BAB II SEJARAH DAN PERKEMBANGAN LEMBAGA BANTUAN HUKUM
LBH DALAM MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM
A. Sejarah Lembaga Bantuan Hukum
Munculnya Lembaga-lembaga Bantuan Hukum di negara-negara berkembang pada dekade terakhir sedikit banyaknya memberi gambaran
mengenai pembangunan yang dilaksanakan oleh negara-negara tersebut. Gambaran yang segera nampak bahwa hukum dalam batas tertentu belum
memihak kepada kepentingan rakyat dan situasi ini telah berkembang sedemikian rupa, sehingga rakyat tidak mampu menjadi subjek hukum yang mempunyai hak
dan kewajiban. Karena streotip hukum yang demikian di mana hukum belum memihak kepentingan rakyat, maka selalu ada konflik antara pembuat hukum di
satu pihak dengan lapisan masyarakat yang menjadi korban pelaksanaan hukum di lain pihak. Ketegangan antara pembuat hukum dan lapisan masyarakat yang
menjadi korban pelaksanaan hukum itu telah melahirkan kelompok-kelompok atau Lembaga-lembaga Bantuan Hukum.
35
Karena Indonesia termasuk salah satu dari negara berkembang yang kondisinya kurang lebih sama dengan negara-negara berkembang lainnya di Asia,
maka munculnya Lembaga-lembaga Bantuan Hukum di Indonesia tidak dapat terlepas dari sejarah bantuan hukum di Indonesia. Seperti diketahui, di Indonesia
selain memberlakukan hukum adat dari masing-masing daerah yang oleh Van Vollen Hoven dibagi ke dalam 19 lingkungan hukum adat, juga memberlakukan
35
Paul S. Baut, ed, Bantuan Hukum di Negara Berkembang, Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1980, Hal. VII.
Universitas Sumatera Utara
hukum import, yaitu hukum penjajahan Belanda atas negeri jajahannya. Dalam hukum adat tidak di kenal apa yang disebut “Lembaga Bantuan Hukum”. Hal itu
dapat dimengerti karena dalam hukum adat tidak dikenal lembaga peradilan seperti dalam hukum modern. Penyelesaian perkara dalam hukum adat
kebanyakan diselesaikan lewat pemimpin-pemimpin informal yang mempunyai kharisma khusus.
36
Indonesia baru mulai mengenal “bantuan hukum” sebagai pranata hukum tatkala Indonesia mulai memberlakukan hukum barat yang
bermula pada tahun 1848 ketika di negeri Belanda terdapat perubahan besar dalam sejarah hukumnya. Berdasarkan asas konkordansi, maka dengan Firman Raja,
tanggal 16 Mei 1848 Nomor 1 perundangan baru di negeri Belanda juga diberlakukan untuk Indonesia, antara lain peraturan tentang Susunan Kehakiman
dan Kebijaksanaan Peradilan Reglement op de rechterlijke Organisatie et het beleid der justitie yang lazim dikenal dengan singkatan R.O Stb, 1847-23 jo
1848-58.
37
a Golongan Eropah
Pranata Advokat dapat diperkirakan baru dimulai pada tahun-tahun sekitar itu. Dan pada sekitar tahun 1923, kantor Advokat pertama di buka di Tegal
dan Semarang. Tetapi patut pula diketahui bahwa politik hukum jaman pemerintahan
Hindia Belanda sebelum perang dunia II, dimana Indonesia diberlakukan IS Indische Straatsregeling terutama dalam pasal 163 ayat 1, membedakan
penduduk Indonesia atas 3 golongan, yaitu :
36
Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis Hukum Bandung: Sinar Baru, 1983, hal. 40.
37
Abdurrahman, Op. cit., hal. 30.
