khusus itu diakibatkan adanya suatu hubungan “fiduciary” antara Lembaga Bantuan Hukum sebagai Advokat dengan kliennya. Hubungan tersebut, ada suatu
kepercayaan yang penuh yang diberikan oleh klien kepada Lembaga Bantuan Hukum sebagai Advokat. Kepercayaan yang diberikan oleh klien kepada
Lembaga Bantuan Hukum sebagai Advokat sangatlah besar bahkan mungkin merupakan pertaruhan hidupya. Ia dapat saja mengorbankan materi apapun yang
dimilikinya demi mempertahankan kebenaran yang diyakininya. Secara terbuka klien menceritakan rahasia-rahasia hidupnya kepada Lembaga Bantuan Hukum
sebagai Advokat, yang ia pandang dapat menariknya dari tempat kesukaran, sehingga Lembaga Bantuan Hukum sebagai Advokat mempunyai tanggung jawab
moral dan hukum yang tinggi terhadap kliennya, kemampuan, itikad baik, loyalitas, dan kejujuran terhadap kliennya, dengan derajat yang tinggi dan tidak
terbagi.
2. Kewenangan Lembaga Bantuan Hukum Dalam Proses Peradilan Pidana
Sebelum diberlakukannya Undang-undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, profesi Advokat merupakan profesi yang dianaktirikan oleh pemerintah,
yang ditandai dengan tidak adanya aturan yang mengatur tentang Advokat, dan profesi Advokat ini juga lebih banyak berkonotasi pada pemberian jasa hukum di
dalam proses peradilan litigasi dan kebutuhan jasa hukum di luar proses peradilan non litigasi, seperti pemberian jasa konsultasi hukum, negoisasi
maupun pembuatan kontrak-kontrak dagang, lebih banyak dilakukan oleh mereka
Universitas Sumatera Utara
yang menamakan dirinya sebagai konsultan hukum. Setelah lahirnya Undang- undang Advokat maka secara yuridis formal status dan kedudukan Advokat
adalah setara dengan penegak hukum lainnya atau termasuk kepada salah satu pilar penegak hukum dari catur wangsa di Indonesia.
Undang-undang Advokat ini tidak lagi membedakan antara litigasi dan non litigasi, atau antara Advokat dengan Pengacara praktek yang dapat dilihat dari
pasal 32 ayat 1 yaitu: Advokat, Penasehat Hukum, Pengacara Praktek, dan Konsultan Hukum yang telah diangkat pada saat Undang-undang ini mulai
berlaku, dinyatakan sebagai Advokat sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini. Dengan demikian Undang-undang Advokat ini telah bersifat unifikasi baik
istilah maupun wilayah beroperasinya seorang Advokat, sesuai dengan pasal 5 ayat 2 yaitu: wilayah kerja Advokat meliputi seluruh wilayah negara Republik
Indonesia. Selanjutnya tentang status Advokat sebagai penegak hukum sesuai dengan pasal 5 ayat 1 yaitu : Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas
dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perUndang-undangan. Yang artinya Advokat sebagai salah satu penegak hukum dalam proses peradilan yang
mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam penegakan hukum dan keadilan.
Status Advokat sebagai penegak hukum ternyata tidak diikuti dengan kekuasaan dan kewenangan dan tidak ada pula pengaturan tentang bagaimana
menjalankan statusnya tersebut.
51
51
Di lain pihak status penegak hukum yang disandang oleh tiga unsur penegak hukum lainnya seperti Polisi, Jaksa dan Hakim
http:jurnal.pdii.lipi.go.idadminjurnal150792103.pdf. diakses pada tanggal 21 Maret 2011
Universitas Sumatera Utara
jelas diatur dalam Undang-undang. Perlu disadari bahwa tugas seorang Advokat tidak hanya sebatas untuk kepentingan kliennya semata, akan tetapi lebih dari itu
juga untuk menegakkan hukum guna tercapainya keadilan, sehingga status Advokat sebagai penegak hukum yang setara dengan Polisi, Jaksa dan Hakim
hanya sebatas pernyataan belaka dalam Undang-undang dan pada kenyataannya tidaklah demikian akibat keberadaan Advokat dalam memperjuangkan keadilan
hanya dipandang sebelah mata. Hal ini memberi indikasi bahwa rumusan pasal dalam Undang-undang Advokat lebih mengedepankan norma status bukan norma
fungsional. Apabila materi Undang-undang Advokat ditekankan pada norma fungsional, tanpa harus mempersoalkan atau dipersoalkan statusnya, para Advokat
lebih leluasa memberikan jasa hukum di dalam maupun di luar pengadilan. Norma fungsional adalah norma yang mengharuskan adanya fungsi perwakilan
kepentingan warga negara dalam sistem hukum dan proses peradilan dan lazimnya dijabarkan sebagai turunan dari jasa hukum yang diberikan oleh
Advokat. Beranjak dari permasalahan ini, maka Lembaga Bantuan Hukum sebagai
Advokat juga tentunya tidak memiliki kewenangan secara tertulis dalam peradilan pidana. Karena tidak ada Undang-undang yang mengatur kewenangan Advokat
dalam peradilan walaupun Advokat merupakan salah satu penegak hukum yang seharusnya juga memiliki kewenangan. Namun apabila kita melihat secara
lembaga maka kewenangan Lembaga Bantuan Hukum hanya mencakup menerima atau menolak klien yang tidak memenuhi kriteria untuk diberikan
Universitas Sumatera Utara
bantuan hukum.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV FUNGSI DAN PERANAN LEMBAGA BANTUAN HUKUM LBH
DALAM PROSES PERADILAN PIDANA
A. Hak Lembaga Bantuan Hukum LBH Dalam Proses Peradilan Pidana