TINJAUAN PUSTAKA Pengembangan Metode Embriogenesis Somatik, Peningkatan Keragaman Genetik Kopi Arabika Dan Deteksi Dini Keragaman Somaklonal Menggunakan Ssr

13 Penelitian selanjutnya pada tanaman kopi khususnya jenis Robusta yang menggunakan eksplan daun muda juga dilakukan oleh Sondahl et al. 1981, Warga-Dalem 1985, dan Hatanaka et al. 1991. Proses pembentukan embrio somatik melalui dua tahap juga dilaporkan oleh Pierson et al. 1983, sementara Yasuda et al. 1985 melakukan induksi embrio somatik tidak langsung dari daun kopi Arabika yang menghasilkan kalus embriogenik, dan membutuhkan periode kultur yang relatif lama lebih dari dua tahun baru bisa tumbuh dan berkembang membentuk embrio somatik. Penelitian terdahulu memperlihatkan bahwa setiap varietas kopi Robusta memiliki tanggap yang bervariasi terhadap perlakuan zat pengatur tumbuh ZPT yang diberikan dalam media kultur. Perbedaan ini juga ditemukan pada kutur jaringan kopi Arabika, hasil penelitian Priyono 2004 dan Samson et al. 2006 memperlihatkan perbedaan yang nyata dalam pembentukan embrio somatik diantara 4 species dan 4 varietas kopi Arabika yang digunakan. Embriogenesis Somatik dan Faktor yang Mempengaruhinya Regenerasi tanaman dalam kultur in vitro dapat dilakukan melalui jalur organogenesis dan embriogenesis somatik. Produksi bibit melalui benih somatik dari embrio somatik dapat menghasilkan bibit yang jauh lebih banyak dari pada hasil regenerasi melalui organogenesis. Perbaikan tanaman melalui kultur in vitro melalui jalur embriogenesis somatik juga lebih disukai karena dapat berasal dari satu sel somatik sehingga kepastian hasil perbaikan sifat genetik lebih tinggi. Embriogenesis somatik merupakan proses pembentukan embrio dari sel somatik. Menurut Von Arnorld et al. 2002 Embriogenesis somatik merupakan suatu proses dimana struktur bipolar yang menyerupai embrio zigotik berkembang dari satu sel non-zigotik tanpa adanya hubungan pembuluh dengan jaringan asalnya. Proses embriogenesis somatik terjadi melalui serangkaian tahapan sebagaimana pada embriogenesis zigotik. Zimmerman 1993 menggambarkan kesamaan tahapan somatik embriogenesis dan zigotik embriogenesis. Beberapa penelitian terdahulu memperlihatkan perbanyakan tanaman melalui proses embriogenesis somatik menghasilkan klon yang identik dengan induknya Evans Sharp 1986; Jimenez 2001, meskipun beberapa perbedaan akan ditemukan tergantung dari jenis tanamannya. Diferensiasi sel-sel embriogenik dapat terjadi secara langsung dari eksplan tanpa didahului fase pembentukan kalus dan secara tidak langsung dengan melalui pembentukan kalus terlebih dahulu Toonen de Vries 1996; Jimenez 2001; von Arnold et al. 2002. Hussein et al. 2006. Embriogenesis langsung memerlukan waktu relatif lebih singkat untuk menghasilkan planlet dan kemungkinan terjadinya penyimpangan akibat keragaman somaklonal lebih kecil dibandingkan dengan embriogenesis tidak langsung Ramos et al. 1993. Perbanyakan kopi melewati jalur embriogenesis somatik dilaporkan dapat melalui embriogenesis langsung dan tidak langsung. Penelitian Yasuda et al. 1985, Quiroz-Figueroa et al. 2002, de García dan Menéndez 1987, Neuenschwander dan Baumann, 1992, van Boxtel dan Berthouly 1996 dan Menéndez-Yuffá dan de García 1997 menggunakan embriogenesis langsung, sementara penelitian Gatica-Arias et al. 2008, Samson et al. 2006, Etienne 2005, Berthouly dan Etienne 2000 menggunakan embriogenesis tidak langsung pada perbanyakan kopi. 14 Keberhasilan menginduksi embriogenesis somatik dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain ; sumber eksplan, jenis tanaman, genotipe tanaman, kondisi fisiologis sel, zat pengatur tumbuh, komposisi media tumbuh, dan lingkungan tumbuh Terzi Loschiavo 1990; Ehsanpour 2002 ; Bieysse et al. 1993. Pemilihan material jaringan eksplan yang tepat sangat mempengaruhi kesuksesan kultur in vitro, terutama dalam menginduksi embrio somatik. Perbedaan umur, ukuran, organ yang digunakan dan cara mengkulturkan dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan jaringan tanaman George Sherington 1984. Zat pengatur tumbuh 2,4-D merupakan auksin yang paling umum digunakan untuk menginduksi embriogenesis somatik. Selain auksin, pemberian zat pengatur tumbuh sitokinin juga berpengaruh terhadap diferensiasi sel dalam proses embriogenesis somatik Jain Ishii 1998 ; Raghavan 1986; Wattimena 1987. Beberapa jenis sitokinin yang biasa dikombinasikan dengan auksin dalam menginduksi embrio somatik kopi diantaranya adalah BA dan Kinetin Riyadi Tirtoboma 2004; Oktavia 2004; Oktavia et al. 2003; Sondahl et al. 1981 ; Priyono 1993, 1-phenyl-3-1,2,3,-thiadiazol-5-ylurea Thidiazuron Giridhar et al. 2004, 6-y,y-dimethylallylamino purine 2-iP Arimarsetiowati 2011; Samson et al. 2006 ; Oktavia et al. 2003; Berthouly Maxchaux-Ferriere 1996, dan Berthouly dan Etienne 2000 mengkombinasikan BA dan 2-iP dengan IBA. Aplikasi Penggunaan Mutagenesis Secara In vitro Tanaman kopi Arabika merupakan tanaman tahunan yang menyerbuk sendiri sehingga mempunyai keragaman genetik yang tergolong rendah. Salah satu metode pemuliaan tanaman untuk meningkatkan keragaman genetik sehingga didapatkan varietas unggul adalah dengan mengkombinasikan pemuliaan mutasi dan kultur in vitro. Kombinasi tersebut telah terbukti dapat meningkatkan keragaman genetik sehingga seleksi mutan akan lebih efektif dan efisien Maluszynski et al. 1995; Ahloowalia 1995. Penggunaan teknik mutasi secara in vitro memiliki keunggulan antara lain mampu melibatkan sejumlah besar bahan tanaman dan waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan mutan baru relatif lebih cepat dibandingkan dilapangan Ahloowalia 1995. Kelebihan lain menurut Chahal dan Gosal 2006 yaitu : mutasi dapat dilakukan pada tingkat sel sehingga peluang untuk terjadinya khimera lebih kecil karena mutan yang dihasilkan berasal dari satu sel, laju mutasi lebih tinggi karena masing-masing sel mengalami kontak langsung dengan mutagen, dan pada beberapa kasus tertentu dapat dilanjutkan dengan seleksi in vitro sehingga seleksi terhadap mutan menjadi lebih efisien dan efektif. Teknik kultur in vitro, seperti kalus, suspensi sel, embrio somatik atau protoplas, dapat dikombinasikan dengan teknik induksi mutasi baik dengan menggunakan mutagen fisik atau kimiawi akan menghasilkan mutan stabil. Mutan solid