Kota Agropolitan PENGEMBANGAN KAWASAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN PADA KOTA TERPADU MANDIRI (KTM) MAHALONA KABUPATEN LUWU TIMUR - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

xlv meliputi : 1 Pusat kegiatan agribisnis mencakup pengolahan hasil pertanian menjadi barang produksi dan atau barang konsumsi; pusat pelayanan agroindustri khusus special agroindustry services, dan pemuliaan tanaman unggul; pusat pendidikan dan pelatihan di sektor pertanian, industri, dan jasa; 2 Pusat perdagangan wilayah yang ditandai dengan adanya lembaga keuangan pasar, pasar grosir dan pergudang.

2.2.2. Kriteria Pembentukan KTM

Pembentukan Kota Terpadu Mandiri KTM didasarkan pada beberapa pertimbangan, antara lain : ƒ Masuk dalam kawasan budidaya non kehutanan APL dan HPK dan tidak bertentangan dengan RTRWPRTRWK. ƒ Luas seluruh wilayah KTM minimal 18.000 Ha, yang diprediksikan berdaya tampung ±9.000 KK terdiri dari transmigran dan penduduk sekitar. ƒ Memiliki potensial untuk mengembangkan komoditi unggulan yang memenuhi skala ekonomis. ƒ Mempunyai kemudahan hubungan dengan pusat pertumbuhan yang sudah ada. ƒ Kawasan yang diusulkan bebas dari peruntukan pihak lain, tidak mengandung masalah sosial, merupakan aspirasi masyarakat setempat dan atau badan usaha. ƒ Usulan pembangunan KTM merupakan kesepakatan bersama antara pemerintah kabupaten dan DPRD

2.3. Kota Agropolitan

Konsep agropolitan adalah kebijakan pemerintah pusat yang merupakan pendekatan terpadu dari beberapa departemen bidang ekonomi untuk pembangunan di perdesaan khususnya pertanian dengan melengkapi infrastruktur, memperluas akses terhadap kredit usaha untuk meningkatkan nilai tambah sektor pertanian. Kebijakan ini dirancang dan dilaksanakan dengan mensinergikan berbagai potensi yang ada untuk mendorong berkembangnya sistem dan usaha agrobisnis yang berdaya saing, berbasis kerakyatan, berkelanjutan, dan terdesentralisasi Deptan dalam Yunelimeta, 2008 xlvi Kota agropolitan memandang bahwa pembangunan wilayah ditujukan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi yang mendorong aktifitas perdesaan dan desa-desa hinterland melalui pengembangan ekonomi yang tidak terbatas sebagai pusat pelayanan sektor pertanian, tetapi juga pembangunan sektor secara luas usaha pertanian, industri kecil, pariwisata dan jasa pelayanan. Dalam hal ini dukungan infrastruktur sangat diperlukan untuk mendorong terjadinya peningkatan produktifitas bagi faktor-faktor produksi pertanian. Tujuan utama kebijakan ini adalah untuk memenuhi pelayanan terhadap masyarakat di perdesaan. Menurut Friedmann dalam Yunelimeta 2008:19 mengatakan bahwa tujuan konsep pengembangan kota agropolitan adalah menciptakan kota di desa agar masyarakat tidak perlu lagi ke kota untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Penghasil Bahan, Pengumpul bahan, Sentra Produksi Kota Kecil Kota Besar Kota Sedang GAMBAR 2.1 INTERAKSI WILAYAH KAWASAN AGROPOLITAN Batas Wilayah Sumber : Yunelimeta, 2008 xlvii Pada prinsipnya, strategi pengembangan agropolitan adalah mendorong kegiatan sektor pertanian dalam wilayah perdesaan ataupun kota kecil dengan dilengkapi fasilitas umum perkotaan. Konsep pengembangan ruang kota yang berbasis agropolitan pada dasarnya untuk memenuhi layanan fungsi perkotaan di wilayah perdesaan dengan sektor unggulan agrobisnis dan agroindustri. Mc. Douglas dan Friedmann, dalam Bisilvon 1974 bahwa kota agropolitan pada dasarnya adalah kawasan perdesaan dengan fungsi ruang perkotaan yang memiliki jumlah penduduk efektif antara 50.000 hingga 150.000 jiwa. Sebagai kota agropolitan, maka strategi pengembangan yang dilakukan adalah menyusun sistem perekonomian yang terpadu dan mandiri sektor pertanian. Kewenangan dalam pengambilan keputusan menyangkut kebijakan pembangunan suatu daerah menjadi faktor penting dalam pengembangan kota agropolitan. Intervensi pemerintah pusat dalam hal dukungan material, keuangan dan sumber daya teknis mutlak diperlukan untuk mendukung pemanfaatan sumber daya alam.

2.4. Perumahan, permukiman dan Perkotaan