METODOLOGI PENELITIAN “Persepsi Mahasiswa Terhadap Stigma Terorisme dalam Film My Name is Khan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

III. 1 Metodelogi Penelitian III.1.1 Paradigma Penelitian Ilmu bukanlah suatu yang tunggal melainkan plural. Menurut Thomas Kunt, ilmuwan selalu bekerja dibawah satu payung paradigma asumsi ontologisme, metodologis, dan struktur nilai Adian, 2002. Definisi paradigm yang ditawarkan oleh Kunt sendiri memiliki tiga rumusan yaitu : 1. Kerangka Konseptual untuk mengklarifikasikan dan menerangkan objek-objek fisikal alam. 2. Patokan untuk menspesifikasikan metode yang tepat, teknik-teknik, dan instrument dalam meneliti objek-objek dalam wilayah yang relevan. 3. Kesepakatan tentang tujuan-tujuan kognitif yang absah. Paradigma menjadi kerangka konseptual dalam mempersepsi semesta. Artinya, tidak ada observasi yang netral. Semua pengalaman perseptual kita selalu dibentuk oleh kerangka konseptual yang kita gunakan. Misalnya, Aristoteles melihat gerak benda jatuh sebagai garis lurus. Sedang Newton mempersepsinya sebagai gerak pendulum. Hal ini menurut Khun disebabkan oleh perbedaan paradigm yang dianut keduanya. Aristoteles dan Newton mengadopsi asumsi ontologism yang berbeda semesta. Dalam metode penelitian ada 4 paradigma besar yaitu positivistik, post- positivistik, kritis, dan konstruktivis. Pendekatan positivistik mengarah pada Universitas Sumatera Utara metode kuantitatif dengan teknik statistiknya yang mendominasi analisis penelitian sejak abad ke 18 hingga saat ini. Pendekatan ini bersumber dari wawasan filsafat positivisme Comte yang menolak metaphisik dan teologik; atau setidak-tidaknya mendudukkan metaphisik dan teologi primitif. Materialisme mekanistik-mekanistik sebagai perintis pengembangan metodologi ini mengemukakan bahwa hukum-hukum mekanik itu inheren dalam benda itu sendiri; ilmu dapat menyajikan gambar dunia secara spekulasi filsofik. Positivisme logik lebih jauh mengembangkan metodologi aksioma teori ilmu ke dalam logika matematik, dan dikembangkan lebih jauh lagi dalam logika induktif, yaitu ilmu itu bergerak naik dari fakta-fakta khusus fenomenal ke generalisasi teoritik. Menurut positivisme, ilmu yang valid adalah ilmu yang dibangun dari empirik. Dengan pendekatan positivisme dan metodologi penelitian kuantitatif, generalisasi dikonstruksikan dari rerata keragaman individual atau rerata frekuensi dengan memantau kesalahan yang mungkin. Menurut positivisme, ontologik realitas dapat dipecah-pecah, dipelajari independen, dieliminasikan dari objek lain, dan dapat dikontrol. Dari segi epistimologik, pendekatan ini menuntut pilahnya subjek peneliti dengan objek penelitian. Tujuannya agar diperoleh hasil yang objektif. Tujuan penelitian yang berlandaskan filsafat positivisme menyusun bangunan ilmu nomothetik, yaitu ilmu yang berupaya membuat hukum dari generalisasinya. Dari segi aksiologi, positivisme menuntut agar penelitian itu bebas nilai value free. Mereka mengejar objektivitas agar dapat ditampilkan prediksi atau hukum yang keberlakuannya bebas waktu dan tempat. Universitas Sumatera Utara Pendekatan yang muncul setelah itu adalah pendekatan post-positivistik. Karakteristik utama positivistik adalah pencarian makna dibalik data. Awal dari post-positivistik adalah pemikiran Descartes yang menjadi eksponen pertama dari rasionalisme yang menyajikan model pembuktian berangkat dari aksioma yang membuktikan sendiri kebenarnnya. Bagi pendekatan positivistick, mencari makna adalah mencari signifikasi. Bagi rasionalisme mencari makna secara ontologik bergerak yang empirik sensual, logik dan yang etik. Secara epistimologi menggunakan berpikir reflektif, verstehen, menggunakan pola pikir divergensi, kreatif, inovatif untuk mendapatkan makna yang lebih jauh lagi dari sekedar signifikasi. Kesimpulan penelitian yang menghentikan pemahamannya sampai kesimpulan statistik atau pun terhenti sampai penjabaran verbal dari kesimpulan statistik yang masih berada pada tahap pemaknaan penerjemahan. Pemaknaan berikut adalah kemampuan mencari arti dibalik yang tersurat. Yang tersurat