dapat diperoleh secara langsung, jika bagian yang dimutasi adalah kalus, suspensi sel, embrio somatik atau protoplas, akan tetapi kelemahannya memiliki daya regenerasi yang rendah van Harten 1998. Penggunaan embrio somatik merupakan cara yang paling efisien dan paling besar peluangnya untuk mendapatkan varian. Kondisi ini dikarenakan kecepatan multiplikasi yang lebih tinggi, prosesnya dapat dipertahankan dalam jangka 15 panjang sehingga tidak selalu tergantung pada ketersediaan sumber eksplan. Mutasi pada embrio somatik tidak mengakibatkan khimera, karena embrio somatik berasal dari sel tunggal, maka apabila dilakukan induksi mutasi pada tahap ini frekuensi terbentuknya varian relatif besar dan diharapkan terjadi mutasi yang solid Maluszynski et al. 1995 ; van Harten 1998. Mutagenesis merupakan keseluruhan proses yang menyebabkan timbulnya berbagai macam mutasi yang spontan atau yang diinduksi dengan agen mutagenik. Mutagenesis in vitro adalah mutagenesis yang menggunakan metode in vitro . Mutagenesis in vitro dimanfaat dalam pemuliaan mutasi, yaitu pemuliaan tanaman yang dilakukan dengan melalui proses mutasi. Mutasi buatan dilakukan untuk dapat menginduksi keragaman genetik, yang akan tercermin dari mutan-mutan yang dihasilkannya. Mutan-mutan diseleksi dan diperbanyak secara vegetative, atau diserbuki sendiri untuk menstabilkan karakter mutan tersebut Poelman Sleper 2006. Keragaman genetika tanaman kopi Arabika dapat ditingkatkan melalui aplikasi perlakuan mutagenesis dan perbanyakan tanaman secara in vitro, sebagaimana yang dilakukan pada tanaman tembakau Gichner 2003, kubis- kubisan Sakamoto et al. 2002; Spasibionek 2006, pisang Roux 2004, dan kenaf Arumingtyas Indriyani, 2005; alphokat Yenisbar 2005, abaka Purwati 2007. Penggunaan teknik kultur in vitro sangat penting dalam menginduksi mutan, keragaman somaklonal yang terjadi melalui kultur kalus dan perlakuan mutasi sangat tepat untuk meningkatkan frekuensi terbentuknya varian yang relatif besar yang sangat berguna bagi program pemuliaan. Peluang keberhasilan mutagenesis in vitro tergantung pada jumlah, umur, bagian dan fase pertumbuhan tanaman. Perbedaan konsentrasi dan lamanya perlakuan mutagen sangat mempengaruhi peluang terjadinya mutasi. Frekuensi mutasi pada penelitian kacang tanah terjadi pada perlakuan EMS dengan konsentrasi 0.25 – 0.5 Gowda et al. 1996. Pada tanaman barley EMS menimbulkan laju mutasi hingga 4-5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan radiasi sinar-x, terutama untuk mutasi klorofil van Harten 1998. Perlakuan EMS 0.3 0.5 atau 0.6 pada kalus embriogen abaka klon Tangongon menurunkan rataan jumlah tunas sebesar 80 -93 Purwati 2007, sementra pada embriogenesis apokat, pertambahan massa pro embrio terhambat pertumbuhannya sebesar 50 ketika diberikan EMS 0,6 selama 30 menit Yenisbar 2005. Induksi Mutasi Menggunakan EMS Ethyl Methane Sulfonate Mutasi dapat diartikan sebagai perubahan genetik gen tunggal, sejumlah gen atau susunan kromosom yang terjadi pada bagian tanaman terutama bagian yang aktif melakukan pembelahan sel Micke Donini 1993. Mutasi mempunyai peran penting dalam proses evolusi, dan sebagai akibat dari mutasi adalah terjadi peningkatkan keragaman genetik tanaman yang sangat diperlukan sebagai bahan baku dalam pemuliaan tanaman. Secara umum mutasi dapat dikelompokkan dalam mutasi alami dan buatan. Mutasi alami terjadi secara spontan dikaitkan dengan faktor lingkungan. Mutasi ini terjadi secara lambat dan terus-menerus sehingga memerlukan waktu yang lama untuk mengakumulasi mutan dalam populasi alami Damayanti 2002. 16 Menurut van Harten 1998, peningkatan keragaman genetik yang terjadi secara alami di alam dengan frekuensi sangat rendah, yaitu 10 -6 per pembelahan sel. Sementara mutasi buatan merupakan mutasi yang sengaja dilakukan sebagai salah satu cara untuk menimbulkan keragaman genetik. Untuk tujuan tertentu frekuensi mutasi dapat ditingkatkan dengan menggunakan teknik induksi mutasi. Induksi mutasi adalah salah satu cara untuk meningkatkan keragaman genetik untuk melengkapi pemuliaan tanaman Odeigah et al . 1998. Penggunaan induksi mutasi telah banyak digunakan untuk memperbaiki beberapa karakter agronomi penting, ketahanan terhadap hama dan penyakit yang disebabkan oleh faktor abiotik dan biotik. Mutasi buatan telah memberikan kontribusi nyata terhadap perbaikan tanaman di dunia Maluszynski et al. 1995. Mutasi ini dapat meningkatkan laju mutasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan mutasi alami. Menurut Poespodarsono 1988, induksi mutasi terjadi karena adanya mutagen. Secara umum mutagen dikelompokkan menjadi tiga yaitu 1 mutagen kimia seperti; colchicine, Di Etil Sulfate DES, Ethylimine EI, Nitroso Etil Urea NEU, Nitroso Metil Urea NMU, dan Ethyl Methane Sulfonate EMS 2 mutagen fisik seperti radiasi sinar X, sinar α, sinar dan sinar γ mutagen fisik non radiasi seperti sinar UV. Kerusakan atau perubahan pada sejumlah segmen kromosom akibat proses mutasi sering menimbulkan pengaruh negatif, seperti berkurangnya fertilitas tanaman van Harten 1998. Kenyataan ini mengharuskan kita untuk mempertimbangkan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memilih mutagen yang akan digunakan, diantaranya seberapa besar pengaruh mutagen yang kita inginkan, apakah perubahan tersebut sampai tingkat genom, kromosom, atau hanya pada tingkat gen. Berdasarkan tipe, mutasi dibagi menjadi mutasi titik mutasi gen, mutasi genom, abrasi kromosom dan ekstranuklear. Terjadinya perubahan susunan pasang basa pada struktur DNA meliputi microlession dan macrolession. Microlession sebenarnya adalah mutasi titik dimana terjadi subsitusi, transversi, transisi, serta penyisipan pasangan basa. Macrolession merupakan penghapusan, duplikasi ataupun penyusunan kembali pasangan basa. Ethyl Methane Sulfonate merupakan mutagen kimia yang paling banyak digunakan karena toksitasnya tidak terlalu tinggi moderat toxic, memiliki efektifitas yang tinggi untuk menginduksi banyak mutasi multiple mutation per genom, biasanya mutasinya berupa subsitusi satu basa, harganya murah, mudah dibeli, dan tidak meninggalkan racun setelah dihidrolisa. dapat mengubah lokus tertentu tanpa menginduksi sejumlah besar mutasi yang terpaut dekat dengan lokus tersebut, sehingga sangat berguna bagi proses pemuliaan tanaman van Harten 1998; Von Arnim 2005. Keuntungan menggunakan mutagen kimia antara lain; sebagian besar yang dihasilkan adalah mutasi titik, kerusakan kromosom lebih kecil Broertjes dan van Harten 1998; van Harten 1998 dapat diintroduksi ke dalam jaringan tanaman dan bahkan sel sehingga dapat menyebabkan jumlah mutasi yang tinggi dibandingkan dengan cara lain. tetapi tergantung dari konsentrasi bahan kimia, waktu perlakuan, suhu, pH larutan mutagenik dan kadar air bahan eksplan Nasir 2002. Sementara kelemahannya antara lain; penetrasi jaringan multisel sering sulit, rendahnya reproducibility, agen mutagen kimia sangat berbahaya karena bersifat karsinogenik van Harten 1998. 