Morfologi Perkembangan Embrio Somatik Kopi Arabika Induksi Embrio Somatik Sekunder Menggunakan Thidiazuron dan BAP

48 Gambar 12. Keragaan perkembangan embriogenesis tidak langsung kopi Arabika varietas Kartika. A. Embrio globular. B. Torpedo. C. Kotiledonari. Gambar 13. Keragaan perkembangan embriogenesis somatik langsung kopi Arabika varietas Kartika. A. Pro embrio dan Globular tumbuh dan berkembang dari jaringan daun. B. Globular [G Panah merah], Heart [H Panah hitam], Elongated embryo [EG Panah hijau] and torpedo [T Panah biru]. Gambar 14. A. Rataan jumlah embrio globular kopi Arabika varietas Kartika melalui jalur embriogenesis tidak langsung setelah 4 bulan dalam media regenerasi. B. Rataan jumlah torpedo kopi Arabika melalui jalur embriogenesis tidak langsung setelah enam bulan dalam media regenerasi. Huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan α= 0.05. A B C A B EG T H G A B 49 Gambar 15. Rataan jumlah kecambah kopi Arabika varietas Kartika melalui jalur embriogenesis tidak langsung setelah sepuluh bulan dalam media regenerasi. Huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan α= 0.05. Gambar 16. A. Rataan jumlah embrio globular kopi Arabika varietas Kartika melalui jalur embriogenesis langsung setelah 3 bulan dalam media regenerasi. B. Rataan jumlah globular dan torpedo kopi Arabika melalui jalur embriogenesis langsung setelah 6 bulan dalam media regenerasi. Huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan α= 0.05. A B 50 Gambar 17. Rataan jumlah torpedo, kecambah dan planlet kopi Arabika melalui jalur embriogenesis langsung setelah 9 bulan dalam media regenerasi. Huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan α= 0.05. Hasil analisis statistik terhadap rataan jumlah globular, torpedo dan kecambah yang dihasilkan dari embriogenesis somatik tidak langsung berbeda nyata antar pelakuan yang diuji. Jumlah embrio globular, torpedo dan kecambah yang tertinggi berasal dari media perlakuan induksi kalus 2,4-D 9.00 µM + thidiazuron 9.10 µM dan terendah pada 2,4-D 4.52 µM + thidiazuron 4.54 µM Gambar 14 dan 15. Hal ini diduga karena adanya interaksi antara auksin 2,4-D dan sitokinin thidiazuron yang ditambahkan ke dalam media perlakuan. Kebutuhan auksin atau sitokinin untuk inisiasi embriogenesis somatik sangat besar peranannya dalam tahap perkembangan dari jaringan eksplan kopi. Salah satu mekanismenya, auksin dapat mengatur embriogenesis melalui asidifikasi pada sitoplasma dan dinding sel Kutshera 1994. Hasil pengamatan terhadap perkembangan embrio globular, torpedo dan kecambah yang dihasilkan dari jalur embriogenesis somatik langsung terlihat lebih cepat dibandingkan dengan embriogenesis tidak langsung. Akan tetapi jumlah embrio globular, torpedo dan kecambah yang dihasilkan lebih sedikit. Jumlah embrio globular, torpedo dan kecambah pada perlakuan 2,4-D 2.26 µM + thidiazuron 9.08 µM selalu lebih tinggi dibandingkan 2,4-D 2.26 µM + thidiazuron 4.54 µM. Gambar 16 dan 17. Hasil ini mengindikasikan penambahan thidiazuron dapat meningkatkan jumlah embrio globular, torpedo dan kecambah yang diperoleh. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa embriogenesis somatik langsung dan tidak langsung pada kopi Arabika bisa didapatkan dengan meningkatkan atau menurunkan konsentrasi ZPT tumbuh yang digunakan. Penambahan konsentrasi auksin 2,4-D dan sitokinin Thidiazuron dalam media induksi kalus berperan penting dalam mempengaruhi perkembangan embriogenesis somatik kopi Arabika. Jika bandingkan dengan penelitian di BAB sebelumnya dimana induksi kalus menggunakan auksin 2,4-D dan sitokinin BAP, hasil yang didapatkan pada penelitian ini lebih baik, karena dapat meningkatkan persentase jumlah kecambah yang dihasilkan. 51

