Klinefelter, Turner, penyakit Huntington, distrofi miotonik, lipodistrofi, ataksia-telangiektasia)
IV. DM gestasional
2.1.3 Epidemiologi
Jumlah orang yang menderita DM di seluruh dunia sudah bertambah dua kali lipat selama 30 tahun terakhir. Pada tahun 2010 diperkirakan 285 juta orang diseluruh dunia menderita DM, dimana 90%-nya mengidap DM tipe 2. Jumlah ini diperkirakan akan meningkat hingga 439 juta pada tahun 2030, yang mewakili 7,7% populasi dewasa total didunia yang berusia 20 – 79 tahun. (Chen et al., 2011). Di Amerika Serikat prevalensinya meningkat 10 – 15% pada orang yang berusia 50 tahun keatas. Penyakit ini sering tidak terdiagnosa, diperkirakan ada 1 kasus yang tidak terdiagnosa untuk setiap 2 kasus yang terdiagnosa (Goldman & Bennet, 2000).
Sejumlah ahli memperdebatkan bahwa beberapa negara di Asia muncul sebagai pusat dari epidemi DM. Sejumlah wilayah di Asia terdiri dari beberapa negara dengan penduduk terbanyak di dunia, dan mengalami perubahan nyata secara demografi, epidemiologi, dan sosioekonomi selama beberapa dekade terakhir. Negara dengan penduduk terbanyak adalah Cina dan kedua adalah India. India dan Cina memiliki jumlah penderita DM dalam jumlah yang besar. Meningkatnya DM tipe 2 di Asia berbeda dengan negara lain, dimana perkembangannya relatif dalam waktu yang singkat dan pada kelompok usia yang lebih muda. Perbedaan yang terjadi adalah pada populasi Asia tingginya proporsi
(30)
lemak tubuh dan obesitas abdomen lebih menonjol pada orang Asia dibandingkan dengan orang Eropa pada nilai IMT yang sama. Karakteristik ini memiliki arti bahwa orang Asia memiliki predisposisi resistensi insulin pada derajat obesitas yang lebih rendah dibandingkan orang-orang keturunan Eropa (Yoon et al., 2006). DM tipe 2 juga meningkat pada orang Asia yang berimigrasi ke Amerika Serikat. Perubahan ini dihubungkan dengan ketidakmampuan orang Asia beradaptasi secara metabolik terhadap pola perilaku barat yang cenderung beraktivitas rendah dengan asupan kalori yang lebih tinggi (Goldman & Bennet, 2000).
2.1.4 Diagnosis
Diagnosis biasanya langsung ditegakkan dengan munculnya gejala klasik poliuria, polidipsi, dan turunnya berat badan. Hal ini dikonfirmasi dengan melakukan pemeriksaan kadar gula darah sewaktu yang diambil dari pembuluh darah vena yaitu sebesar 200 mg/dL atau lebih (Goldman & Bennet, 2000). The National Diabetes Data Group dan World Health Organization telah menerbitkan kriteria diagnosis untuk DM yang dirangkum pada tabel berikut:
Tabel 2.2 Kriteria Diagnosis Diabetes Mellitus (Harrison, 2005)
• Gejala-gejala diabetes ditambah konsentrasi KGD random 11,1 mmol/L
(200 mg/dL) atau
• KGD puasa 7 mmol/L (126 mg/dL) atau
• KGD 2 jam 11,1 mmol/L (200 mg/dL) selama oral glucose tolerance
test (OGTT)
2.1.5 Faktor Resiko
Sejumlah faktor meningkatkan prevalensi DM di Asia. Jika pengaruh faktor lingkungan memainkan peranan penting dalam memicu perkembangan DM, diharapkan prevalensi DM lebih rendah di daerah pedesaan, dimana orang-orang masih mengikuti gaya hidup tradisional (Chen et al., 2011; Yoon et al., 2006). Hal
(31)
ini terbukti ketika membandingkan beda prevalensi DM di perkotaan dan pedesaan di India, Filipina dan Kamboja. Di India, angka prevalensi di perkotaan 8,2% sementara di pedesaan prevalensinya 2,4%. Tapi perbedaan prevalensi tidak didapati di Korea dan Thailand. Hal ini bisa saja disebabkan oleh urbanisasi komunitas pedesaan (Yoon et al., 2006).
Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap peningkatan prevalensi DM di Asia salah satunya adalah urbanisasi dan transisi sosioekonomi. Sementara faktor resiko lainnya termasuk usia, karakteristik antropometrik, merokok, alkohol, gaya hidup tanpa olahraga dan kerentanan gen (Bi et al., 2012; Ramachandran & Snehalatha, 2012).
Mengkonsumsi makanan tinggi lemak ternyata berhubungan dengan meningkatnya resiko DM tipe 2 (Marshall & Bessesen, 2002). Jadi, meskipun DM tipe 2 sangat dipengaruhi olah gaya hidup dan kerentanan gen, komposisi makanan bisa mempengaruhi perkembangan dan komplikasi DM tipe 2 ini. Asam lemak mempengaruhi metabolisme glukosa dengan merubah fungsi membran sel, aktivitas enzim, sinyal insulin dan ekspresi gen (Risérus et al., 2009).
Tabel 2.3 Faktor resiko DM tipe 2 (Harrison, 2005)
• Riwayat keluarga diabetes (misal: orang tua atau saudara kandung dengan
DM tipe 2)
• Obesitas (IMT 25 kg/m2) • Kebiasaan fisik yang tidak aktif
• Ras/etnis (misal: Afro-Amerika, Asia-Amerika, Amerika asli)
• Sebelumnya diidentifikasi dengan IFG (Glukosa Puasa Terganggu) atau IGT
(Toleransi Glukosa Terganggu)
• Riwayat GDM (DM gestasional) atau melahirkan bayi > 4 kg
• Hipertensi (KGD 140/90 mmHg)
• Kadar kolesterol HDL 35 mg/dL (0.9 mmol/L) dan/atau kadar trigliserida
250 mg/dL (2,82 mmol/L)
(32)
• Riwayat penyakit vaskular
2.1.6 Konsumsi Lemak dan DM tipe 2
Sejumlah peneliti menemukan kaitan antara konsumsi makanan tinggi lemak dan asam lemak jenuh yang memiliki hubungan terhadap meningkatnya resiko DM (Marshall & Bessesen, 2002). Hubungan ini bahkan telah ditemukan selama lebih dari 60 tahun (Lichtenstein & Schwab, 2000). Studi terbaru telah menemukan hubungan antara obesitas dan DM tipe 2 yang melibatkan sitokin proinflamasi, resistensi insulin dan terganggunya metabolisme asam lemak serta gangguan proses seluler (Eckel et al., 2011; Meyer et al., 2001). Diet lemak terutama mempengaruhi komposisi asam lemak membran sel, dan akibatnya mempengaruhi fungsi membran sel. Komposisi asam lemak didalam membran sel diduga mempengaruhi sejumlah fungsi sel, salah satunya adalah mengganggu afinitas/ikatan reseptor insulin dengan cara interaksi GLUT dengan second messenger. Hal ini akan mempengaruhi sensitivitas insulin seluruh tubuh dan jaringan (Risérus et al., 2009).