17 Ethyl Methane Sulfonate termasuk senyawa alkil yang dapat bereaksi dengan basa-basa DNA, kemudian merubah transisi dua arah. Gugus alkil bereaksi pada DNA dengan cara mengalkilasi basa purin dan pirimidin. Alkilasi dapat terjadi pada atom O-6 dari basa guanin sehingga yang seharusnya berpasangan dengan sitosin menjadi berpasangan dengan timin. Hal ini mengakibatkan perubahan kode genetik dari GC menjadi AT pada generasi sel berikutnya Sega 1984; Jusuf 2001. Penelitian Greene et al 2003 pada tanaman Arabidopsis menunjukkan 99 mutasi yang terjadi akibat EMS 20-40 mM selama 10-20 jam dan perubahannya dari GC menjadi AT dengan 53 perubahan G dan 47 perubahan pada C. Penggunaan EMS untuk meningkatkan keragaman genetik secara in vitro telah banyak dilaporkan, diantaranya adalah untuk menghasilkan mutan pada tanaman kedelai Grabau et al. 1995, memperoleh tanaman pisang yang tahan bunchy top nano virus Imelda et al. 2000, menghasilkan tanaman gandum yang cepat berbunga dan masaknya buah Vismanathan Reddy 1996, dan memperoleh tanaman cabai tahan ChiVMV Manzila et al. 2010. Penggunaan Single Sequence Repeats SSR dalam Identifikasi Varian Secara umum penanda atau marka dalam mengidentifikasi dan mengevaluasi variasi genetik dapat dikelompokkan dalam 3 kelompok besar yaitu; 1 marka yang berdasarkan sifat visual dapat dilihat yang disebut marka morfologi, 2 marka yang berdasarkan produk gen yang disebut sebagai marka biokimia, dan 3 marka yang berdasarkan pengujian DNA disebut marka molekuler. Secara visual marka Morfologi merupakan penampilan fenotipe tanaman seperti warna bunga dan bentuk buah. Marka biokimia seperti isoezym membedakan enzim yang dideteksi menggunakan elektroforesis dan penanda spesifik. Marka isozim digunakan untuk menganalisis keragaman genetik karena relatif cepat, mudah digunakan, dan biayanya murah, namun masih memiliki kelemahan, yaitu tingkat polimorfik yang terbatas Meunier 1992 dan dipengaruhi oleh fase perkembangan tanaman Brar 2002. Sementara marka molekuler selain jumlahnya tidak terbatas, tidak dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan perkembangan tanaman Tanksley MoCouch 1997; Moritz Hillis 1996. Keragaman somaklonal dapat dideteksi menggunakan teknik molekuler. Pemilihan tekhnik ini karena karakterisasi menggunakan marka molekuler dapat dilakukan pada stadium awal, bahkan dapat dilakukan pada benih dan planlet dengan tidak bersifat merusak karena hanya membutuhkan sedikit sampel serta tidak bias oleh faktor lingkungan. Karakterisasi secara molekuler juga dapat digunakan bersama dan saling melengkapi dengan karakterisasi berdasarkan ciri- ciri morfologi. Marka molekuler mulai berkembang pada tahun 1980-an. Saat ini telah banyak ditemukan marka molekuler yang didasari pada penggunaan enzim restriksi seperti RFLP Restriction Fragment Length Polymorphism maupun dengan penggunaan amplifikasi PCR Polimerase Chain Reaction, antara lain RAPD Random Amplified Polymorphyc DNA, AFLP Amplied Fragment Length Polymorphism , dan SSR Simple Sequance Repeat Brar 2002. 18 Salah satu marka molekuler yang telah digunakan secara luas adalah Simple Sequence Repeat SSR atau yang biasa dikenal dengan mikrosatelit. Beberapa keungulan pemakaian SSR yaitu: 1 melimpah, 2 terdistribusi dengan seragam, 3 sangat polimorfis, 4 kodominan, 5 dihasilkan dengan cepat melalui PCR, 6 relatif sederhana untuk ditafsirkan, dan 7 mudah diakses oleh laboratorium lain melalui publikasi sekuen primer Saghai-Maroof et al. 1994. Powell et al. 1996 membuktikan bahwa dari empat marka molekuler yang diuji RFLP, RAPD, AFLP dan SSR marka SSR memiliki kandungan informasi kemampuan untuk membedakan genotipe yang paling tinggi untuk mengevaluasi plasma nutfah kedelai. Marka SSR telah digunakan pada berbagai studi, diantaranya studi keragaman genetik atau identifikasi varietas tanaman. Simple Sequence Repeat merupakan tandem arrays dari 2-5 pasangan basa nukleotida berulang yang ditemukan secara luas pada organisme Eukariota. Marka ini bersifat kodominan dan dapat mendeteksi variasi alel yang tinggi dan dapat membedakan antara tanaman diploid dan tetrapoid Moncada McCouch 2004; Chakravarthi Naravaneni 2006; Ruas et al. 2003; Bhat et al. 2005, sehingga dapat digunakan untuk mendeteksi aksesi tanaman yang berkerabat dekat secara lebih baik dibandingkan dengan marka molekuler yang lain. Single Sequence Repeats adalah bentuk pengulangan sekuen DNA sederhana pada genom individu. Pengulangan berupa unit 1-6 pasang basa DNA dengan variasi yang tinggi Gupta et al. 1994. Jumlah pengulangan nukleotida SSR biasanya kurang dari 100. Primer SSR dibentuk berdasarkan pada daerah pengapit konservatif Conserved flaking regian untuk satu lokus daerah yang diapit Akkaya et al. 1992. Hasil produk PCR dapat dielektroforesis yang dibedakan menurut jumlah unit pengulangan DNA dalam alel-alel SSR yang muncul dan menghasilkan polimorfisme yang tinggi antar species dan yang lebih penting adalah antar individu-individu didalam species dan populasi Gupta et al. 1994. Prosedur umum yang digunakan untuk menemukan lokus SSR adalah dengan mengkontruksi dan skrining pustaka genom DNA yang diperkaya sekuen SSR dan diikuti dengan pengurutan sequencing. Menggunakan metode ini umumnya membutuhkan waktu dan harga yang relatif sangat mahal. Cara lain yang dapat ditempuh adalah menggunakan data yang telah tersedia di Gen bank. Penggunaan metode ini lebih efisien karena hanya berdasarkan bantuan komputer Edwars et al. 1996; Robinson et al. 2004. Penelusuran aksesi tanaman dapat dilakukan secara on line seperti menggunakan situs NCBI http:www.ncbi.nlm.nih.gov. dari Amerika, EMBL-EBI http:www.ebi.ac.uk dari Eropa, dan DPBJ http:www.dddbj.nig.ac.ip dari jepang. Penggunaan SSR dalam mengetahui keragaman genetik tanaman telah dilaporkan pada beberapa tanaman penting seperti pada padi Chakravarthi Naravaneni 2006 ; Panaud et al. 1995, barley Becker Heun 1995, gandum Prasad et al. 2000, dan vanili Bory et al. 2008 yang dapat membedakan keragaman genetik yang tinggi dalam satu spesies. Pada tanaman kopi selain telah digunakan untuk mengetahui keragaman genetik hasil persilangan Bhat et al. 2005 SSR juga dipakai untuk membedakan antara tanaman diploid dan tetraploid dari beberapa species kopi Moncada McCouch 2004. 