2. Optimasi 2,4-D dan Thidiazuron pada beberapa genotipe kopi Arabika

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa dari semua varietas yang diuji memperlihatkan bahwa keberhasilan eksplan membentuk kalus kopi Arabika cukup tinggi diatas 80. Bagi tanaman tahunan yang banyak mengandung fenol seperti kopi Arabika, keberhasilan ini merupakan hal yang menjanjikan mengingat embriogenesis tidak langsung sangat tergantung pada jumlah kalus yang dihasilkan. Varietas yang diuji tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap persentase pembentukan kalus, namun memberikan pengaruh yang nyata untuk bobot basah kultur jumlah torpedo dan kecambah yang dihasilkan Tabel 2. Varietas AS2K memberikan respon terbaik jika dibandingkan dengan S 795, Kartika, dan Sigarar Utang. Hasil penelitian memperlihatkan respon varietas terhadap kebutuhan media untuk induksi embriogenesis somatik berbeda. Hal ini sejalan dengan penelitian Molina 2002, Santos-Briones dan Hernández- Sotomayor 2006 dan Samson et al. 2006 yang melaporkan adanya perbedaan respon genotipe pada embrio somatik yang dihasilkan. Peningkatan konsentrasi zat pengatur tumbuh 2,4-D yang dikombinasikan dengan Thidiazuron ternyata dapat meningkatkan persentase terbentuknya kalus dan bobot basah kultur. Dari kesepuluh perlakuan yang diuji terlihat bahwa persentase eksplan tertinggi ada pada konsentrasi 2,4-D 9.04 µM dan thidiazuron 13.02 µM. Bobot basah kultur yang terberat berada pada konsentrasi 2,4-D 9.04 µM dan thidiazuron 22.70 µM Tabel 3. Pemberian 2,4-D terlihat memberikan peran yang signifikan dalam pembentukan kalus. Pemberian thidiazuron walaupun tidak berbeda nyata juga dapat menambah persentase terbentuknya kalus dan bobot basah kultur. Penelitian mengunakan kombinasi 2,4-D dan thidiazuron ini hasilnya lebih baik 5 kali lipat dari penelitian Gatica-Arias et al. 2008, yang menginduksi kalus kopi Arabika mengunakan thidiazuron tanpa 2,4-D. Hasil penelitianya memperlihatkan bahwa penambahan thidiazuron tunggal dari 2.2, 4.8, dan 6.8 µM dari kedua varietas yang diuji, hanya berkisar 0 sampai 15 saja. Bahkan pada konsentrasi 6.8 µM kalus tidak terbentuk. Hal ini menunjukkan bahwa, walaupun thidiazuron merupakan sitokinin yang mempunyai daya aktifitas yang kuat Sakakibara 2004, jika diberikan pada konsentrasi yang tinggi dalam media tanpa penambahan auksin dalam penelitian ini 2,4-D, belum mampu menghasilkan kalus. Tabel 2. Respon empat varietas kopi Arabika dalam membentuk kalus dan bobot basah kalus di media induksi kalus lanjutan pada 3 BSK Varietas Eksplan membentuk kalus embriogenik Bobot Basah Kultur g AS 2K 86.00 0.41 a S 795 85.80 0.37 b Kartika 87.20 0.36 bc Sigarar Utang 87.20 0.33 c Keterangan : Angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5. 