a. Jaringan adiposa
Semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa jaringan adiposa, dengan cara menghasilkan hormon dan energi, merupakan suatu organ penting dalam patogenesis resistensi insulin pada DM tipe 2 (McPhee & Ganong, 2006). Jaringan adiposa merupakan jaringan yang paling merata dalam tubuh manusia. Jaringan ini biasanya ditemukan dalam jaringan ikat longgar subkutan, dan juga jaringan ini melingkupi organ internal. Jaringan adiposa ini dibagi menjadi 2 subtipe: lemak putih dan lemak coklat. Lemak putih tersebar luas dan merupakan lokasi utama proses metabolisme dan penyimpanan lemak, sementara lemak
(33)
coklat relatif jarang dan peranan utamanya adalah mempertahankan suhu tubuh. Jaringan adiposa putih merupakan cadangan energi utama dan fungsi utamanya adalah menyimpan trigliserida (TG) saat kelebihan energi dan melepas energi dalam bentuk asam lemak bebas selama kekurangan energi. Jaringan adiposa melepaskan sejumlah peptida, sitokin, dan faktor komplemen, yang berperan sebagai autokrin dan parakrin untuk mengatur metabolisme dan pertumbuhan adiposit, juga sinyal insulin untuk mengatur homeostasis energi (Niemelä & Miettinen, 2008). Meningkatnya serum TG menyebabkan akumulasi DAG di otot dan hepar, yang merupakan aktivator kuat protein kinase C (PKC) yang nantinya akan mengaktifkan jalur fosforilasi threonine/serine, menyebabkan translokasi GLUT4 yang menurunkan penyimpanan glukosa ke dalam otot yang nantinya mengurangi oksidasi glukosa dan sintesis glikogen. Hasil akhirnya berupa tanda-tanda resistensi insulin: berkurangnya oksidasi glukosa dan sintesis glikogen di otot rangka, dan berkurangnya sintesis glikogen dan lebih banyak glukoneogenesis di hepar (Wolf, 2008)
Adiposit merupakan komponen seluler utama dari jaringan adiposa dan sebagai tempat penyimpanan energi utama dalam bentuk TG. Sebagian kecil adiposit berperan sebagai buffer kuat, yang secara berkala menyerap FFA (asam lemak bebas) dan TG pada periode post prandial. Namun saat adiposit dalam jumlah berlebihan, malah menyebabkan fungsinya tidak bekerja, yang akan menyebabkan resistensi insulin, hiperlipolisis, dan resisten terhadap efek anti-lipolitik insulin (Ibrahim, 2010). Adiposit mensekresikan sejumlah faktor yang memainkan peranan dalam respon imunologi, penyakit vaskular, dan pengaturan selera makan. Jaringan adiposa juga mensekresikan sejumlah peptida, sitokin dan
(34)
faktor komplemen, yang berperan mengatur metabolisme dan pertumbuhan adiposit, juga sinyal endokrin untuk mengatur homeostasis energi (Niemelä & Miettinen, 2008).
Adipokin adalah protein yang disekresikan dari adiposit dan juga disintesa oleh adiposit. Yang menjadi bagian dari adipokin yang berpengaruh terhadap homeostasis glukosa antara lain sitokin (TNF , IL-6), adiponektin, resistin, CRP (Trayhurn & Wood, 2004; Hajer et al., 2008; Ibrahim, 2010). Adiponektin meningkatkan sensitivitas insulin dengan cara menghambat produksi glukosa hepar (Hajer et al., 2008). Kondisi obesitas menurunkan jumlah adiponektin (Ibrahim, 2010). TNF meningkatkan fosforilasi serine IRS-1 (Insulin Receptor Substrate – 1) dan mengurangi ekspresi GLUT4 (Glucose Transporter – 4) yang membantu terbentuknya resistensi insulin (Saini, 2010). TNF juga menginduksi lipolisis, mengaktivasi NF- B dan meningkatkan pelepasan asam lemak bebas (FFA) dari jaringan adiposa (Al-Dahr & Jiffri, 2010). IL-6 menurunkan sinyal insulin dan merupakan sitokin utama yang mengatur produksi CRP (Trayhurn & Wood, 2004; Ibrahim, 2010).
b. Resistensi insulin
Resistensi insulin dapat didefinisikan sebagai suatu kondisi berkurangnya respon terhadap kadar insulin sirkulasi yang normal, atau dengan kata lain berkurangnya respon metabolisme glukosa terhadap insulin (Wolf, 2008). Peningkatan kadar insulin dengan glukosa plasma normal dapat diindikasikan sebagai resistensi insulin. Seiring dengan meningkatnya adipositas, khususnya deposit lemak viscera abdomen, sensitivitas insulin tubuh menurun. Abnormalitas reseptor insulin – konsentrasi, afinitas, atau keduanya – mempengaruhi kerja
(35)
insulin. Jaringan target menurunkan jumlah reseptor insulin pada permukaan sel sebagai respon terhadap peningkatan kadar sirkulasi insulin berkepanjangan, kemungkinan dengan peningkatan degradasi intraselular. Saat kadar insulin rendah, disisi lain, ikatan reseptor meningkat. Kondisi terkait kadar insulin tinggi dan menurunnya ikatan insulin-reseptor diantaranya termasuk obesitas, konsumsi tinggi karbohidrat, dan insulinisasi eksogen berlebih yang berkepanjangan. (Gardner & Shoback, 2007).
Etiologi resistensi insulin telah dipelajari secara khusus, dan telah diketahui bahwa inflamasi jaringan kronik merupakan penyebab utama resistensi insulin yang diinduksi oleh obesitas. Salah satu bukti utama hubungan tersebut berasal dari pengamatan tanpa sengaja bahwa TNF- , sebuah sitokin yang berhubungan dengan kaheksia pada kanker, ternyata meningkat dalam jaringan adiposa obesitas pada rodensia dan hambatan terhadap sitokin ini memperbaiki toleransi glukosa dan sensitivitas insulin (Glass & Olefsky, 2012). Resistensi insulin menghalangi penggunaan glukosa oleh jaringan sensitif-insulin dan meningkatkan keluaran glukosa hepar; keduanya menyebabkan kondisi hiperglikemia. Pada resistensi insulin jumlah reseptor insulin dan aktifitas tyrosine-kinase berkurang, namun perubahan ini lebih disebabkan kondisi sekunder dari hiperinsulinemia dan bukan merupakan kerusakan primer. Karena itu, kerusakan post receptor diyakini berperan predominan pada resistensi insulin. Polimorfisme IRS-1 juga berhubungan dengan intoleransi glukosa. Saat ini patologi resistensi insulin berfokus pada kerusakan sinyal PI3K yang mengurangi translokasi GLUT4 ke membran plasma (Harrison, 2005).