19 Daftar Pustaka Ahloowalia BS. 1995. In vitro techniques and mutagenesisi for the improvement of vegetatively propagated plants. In. Jain M, Brar DS., Ahloowalia BS. ed Somaclonal Variation and Induced Mutations in Crop Improvement . London GB: Kluwer Acad. hlm 293-309. Akkaya MS, Bhagwat AA, Cregan PB. 1992. Length polymorphisms of simple sequence repeat DNA in soybean. Genetics 132: 1131-1139. Arimarsetiowati R. 2011. Pengaruh Auksin 2,4-D dan Sitokinin 2-iP Terhadap Pembentukan Embriogenesis Somatik Langsung Pada Eksplan Daun Coffea arabica L. Pelita Perkebunan. 272 : 68-77. Arumingtyas EL, Indriyani S. 2005. Induksi variabilitas genetik percabangan tanaman kenaf Hibiscus cannabinus L. dengan mutagen kimia Ethyl Methane Sulfonate EMS. Natural Jurnal 8 2: 24-28 Becker J, Heun M. 1995. Barley microsatellites: Allele variation and mapping. Plant Mol. Biol . 27: 835-845. Berthouly M, Etienne H. 2000. Somatic Embryogenesis of Coffee In Sera T. Soccol CR, Pandey A, Roussos S. Coffee Biotechnology and Quality. Proccedings of the 3 rd International Seminar on Biotechnology in the Coffee Agro-Industry , Londrina. Brazil. Printed in the Netherlands NL. Kluwer Academic Publishers. hlm 71- 90. ISBN: 978-90-481-5565-1 Print 978- 94-017-1068-8 Online Berthouly M, Michaux-Ferriere NM. 1996. High frequency somatic embryogenesis in Coffea canephora. Induction conditions and histological evolution Plant Cell. Tissue and Organ Culture. 44: 169-176. Bhat PR, Krishnakumar V, Hendre PS, Rajendrakumar P, Varshney RK, Aggarwal RK. 2005. Identification and characterization of expressed sequence tags-derived simple sequence repeats markers from robusta coffee variety „CxR‟ an interspecific hybrid of Coffea canephora × Coffea congensis . Molecular Ecology Notes. 51:80 –83 Bieysse D, Gofflot A, Michaux-Ferriere N. 1993. Effect of experimental conditions and genotypic variability on somatic embryogenesis in Coffee Arabica. Canadian Journal of Botany. 7111:1496-1502. Bory S. Da Silva, Risterucci D, Grisoni AM, Besse M, Duval P. 2008. Development of microsatellite markers in cultivated Vanilla: polymorphism and transferability to other Vanilla species. Scientia Horticulturae. 115: 420 –425 Brar DS. 2002. Molecular marker assisted breeding. In: Jain SM, Brar DS, Ahloowalia BS. Molecular Techniques in Crop Improvement. The Netherlands NL. Kluwer Academic Publishers. ISBN 1-4020-0528-8. Broertjes C, van Harten AM. 1988. Applied Mutation Breeding for Vegetatively. Propagated Crops . Amsterdam NL. Elsevier. 345 hlm. Carneiro M. 1999. Advances in coffee biotechnology. AgBiotechnet 1:1-7. Carniaro MF. 1997. Coffee biotecnology and its application in genetic transformation. Euphytica. 96:167-172. 20 Carvalho A, Antunes Filho H, Mendes JET, Lazzarini W, Reis AJ, Aloisi sobrinho J, De Moraes MV, R. K. Nogueira RK, Rocha TR. 1957. Melhoramento do cafeeiro. XIII – Cafe Bourbon Amarelo. Bragantia. Vol 16. http:dx.doi.org10.1590S000687051957000100028. Chahal GS, Gosal SS. 2006. Principles and Procedures of Plant Breeding, Biotechnological and Conventional Approaches. Alpha Science International Ltd . Pangbaurne. Chakravarthi BK., Naravaneni R. 2006. SSR marker based DNA fingerprinting and diversity study in rice Oryza sativa. L. African Journal of Biotechnology . 5 9: 684-688. Damayanti F. 2002. Seleksi in vitro untuk ketahanan terhadap penyakit layu Fusarium pada tanaman abaka Musa textilis Nee. [tesis]. Bogor ID. Institut Pertanian Bogor. Dublin P. 1981. Embryogenesisi Somatic direct sur fragments de feues de cafeier arabusta. The Cafe Cacao. 25: 237-242. Ducos JP, Lambot C, Pétiard V. 2007. Bioreactors for Coffee Mass Propagation by Somatic Embryogenesis. International Journal of Plant Developmental Biology . 11: 1-12. Edwards KJ, Barker JHA, Daly A, Jones C, Karp A. 1996. Microsatellite libraries enriched for several microsatellite sequences in plants. Biotechniqus. 20:758-760. Etienne H. 2005. Somatic Embryogenesis Protocol: Coffee Coffea Arabica L. and Canephora P. In Jain SM, Gupta PK. eds. 2005. Protocol for Somatic Embryogenesis in Woody Plants . Printed in the Netherlands NL. Springer. hlm 167 - 179. Evans DA, Sharp WK. 1986. Somaclonal and gametoclonal variation. In. Evans DA, Sharp WK and Ammiroto PV Eds. Hanbook of Plant Cell Culture. Vol 4. New York AS. Macmillan Publishing co. Hlm 97-132. Garcia E, Menendez A. 1987. Embryogenesis somatica a partir de explantes foliares del cafeto „catimor‟. Cafe’Cacao The 31:15-23. Gatica-Arias AM, Arrieta-Espinoza G, Esquivel AME. 2008. Plant regeneration via indirect somatic embryogenesis and optimisation of genetic transformation in Coffea arabica L. cvs. Caturra and Catuaí. Electronic Journal of Biotechnology. 11 1. Pontificia Universidad Católica de Valparaíso-Chile. 11 1:1-12. George EF, Hall MA, De Klerk GJ. 2008. The Components of Plant Tissue Culture Media: Macro ang Micro-Nutrients pp: 65-113. In; George EF Hall MA and De Klerk GJ Eds. Plant Propagation by Tissue culture. The Background. Vol.1. Edition 3rd. Netherlands NL. Springer. George EF. 1993. Plant Propagation by Tissue Culture. The Technology. 2nd England GB. Exegetics Ltd. George FF, Sherrington PD. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture. England GB. Exegetic Ltd. 709 hlm. 21 Gichner T. 2003. Differential genotoxicity of ethyl methanesulphonate, N-ethyl- N-nitrosourea and maleic hydrazide in tobacco seedlings based on data of the Comet assay and two recombination assay. Mutation Research. 538: 171- 179 Giridhar P, Kumar V, Indu EP, Ravishankar, Chandrasekar A. 2004. Thidiazuron induced somatic embryogenesis in Coffea arabica L. and Coffea canephora P ex Fr. Acta Bot. Croat. 