52 Tabel 3. Respon perlakuan media induksi kalus dalam membentuk kalus dan bobot basah kalus kopi Arabika di media induksi kalus lanjutan pada 3 BSK Media Induksi Kalus Persentase Bobot basah g 2,4 D µM Thidiazuron µM 4.52 4.54 76.00 e 0.31 c 4.52 9.08 78.50 de 0.34 bc 4.52 13.62 83.00 cd 0.35 bc 4.52 18.16 85.00 bc 0.36 abc 4.52 22.70 88.50 abc 0.37 abc 9.04 4.54 90.50 ab 0.37 abc 9.04 9.08 90.00 ab 0.39 ab 9.04 13.62 92.50 a 0.39 ab 9.04 18.16 91.00 ab 0.40 ab 9.04 22.70 90.50 ab 0.41 a Keterangan : Angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5. Perbedaan konsentrasi 2,4-D dan thidiazuron pada media induksi kalus ternyata memberikan dampak positif terhadap perkembangan embriogenesis somatik yang dihasilkan. Interaksi nyata terlihat pada jumlah torpedo yang dihasilkan. Peningkatan konsentrasi 2,4-D dan thidiazuron ternyata tidak selalu diikuti oleh peningkatan jumlah torpedo yang dihasilkan Tabel 4. Kombinasi 2,4-D dan thidiazuron menghasilkan jumlah torpedo yang bervariasi jika dilihat per masing-masing varietas. Varietas AS2K memberikan respon terbanyak dalam menghasilkan torpedo pada media 2,4-D 4.52 µM + thidiazuron 18.16 µM, varietas S 795 2,4-D 4.52 µM + thidiazuron 22.70 µM, varietas Kartika 2,4-D 9.04 µM + thidiazuron 18.16 µM dan varietas Sigarar Utang 2,4-D 4.52 µM + thidiazuron 18.16 µM. Hasil pengamatan terhadap jumlah kecambah yang dihasilkan juga berbeda pada konsentrasi 2,4-D dan Thidiazuron yang berbeda. Interaksi nyata terlihat pada jumlah kecambah yang dihasilkan. Sejalan dengan jumlah torpedo yang dihasilkan, jumlah kecambah juga berbeda antar perlakuan yang diuji Tabel 4 dan 5. Secara morphologi keragaan berbagai perlakuan media yang menggunakan kombinasi ZPT 2,4-D dan thidiazuron dapat dilihat pada Gambar 18. Perbedaan ini karena morfogenesis eksplan pada kultur jaringan sangat tergantung pada rasio antara auksin dan sitokinin yang diberikan pada media perlakuan. Konsentrasi auksin dan sitokinin yang berbeda dapat mengakibatkan arah pertumbuhan yang berbeda. Pada umumnya kalus akan terbentuk jika terdapat rasio auksin terhadap sitokinin yang lebih tinggi George Sherrington 1984; Tores 1989. Hal ini berbeda dengan penelitian Gatica-Arias et al. 2008 yang memperlihatkan adanya penurunan yang nyata pada persentase pembentukan kalus pada pemberian 2,4-D 4.52 µM dan thidiazuron 6.8 µM. Perbedaan hasil ini diduga selain dari varietas kopi yang digunakan juga jenis eksplan. Gatica-Arias et al. 2008 menggunakan eksplan daun hasil kultur in vitro sementara pada penelitian ini menggunakan daun dari tanaman yang ditumbuhkan di rumah kaca. 53 Gambar 18. Keragaan morfologi jumlah kecambah kopi Arabika dari berbagai perlakuan 2,4-D dan thidiazuron. A. 2,4-D 4.52 µM + Thidiazuron 4.54 µM. B. 2,4-D 4.52 µM + Thidiazuron 9.08 µM. C. 2,4-D 4.52 µM + Thidiazuron 13.62 µM. D. 2,4-D 4.52 µM + Thidiazuron 18.16 µM. E. 2,4-D 4.52 µM + Thidiazuron 22.70 µM. F. 2,4-D 9.04 µM + Thidiazuron 4.54 µM + 2,4-D 9.04 µM + Thidiazuron 9.08 µM. G. 2,4-D 9.04 µM + Thidiazuron 13.62 µM. I. 2,4-D 9.04 µM + Thidiazuron 18.16 µM. J. 2,4-D 9.04 µM + Thidiazuron 22.70 µM. Skala 1 cm Penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian 2,4 D 4.52 µM dan 9.04 µM yang dikombinasikan dengan thidiazuron 4.54-22.70 