Universitas Sumatera Utara
Yang termasuk golongan Eropah adalah orang Belanda, dan semua orang bukan Belanda, yang asalnya dari Eropah, orang-orang Jepang, orang-orang
yang tidak berasal dari Belanda tetapi dinegaranya menganut hukum kekeluargaan yang sifat dan coraknya sama dengan Nederland.
b Golongan Bumi Putera
Yang termasuk golongan Bumi Putera adalah semua orang Indonesia asli dari Indonesia.
c Golongan Timur Asing
Yang termasuk golongan Timur Asing adalah semua orang yang bukan orang Eropah danatau bukan orang Bumi Putera Tionghoa, Arab, India, Pakistan
dan sebagainya. Pembedaan golongan penduduk seperti yang diatur dalam pasal 163 ayat
1 IS tersebut membawa konsekuensi di bidang hukum, sebab masing-masing golongan ternyata mempunyai hukumnya sendiri. Karena hukum acara yang
dipakai adalah HIR, maka kesulitan-kesulitan yang muncul adalah banyaknya ketentuan-ketentuan hukum yang menjamin bantuan hukum tidak ikut diwarisi
dalam ketentuan HIR lihat pasal 250 HIR yang justru sangat miskin menjamin ketentuan-ketentuan mengenai bantuan hukum.
Tentu saja ini dirasa tidak adil oleh golongan Bumi Putera. Kesulitan- kesulitan lain yang muncul adalah masih langkanya Advokat atau dengan kata lain
jumlah Advokat yang praktek relatif sedikit, sehingga akhirnya yang lebih banyak
Universitas Sumatera Utara
berperan adalah para Pokrol.
38
Pemilihan tata cara peradilan yang seperti ini membawa konsekuensi terhadap hukum acara yang dipakai. Peradilan Raad van Justitie menggunakan
Rechtsvordering sebagai hukum acara yang banyak mengatur ketentuan-ketentuan hukum yang menjamin bantuan hukum, sedangkan Peradilan Landraad yang
Pada tahun 1927 Pokrol-pokrol membuat organisasi bernama Persatuan Pengacara Indonesia PERPI. Yang menggembirakan adalah meskipun jumlah
Advokat orang Indonesia relatif sedikit, namun sebagian besar mereka adalah orang-orang pergerakan. Dilihat dari sudut ini tentu saja sangat menguntungkan
karena kualitas pembelaan mereka. Pada saat inilah dapat dikatakan awal lahirnya bantuan hukum bagi golongan yang tidak mampu. Hal ini mudah dipahami oleh
karena pada waktu itu bangsa Indonesia tidak mampu membayar Advokat- Advokat Belanda yang mahal. Pada jaman Jepang tidak ada perubahan yang
berarti, meskipun peraturan tentang bantuan hukum peninggalan penjajah Belanda masih tetap diberlakukan. Perhatian terhadap bantuan hukum boleh dikatakan
kurang sekali. Memang hal ini dapat dipahami, karena seluruh perhatian masih tercurah pada masalah bagaimana mempertahankan kemerdekaan secara fisik dan
politis. Walaupun pluralisme dalam bidang peradilan sudah dihapuskan hanya ada satu sistem peradilan untuk seluruh penduduk dan satu hukum acara bagi
seluruh penduduk. Dalam tata cara peradilan yang diambil bukanlah yang berdasarkan pada Raad van Justitie yang sarat dengan pengaturan bantuan hukum
tetapi justru yang diambil adalah tata cara peradilan berdasarkan Landraad.
38
Frans J. Rengka, TesisPeranan Lembaga Bantuan Hukum Dalam Proses Peradilan Pidana Sebuah Studi Kasus Di LBH Jakarta, Jakarta: Fakultas PascaSarjana Universitas
Indonesia, 1992, hal. 27.