63 1 : 25-33. Gowda MVC., Nadaf HL., Sheshagiri R. 1996. The role of mutation in intraspecific differentiation of groundnut Arachis hypogaea L. Euphytica. 90:105-113 Grabau EA, Haulan R, Pesce A. 1995. Mutagenesis and selection for oligomycin resisten in soybean Glycine max L.Merr suspension culture cells. Plant Cells Tissue Organ Cult . 42:121-127. Greene EA, Codomo CA, Taylor NE, Henikoff JG, Till BJ, Reynols SH, Enns LC, Burtner, Johnson JE, Odden AR, Comai FF, Heniko S. 2003. Spectrum of chemicalaly Induced Mutations from A large-sclale Reverse genetics Screen in Arabidopsis. Genetics 164:731-740. Gunawan LW. 1992. Teknik Kultur In Vitro. Institut Pertanian Bogor ID. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. 245 hal. Gupta M, Chyi YS, Romero Severson J, Owen JL. 1994. Amplification of DNA markers from evolutionarily diverse genomes using primers of simple sequence repeats. Theor. Appl. Genet. 89 : 998-1006. Hatanaka T, Arakawa O, Yasuda T, Uchida N, Yamaguchi T. 1991. Effect of plant growth regulators on somatic embryogenesis in leaf cultures of Coffea canephora . Plant Cell Rep. 10:179-182 Hulupi R. 1999. Bahan Tanam Kopi yang Sesuai Untuk Agroklimat di Indonesia. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao . 151:64-81. Hussein S, Ibrahim R, Kiong ALP. 2006. Somatic embryogenesis: an alternative method for in vitro micropropagation. Iranian Journal of Biotechnology: 43:156-161. Jain SM, Ishii K. 1998. Recent Advances in Somatic Embryogenesis in Forest Trees. In: Burns S, Mantell S, Tragardh C, Viana AM. Recent advances in biotechnology for tree conservation and management. Intern. Stockholm, Sweden SE. Foundation for Science IFS. pp 214-231. Jimenez VM. 2001. Regulation of in vitro somatic embryogenesis with emphasis on role of endogenous hormones. R. Bras. Fisiol. Veg.132;196-223. Jusuf M. 2001. Genetika I, Struktur dan Ekspresi Gen. Bogor ID. Institut Pertanian Bogor. 377 hlm. Maluszynski M, Ahloowalia BS., Sigurbjörnsson B. 1995. Application of in vivo and in vitro mutation techniques for crop improvement. Euphytica 85: 303- 315. Manzila I, Hidayat SH, Mariska I, Sujiprihati S. 2010. Pengaruh perlakuan EMS pada tanaman cabai Capsicum annuum L dan ketahanan terhadap Chilli Veinal Mottle Virus ChiVMV. J. Agron. Indonesia. 383:205-211. 22 Menéndez-Yuffá A, de Garcia EG.1997. Morphogenic events during indirect somatic embryogenesis in coffee “Catimor”. Protoplasma. 199:208–214. Meunier J. 199β. Genetic diversity in coconut, a brief survey of IRHO‟s work. In. Coconut Genetic Resources, Rome IT. IBPGR, pp. 59-62. Micke A, Donini B. 1993. Induce mutation. In : Hayward MD, Bosemark NO, Romagosa I. Plant Breeding Principle and Prospects Eds.. London GB. Chapmant and Hall. pp 53-62. Moncada P, McCouch S. 2004. Simple sequence repeat diversity in diploid and tetraploid Coffea species. Genome. 47: 501 –509. Moritz C, Hillis DM. 1996. Molecular Systematics: Contex and Controversies. pp. 1-13. In. Hillis DM, Moritz C, Mable BK. eds.. Molecular Systematics. 2nd edition., Sutherland Massachusetts: Sinauer. 655p. Najiyati S, Danarti. 2007. Kopi, Budidaya dan Penanganan Pasca panen. Jakarta ID. Penebar Swadaya. 167 hlm. Nasir M. 2002. Bioteknologi Molekuler. Teknik rekayasa genetik tanaman. Bandung ID. PT Citra Aditya Bakti. hlm 59-78 Neuenschwander B, Baumann TW. 1992. A novel type of somatic embryogenesis in Coffea arabica. Plant Cell Rep. 10:608-612. Odeigah PGC, Sanyinpeju AOO, Mayers GO. 1998. Induced mutation in cowpea, vigna unguiculata . http:www.ots.ac.cr.tropiwebreadrevistas46- 3odegah. html. Diakses 5 Desember 2011. Oktavia F, Siswanto, Budiani A, dan Sudarsono. 2003. Embriogenesis somatik langsung dan regenerasi planlet kopi Arabika Coffea arabica dari berbagai eksplan. Menara Perkebunan. 712: 44-55 Oktavia F. 2004. Induksi Embriogenesis Somatik dan Transformasi Gen Kitinase Ke Tanaman Kopi Coffea spp Dengan Bantuan Agrobacterium tumefaciens LBA44404 [tesis]. Bogor ID. Institut Pertanian Bogor. Panaud O, Chen X, McCouch SR. 1995. Frequency of microsatellite sequences in rice Oryza sativa L.. Genome. 38: 1170-1176 Panggabean E. 2011. Buku pintar kopi. PT.AgroMedia Pustaka. 226 hlm. Pierik RLM. 1987. In Vitro Culture Higher Plant. Netherlands NL. Matinus Nijhoff. 344 hlm. Pierson ES, van Lammeran AM, Schel JHN, Starisky G. 1983. In vitro development af embryoids from puched leaf disc of Cofeea canephora. Protoplasma. 115:208-216. Poehlman JM, Sleper DA. 2006. Breeding Field Crops. Fifth Edition. New Delhi IN. Blackwell Publishing. 424 hlm Poespodarsono. 1988. Dasar-Dasar Ilmu Pemuliaan Tanaman. Pusat Antar Universitas dan lembaga Sumber Informasi. Bogor ID. IPB. Powell W, Morgante M, Andre C, Hanafey M, Vogel J, Tingey S, Rafalski A. 1996. The comparison of RFLP, RAPD, AFLP and SSR microsatellite markers for germplasm analysis. Molecular Breeding. 2 3 : 225-238 23 Prasad M, Varshney RK, Roy JK, Balyan HS, Gupta PK. 2000. The use of microsatellites for detecting DNA polymorphism, genotype identification and genetic diversity in Wheat. Theor Appl Genet. 100: 584 –592 Prastowo B, Karmawati E, Rubiyo, Siswanto, Indrawanto S, Munarso SJ. 2010 Budidaya dan Pasca Panen Kopi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Badan Libang Pertanian. Bogor ID. Kementrian Pertanian. 62 hlm. Priyono. 1993. Embriogenesis somatik langsung pada kultur in vitro eksplan daun kopi Arabika Coffea arabica. Jurnal Pertanian Indonesia. 3l:16-20. Priyono. 2004. Kultur In Vitro Daun Kopi untuk Mengetahui Kemampuan Embriogenesis Somatik Beberapa Varietas Kopi. Pelita Perkebunan. 20 3: 110-122. Priyono. 2013. The Relationships and Genetic Diversity Among Species In The Genus Coffea. Review Penelitian Kopi dan Kakao. 1 1 : 1-11. Pujiyanto.1998. Persyaratan Tumbuh Tanaman Kopi Arabika. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao . 142: 128-133. Purwati RD, Harran S, Sudarsono. 2007. In Vitro Selection of Abaca for Resistance to Fusarium oxysporum f.sp. cubense. HAYATI Journal of Biosciences , 142 :65-70. ISSN: 1978-3019 Quiroz- Figueroa FR, Fuentes-Cerda CFJ, Rojas-Herrera R, Loyola-Vargas VM. 2002. Histological studies on the developmental stages and differentiation of two different somatic embryogenesis systems of Coffea arabica. Plant Cell Reports. 