µM hanya menghasilkan embriogenesis somatik tidak langsung. Perlakuan terbaik dari masing-masing varietas ditentukan selain dari jumlah kalus embriogenik pada tahapan induksi kalus, juga dilihat dari jumlah torpedo dan kecambah yang dihasilkan. Respon terbanyak dalam menghasilkan torpedo dan kecambah pada varietas AS2K pada media 2,4-D 4.52 µM + thidiazuron 18.16 µM, varietas S 795 2,4-D 4.52 µM + thidiazuron 22.70 µM, varietas kartika 2,4-D 9.04 µM + thidiazuron 18.16 µM dan varietas Sigarar Utang 2,4-D 4.52 µM + thidiazuron 18.16 µM Tabel 4 dan 5. Berbeda dengan media menghasilkan torpedo dan kecambah terbanyak, perlu diperhatikan media yang terbaik dalam suatu kombinasi perlakuan. Menentukan media terbaik tidak hanya ditentukan dari jumlah embrio somatik yang dihasilkan, namun melihat peluang dari segi penghematan penggunaan zat pengatur tumbuh yang digunakan. Berdasarkan hal tersebut maka media terbaik untuk varietas S 795 adalah media dengan kombinasi perlakuan 2,4-D 4.52 µM + thidiazuron 9.08 µM karena walaupun hasilnya lebih rendah namun dari uji statistik tidak berbeda nyata 54 dengan perlakuan terbanyaknya. Hal yang sama juga ditemukan pada varietas Kartika dimana perlakuan 2,4-D 4.52 µM + thidiazuron 13.62 µM tidak memberikan hasil yang berbeda nyata dari perlakuan terbanyaknya 2,4-D 9.04 µM + thidiazuron 18.16 µM. Sementara untuk varietas AS2K dan Sigarar Utang media terbaik sama dengan media terbanyaknya. Tabel 4. Respon interaksi empat varietas kopi Arabika dan media induksi kalus dalam menghasilkan jumlah torpedo di media regenerasi pada 8 BSK d Media Induksi Kalus Varietas 2,4 D µM Thidiazuron µM AS2K S 795 Kartika Sigarar Utang 4.52 4.54 56.60 dA 45.10 bA 43.40 dA 48.90 dA 4.52 9.08 53.60 dA 48.30 abA 48.80 cdA 44.80 dA 4.52 13.62 66.10 bcdAB 53.80 abB 87.90 abA 56.60 cdB 4.52 18.16 99.10 aA 58.90 abB 62.40 bcdB 84.00 aA 4.52 22.70 94.20 aA 61.20 aB 63.90 bcdB 78.40 abAB 9.04 4.54 59.00 cdA 44.80 bA 56.10 cdA 47.80 dA 9.04 9.08 71.40 bcdA 46.50 abA 64.00 bcdA 72.40 abcA 9.04 13.62 80.40 abcA 45.70 abB 71.50 bcA 64.70 abcdAB 9.04 18.16 95.10 aA 56.60 abB 99.40 aA 58.30 cdB 9.04 22.70 82.20 abA 59.20 abB 85.20 abA 62.90 bcdB Keterangan : Angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada kolom yang sama dan huruf besar yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5. Tabel 5. Respon interaksi empat varietas kopi Arabika dan media induksi kalus dalam menghasilkan jumlah kecambah di media regenerasi pada 10 BSK Media Induksi Kalus Varietas 2,4 D µM Thidiazuron µM AS2K S 795 Kartika Sigarar Utang 4.52 4.54 40.80 deA 33.10 bA 31.40 dA 38.60 cdA 4.52 9.08 37.60 eA 36.30 abA 36.40 cdA 35.10 dA 4.52 13.62 51.00 cdeAB 41.80 abB 75.90 abA 47.10 cdB 4.52 18.16 84.40 Aa 46.90 abB 50.40 bcdB 80.10 aA 4.52 22.70 78.20 abA 49.20 aB 51.90 bcdB 75.20 abA 9.04 4.54 43.00 cdeA 32.80 bA 44.10 cdA 40.00 cdA 9.04 9.08 55.40 cdeAB 34.50 abB 62.00 bcdAB 76.10 abA 9.04 13.62 64.40 cdeA 33.70 abB 59.50 bcA 61.40 abcA 9.04 18.16 79.10 abA 44.60 abB 87.40 a A 52.40 cdB 9.04 22.70 62.00 bcAB 47.20 abC 73.20 abA 56.90 bcdBC Keterangan : Angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada kolom yang sama dan huruf besar yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5. 55

