Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Menurut ilmu seksiologi, nafsu syahwat adalah kekuatan naluri yang terkuat diantara naluri-naluri lainnya. 1 Nafsu syahwat ini memberikan nikmat yang tertinggi dan dia dimiliki oleh setiap manusia, terlepas dari kedudukan sosialnya. Naluri seks ini tidak hanya dimiliki oleh kaum pria tapi juga oleh kaum wanita. Nafsu syahwat atau seksualitas biasanya hanya dibatasi sebagai medium ekspresi hubungan antara manusia yang sangat pribadi sifatnya. Ia lebih dikenal hanya sebagai persoalan biologis ataupun dorongan psikologis semata yang bersifat alamiah. Islam berpandangan positif terhadap seksualitas, tidak hanya menganggapnya sebagai suatu tuntutan biologis melainkan juga sebagai suatu perbuatan yang mulia. Al-Qur’an melukiskannya sebagai salah satu kesenangan dan kenikmatan istimta’ dari Tuhan. Hubungan dalam Islam bersifat holistik yakni disamping untuk memenuhi kebutuhan biologis dan melengkapi hubungan sosial antara satu dengan yang lainnya, juga bersifat Ibadah. 2 1 Ali Akbar, Seksualitas ditinjau dari Hukum Islam. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982, cet. Ke- 1, h. 13. 2 Elga Sarapung, Masruchah,et. al., Agama dan Kesehatan Reproduksi segi kesehatan reproduksi, kebudayaan dan masyarakat, Jakarta: Pustaka Sanar Harapan, 1999, h. 109. 1 Sejak lahir manusia telah dilengkapi Allah swt. dengan kecenderungan seks libido seksual, oleh sebab itu untuk menghindari terjadinya perbuatan keji pada diri manusia maka Allah telah menyediakan wadah yang sudah sesuai dengan ajaran Islam demi terselenggaranya penyaluran tersebut sesuai dengan derajat manusia yakni melalui perkawinan. Tanpa ikatan perkawinan pasti akan menimbulkan akibat negatif seperti penyimpangan seksual. Akan tetapi perkawinan bukanlah semata-mata untuk menunaikan hasrat biologis saja atau dengan kata lain untuk sekedar memenuhi kebutuhan reproduksi saja. Melainkan perkawinan dalam Islam mempunyai multi aspek yang menyiratkan banyak hikmah didalamnya, salah satunya adalah untuk melahirkan ketentraman dan kebahagiaan hidup yang penuh dengan mawadah warahmah. Dalam Istilah fiqh kata ”Nikah” diartikan sebagai 1 perjanjian antara laki- laki dan perempuan untuk bersuami istri dengan resmi; 2 perkawinan. Al-Qur’an menggunakan kata ini untuk makna tersebut disamping secara majazi diartikannya dengan ”Hubungan seks”. Kata ini dalam berbagai bentuknya ditemukan sebanyak 23 kali. Secara bahasa pada mulanya kata nikah digunakan dalam arti ”berhimpun”. 3 Tujuan perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan adalah membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Adapun pemenuhan kewajiban suami terhadap istri ini mulai berlaku sejak terjadinya transaksi akad nikah. Seorang laki- 3 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Hukum-hukum Fiqh Islam: Tinjauan Antar Mazhab , Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 2001, h. 123 laki yang menjadi suami memperoleh hak sebagai suami dalam keluarga. Begitu pula seorang perempuan yang menjadi istri memperoleh hak sebagai istri dalam keluarga. Di samping keduanya mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus diperhatikan satu sama lain. Suami istri harus memahami hak dan kewajiban sebagai upaya membangun sebuah keluarga. Kewajiban tersebut harus dimaknai secara timbal-balik, yang berarti bahwa yang menjadi kewajiban suami merupakan hak istri dan yang menjadi kewajiban istri adalah menjadi hak suami. Suami istri harus bertanggung jawab untuk saling memenuhi kebutuhan pasangannnya untuk membangun keluarga yang harmonis dan tentram. 4 Demi keberhasilan dalam mewujudkan membangun sebuah keluarga yang harmonis dan tentram sangat diperlukan adanya kebersamaan dan sikap berbagi tanggung jawab antara suami dan istri. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menjelaskan bahwa suami berkewajiban memberi segala keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Kemudian ketentuan tersebut dipertegas oleh Pasal 80 ayat 4 Kompilasi Hukum Islam Inpres Nomor 1 Tahun 1991 yang menyebutkan, ”sesuai dengan penghasilan suaminya menanggung: a nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri dan anak; c biaya pendidikan bagi anak.” Sedangkan perceraian adalah jalan akhir yang ditempuh antara suami dan istri, karena dalam berumah tangga sudah tidak ada keharmonisan lagi. Walaupun demikian sebelum mengambil keputusan antara suami istri sebelumnya harus memikirkan dampak yang akan terjadi 4 Firdaweri, Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan Karena Ketidakmampuan Suami Menunaikan Kewajiban , Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1989, cet. Ke-1, hal.12-13 dalam perceraian. Demikian terkadang terjadi anomali-anomali dari apa yang ada das sain dengan apa yang semestinya das sollen itu berlaku, akan tetapi dalam realitasnya tidak sama. Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan jo Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menyebutkan 6 enam alasan yang dapat dijadikan sebagai alasan perceraian, sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 116 menyebutkan 8 delapan alasan. Fenomena yang terjadi di Pengadilan Agama pernah ada perkara perceraian cerai gugat yang dikarenakan homoseksual yang dilakukan oleh suami, yaitu putusan perkara no.1564Pdt.G2008PA.JT. Apabila dihubungkan dengan ketentuan Undang- undang Perkawinan, perkara tersebut dapat menimbulkan persoalan hukum yang baru, karena homoseksual sebagai alasan perceraian tidak diatur dalam ketentuan hukum tersebut. Penyusun memilih mengadakan penelitian di Pengadilan Agama Jakarta Timur disamping karena Pengadilan Agama ini pernah terjadi kasus tersebut dan karena adanya data yang diperlukan oleh penyusun untuk melakukan penelitian.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1.