Universitas Sumatera Utara
menggunakan hukum acara HIR justru sangat miskin ketentuan-ketentuan tentang bantuan hukum. Pada era Orde Lama kualitas bantuan hukum dapat dikatakan
lebih jelek dibanding dengan jaman penjajahan, akan tetapi dari segi politik terdapat suatu kemajuan besar. Hal ini karena pada waktu itu dukungan politis
dalam perkembangan dan pertumbuhan bantuan hukum sangat dirasakan. Hanya saja pada masa ini lembaga peradilan tak bisa mandiri lagi karena sudah
dipengaruhi oleh badan eksekutif. Akibatnya adalah keadilan dikorbankan. Sebagai puncaknya, lahirlah Undang-undang No. 19 Tahun 1964 yang
mencerminkan campur tangan pihak eksekutif dalam bidang peradilan. Prof. Satjipto Rahardjo memberi ilustrasi dengan membuat perbandingan antara
Undang-undang No. 19 Tahun 1964 dengan Undang-undang No. 14 Tahun 1970 – sebuah Undang-undang yang menjamin kemandirian pengadilan dalam
menjalankan tugasnya. Ada dua aspek yang ingin dibandingkan antara kedua Undang-undang tersebut. Pertama, dilihat dari fungsinya, Undang-undang No. 19
tahun 1964 berfungsi sebagai pengayom dan alat revolusi, sedangkan Undang- undang No. 14 Tahun 1970 berfungsi menegakan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila. Kedua, dilihat dari tujuan, Undang-undang No. 19 tahun 1964 bertujuan masyarakat sosialis Indonesia, sedangkan tujuan dari Undang-
undang No. 14 tahun 1970 adalah untuk terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia.
39
Pada masa ini boleh dikatakan boleh dikatakan bahwa kekuasaan berada di atas hukum, dan bukan sebaliknya. Dan pada saat ini pula banyak Advokat
39
Satjipto Rahardjo, Op. cit., hal. 77.
Universitas Sumatera Utara
meninggalkan profesinya, karena para pencari keadilan lebih suka meminta pertolongan kepada jaksa atau hakim untuk menyelesaikan perkaranya.
40
Setelah gagalnya peristiwa kudeta PKI, yang disusul dengan jatuhnya rezim Soekarno, maka lahirlah era Orde Baru ORBA yang ingin membuat citra
baru dengan membangun kembali kehidupan hukum dan ekonomi yang sudah berantakan. Disamping program rehabilitasi ekonomi, juga ditumbuhkan
kebebasan berbicara, kebebasan pers, dan kebebasan mimbar pada universitas. Meskipun begitu periode ini juga harus dicatat sebagai suatu langkah yang cukup
menentukan, karena dengan diundangkannya Undang-undang Pokok kekuasaan kehakiman Undang-undang No. 19 tahun 1964, maka untuk pertama kalinya
diatur secara jelas tentang hak seseorang untuk mendapatkan bantuan hukum. Dan pada periode yang sama Persatuan Advokat Indonesia PERADIN diresmikan di
Solo pada tanggal 30 agustus 1964.
41
40
Adnan Buyung Nasution, Op. cit., hal 23.
41
Mochtar Buchori, Kebebasan Akademik Dalam Konteks Pengembangan IPTEK Dan Ilmu Pendidikan, Jakarta: Basis, 1989, hal. 425.
Pada tingkat universitas mulai ada kesadaran untuk memberi bantuan hukum kepada orang-orang yang tidak mampu yang terlibat dalam kasus-kasus pidana.
Dapat kita lihat disini sebagai pionir adalah Fakultas Hukum UNPAD, Bandung dengan mendirikan “Biro Bantuan Hukum Mahasiswa”. Hal yang sama juga
diikuti oleh Fakutas Hukum UGM dan Fakultas Hukum Airlangga Surabaya. Kerja sama ini dilaksanakan antara Hakim Pengadilan Negeri setempat dan
mahasiswa hukum tahun kelima. Atas dasar kerja sama ini maka mahasiswa tersebut diizinkan untuk mewakili klien yang tidak mampu untuk beracara di
pengadilan dengan pengawasan oleh dosen yunior dari fakultas hukum masing-
Universitas Sumatera Utara
masing universitas. Bahkan kasus-kasus bantuan hukum ini dapat dijadikan “studi kasus” bagi penulisan skripsi para mahasiswa yang berpraktek di pengadilan tadi.