3. Morfologi Perkembangan Embrio Somatik Kopi Arabika

Embrio somatik kopi Arabika terbentuk dari kalus embriogenik yang dihasilkan pada tahapan induksi kalus Gambar 19 A dan B. Kalus embriogenik yang merupakan populasi sel-sel meristematik membentuk agregat yang disebut sebagai proembryogenic mass PEM atau massa pro embrio. Massa pro embrio memiliki ikatan yang tidak kuat antar selnya sehingga mudah terlepas satu sama lainnya. Pro embrio akan berkembang membentuk embrio fase globular 3 bulan setelah disubkultur pada media regenerasi Gambar 19 C. Ukuran embrio globular kopi Arabika terlihat kecil, hanya sekitar ± 200 µm, sehingga akan mengalami kesulitan jika menghitung jumlah globular tidak menggunakan mikroskop. Embrio globular berkembang membentuk embrio fase oblong. Ukuran diameter fase oblong terlihat tidak berubah banyak dari embrio globular, hanya bagian atas terlihat memanjang sehingga berbentuk bulat telur Gambar 19 D. Gambar 19 E memperlihatkan embrio fase hati dari kopi Arabika. Fase hati terlihat berukuran 400 sampai 500 µm, dengan lekukan dibagian atas terlihat jelas dan merupakan awal dari pembentukan kotiledon. Kotiledon diamati sebagai tonjolan kecil diujung apikal embrio dan pembentukanya mengindikasikan tahap berbentuk hati Yeung 1995. Kotiledone pada tanaman dikotil muncul sebagai dua tonjolan meristematik yang berada pada ujung apikal embrio. Tonjolan ini disebabkan adanya perluasan ujung apikal embrio kearah lateral. Kedua tonjolan ini nantinya akan menyebabkan embrio terbelah secara bilateral simetris Nugroho et al. 2008. Sebelum menjadi torpedo pada Gambar 19 F terlihat proses pemanjangan embrio yang dikenal sebagai embrio memanjang elongated embryo Quiroz- Figueroa 2002. Pada fase ini ukuran diameter embrio ± 500 dengan tinggi ± 100 µm. Fase torpedo kopi Arabika terlihat nyata setelah diameter ukuran mencapai ± 600 µm dengan tinggi ± 2000 µm Gambar 19 G. Tahapan awal fase kotiledonari terlihat dengan mulai membukanya bagian atas embrio yang merupakan bakal daun kotiledon Gambar 19 H. Bagian apeks yang terdapat pada kedua kotiledone akan menyusun meristem apikal Nugroho et al 2008. Ukuran fase kotiledonari mulai terlihat ketika diameter embrio ± 600 µm dengan tinggi 2000- 3000 µm. Bakal akar embrio radikula dibagian bawah dan daun embrio dibagian atas mulai terlihat. Embrio fase kotiledonari dipindahkan dari ruang gelap ke ruang terang selama 16 jam dengan intensitas penyinaran 1000-1500 luks pada suhu 25 o C dengan kelembaban relatif ± 60. Kecambah kopi Arabika ditandai dengan terbukanya daun kotiledon dan terbentuknya akar. Kecambah berkembang menjadi planlet kopi, daun berwarna hijau terlihat sempurna dan akar yang tunggang yang nyata Gambar 19 I. Pengamatan secara morfologi terhadap perkembangan embrio somatik kopi Arabika pada penelitian ini telihat normal. Fase pro embrio, embrio globular, oblong, hati, embrio memanjang elongated embryo, torpedo, kotiledonari, kecambah sampai planlet terlihat mengikuti pola embriogenesis somatik tanaman dikotil seperti yang dikemukakan oleh Zimmerman 1993. Fase perkembangan morfologi ini diharapkan dapat melengkapi dokumentasi publikasi penelitian sebelumnya, yang belum mendapatkan tahapan embriogenesis somatik kopi Arabika secara lengkap.