mungkin empirik sensual, dicari makna logik atau etiknya. Yang tertangkap kejadian kasus, dengan ketajaman reflektif dan juga verstehen mungkin tertangkap makna universalnya. Pemaknaan yang diharapkan lebih berkembang dari hasil-hasil penelitian adalah pemaknaan yang lebih jauh lagi, yaitu pemaknaan ekstrapolasi. Kemampuan berpikir kreatif divergen tetapi juga sintesis, kemampuan berpikir kreatif sekaligus inovatif. Mampu menggunakan berpikir holografik dan morfogenetik, mampu secara lincah bergerak antara berpikir hierarki dan heteraki, mampu berpikir konstektual sekaligus antipatif, mampu membijakkan diri untuk bergerak dari yang sensual sampai yang etik, itulah modal dan cara kerja yang Universitas Sumatera Utara diharapkan untuk dapat memberi makna lebih dalam dan lebih jauh dari hasil suatu penelitian. Membangun konseptualisasi masa depan kehidupan kemanusiaan itulah yang perlu dicapai, bukan menyajikan fragmen-fragmen kehidupan tanpa menyadari integritas totalnya. Pendekatan selanjutnya yang muncul setelah post-positivisme adalah pendekatan kritis yang banyak diilhami oleh ajaran-ajaran Marxisme. Patti Lather mengetengahkan bahwa pendekatan teori kritis termasuk pendekatan era post- positif yang mencari makna dibalik yang empiri, dan menolak value free. Pendekatan kritis mempunyai komitmen yang tinggi kepada tata sosial yang lebih adil. Dua asumsi dasar yang menjadi landasan, yaitu : pertama ilmu sosial bukan sekedar memahami ketidakadilan dalam distribusi kekuasaan dan distribusi resources, melainkan berupaya untuk membantu menciptakan kesamaan dan emansipasi dalam kehidupan; kedua, pendekatan teori kritis memiliki keterikatan moral untuk mengkritik status quo dan membangun masyarakat yang lebih adil. Pendekatan yang terakhir adalah pendekatan konstruktivis. Pendekatan ini termasuk dalam post-positivisme interpretif, tetapi memiliki kekhususan. Konstruktivis sebagaimana interpretif menolak objektivitas. Objektivitas sebagaimana dianut oleh post positivist berpendapat bahwa yang ada adalah pemaknaan kita tentang di luar diri yang kita konstruk, empirical-constructed facts. Ilmu dan kebenaran dibangun, sifatnya pluralistik dan plastis. Disebut pluralistik karena realitas dapat diekspresikan dengan beragam simbol dan beragam sistem bahasa. Disebut plastis karena realitas itu tersebar dan terbentuk sesuai dengan tindakan perilaku manusia yang berkepentingan. Menggantikan Universitas Sumatera Utara teori ilmu, para konstruktivis menawarkan fungsi instrumental dan fungsi praktis dalam mengkonstruk pengetahuan. Para konstruktivis adalah anti esensialis dan mereka berasumsi bahwa self evidence apapun itu merupakan produk praktik diskursus yang sangat kompleks. III.1.2 Konstruktivisme Konstruktivisme berpendapat bahwa semesta secara epistimologi merupakan hasil konstruksi sosial. Pengetahuan manusia adalah konstruksi yang dibangun dari proses kognitif dengan interaksinya dengan dunia objek material. Pengalaman manusia terdiri dari interpretasi bermakna terhadap kenyataan dan bukan reproduksi kenyataan. Dengan demikian dunia muncul dalam pengalaman manusia secara terorganisir dan bermakna. Keberagaman pola konsepkognitif merupakan hasil dari lingkungan historis, cultural, dan personal yang digali terus menerus. Istilah konstruksi sosial sendiri menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L.Berger dan Thomas Luckman melalui bukunya yang berjudul “The Social Construction of reality, a treatise in the sociological of knowledge”. Mereka menggambarkan bahwa proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, yang mana individu menciptakan secara terus menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif. Menurut mereka, konstruktivisme merupakan penggabungan dari dua teori yaitu structural fungsionla dan interaksionisme simbolik. Dalam aliran filsafat, gagasan konstruktisme telah muncul sejak Socrates menemukan jiwa dalam tubuh manusia dan sejak Plato menemukan akal budi dan Universitas Sumatera Utara ide. Gagasan tersebut lebih konkret lagi setelah Aristoteles mengenalkan istilah