BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Masalah
Sepuluh tahun terakhir ini seluruh masyarakat dunia diguncang oleh peristiwa-peristiwa terorisme yang menyebabkan peperangan di kawasan Timur
Tengah yaitu Afgahnistan, Irak dan beberapa negara Islam lainnya. Hal tersebut merupakan aksi balas membalas yang dilakukan oleh negara-negara yang menjadi
sasaran terorisme terhadap negara-negara yang dituding sebagai pelaku terorisme dengan melakukan aksi teror yang serupa. Dari data yang diperoleh mengenai
kasus terorisme dalam kurun waktu 10 tahun terakhir diantaranya pengeboman di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Tanzania dan Kenya pada 1998 yang
menyebabkan tewasnya 263 warga sipil dan melukai lebih dari 5.500 orang, pengeboman terhadap kapal perang USS Cole yang menewaskan 17 Angkatan
Laut AS dan melukai 40 orang lainnya dipelabuhan Aden, peristiwa penyerangan terhadap menara kembar World Trade Center di New York dan Pentagon pada 11
September 2001 yang membunuh 3.000 orang AS, penyerangan di Hotel Taj Mahal dan Oberoi yang menewaskan 125 orang tewas dan 287 orang lainnya
luka-luka Hendropriyono, 2009:193-194.
Aksi terorisme serupa juga terjadi di Indonesia seperti peristiwa Bom Bali I dan II, pengeboman di Kedubes Australia, Pengeboman di Kedubes Philipina,
Bom Natal, dan beberapa pengeboman lainnya dibeberapa tempat umum, serta yang terakhir di hotel JW Mariott dan Ritz Carlton yang terletak di kawasan elit
Universitas Sumatera Utara
Mega Kuningan. Namun, aksi terorisme di Amerika Serikat pada 11 September 2001 yang telah meluluh lantahkan menara kembar World Trade center dan
Pentagon tersebut menjadi puncak kemarahan negara Amerika Serikat yang akhirnya menyebabkan perang dengan negara-negara Islam di kawasan Timur
Tengah.
Dari sejumlah aksi terorisme yang terjadi di Indonesia ini dikoordinir oleh para alumni yang ikut berperang di Afghanisthan. Ideologi yang dibawa oleh para
teroris adalah penolakan terhadap modernitas dan sekularisme. Doktrin terorisme tersebut kemudian mulai bersinggungan dengan doktrin perang jihad dari aliran
keras, dengan teologi mati syahid yang dijanjikan surga. Klaim para teroris dengan teologi tersebut membuat bias terhadap Islam itu sendiri dengan ideologi
atau pun doktrin yang dianut oleh para teroris. Bias yang berkembang ditengah masyarakat ini menjadi sebuah permasalahan yang menciptakan stigma terorisme
terhadap Islam harus dikembalikan letak pemahamannya.
Dampak yang diakibatkan dari bias tersebut adalah persepsi atau penilaian yang dapat menggeneralisasikan Islam dengan terorisme. Tidak hanya persepsi
negatif yang diperoleh, bahkan akibat dari tindakan terorisme tersebut masyarakat muslim yang tidak terlibat atau pun tahu menahu dalam aksi terorisme
mendapatkan kekerasan psikis seperti intimidasi dan diskriminasi. Diskriminasi yang dilakukan oleh warga negara Amerika Serikat tersebut tidak hanya terhadap
warga Amerika yang beragama Islam, warga negara asing yang beragama Islam juga dilarang ke Amerika. Setiap orang yang memiliki nama dan ciri wajah, serta
Universitas Sumatera Utara
hal-hal yang berbau muslim, apalagi jika wajah dihiasi dengan untaian jenggot akan diperiksa dengan ketat karena dianggap teroris.
Percaya atau tidak realita kehidupan sosial, bahkan masalah terorisme ini telah menjadi inspirasi para sutradara untuk dijadikan karya seni. Sederet
sutradara ternama seolah berlomba-lomba untuk memproduksi film yang mengangkat masalah terorisme. Namun, film-film yang diproduksi oleh negara-
negara barat lebih menonjolkan sisi negatif tentang Islam dan terorisme dengan adegan perang atau pun action yang memukau para penontonnya. Di dalam setiap
bagian film tersebut ada pesan yang tanpa disadari oleh para penontonnya dapat membentuk opini, sikap atau pun perilaku mereka terhadap masalah terorisme
tersebut.