20:1141-1149. Raghavan V. 1986. Embryogesis in Angiosperms : A Developmental and Experimented Study . CambridgeGB. Cambrige University Press. Ramos LS, Yokoo EY, Goncalves W. 1993. Direct somatic embryogenesis is genotype specific in coffee. In Quinzieme Colloque Scientifique Sur le Cafe. ASIC Montpellier.11: 763-766. Riyadi A., Tirtoboma. 2004. Pengaruh 2,4-D terhadap Induksi Embrio Somatik Kopi Arabika. Buletin Plasma Nutfah. 10.2.82-89 Robinson AJ. Love CG, Batley J, Barker G. Edwards D. 2004. Simple sequence repeat marker loci discovery using SSR primer. Bioinformatis Application Note. 20 9:1475-1476. Roux NS. 2004. Mutation induction in Musa-review. Di dalam: Jain SM, Swennen R, editor. Banana Improvement: Cellular, Molecular Biology, and Induced Mutations. Enfield: Sci Pub, Inc . hlm. 21-29. Ruas PM, Ruas CF, Rampim L, Carvalho CV, Ruas EA, Sera T. 2003. Genetic relationship in Coffea species and parentage determination of interspecific hybrids using ISSR Inter- Simple Sequence Repeat markers. Genetics and Molecular Biology . 26 3: 319-327. Saghai-Maroof MA, Biyashev TRM, Yang GP, Zhangf Q, Allard RW. 1994. Extraordinarily polymorphic microsatellite DNA in barley: Species diversity, chromosomal locations, and population dynamics. Proc. Natl. Acad. Sci. USA. 91 :5466-5470. 24 Sakamoto W, Tamura T, Hanba-Tomita Y, Murata M. 2002. The VAR1 locus of Arabidopsis encodes a chloroplastic FtsH and is responsible for leaf variegation in mutant alleles. Genes to Cell. 7:769-780. Samson NP, Campa C, Le Gal L, Noirot M, Thomas G, Lokeswari TS, Kochko A.de. 2006. Effect of primary culture medium composition on high frequency somatic embryogenesis in different Coffea species. Plant Cell Tiss Organ Cult. 86:37 –45 Sano H, Kusano T. 2002. Method for producing the transformants of coffee plants and transgenic coffee plant. USA. United States Patent. Sega GA. 1984. A review of the genetic effects of ethylmethanesolfonate. Mutation Research. 1342-3:113-142. Sera T, Mauricio Ruas P, Ruas CF, Diniz LEC, Carvalho VP, Rampim L, Ruas EA, Silveira SR. 2003. Genetic polymorphism among 14 elite Coffea arabica L. Cultivars using RAPD markers associated with restriction digestion. Genetics and Molecular Biology. 26 1: 59-64. Siswoputranto PS. 1993. Kopi Internasional dan Indonesia. Yogyakarta ID. Kanisius. 417 hlm. Sondahl MR, Monaco LC, Sharp WR. 1981. In vitro methods applied to coffee. In Thorp TA Ed. Plant Tissue Culture, Methods and Applications in Agriculture. New York US, Academic Press. p. 325- 347. Sondahl MR, Sharp WR. 1977. High frequency induction of somatic embryos in cultured leaf explants of Coffea arabica L. Zeitschrift fur Pflanzenphysiologie. 81:395-408. Spasibionek S. 2006. New mutants of winter rapeseed Brasica napus L. with changed fatty acid composition. Plant Breeding. 1253: 259-267. Spillane JJ. 1990. Komoditi Kopi, Peranannya dalam Perekonomian Indonesia. Yogyakarta ID. Kanisius. 226 hlm Staritsky G. 1970. Embryoid formation in callus cultures of coffee. Acta Bot Neerl 19: 509-514. Sumaryono, Tahardi JS. 1993. Perbanyakan klon kopi robusta toleran nematoda melalui embryogenesis somatik langsung. Menara Perkebunan. 613:50- 55. Suryowinoto M. 1996. Prospek kultur in vitro dalam perkembangan pertanian modern . Yogyakarta ID. Universitas Gadjah Mada. hlm 1-10. Tanksley SD, McCough SR. 1997. Seed Banks and Molekular Maps: Unlocking Genetic Potential from the Wild. Science. 27775329:1063-1066. Terzi M, Loschiavo F. 1990. Somatic embrygenesis. In S.S. Bhajwani ed. Plant tissue culture: Applications and Limitations. Amsterdam. Oxford. New York. Tokyo. Elsevier. hlm 55-66. Toonen MAJ, de Vries SC. 1996. Initiation of somatic embryos from single cells. In Wang TU and Cuming A eds Embrogenesis the generation of a plant. Bios Scientific Publisher Ltd . Uk. 173-189. Tran TMH. 2005. Genetic variation in cultivated coffee Coffea arabica L. accessions in nouthern New South Wales, Australia. Masters thesis, Southern Cross University. Lismore AU. NSW. 25 van Boxtel J, Berthouly M. 1996. High frequency of somatic embryogenesis from coffee leaves. Plant Cell Tissue and Organ Culture. 44: 7-17. van Harten AM. 1998. Mutation Breeding: Theory and Practical Application. Cambridge GB: Cambridge University Press. Viswanathan P, Reddy VRK. 1996. Genetics of early flowering mutans in triticale. Acta Agronomica Hungaria. 464:389-391. Von Arnim AG. 2005. Molecular Approaches to The Study of Plant Development In Trigiano RN, Grya DJ, eds Plant Development and Biotechnology. Boca Raton. CRC Press. pp119-141. Von Arnold S, Sabala I, Bozhkov P, Dyachok J, Filonova L. 2002. Developmental pathways of somatic embryogenesis. Plant cell, Tissue and Organ culture 69: 233-249. Waller JM, Bigger M, Hillocks RA. 2007. Coffee Pest, Diseases, and Their Management. Cambridge, MA. CAB International. 387 hlm. Warga-Dalem SK. 1985. Embriogenesis somatik dan regenerasi tanaman pada kultur daun kopi Robusta Coffea canephora [tesis]. Bogor ID. Institut Pertanian Bogor. 66 hlm. Wattimena GA, Gunawan LW, Mattjik NA, Syamsudin E, Wiendi NMA, Ernawati A. 1992. Bioteknologi Tanaman. Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman . Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Bogor ID. IPB. 309 hlm. Wattimena GA. 1987. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Bogor ID. Laboratorium Kultur Jaringan PAU Bioteknologi. 246 Hal. Yahmadi. 2000. Sejarah Kopi Arabika di Indonesia. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia . 16 3:180-188. Yasuda T, Fuji Y, Yamaguchi T. 1985. Embryogenic callus induction from Cofee Arabica leaf explants by benzyladenine. Plant Cell physiol. 26:595-597. Yenisbar. 2005. Induksi Mutasi Dengan EMS Pada Biak Embriogenik Meningkatkan Keragaman Genetik Apokat Persea americana Mill. [tesis]. Bogor ID. Institut Pertanian Bogor. Zimmerman JL. 1993. Somatic embryogenesis : A. model for early development in higher plants. The Plant Cell. 5: 1411-1423. 26 27

3. INDUKSI KALUS EMBRIOGENIK DAN DAYA REGENERASI KOPI ARABIKA