(36)
Gambar 2.1. Jalur transduksi sinyal insulin di otot polos (Harrison, 2005). FFA sudah lama diketahui memiliki peranan dalam hal menghilangkan sensitivitas insulin, yang nantinya menyebabkan resistensi insulin dan DM tipe 2 (Bhattacharya et al., 2007; Saini, 2010). FFA dapat mengganggu penggunaan glukosa dalam otot polos, memicu produksi glukosa oleh hepar, dan merusak fungsi sel beta pankreas (Harrison, 2005). FFA yang meningkat didalam plasma berasal dari lipolisis TG didalam jaringan adiposa ataupun sebagai akibat dari kerja lipoprotein lipase selama penyimpanan TG plasma kedalam jaringan (Murray et al., 2006). Telah dipostulasikan bahwa peningkatan metabolit asam lemak dalam konsentrasi intraselular mengaktifkan kaskade serine-kinase, yang menyebabkan defek pada sinyal reseptor insulin. Sebagai tambahan, rangkaian adipokin kompleks, dilepaskan dari jaringan adiposa mengubah respon jaringan terhadap insulin. Dari banyaknya molekul yang terlibat dalam proses sinyal intraseslular oleh insulin, reseptor insulin substrat-2 (IRS-2), protein kinase B (Akt) dan faktor transkripsi forkhead Foxo 1a merupakan molekul yang menarik perhatian, sebagaimana data terkini memberikan bukti kuat bahwa disfungsi protein-protein ini menyebabkan resistensi insulin in vivo (Saini, 2010).
(37)
Meningkatnya serum trigliserida menyebabkan akumulasi DAG intrasel di otot dan hepar. DAG aktivator kuat protein kinase C, khususnya protein kinase-theta di otot dan protein kinasae-epsilon di hepar. Aktifnya protein kinase ini mengawali kaskade fosforilasi serine/threonine yang memfosforilasi insulin receptor substrate-1 (IRS-1), menghambat fosforilasi tirosin IRS-1 dan mengaktifkan PI3K (phosphatidyl inositol-3-kinase), dan sebagai akibatnya, mengurangi fosforilasi dan aktivasi Akt2. Menurunnya aktivitas Akt2 mempengaruhi translokasi GLUT4 dan menyebabkan menurunnya ambilan glukosa ke dalam sel otot dan, karenanya, oksidasi glukosa dan sintesis glikogen berkurang. Di hepar, berkurangnya aktivitas Akt2 menurunkan sintesis glikogen hepar dan meningkatkan glukoneogenesis. Hasil akhirnya merupakan tanda khas resistensi insulin: berkurangnya oksidasi glukosa dan sintesis glikogen pada otot rangka dan berkurangnya sintesis glikogen dan lebih berkurang lagi glukoneogenesis di hepar (Wolf, 2008). Sel pankreas mengkompensasi resistensi insulin dengan meningkatkan sekresi insulin. Kegagalan sel dan DM yang merupakan lanjutan dari kompensasi sel dapat menyebabkan ekspansi massa sel in-adekuat atau kegagalan massa sel yang ada untuk memberi respon terhadap glukosa. Berkurangnya massa sel pada mencit diabetes dengan resistensi insulin bisa disebabkan kerusakan pada perkembangan siklus sel (Kasuga, 2006).
c. Reactive Oxygen Species (ROS)
Pada sebuah penelitian DM pada hewan coba, ditemukan perubahan genetik pada tikus yang DM (fragmentasi DNA, hilangnya sejumlah pasangan basa DNA berdasarkan analisis ISSR- dan kelainan kromosom). Hal ini kemungkinan besar
(38)
disebabkan oleh adanya kondisi hiperglikemia, yang pada sejumlah penelitian ternyata merupakan faktor utama yang memicu produksi berlebih ROS. ROS menyerang membran sel, nukleus dan materi genetik lainnya menyebabkan modifikasi DNA dan protein (Ghaly et al., 2011). Pada kondisi diabetes, hiperglikemia menghasilkan ROS yang menyebabkan penurunan ekspresi dan sekresi gen insulin yang pada akhirnya menyebabkan apoptosis. Pada kondisi diabetes, ROS terinduksi dan terlibat dalam toksisitas glukosa sel . Karena hal tersebut, tampaknya ROS terlibat dalam perburukan sel pankreas yang ditemukan pada DM tipe2 (Kaneto et al., 2010). Meningkatnya glukosa (hiperglikemia) menyebabkan peningkatan produksi oxidative stress dari ROS di mitokondria, glikasi non-enzimatik protein dan auto-oksidasi glukosa. Meningkatnya FFA dapat menyebabkan peningkatan produksi ROS karena peningkatan pemisahan mitokondria dan oksidasi- . Hiperglikemia dan FFA menginduksi oxidative stress menyebabkan aktivasi jalur sinyal sensitif-stres. Hal ini memperburuk sekresi dan aksi insulin, memperjelas DM tipe 2 (Evans, 2002).
Sumber ROS
Ada banyak sumber potensial ROS didalam sel. Satu penghasil penting oksidan intraselular adalah sekelompok enzim yang terikat membran yang bergantung pada NADPH untuk bisa aktif (Finkel, 2011). Perkembangan DM yang diciri-cirikan dengan tingginya kadar glukosa serum, molekul pro-oksidan bisa menjadi asal produksi berlebihan dari ROS. Tingginya KGD dapat memicu produksi superoksida dan hidrogen peroksida, prekursor radikal bebas reaktif, yang mampu merangsang penurunan sistem antioksidan, secara langsung merusak banyak biomolekul, dan meningkatkan peroksidasi lipid pada DM (Son, 2012).
(39)
Sumber penting utama ROS pada kondisi hiperglikemia adalah rantai transpor elektron mitokondria dan NADPH oksidase (Son, 2012; Fernández-Mejía, 2013).
Peranan ROS pada disfungsi sel pankreas
Pada kondisi DM, hiperglikemia dan produksi ROS menurunkan sekresi dan ekspresi gen insulin yang pada akhirnya menyebabkan apoptosis. ROS terlibat dalam proses degradasi sel . Juga telah diketahui lipotoksisitas terlibat dalam degradasi sel karena terpapar dengan FFA, ROS terinduksi, yang menyebabkan pengurangan sekresi insulin dan disfungsi sel . FFA memperantarai induksi iNOS dan NO berlebih yang terlibat dalam kerusakan sel . Karena NO intraseluler merupakan mediator penting apoptosis sel , ada kemungkinan bahwa hilangnya sel pada DM tipe 2 disebabkan oleh apoptosis yang diinduksi oleh NO (Kaneto et al,. 2010).
Gambar 2.2. Hubungan antara peningkatan FFA dan hiperglikemia menghasilkan patofisiologi DM melalui pembentukan ROS. (Evans et al., 2002)
(40)
2.1.7. Pencegahan dan Pengobatan Diabetes Melitus tipe 2
Telah dijelaskan sebelumnya, mengkonsumsi makanan tinggi lemak ternyata berhubungan dengan meningkatnya resiko DM tipe 2 (Marshall & Bessesen, 2002). Jadi, meskipun DM tipe 2 sangat dipengaruhi olah gaya hidup dan kerentanan gen, komposisi makanan bisa mempengaruhi perkembangan dan komplikasi DM tipe 2 ini. Asam lemak mempengaruhi metabolisme glukosa dengan merubah fungsi membran sel, aktivitas enzim, sinyal insulin dan ekspresi gen (Risérus et al., 2009).