Tahun 1970 merupakan sebagai tahun yang penting dalam sejarah peradilan di Indonesia, karena pada tahun itu diundangkan Undang-undang
tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman yang baru yaitu Undang-undang No. 14 tahun 1970. Dengan adanya Undang-undang yang baru ini dijamin kembali
kebebasan peradilan dan segala campur tangan ke dalam urusan pengadilan oleh pihak-pihak luar, diluar kekuasaan kehakiman dilarang. Bahkan di bidang bantuan
hukum, dalam Undang-undang ini terdapat bab khusus mengenai bantuan hukum lihat bab VII pasal 35-38. Dengan dikeluarkan Undang-Undang No. 14 tahun
1970 merupakan momentum baru dalam sejarah peradilan, karena pada saat itu bantuan hukum sudah dapat diberikan sejak tersangka ditangkap danatau ditahan.
Karenanya Todung mulya Lubis menganggap Undang-undang ini sebagai “milestone” sejarah bantuan hukum dalam pemerintahan orde baru.
42
Pada tahun yang sama juga didirikanlah Lembaga Bantuan Hukum di Jakarta sebagai pilot proyek dari PERADIN dan dibentuk berdasarkan Surat
Keputusan Pimpinan Peradin tanggal 26 oktober 1970 No. 001kepdpp101970. lembaga ini diakui secara resmi oleh Gubernur Jakarta yang sekaligus
memberikan subsidi setiap bulan Rp. 300.000,- tiga ratus ribu rupiah. Dan yang dipilih sebagai direktur pertama adalah Adnan Buyung Nasution dengan
meletakkan tiga tujuan pokok konsep pembentukan Lembaga Bantuan Hukum yaitu, pertama memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada masyarakat
42
T. Mulya lubis, Bantuan Hukum Dan Kemiskinan Struktural, Jakarta: LP3ES, 1986, hal. 5.
Universitas Sumatera Utara
miskin dan buta hukum, kedua, mengembangkan kesadaran hukum masyarakat khususnya kesadaran akan hak-hak sebagai subjek hukum, dan yang ketiga adalah
mengembangkan hukum dan prakteknya menurut kebutuhan zaman modern. Selanjutnya pada tahun 1976 diadakan kongres Nasional V Persatuan Advokat
Indonesia PERADIN di Hotel Ambarukmo, Yogyakarta yang mencetuskan gagasan bahwa PERADIN merupakan organisasi perjuangan untuk menegakkan
hukum dan keadilan serta menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia. Dengan semangat tinggi serta didorong oleh keinginan luhur memperjuangkan kebenaran,
keadilan dan dukungan sejumlah Advokat dan Pengacara yang ingin menyumbangkan tenaga, maka pada tanggal 28 Januari 1978 diresmikanlah LBH
Medan di bawah pimpinan Mahjoedanil, SH. Pelantikannya sendiri dihadiri oleh Pengurus DPP PERADIN, Abdurrahman Saleh, SH, dan Direktur LBH Jakarta,
Adnan Buyung Nasution, SH. Pimpinan LBH Medan sejak berdiri hingga sekarang, adalah :
1. 1978 – 1982
: Mahjoedanil, SH 2.
1982 – 1988 : HM. Kamaluddin Lubis, SH
3. 1988 – 1990
: Hasanuddin, SH 4.
1990 – 1991 : Alamsyah Hamdani, SH
5. 1991 – 1994
: Alamsyah Hamdani, SH 6.
1994 – 1997 : Alamsyah Hamdani, SH
Universitas Sumatera Utara
7. 1997 – 2000
: Kusbianto, SH 8.
2000 – 2003 : Irham Buana Nasution, SH
9. 2003 – 2006
: Irham Buana Nasution, SH 10.
2006 – 2009 : Ikwaluddin Simatupang, SH., M.Hum
11. 2009 – 2012
: Nuriyono, SH Dari uraian diatas, tergambar sangat jelas bahwa lahirnya Lembaga
Bantuan Hukum di Indonesia bukan berasal dari inisiatif negara melainkan berasal dari kesadaran kolektif atas sesuatu yang timpang di masyarakat. Namun
demikian pemerintah juga turut mendukung lahirnya Lembaga-lembaga Bantuan Hukum di Indonesia yang jumlahnya sekarang sudah mencapai puluhan bahkan
ratusan. Tentu saja hal ini sangat menggembirakan karena hal itu berarti ada perkembangan yang meningkat dalam bantuan hukum di negara kita.
B. Perkembangan Lembaga Bantuan Hukum