Abstrak Embriogenesis somatik kopi Arabika Coffea arabica L. masih terkendala dalam meregenerasikan planlet dari eksplan yang dikulturkan. Kemampuan eksplan daun membentuk embrio dalam embriogenesis somatik kopi sangat dipengaruhi oleh komposisi media dan zat pengatur tumbuh. Penelitian bertujuan untuk mempelajari pembentukan kalus embriogenik, pendewasaan dan perkecambahan kopi Arabika dengan menggunakan 2,4-D dan benzyl amino purine BAP. Bahan tanaman yang digunakan adalah daun kopi Arabika varietas S 795 koleksi Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar Balittri. Rancangan perlakuan menggunakan rancangan acak lengkap dengan 6 ulangan, masing-masing ulangan terdiri dari 5 eksplan. Induksi kalus menggunakan 5 kombinasi perlakuan 2,4-D 4.54 µM + BAP 0 µM; 2,4-D 4.54 µM + BAP 4.44 µM; 2,4-D 4.54 µM + BAP 8.88 µM ; 2,4-D 9.04 µM + BAP 4.44 µM ; dan kontrol tanpa penambahan 2,4-D dan BAP. Peubah yang diamati meliputi ; persentase kalus embriogenik, berat basah kalus, jumlah pro embrio dan kecambah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua media perlakuan membentuk kalus kecuali perlakuan kontrol. Berat kalus, persentase kalus embriogenik, dan jumlah pro embrio tertinggi diperoleh pada media kombinasi 2,4-D 9.04 µM + BAP 4.44 µM. Kalus embriogenik dari eksplan daun yang mampu beregenerasi melalui jalur embriogenesis somatik berasal dari media kombinasi 2,4-D 4.54 µM + BAP 8.88 µM dengan persentase 16.67 dengan 6 kecambah per 0.2 g kalus. Kata Kunci: Coffea arabica L., 2,4-D, benzyl amino purine, eksplan ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Catatan : Sebagian dari bab ini telah dipublikasikan pada Buletin RISTRI Vol.4 No. 2. Halaman 91-98. Juli 2013. 28

3. EMBRYOGENIC CALLUS INDUCTION AND REGENERATION POTENTIAL OF ARABICA COFFEE

Abstract Somatic embryogenesis of Arabica coffee Coffee arabica L. is still challenging in regenerating plantlets from cultured explants. The ability of leaf explants to generate embryos in somatic embryogenesis of coffee is most influenced by the composition of media and plant growth regulators PGR. The research aims to study the formation of embryogenic callus, maturation and germination of Arabica coffee using 2,4-D and benzyl amino purine BAP. Plant material used was leaves of S 795 variety from germplas collection of Indonesian Industrial and Beverage Crops Research Institute. The research was arranged in completely randomized design with six replications; each replication contained five explants. Callus induction media consisted of five treatments 2,4-D 4.54 µM + BAP 0 mg L -1 ; 2,4-D 4.54 µM + BAP 4.44 µM ; 2,4-D 4.54 µM + BAP 8.88 µM; 2,4-D 9.04 µM + BAP 4.54 µM and control without 2,4-D and BAP. Parameters observed were number of callus, percentage of embryogenic callus, callus fresh weight, number of pro-embryo and number of germinate embryos. Result showed that all treatments could form callus except for control. The highest of callus fresh weight, embryogenic callus percentage, and number of pro-embryo were obtained from media combination of 2,4-D 9.04 µM and BAP 4.44 µM. Embryogenic callus from leaf explant capable of regenerating was derived from media combination 2,4-D 4.54 µM and BAP 8.88 µM with embryogenic callus percentage of 16.67 and number of germinate embryos was 6 per 0.2 g of callus. Keywords : Coffea arabica L., 2,4-D, benzyl amino purine, explant ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Note : Section of chapter has been published in Buletin RISTRI Vo.4.No.2. pages 91-98. July 2013. 29 Pendahuluan Kopi Arabika Coffea arabica L. merupakan tanaman perkebunan yang dapat diperbanyak secara generatif dengan menggunakan biji dan vegetatif menggunakan stek, okulasi dan sambung pucuk. Perbanyakan menggunakan biji tidak menjamin benih yang dihasilkan akan sama dengan induknya, karena walaupun tanaman kopi menyerbuk sendiri masih ada peluang terjadinya penyerbukan silang. Perbanyakan vegetatif menghasilkan bibit yang sama dengan induknya, tetapi tidak semua cabang kopi dapat digunakan sebagai sumber bahan tanaman, sehingga bibit yang dihasilkan terbatas. Teknik kultur jaringan memberikan alternatif dalam perbanyakan bibit kopi. Teknik ini memungkinkan untuk memproduksi bibit yang relatif seragam dalam skala besar, dengan waktu yang lebih singkat, dan bebas hama penyakit. Berbagai pendekatan yang telah dipertimbangkan untuk perbanyakan kultur jaringan kopi, diantaranya; organogenesis menggunakan tunas adventif dan aksilar, microcutting , dan embriogenesis somatik Santana-Buzzy et al. 2007; Andrés et al. 2008. Embriogenesis somatik merupakan suatu proses di mana sel-sel somatik berkembang membentuk tanaman baru melalui tahapan perkembangan embrio yang spesifik tanpa melalui fusi gamet Williams Maheswara, 1986. Kesamaan tahapan embriogenesis somatik dan zigotik telah digambarkan oleh Zimmerman 1993. Benih dengan struktur yang bipolar dan kondisi fisiologis yang menyerupai embrio zigotik menyebabkan perbanyakan melalui pembentukan embrio somatik lebih menguntungkan daripada pembentukan tunas adventif, tunas aksilar dan meristem yang unipolar. Perbanyakan melalui embriogenesis somatik dari berbagai jenis eksplan telah dilakukan dengan menggunakan anther, meristem, biji, hipokotil, epikotil, akar, dan daun. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa penggunaan eksplan daun kopi paling responsif dalam menghasilkan embrio somatik dibandingkan bagian tanaman yang lain Carneiro 1999; Oktavia et al. 2003. Penggunaan eksplan daun pada kopi Arabika dalam embriogenesis somatik telah banyak dilakukan, diantaranya oleh Etienne et al. 2002, Quiroz-Figueroa et al. 2002, Priyono 2004, dan Albarra´n et al. 2005. Penelitian perbanyakan tanaman kopi melalui embriogenesis somatik telah banyak dilaporkan diantaranya dari penelitian Carneiro 1999, Etienne et al. 2002, Quiroz-Figueroa et al. 2002, Oktavia et al. 2003, Priyono 2004, Giridhar et al. 2004, Albarra´N et el. 2005, Samson et el. 2006, dan Arimarsetiowati 2011. Perbanyakan melalui embriogenesis somatik yang diaplikasikan dengan bioteknologi bukan hanya dapat digunakan untuk perbanyakan, tetapi juga untuk memperbaiki karakter tanaman. Hal ini menjadikan penelitian embriogenesis somatik menjadi penting. Zat pengatur tumbuh 2,4-D merupakan auksin yang paling umum digunakan untuk menginduksi embriogenesis somatik. Auksin NAA dan IBA baik secara tunggal maupun dikombinasikan dengan 2,4-D juga dapat digunakan untuk menginduksi embriogenesis somatik. Selain auksin, beberapa jenis sitokinin yang biasa dikombinasikan dengan auksin untuk menginduksi embrio somatik diantaranya adalah BA, Kinetin, Thidiazuron dan 2-iP George Sherington 1984; Wattimena et al. 1992. 