Kebanyakan intervensi yang ditargetkan pada pencegahan DM tipe 2 bertujuan untuk mencapai dan mempertahankan berat badan yang sehat melalui kombinasi ukuran diet dan aktivitas fisik pada individu yang sudah memiliki toleransi glukosa terganggu, khususnya kelompok dengan resiko tinggi. Rekomendasi diet pada berbagai macam studi cukup mirip, dengan menekankan pada pengurangan asupan lemak dan peningkatan konsumsi sayuran dengan pengurangan kalori sekedarnya pada populasi obesitas (Klein et al., 2005; Alberti et al., 2007). Pengaturan pola makan yang dilakukan bersamaan dengan aktivitas fisik, memainkan peranan dalam pencegahan DM tipe 2. Anjuran pengaturan pola makan untuk mengurangi kelebihan berat badan dan obesitas merupakan komponen penting dalam pencegahan diabetes. Aktivitas fisik berkala untuk meningkatkan pengeluaran energi harian memainkan peranan penting dalam mempertahankan atau mengurangi berat badan dan memperbaiki resistensi insulin (Wyness, 2009).
Tujuan pengobatan DM tipe 2 adalah mengontrol kadar gula darah (Ugarte et al., 2012), menurunkan dan mengendalikan kadar glikemik untuk meminimalisir
(41)
komplikasi mikrovaskular dan neuropati jangka panjang sembari menghindari kejadian hipoglikemik yang parah (Ismail-Beigi, 2012; Barag, 2011). Mempertahankan kadar glikemik sebisa mungkin pada rentang non-diabetik memperlihatkan efek yang sangat bermanfaat dalam mengurangi komplikasi mikrovaskular pada DM tipe 2 (Nathan et al., 2009). Tujuan manajemen gula darah umumnya dinilai dengan menggunakan kadar HbA1c sebagai indeks (Kim et al., 2012). Target yang direkomendasikan oleh American Diabetes Association secara umum adalah kadar HbA1c dibawah 7%. Sementara menurut International Diabetes Federation target kadar HbA1c adalah kurang dari 6,5% (Nathan et al., 2009). Data United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS), yang memusatkan studi pada DM tipe 2, telah membuktikan bahwa manajemen gula darah yang ketat berhasil menurunkan kadar HbA1c sebesar 1% dan mampu mengurangi terjadinya komplikasi mikrovaskular sebesar 37%. Karenanya, manajemen gula darah ketat penting untuk menurunkan angka kejadian dan memperlambat berkembangnya komplikasi terkait diabetes (Kim et al., 2012)
a. Diet & Olahraga
Pada kebanyakan pasien DM tipe 2, pengaturan pola nutrisi dan olahraga merupakan kunci atau satu-satunya intervensi terapeutik yang dibutuhkan untuk mengembalikan kontrol metabolik (Goldman & Bennet, 2000). Pola nutrisi yang seimbang merupakan unsur dasar pada terapi diabetes. Setengah dari pasien diabetes gagal mengatur pola makannya. Pada pasien DM tipe 2 membatasi asupan karbohidrat dan mengganti sejumlah kalori dengan lemak tidak jenuh tunggal, seperti minyak zaitun, minyak canola, atau minyak kacang dan alpukat dapat menurunkan TG dan meningkatkan kolesterol HDL. Pada pasien dengan
(42)
obesitas dan DM tipe 2, mengurangi berat badan dengan restriksi kalori merupakan tujuan penting pengaturan makanan (Gardner & Shoback, 2007). Olahraga memiliki sejumlah keuntungan positif termasuk mengurangi resiko kardiovaskular (Goldman & Bennet, 2000; Harrison, 2005), mengurangi tekanan darah, mempertahankan massa otot, mengurangi lemak tubuh, dan menurunkan berat badan (Harrison, 2005). Olahraga yang teratur pada DM tipe 2 menurunkan kadar VLDL dan meningkatkan kadar HDL dan aktivitas fibrinolitik pada DM tipe 2 (Goldman & Bennet, 2000).
b. Obat Anti Diabetes Oral
Sejumlah kelas obat tersedia untuk pengobatan DM tipe 2. Obat-obatan ini umumnya efektif pada pasien yang diet dan olahraganya gagal mencapai tujuan pengobatan (Goldman & Bennet, 2000). Klasifikasi obat tersebut adalah sebagai berikut (Gardner & Shoback, 2007):
1. Obat yang bekerja pada kompleks reseptor sulfonilurea, antara lain: sulfonylurea (glibenclamid dan glydiazinamide), analog meglitinide (rapiglinide dan mitiglinide), derivat -phenylalanine (nateglinide)
2. Obat yang bekerja pada jaringan target insulin antara lain: metformin, agonis peroxisome proliferator-activated receptor (rosiglitazone dan pioglitazone)
3. Obat yang mempengaruhi penyerapan glukosa, yaitu penghambat
-glukosidase (acarbose dan miglitol)
4. Incretin, antara lain agonis reseptor GLP-1 (exanetide dan liraglutide), penghambat DPP-4 (sitagliptin, saxagliptin, dan vildagliptin)
(43)
Gambar 2.3. Tempat kerja obat oral yang diindikasikan. Tanda (-) menunjukkan hambatan dan tanda (+) menunjukkan stimulasi (Defronzo 1999).
c. Terapi Insulin
Insulin diindikasikan pada pasien DM tipe 1 juga pasien DM tipe 2 yang kondisi hiperglikemianya tidak berespon terhadap diet, olahraga dan obat anti diabetes oral (Gardner & Shoback, 2007). Insulin tidak boleh digunakan sebagai terapi lini pertama pada pasien tidak patuh yang enggan memonitor KGD-nya ataupun pada pasien yang beresiko tinggi terjadi hipoglikemia (Goldman & Bennet, 2000).
2.2Pankreas 2.2.1 Anatomi
Pankreas merupakan kelenjar aksesoris pencernaan yang memanjang, terletak retroperitoneal dan secara transversal melewati dinding belakang abdomen, posterior dari gaster, terletak antara duodenum, di kanan, dan lien, di kiri. Pankreas menghasilkan sekresi eksokrin yang memasuki duodenum, dan sekresi endokrin yang masuk kedalam darah (Moore & Agur, 2007). Pankreas dibagi menjadi 4 bagian: caput, collum, corpus dan cauda. Caput pankreas, bagian
(44)
terluas dari kelenjar ini dilingkupi oleh kurva C duodenum. Bagian inferior dari caput pankreas, processus uncinatus, meluas dari posterior ke superior vena mesenterica superior. Collum pankreas terletak di anterior dari arteri dan vena mesenterica superior, di bagian posterior dari collum pankreas vena mesenterica superior dan vena lienalis menyatu untuk membentuk vena porta. Corpus pankreas merupakan sambungan dari collum dan terletak di sebelah kiri dari vena dan arteri mesenterica superior. Sementara cauda pankreas sangat dekat dengan hilum lienalis dan flexura colica sinistra. Cauda ini relatif mobile dan lewat diantara lapisan ligamentum splenorenal dan arteri-vena lienalis. (Drake et al., 2007; Moore & Agur 2007).