Termasuk pula dengan film yang berjudul My name is Khan. Sembilan tahun setelah tragedi World Trade Center, paranoid Amerika terhadap Islam
digambarkan secara apik melalui sebuah layar film. Film produksi Bollywood yang disutradarai oleh Karan Johar ini cukup berani dalam mengangkat serta
mengani isu yang cenderung sensitif, yaitu terhadap stigma terorisme kepada Islam baik itu untuk konteks India maupun Amerika. Film yang dirilis pada bulan
Februari ini mempunyai tema yang cukup kuat yaitu tentang hubungan antara dunia barat dan Islam, dan bagaimana hubungan itu banyak berubah dalam
beberapa tahun terakhir pasca penyerangan menara kembar World Trade Center di New York dan Pentagon.
Film My name is Khan dibintangi oleh top aktor dan aktris India tersebut diharapkan dapat menghidupkan karakter serta membangun cerita secara alami
Universitas Sumatera Utara
dan nyata sesuai situasi dan kondisi dari latar belakang cerita yang diangkat. Begitu pula terhadap pesan yang ingin disampaikan dalam film itu dapat dirasakan
langsung oleh penonton. Film ini cukup mendapat antusias, tidak hanya muslim, tetapi film My Name is Khan juga ditonton oleh jutaan masyarakat non-muslim
yang tersebar di seluruh dunia. Ini terbukti dari pendapatan yang diperoleh hingga mencapai US 1,4 Juta dalam beberapa hari pemutarannya, menduduki peringkat
enam box office di Inggris, serta kehadiran film My name is Khan tersebut menjadi sebuah topik pembahasan dibeberapa media cetak maupun media
elektronik di Amerika Serikat. Film ini juga sempat diprotes dan diancam boikot oleh sejumlah ekstrimis
Hindu di India, bukan karena masalah keagamaan yang diangkat dalam film ini karena dinilai mengandung SARA, melainkan karena komentar Sharukkhan,
bintang utama film My name is Khan yang mengatakan bahwa para pemain kriket Pakistan seharusnya diikutsertakan dalam ajang kompetisi kriket Liga Perdana
Menteri India. Lantas saja ucapan komentar Sharukkhan tersebut membuat sejumlah ekstrimis Hindu menjadi marah dan mengancam akan memberhentikan
pemutaran film My name is Khan di India, terkait dengan hubungan antara India- Pakistan yang hingga sekarang masih dilanda perang dingin.
Namun dibalik kontroversi film tersebut, film ini dinilai cukup bermanfaat. Dari segi positifnya film ini dapat dijadikan sebagai tuntunan untuk
mengklarifikasi stigma terorisme terhadap Islam kepada masyarakat non-muslim yang telah salah penilaiannya, bahkan terhadap seluruh kegiatan ke-Islaman,
tokoh-tokoh agama, organisasi agama, dan simbol-simbol atau bagian apa pun yang bersinggungan dengan ajaran Islam. Namun, di tengah kegemilangannya
Universitas Sumatera Utara
menceritakan tentang persamaan dari segenap perbedaan. Film ini harus mendapatkan filtrasi secara sehat dalam mencerna dan memilah nilai-nilai yang
ditanamkan. Melihat keadaan dan kontroversi yang terjadi di dalam film ini, membuat
peneliti tertarik untuk meneliti film “ My name is Khan ”. Subjek penelitian ini adalah mahasiswamahasiswi FISIP USU, karena sebagai sosok intelektual yang
aktif dalam mencari informasi, mahasiswa sejatinya tanggap dan kritis terhadap suatu hal yang terjadi atau pun terdapat sesuatu hal yang baru dilingkungannya,
begitu juga dengan mahasiswamahasisiswi FISIP Universitas Sumatera Utara. Penelitian ini dilakukan agar dapat memberikan sumbangan bagi
perkembangan ilmu pengetahuan khususnya Ilmu Komunikasi dan dapat memberikan masukan pada semua pihak yang berkepentingan dalam
permasalahan ini. Sebelum penelitian tentang stigma terorisme dalam film My name is Khan ini sudah pernah ada yang melakukan tentang persepsi mahasiswa
terhadap pemberitaan terorisme, akan tetapi penelitian tersebut dilakukan untuk mengetahui persepsi mahasiswa melalui media televisi khususnya program berita.
Maka dari itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi tolak ukur pemahaman masyarakat dalam menilai stigma terorisme terhadap Islam melalui media film.
Berdasarkan latar belakang masalah inilah, maka peneliti merasa tertarik untuk meneliti persepsi mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sumatera Utara terhadap stigma teroris dalam film My Name Is Khan.
Universitas Sumatera Utara
I.2 Perumusan Masalah