30 Penelitian embriogenesis somatik kopi Arabika menggunakan kombinasi zat pengatur tumbuh 2,4-D, Benzyl Amino Purine BAP, dan Naphtalene Acetic Acid NAA telah dilakukan oleh Neuenschwander dan Baumann 1992. Priyono dan Danimihardja 1991 menggunakan BAP dan kinetin. Priyono 1993 menggunakan Indole Asetic Acid IAA, BAP dan Adenine sulfat. Penelitian mengunakan 2,4-D dan BAP tanpa penambahan ZPT lainnya pada kultur kopi Arabika belum pernah dilaporkan. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pembentukan kalus embriogenik, pendewasaan dan perkecambahan kopi Arabika Coffea arabika L. dengan menggunakan 2,4-D dan BAP. Bahan dan Metode Penelitian dilakukan di laboratorium kultur jaringan tanaman dan rumah kaca, Unit Pengembangan Benih Unggul Pertanian, Juli 2011 sampai Desember 2012. Bibit tanaman yang digunakan sebagai sumber eksplan adalah bibit yang ditumbuhkan dan dipelihara dirumah kaca. - Induksi Kalus Embriogenik Kopi Arabika Media dasar yang digunakan adalah media Murashige dan Skoog MS dengan 12 konsentrasi garam makro dan mikro yang dilengkapi vitamin B5, sukrosa 30 g L -1 , dan 250 mg L -1 polivynil pyrolidon PVP. Zat pengatur tumbuh 2,4-D dan BAP ditambahkan pada media dengan kombinasi perlakuan 2,4-D 0 µM + BAP 0 µM kontrol; 2,4-D 4.52 µM + BAP 0 µM ; 2,4-D 4.52 µM + BAP 4.44 µM ; 2,4-D 4.52 µM + BAP 8.88 µM; dan 2,4-D 9.04 µM + BAP 4.44 µM. Media dipadatkan menggunakan gel gum 3 g L -1 . Sterilisasi media menggunakan autoklaf pada suhu 121 o C selama 20 menit dengan tekanan 1.5 atm. Daun muda yang sudah membuka sempurna dari varietas S 795 dipetik dan dibersihkan dengan air mengalir. Daun direndam dalam fungisida yang berbahan aktif Mankozeb 80 dengan konsentrasi 0.2 selama 1 jam, lalu dibilas sampai bersih. Daun dibawa ke dalam laminar air flow. Sterilisasi dilakukan dengan menggunakan alkohol 70 selama 3 menit dan sodium hipoklorit 10 selama 15 menit, kemudian daun dibilas sampai bersih menggunakan aquadest steril. Daun steril dipotong-potong dengan ukuran ± 1 cm x 1 cm, lalu dikulturkan pada media kultur sesuai dengan perlakuan yang diuji. Botol kultur yang berisi eksplan diinkubasi di ruang gelap pada temperatur ± 25 o C dengan kelembaban relatif ± 60. Kalus embriogenik yang terbentuk dipisahkan dari daun, kemudian dilakukan subkultur ke media yang sama dengan cara menimbang 0.2 g kalus per botol. Botol diinkubasi kembali di ruang gelap pada temperatur ± 25 o C dengan kelembaban relatif ± 60. - Regenerasi Kalus Embriogenik Kopi Arabika Kalus embriogenik di subkultur ke media MS dengan 12 konsentrasi garam makro dan mikro yang dilengkapi vitamin B5. Media ditambahkan sukrosa 30 g L -1 , 250 mg L -1 Polivynil Pyrolidon PVP, dan kinetin 9.30 µM. Kecambah yang terbentuk di subkultur ke media MS dengan 12 konsentrasi garam makro dan mikro yang dilengkapi vitamin B5, sukrosa 30 g L -1 tanpa pemberian ZPT. Botol diinkubasi dalam ruang terang dengan penyinaran selama 16 jam, intensitas penyinaran 1000-1500 luks, temperatur ± 25 o C dan kelembaban relatif ± 60. 31 - Analisis Statistik Rancangan perlakuan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan 6 ulangan. Satu ulangan terdiri dari 5 eksplan daun. Uji lanjut dilakukan dengan Duncan Multiple Range Test DMRT pada taraf uji 5. Hasil dan Pembahasan - Induksi Kalus Embriogenik Kopi Arabika Tepi daun kopi mulai terlihat membengkak setelah tiga minggu di media perlakuan. Pada minggu ke empat, pengkalusan di bagian bekas sayatan mulai terbentuk pada media kombinasi 2,4-D 9.04 µM + BAP 4.44 µM dan 2,4-D 4.52 µM + BAP 8.88 µM, dan minggu berikutnya pada perlakuan yang lain kecuali pada perlakuan tanpa penambahan ZPT Kontrol Gambar 2A. Pemberian ZPT terlihat sangat berperan dalam pembentukan kalus. Hal yang sama dilaporkan oleh Ibrahim et al. 2012, dimana perlakuan 2,4-D dan kinetin pada kopi Arabika mampu menghasilkan kalus, kecuali perlakuan kontrol. Pembentukan kalus terlihat semakin meningkat seiring dengan bertambahnya waktu. Dua bulan dalam media induksi, kalus yang terbentuk hanya disekitar bekas sayatan saja Gambar 2B. Hal ini juga dijumpai pada penelitian Oktavia et al. 2003 dimana kalus hanya terbentuk dibekas luka sayatan. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Priyono 1993 yang berhasil mendapatkan kalus dan embrio somatik pada permukaan maupun sisi daun. Perbedaan ini diduga karena ada perbedaan ukuran eksplan yang digunakan, perbedaan konsentrasi dan jenis ZPT yang ditambahkan ke media inisiasi kalus, lamanya inisiasi, serta perbedaan respon dari genotipe tanaman yang digunakan sehingga tanggap jaringan juga berbeda. Secara morfologi kalus yang terbentuk tidak semuanya embriogenik. Hasil analisis statistik menunjukkan persentase pembentukan kalus embriogenik masih rendah, yaitu di bawah 50 Gambar 3, walaupun ada beberapa dari ulangan pada kombinasi perlakuan 2,4-D 4.53 µM dan BAP 8.88 µM pembentukan kalus embriogenik ada yang mencapai 90 data tidak ditampilkan. Berdasarkan warna kalus kopi yang terbentuk, kalus dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu kalus yang berwarna kekuningan, putih kekuningan, dan putih. Kalus berwarna kekuningan dan putih kekuningan merupakan kalus embriogenik, sementara kalus yang berwarna putih merupakan kalus non embriogenik. Kalus non embriogenik biasanya tidak mempunyai kemampuan untuk beregenerasi sehingga dalam proses subkultur tidak diikut sertakan Gambar 4A. Kalus embriogenik merupakan kalus yang diharapkan mampu berkembang menjadi embrio somatik. Kalus kopi dengan tiga warna yang sama juga dilaporkan pada penelitian Riyadi dan Tirtoboma 2004 yang menggunakan kopi Arabika varietas Kartika, pada media Murashige-Skoog standar yang mengandung 30 g L -1 sukrosa serta diberi 2,4-D dan kinetin. Pengamatan mikroskopik pada umur kultur 2 bulan, di samping terbentuknya kalus juga ditemukan adanya massa pro embrio. Pro embrio terlihat di bagian bawah dari daun yang berdekatan dengan bagian sayatan dengan warna putih dan permukaan yang licin Gambar 4C. Massa pro embrio yang dihasilkan tersebut mempunyai potensi untuk dikembangkan menjadi embrio globular, namun massa pro embrio yang dihasilkan jumlahnya tidak seperti yang diharapkan.