Gambar 2.4. Posisi Anatomis Pankreas (Drake et al., 2007)
Pankreas secara makroskopis berlobus-lobus dan berada dalam pembungkus yang tipis; lobus pankreas ini terdiri dari alveoli sel sekretori serosa yang mengalirkan sekresinya melalui duktulus kedalam duktus mayor. Diantara alveoli
(45)
inilah terdapat pulau Langerhans yang mensekresikan insulin. Ductus pancreaticus mayor (Wirsung) berjalan di sepanjang kelenjar ini dan biasanya bermuara ke ampula Vater bersama dengan ductus biliaris communis; kadang terpisah. Ductus pancreaticus accesorius (Santorini) berjalan di bagian bawah caput pankreas didepan ductus pancreaticus mayor, saling berhubungan dan kemudian bermuara ke duodenum di bagian atas ampula Vater. Kadang-kadang ductus pancreaticus accesorius ini tidak ada (Ellis, 2006).
Gambar 2.5. Ductulus pankreas dan muaranya (Drake et al., 2007)
2.2.2 Histologi
Sekelompok sel endokrin ditemukan di lautan sel eksokrin pankreas. Merupakan sekelompok epitel bervaskular, yang disebut dengan pulau Langerhans; pertama kali ditemukan oleh Paul Langerhans, 1847-1888. Sel eksokrin pankreas dan sel pulau Langerhans memiliki struktur yang berbeda dan diwarnai berbeda (Kuehnel, 2003). Bagian endokrin pankreas terdiri atas 1-2 juta pulau Langerhans. Pulau Langerhans yang berbentuk bulat atau oval berisi sel-sel kelenjar yang dikelilingi sejumlah kapiler (Faller et al., 2004) untuk mengalirkan
(46)
hormon kedalam darah (Kuehnel, 2003). Hormon penting disekresikan dari pulau Langerhans, insulin oleh sel , glukagon oleh sel dan somatostatin oleh sel (Faller et al., 2004).
Gambar 2.6. Sel , sel dan sel pada pewarnaan imunoperoksidase (Kumar et al., 2010)
2.2.3 Insulin
Insulin sendiri didefinisikan sebagai hormon peptida yang disekresikan oleh sel dari pulau Langerhans pankreas dan mempertahankan kadar gula darah normal dengan cara memudahkan penyimpanan glukosa seluler, pengaturan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein dan mendukung pembelahan dan pertumbuhan sel melalui efek mitogeniknya. Pelepasan insulin dipicu oleh peningkatan kadar glukosa didalam darah (Wilcox, 2005). Insulin pertama kali diisolasi dari pankreas pada tahun 1922 oleh Banting dan Best. Dalam sejarahnya, insulin telah dihubungkan dengan gula darah, insulin memiliki efek yang sangat besar pada metabolisme karbohidrat. Insulin memiliki pengaruh terhadap metabolisme protein dan lemak hampir sama besarnya dengan pengaruh insulin terhadap metabolisme karbohidrat itu sendiri. Insulin merupakan protein yang kecil dengan berat molekul 5805. Terdiri dari 2 rantai asam amino yang terhubung
(47)
satu sama lain oleh jembatan disulfida. Jika kedua rantai asam amino terpisah, aktivitas fungsional molekul insulin hilang (Guyton & Hall, 2006).
Gambar 2.7. A. Struktur insulin; B. Insulin 3 Dimensi (Koolman & Röhm, 2005)
2.3Streptozotocin (STZ)
Streptozotocin (STZ) adalah agen antimikroba yang berasal dari mikroorganisme Streptomyces achromogenes. STZ telah digunakan sebagai agen alkilasi kemoterapi untuk pengobatan tumor sel pulau Langerhans metastasis dan untuk pengobatan keganasan lainnya. Pada tahun 1963 Rakieten melaporkan bahwa STZ merupakan diabetogenik. Sejak itu STZ telah digunakan sebagai zat penginduksi DM di laboratorium hewan (Lenzen, 2007). Pada pemberian STZ, tanda-tanda DM terjadi seperti meningkatnya asupan makanan dan air, berat badan tidak bertambah, dan meningkatnya KGD. Pada hewan coba juga ditemukan adanya disfungsi cardiac diastole, katarak dan neuropati, namun tidak ditemukan adanya aterosklerosis dan tikus tetap normotensif (Wei et al., 2003). Pemberian STZ juga memperlihatkan terjadinya pengurangan protein GLUT2 dan ekspresi mRNA yang terjadi selama perlakuan dalam masa prediabetik.
(48)
Pengurangan GLUT2 tergantung dosis dan rentang waktu pemberian (Z. Wang & Gleichmann, 1998). Pada pengamatan mikroskopis mencit yang diinduksi dengan STZ terlihat abnormalitas pankreas secara histomorfologi (Tian et al., 2010). Dimana pulau Langerhans berbentuk tidak teratur, terdapat perubahan nekrotik pada sel endokrin pulau Langerhans, berkurangnya area sel beta (Smirnov et al., 2012) dan juga amiloidosis pulau Langerhans pankreas juga diamati. Jumlah sel endokrin pankreas berkurang. Infiltrat limfositik interstisial yang terlokalisasi juga diamati pada perifer pulau Langerhans mencit yang DM (Tian et al., 2010). Pada penelitian lain yang membuktikan efek STZ terhadap parameter biokimia memperlihatkan terjadinya peningkatan KGD, AST dan ALT secara signifikan (Ragbetli & Ebubekir, 2010). Pada penelitian yang menggunakan kombinasi STZ dan nikotinamid memperlihatkan perubahan histopatologi yang ditandai dengan hilangnya sejumlah sel pankreas dari jaringan hewan coba yang diberi STZ tunggal, sementara pemberian STZ yang dikombinasi dengan nikotinamid, kerusakan morfologinya dapat dicegah, menunjukkan efek protektif nikotinamid terhadap sel pankreas. Pada uji protein yang terkait dengan sinyal insulin memperlihatkan ekspresi IRS-1, IRS-2 dan PI3K di hepar hewan coba yang diberi STZ tunggal terlihat penurunan hingga 10–40% (Nakamura et al., 2006). Sebuah penelitian lain menggunakan high fat diet (HFD) bersama dengan STZ dosis rendah menginduksi kadar ekspresi gen yang terlibat dalam metabolisme energi pada pengaturan metabolisme utama jaringan (H. J. Wang et al., 2007). Pada penelitian lain yang menggunakan kombinasi HFD/STZ menilai kadar malondialdehyde (MDA) pada hepar dengan pemberian ekstrak bawang kupas yang mengandung quarcetin, memperlihatkan penekanan kadar MDA menurun
(49)
pada kelompok yang mendapat ekstrak bawang kupas dibandingkan dengan kelompok yang mendapat HFD/STZ (Jung et al., 2011).
2.4Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus)
Sebagai salah satu sumber hayati, jamur (mushroom) diketahui hidup liar di alam. Selama ini jamur banyak dimanfaatkan sebagai bahan pangan, selain juga ada yang memanfaatkannya untuk obat. Selain dikonsumsi, ada banyak jenis jamur yang diketahui berkhasiat obat, terutama di negara Cina dan Jepang. Dalam ramuan tradisional Cina dapat ditemukan jamur Cordyceps sinensis, Ganoderma aplanatum, atau Ganoderma lucidum (Gunawan, 2008). Beberapa jamur banyak digunakan sebagai obat karena memiliki efek antitumor, anti jamur dan antikolesterol (Chirinang & Intarapichet, 2009).
Jamur, secara alami tumbuh di alam (Bhatti et al., 2007; Iwalokun & Usen, 2007). Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan salah dari sekian banyak jamur yang mudah dipanen. Jamur ini juga mudah untuk tumbuh di sejumlah media yang berbeda (Abrefah et al. 2011). Pleurotus ostreatus memiliki khasiat anti-hiperkolesterolemik (Alam et al., 2011; Schneider et al., 2011), anti-aging (Jayakumar et al., 2010), anti katarak (Isai et al., 2009), anti hipertensi (Choudhury & Rahman, 2013), anti hiperglikemi (Krishna et al., 2009; Choudhury & Rahman, 2013) dan antioksidan (Jayakumar et al., 2006; Alam et al., 2010; Vamanu et al., 2011; Kim et al., 2009). Dalam sebuah penelitian DM yang menggunakan hewan coba, ekstrak PO ternyata mampu meregenerasi sel-sel pulau Langerhans yang ditandai dengan meningkatnya jumlah pulau Langerhans dan juga meningkatnya berat pankreas setelah pemberian ekstrak PO (Ikrimah & Permatasari, 2012).
(50)
2.4.1 Efek Hipoglikemik Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus)
Pleurotus ostreatus (PO) memiliki efek hipoglikemik (Krishna et al., 2009). PO meningkatkan glikogen hepar yang mungkin disebabkan oleh peningkatan laju glikogenesis (Choudhury & Rahman, 2013). Polisakarida yang diekstraksi dari badan buah Pleurotus spp memiliki efek peningkatan glutathion peroxidase yang memiliki efek anti-hiperglikemi (Patel et al., 2012). Pada sebuah penelitian DM menggunakan tikus, pemberian ekstrak PO menyebabkan berkurangnya perubahan genetik (fragmentasi DNA, hilangnya sejumlah pasangan basa dari fragmen DNA dan kelainan kromosom). Hal ini mungkin disebabkan oleh berkurangnya kondisi hiperglikemia dengan pemberian PO sehingga secara bertahap mengurangi potensi pembentukan ROS dan memungkinkan perbaikan bagi kelainan genetik (fragmentasi DNA, hilangnya sejumlah pasangan basa dari fragmen DNA dan kelainan kromosom) (Ghaly et al., 2011)..
2.4.2 Efek Antioksidan Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus)
Kerusakan oksidatif yang disebabkan oleh radikal bebas bisa saja berhubungan dengan aging dan penyakit, seperti aterosklerosis, diabetes, kanker, dan sirosis. Meskipun seluruh organisme memperlihatkan sistem pertahanan dan perbaikan antioksidan yang terlibat dalam perlindungan diri melawan kerusakan oksidatif, sistem ini tidak cukup untuk mencegah kerusakan secara keseluruhan. Namun, suplemen antioksidan ataupun makanan yang mengandung antioksidan bisa membantu tubuh manusia mengurangi kerusakan oksidatif (Alam et al., 2010). Berdasarkan hasil penelitian Chirinang 2009, PO memiliki kandungan serat 45,5% dan lipid < 1%. Senyawa polifenol merupakan senyawa antioksidan utama yang ditemukan pada PO (Iwalokun & Usen, 2007; Chirinang & Intarapichet,
(51)
2009). PO juga memiliki kemampuan untuk menangkal radikal bebas yang diuji dengan DPPH (diphenyl-picrylhydralazyl) (Chirinang & Intarapichet, 2009). Kemampuan menangkal radikal bebas PO jauh lebih tinggi dibandingkan dengan spesies Pleurotus lain dan juga dibandingkan dengan antioksidan lainnya (Neldawati, 2006; Neelam & Singh, 2013), semisal -tocoferol (Neelam & Singh, 2013).
Konsentrasi senyawa polifenol paling banyak yang terdapat dalam PO adalah protocatechuic acid (PCA) (Alam et al., 2010; Reis et al., 2012), diikuti oleh gallic acid dan chlorogenic acid (CGA). Senyawa polifenol sebagai antioksidan menghambat aktivitas penangkalan-radikal bebas secara luas sebagai donor hidrogen atau sebagai alat donor-elektron, juga sebagai pengikat ion logam. Gallic acid merupakan merupakan penghambat aktivitas tirosinase yang efektif (Alam et al., 2010). Uji penangkalan aktivitas DPPH oleh protocatechuic acid (PCA) memperlihatkan efek antioksidan dengan cara mendonorkan atom hidrogen untuk membentuk molekul DPPH-H yang stabil. Pada uji aktivitas penangkalan radikal hidroksil (OH) dan anion superoksida (O2-), PCA menghambat pembentukan kedua radikal bebas yang paling penting didalam sel hidup, dimana kedua radikal bebas ini meningkat seiring dengan proses metabolisme dalam tubuh (Li et al., 2011). PCA juga menghambat jalur sinyal Akt/NF- B/PKC (Lin et al., 2011), dimana jalur tersebut terlibat dalam mekanisme molekuler resistensi insulin (Saini, 2010). Sebuah studi memperlihatkan efek CGA dalam menurunkan kadar gula darah puasa hewan coba, dan merangsang trasnpor glukosa kedalam otot dan mempengaruhi GLUT4 dengan cara aktivasi AMPK (Ong et al., 2012). Pada sebuah studi dapat dilihat bahwa PO memperlihatkan penurunan aktivitas sitokin
(52)
proinflamasi TNF , IL-1 dan IL-6 pada serum tikus yang arthritis, menurunkan oxidative stress dan menekan tanda-tanda inflamasi dan arthritis pada tikus (Rovenský et al., 2011).
Badan buah PO memiliki konsentrasi antioksidan lebih tinggi dibandingkan jamur komersial lainnya. Hal ini disebabkan adanya polisakarida pleuran ( glucan) yang dapat diisolasi dari PO (Patel et al., 2012). Badan buah PO memiliki -1,3-1,6-glucan dan -1,3-glucan yang merupakan komponen utama dinding sel (Synytsya et al., 2009). Glucan adalah polimer glukosa, yang diklasifikasikan sesuai dengan rantai penghubung - atau -. -glucan adalah kelompok polisakarida non-pati heterogen, yang terdiri atas monomer D-glukosa yang terhubung dengan ikatan -glycosidic. Struktur makromolekul -glucan bergantung pada sumber dan metode isolasi. Glucan yang paling sederhana adalah
-1,3-D-glucan (Khoury et al., 2012).
glucan berperan penting melawan resistensi insulin, dengan cara mengaktifkan PPAR sehingga meningkatkan GLUT4 di adiposit (Khoury et al., 2012). Aktivitas PPAR di jaringan adiposa diantaranya adalah meningkatkan simpanan lemak di jaringan adiposa dan menghambat produksi adipokin dan sitokin proinflamasi oleh jaringan adiposa (Gardner & Shoback, 2007). -glucan yang diisolasi dari PO memperlihatkan efek protektif terhadap kolon tikus kolitis ulseratif yang diinduksi asam asetat. Dan telah sama-sama kita ketahui bahwa pasien dengan kolitis ulseratif, terjadi peningkatan reactive oxygen species (ROS) pada mukosa kolon (Nosál’ová et al., 2001). Polisakarida -glucan yang terdapat dalam jamur, secara khusus, dapat mengembalikan fungsi jaringan pankreas menyebabkan peningkatan keluaran insulin oleh sel fungsional, yang
(53)
menurunkan kadar gula darah dan juga menunjukkan perbaikan sensitivitas sel perifer terhadap insulin sirkulasi. Konsumsi jamur ini juga menurunkan kadar lipid seperti kolesterol total, trigliserida total, dan LDL, dan meningkatkan HDL. Lebih jauh lagi, jamur memiliki senyawa alami mirip-insulin dan enzim yang membantu pemecahan glukosa dalam makanan dan memperbaiki resistensi insulin. (Silva et al., 2012).
2.4.3 Morfologi Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus)
Semua jamur tiram masuk kedalam kelas Basidiomycetes, subkelas Hollobasidiomycetidae, ordo Agricales, famili Pleurotaceae (Jonathan & Oko, 2012). Ciri-ciri jamur tiram putih: mempunyai tudung, bentuk seperti tiram, cembung kemudian menjadi rata atau kadang-kadang membentuk corong; warna bervariasi dari putih sampai abu-abu, cokelat, atau cokelat tua (kadang-kadang kekuningan pada jamur dewasa); tepi menggelung ke dalam, pada jamur muda sering kali bergelombang atau bercuping. Daging tebal, berwarna putih, kokoh, tetapi lunak pada bagian yang berdekatan dengan tangkai; bau dan rasa tidak merangsang. Jejak spora putih sampai ungu muda atau keabu-abuan keunguan berukuran 7-9 x 3-4 mikron. (Gunawan, 2008).
1. Batang
Batang jamur tiram setinggi 5 – 10 cm. Batang ini menopang tudung, namun ‘pertemuan’ tudung-batang tidak pada pusat lingkaran tudung, melainkan bergeser beberapa cm. Spora terdapat di permukaan dan didalam batang. Bagian dalam batang sering dimanfaatkan untuk perbanyakan karena spora lebih steril.
(54)
2. Tudung
Tudung membulat, lonjong dan agak cekung sehingga mirip cangkang tiram. Lebar tudung 4 – 14 cm, bahkan ada yang 25 cm.
3. Gill
Di bagian bawah tudung terdapat sekat-sekat yang disebut gill. Sekat-sekat panjang itu mulai dari batang. Setelah mencapai tudung, sekat bercabang dua. Di sekat-sekat ini juga terdapat jutaan spora.
4. Spora
Alat generatif ini memenuhi hampir sekujur tubuh buah. Ukurannya sangat kecil. Spora inilah yang berkembang menjadi hifa dan kemudian menjadi miselium (Syariefa et al., 2010).
(55)
2.5Kerangka Teori
Keterangan : : menghambat Gambar 2.9. Skema Kerangka Teori
STZ dosis rendah
HFD
Menumpuk di jaringan adiposa
Pelepasan Adipokin
Resistensi Insulin
Hiperglikemia
Peningkatan produksi ROS
Nekrosis dan apoptosis sel pankreas
Ekstrak etanol jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus)
Kandungan utama : - Polifenol
(56)
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian eksperimental (true experimental designs) dengan rancangan post test only control group design, menggunakan kelompok kontrol dan kelompok perlakuan, dengan randomisasi sederhana. Hewan percobaan yang digunakan adalah tikus jantan Wistar yang dibagi secara acak menjadi 6 kelompok.
3.2 Lokasi dan Waktu 3.2.1 Lokasi Penelitian
Pemeliharaan dan perlakuan pada hewan percobaan dilakukan di Laboratorium Farmasi Universitas Sumatera Utara (USU), Medan. Pemeriksaan KGD dengan Spektrofotometer dilakukan di Laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran USU. Sedangkan pembuatan sediaan HE dan imunohistokimia dengan antibodi anti-insulin pada jaringan pankreas dilakukan di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (IPB).
3.2.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini berlangsung selama 12 minggu, dari bulan November 2013 sampai dengan Januari 2014.
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian 3.3.1 Populasi
Populasi penelitian ini adalah tikus Wistar jantan (Rattus novergicus) dengan berat badan 150 – 250 g.
(57)
3.3.2 Sampel
Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling. Penentuan besar sampel dilakukan dengan menggunakan rumus Federer (1963).
Rumus Federer : (n-1) x (t-1) > 15 Keterangan:
n = jumlah sampel tiap kelompok t = banyaknya kelompok
= (n – 1) x (6 – 1) > 15 = (n – 1) x 5 > 15 = 5n – 5 > 15 = 5n > 20
= n > 4, dengan demikian, setiap kelompok terdapat minimal 4 ekor tikus Wistar jantan. Untuk mencegah kekurangan sampel akibat kematian, peneliti memilih menggunakan 6 ekor tikus Wistar jantan tiap kelompok dengan jumlah kelompok sebanyak 6 kelompok sehingga jumlah seluruh subjek penelitian sebanyak 36 ekor. Sampel jaringan untuk pengukuran morfologi sel pankreas akan diambil secara acak sebanyak 4 ekor setiap kelompoknya. Begitu juga dengan sampel darah untuk pemeriksaan KGD.
3.4 Variabel Penelitian 3.4.1 Variabel Bebas
Variabel bebas pada penelitian ini adalah :
a. Ekstrak etanol jamur tiram Putih (Pleurotus ostreatus) 200 mg/kgBB dan 250 mg/kgBB
(58)
c. Pakan tinggi lemak (high fat diet) berupa kuning telur bebek 1 cc/tikus/hari
3.4.2 Variabel Terikat
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kadar gula darah (KGD) dan gambaran sel pankreas secara imunohistokimia.
3.4.3 Variabel Kendali
Variable kendali adalah variabel luar yang dapat dikendalikan melalui homogenisasi, yaitu:
a. Umur : Tikus berusia 2 - 3 bulan.
b. Variasi genetik : Tikus Wistar (Rattus novergicus)
c. Jenis kelamin : Semua tikus yang digunakan dalam penelitian ini berjenis kelamin jantan.
d. Suhu lingkungan : Tikus ditempatkan dalam ruangan dengan suhu 28–30 °C.
e. Jenis makanan : Tikus mendapatkan makanan berupa pakan standar,
diberikan pada tikus dua kali sehari, setiap pagi dan sore hari berupa pellet dengan dosis 20 g/ekor/hari.
f. Kondisi psikologis : Pengaruh ini dapat dikurangi dengan adanya waktu adaptasi sebelum percobaan dan pemisahan subyek penelitian dalam kandang yang terpisah.
3.5 Definisi Operasional
Ada beberapa uraian yang dianggap penting dalam penelitian ini, yaitu :
No Variabel Definisi Operasional Skala
1. Ekstrak etanol
jamur tiram putih (Pleurotus
ostreatus)
Ekstrak yang didapat dengan
menggunakan metode maserasi
dengan pelarut etanol.
Nominal
2. Pakan tinggi lemak (high fat
Pakan tinggi lemak (HFD) adalah kuning telur bebek sebanyak 1
(59)
diet) cc/tikus/hari. 3. Streptozotocin
dosis rendah
STZ dosis rendah adalah STZ sebanyak 30 mg/kgBB (Bas et al., 2012; Parveen et al., 2011) yang diberikan kepada kelompok P1, P2 dan
P3 dengan jalan injeksi
intraperitoneal.
Nominal
4. KGD Kadar Gula Darah (KGD) adalah
kadar glukosa di dalam serum darah. Pengambilan darah dilakukan dengan memotong ujung ekor sebanyak ± 1 mm, lalu darah diambil dengan cara diteteskan pada stik pemeriksaan glukosa darah.
Numerik
5. Sel pankreas Sel pankreas adalah sel yang
memproduksi hormon insulin untuk mempertahankan KGD tetap dalam batas normal yang dihitung pada sediaan imunohistokimia dengan cara mengambil 5 pulau Langerhans, lalu dihitung jumlah total dari area sel , lalu dibagi 5.
Numerik
3.6 Etika Penggunaan Hewan
Penggunaan dan penanganan hewan di laboratorium penelitian dilakukan sesuai dengan aturan etika penelitian hewan coba yang diatur dalam Deklarasi Helsinki untuk memperoleh Ethical clearance dari komite etik dan komite ilmiah penelitian FMIPA Biologi USU Medan.
3.7 Alat dan Bahan 3.7.1 Alat
Alat- alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:
a. Timbangan digital (Kern) dengan kapasitas 600 gram dengan skala terkecil 0,000 untuk menimbang berat badan tikus.
b. Timbangan digital dengan kapasitas 10 gram dengan skala terkecil 0,0000 untuk menimbang Streptozotocin.
(60)
c. Kandang tikus (ukuran 50 x 30 x 20 cm3) yang diberi kawat penutup, lengkap dengan tempat pakan dan minum sebanyak 8 buah sebagai tempat pemeliharaan tikus.
d. Spuit 1 cc.
e. Gelas ukur untuk mengukur jamur tiram putih.
f. Seperangkat alat ekstraksi untuk mengekstrak jamur tiram putih, antara lain: oven, alat penggiling, toples maserasi, corong pisah, rotary evaporator, dan freeze dryer.
g. Jarum sonde untuk memasukkan ekstrak jamur tiram putih melalui oral ke tikus percobaan.
h. Cawan petri sebagai tempat pengeringan ekstrak.
i. Alat-alat untuk bedah tikus terdiri atas papan wax, jarum, pinset anatomis, pinset chirurgis, gunting, scalpel, dan penyemprot alkohol.
3.7.2 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Konsentrat pakan yang diperoleh dari PT. Charoen Pokphan, Tanjung Morawa, Medan, dengan komposisi hasil analisis yang terinci sebagai berikut: kadar air 14%, protein kasar 18-20%, lemak kasar 4-7%, serat kasar 4-7%, abu 5-7%, kalsium 0,70-1%, fosfor 0,6%.
b. Streptozotocin, produk Nacalai Tesque, Jepang.
c. Buffer citrate dengan pH 4,5 sebagai pelarut Streptozotocin untuk injeksi intraperitoneal.
(61)
e. Ekstrak etanol jamur tiram putih, diberikan sesuai dengan dosis yang telah ditentukan. Jamur tiram putih yang diperoleh dari pusat budidaya jamur tiram Khalisa Agro Mushroom, beralamat di Jl. Tampok Tanjung Selamat Gg. Seni no.2, Sunggal Sumatera Utara
f. Etanol 96%. g. Aquadest.
3.8 Prosedur Penelitian
3.8.1 Persiapan Hewan Percobaan
Tikus diaklimatisasi selama satu minggu dan ditempatkan di dalam kandang yang terbuat dari bahan plastik (ukuran 50 x 30 x 20 cm3) yang ditutup dengan kawat kasa. Setiap kandang diisi paling banyak 5 ekor tikus. Tikus yang sakit saat aklimatisasi segera di ganti dengan tikus lain dengan kriteria yang sama yang diambil secara acak. Dasar kandang dilapisi dengan sekam padi setebal 0,5 – 1 cm dan diganti setiap tiga hari. Cahaya ruangan dikontrol persis 12 jam terang (pukul 06.00 sampai dengan pukul 18.00) dan 12 jam gelap (pukul 18.00 sampai dengan pukul 06.00), sedangkan suhu dan kelembaban ruangan dibiarkan berada pada kisaran alamiah. Diberikan makanan standard yang sama untuk tiap kelompok, sedangkan pemberian minuman diberikan secara ad libitum. Pemberian makanan dan minuman disuplai setiap hari.
Penelitian diawali dengan mempersiapkan tikus Wistar jantan usia 2 – 3 bulan sejumlah 36 ekor yang diadaptasi selama 7 hari dengan pemberian pakan standar. Berat badan tikus ditimbang sebagai data dasar. Tikus kemudian dikelompokkan secara acak menjadi 6 kelompok, tiap kelompok terdiri dari 6 ekor.
(62)
3.8.2 Ransum Pakan Standar
Ransum pakan standar adalah makanan bagi semua tikus selama penelitian dengan dosis 20 g/ekor/hari. Ransum pakan dibuat berdasarkan diet murni dari PT. Charoen Pokphan, Tanjung Morawa, Medan.
3.8.3 Pemberian Air Minum
Air minum untuk semua tikus adalah aquadest. Air minum diberikan ad libitum.
3.8.4 Pembagian Kelompok dan Pemberian Perlakuan
Pembagian kelompok dan pemberian perlakuan pada penelitian ini adalah:
a. Tikus sebanyak 36 ekor dibagi dalam enam kelompok secara random sehingga dalam satu kelompok terdiri atas enam ekor tikus. Pembagian kelompoknya adalah :
i. Kelompok P0 = terdiri dari 6 ekor tikus jantan dewasa yang diberi minum aquadest, pakan biasa selama 56 hari, dan suntikan citrate buffer pada hari ke 15 dan 22.
ii. Kelompok P1 = terdiri dari 6 ekor tikus jantan dewasa yang diberi perlakuan diet tinggi lemak selama 14 hari, lalu diberikan suntikan STZ dosis rendah 30 mg/kgBB pada hari ke 15 & 22.
iii. Kelompok P2 = terdiri dari 6 ekor tikus jantan dewasa yang diberi perlakuan diet tinggi lemak bersamaan dengan ekstrak etanol jamur tiram putih 200 mg/kgBB selama 2 minggu, yang kemudian diberikan suntikan STZ dosis rendah 30 mg/kgBB pada hari ke 15 dan 22, lalu pemberian ekstrak etanol jamur tiram putih terus dilanjutkan sampai 1 minggu setelahnya.
(1)
Lampiran 21. Penjelasan Prosedur Penggunaan Kit Pemeriksaan Kadar Gula Darah
(2)
(3)
Lampiran 22. Foto Jamur Tiram Putih yang Digunakan pada Penelitian
Gambar 1. Jamur PO siap panen
(4)
Lampiran 23. Foto-foto Kegiatan selama Penelitian
Gambar 1 . Proses Penggilingan Jamur PO yang Sudah Kering
(5)
Gambar 3. Proses Pembedahan Tikus dan Pengambilan Darah melalui Jantung
(6)
Gambar 5. Proses Pembuatan Sediaan Imunohistokimia