informasi, relasi, individu, substansi, materi, esensi, dan lain sebagainya. Ia mengatakan, manusia adalah makhluk sosial, setiap pernyataannya harus dibuktikan kebenarannya, bahwa kunci pengetahuan adalah logika, dan dasar pengetahuan adalah fakta. Descartes kemudia memperkenalkan ucapannya “cogito, ergo sum” atau “ saya berpikir karena saya ada”. Kata-kata Descartes yang terkenal itu menjadi perkembangan gagasan-gagasan paradigma konstruktivisme sampai saat ini. Di dalam ilmu-ilmu sosial, paradigm ini merupakan salah satu dari tiga paradigma yang ada. Dua paradigma lainnya adalah klasik dan kritis. Bagi kaum konstruktivis, semesta adalah suatu konstruksi artinya bahwa semesta bukan dimengerti sebagai semesta yang otonom, akan tetapi dikonstruksi secara sosial, dan karenanya plural. Konstruktivisme menolak pengertian ilmu sebagai yang terberi dari objek adanya hubungan yang antara pikiran yang membentuk ilmu pengetahuan dengan objek atau eksistensi manusia. Dengan demikan paradigm konstruktivis mencoba menjembatani dualisme objektivisme- subjektivisme dengan mengafirmasi peran subjek dan objek dalam ilmu pengetahuan. Positivisme meyakini bahwa pengetahuan harus merupakan representasi gambaran atau ungkapan dari kenyataan dunia yang terlepas dari pengamat objektivisme. Pengetahuan dianggap sebagai kumpulan fakta. Sedangkan konstruktivisme menegaskan bahwa pengetahuan tidak lepas dari subjek yang sedang belajar mengerti. Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan Universitas Sumatera Utara yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi bentukan kita sendiri. Secara ringkas gagasan konstruktivisme mengenai pengetahuan dapat dirangkum sebagai berikut Elvinaro Bambang, 2007:155 : 1. Pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek. 2. Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang perlu untuk pengetahuan. 3. Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi membentuk pengetahuan bila konsepsi itu berlaku dalam berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang. Jadi intinya konstruktivisme dilihat sebagai sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan dunia realitas yang ada, karena terjadi realsi sosial antara individu dengan lingkungan atau orang di sekitarnya. Kemudian individu membagun sendiri pengetahuan atas realitas yang dilihatnya itu berdasarkan pada struktur pengetahuan yang telah ada sebelumnya. Konstruksi semacam ini yang oleh Berger dan Luckman disebut dengan konstruksi sosial. Realitas sosial yang dimaksud Berger dan Luckman ini terdiri dari realitas objektif, simbolik, dan subjektif. Realitas objektif adalah realitas yang terbentuk dari pengalaman dunia objektif, yang berada di luar individu dan realitas ini dianggap sebagai kenyataan. Realitas simbolik adalah reaksi simbolis dari realitas-realitas objektif dalam berbagai bentuk. Sedangkan realitas subjektif adalah realitas yang terbentuk sebagai proses penyerapan kembali objektif dan Universitas Sumatera Utara simbolik ke dalam individu melalui proses internalisasi. Bagi Berger, realitas itu tidak dibentuk secara alamiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan Tuhan. Tetapi sebaliknya, ia dibentuk dan dikonstruksi. Dengan pemahaman semacam ini, realitas berwajah gandaplural. Setiap orang bisa mempunyai pengalaman, profesi, pendidikan tertentu, dan lingkungan pergaulan atau sosial tertentu akan menafsirkan realitas sosial itu dengan konstruksinya masing-masing. Dalam melakukan pekerjaan, peneliti sebagai seorang konstruktivis akan melakukan konstruksi dan perlu meyakinni bahwa individu melakukan interpretasi dan bertindak sesuai dengan kategori konseptual dalam pemikirannya. Hal ini sesuai dengan asumsi bahwa individu memandang dunia melalui sistem konstruk personalnya. Konstruk personal adalah indikator adanya kompleksitas kognitif. Kompleksitas kognitif merupakan bangunan kognitif yang disesuaikan dengan realitasnya. Bangunan ini kemudian memberi perintah pada persepsi seseorang Antonius, 2004:110. Subjek memiliki kemampuan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana. Komunikasi dipahami, diatur dan dihidupkan oleh pernyataan-pernyataan yang bertujuan. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan menciptakan makna, yakni tindakan pembentukan diri serta pengungkapan jati diri sang pembicara. III.1.3 Tradisi Penelitian Kualitatif Penelitian kuantitaif terlebih dulu ada sebelum penelitian kualitatif. Kedua tradisi penelitian ini memiliki perbedaan yang menonjol. Metodologi kuantitatif menuntut adanya rancangan yang menspesifikkan objeknya secara eksplisit dieliminasikan dari objek-objek lain yang tidak diteliti. Tata pikir logic sesuai dengan analisis yang telah diperkembangkan, metodologi penelitian kuantitatif Universitas Sumatera Utara membatasi sejumlah tata pikir logik tertentu, yaitu korelasi, kausalitas, dan interaktif; sedangkan objek ditata dalam tata pikir kategorisasi, intervalisasi dan kontinuasi. Secara praktisnya, metodologi penelitian kualitatif mulai dengan penetapan objek studi yang spesifik, dieliminasikan dari totalitas atau konteks besarnya, sehingga eksplisit jelas objek studinya. Disusun kerangka teori sesuai dengan objek studi spesifik. Kemudian akan melahirkan hipotesis atau problematik penelitian, instrumentasi pengumpulan data, dan teknik sampling serta teknik analisisnya, juga rancangan metodologi lain seperti : penetapan batas signifikasi, teknik-teknik penyesuaian bila ada kekurangan atau kekeliruan dalam hal data, administrasi, analisis, dan sebagainya. Dengan kata lain semua dirancangkan dengan matang sebelum terjun ke lapangan untuk meneliti. Dalam penelitian kualitatif ini, metode yang digunakan adalah metode deskriptif. Metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan, menuliskan, memaparkan subjek atau objek penelitian seseorang, atau lembaga masayarakat berdasarkan fakta-fakta yang tampak tanpa mengurangi sebagaimana adanya Arikunto, 1998:63. III.1.4 Subjek Penelitian dan Lokasi Penelitian Dalam penelitian kualitatif tidak dikenal istilah sampel, karena penelitian kualitatif ini bukanlah bertujuan untuk menggeneralisasi hasil penelitian. Hasil riset lebih bersifat kontekstual dan kasuistik, yang berlaku pada waktu dan tempat tertentu sewaktu riset dilakukan. Karena itu, pada penelitian kualitatif sampelnya disebut informan atau subjek riset, yaitu orang-orang yang dipilih diwawancarai atau diobservasi sesuai tujuan riset. Disebut subjek riset bukan objek, karena Universitas Sumatera Utara informan dianggap aktif mengkonstruksi realitas, bukan sekedar objek yang hanya mengisi kuesioner Kriyantono, 2006:161-163. Penilitian ini dilakukan pada sebuah fakultas Universitas Sumatera Utara yaitu Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang terletak di Jl. Dr. A. Sofian No. 1 Kampus USU Medan. Penelitian ini mengambil subjek penelitian mahasiswamahasiwi FISIP USU sebanyak 10 orang. Peneliti memilih mahasiswa sebagai subjek penelitian karena pada umumnya mahasiswa adalah individu yang sangat kritis dalam memandang suatu peristiwa, selain itu peneliti menganggap bahwa mahasiswa yang rata-rata sudah berusia 20 tahun sudah cukup dewasa dan para informan dipastikan telah mampu menganalisis pesan dalam film ini menurut cara pandang mereka yang lebih luas. Selain faktor latar belakang pendidikan yang menjadi faktor penting lainnya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang nantinya akan disampaikan oleh peneliti adalah faktor agama. Ke-sepuluh orang mahasiswa ini dipilih berdasarkan agama yang berbeda-beda, terdiri dari : 5 lima orang mahasiswa muslim dan 5 orang mahasiswa yang non-muslim dari masing- masing jurusan di FISIP USU. Hal ini dilakukan peneliti agar menyeimbangkan subjektivitas para informan terkait dengan penelitian. III.1.5 Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini terhadap mahasiswamahasiswi FISIP adalah dengan dua cara yaitu dengan wawancara dan studi literature. Wawancara mengandung arti sebagai proses komunikasi diadik, relasional dengan tujuan yang serius dan ditetapkan terlebih dahulu yang dirancangkan untuk mempertukarkan perilaku dan melibatkan tanya jawab. Dalam penelitian ini, wawancara yang dilakukan adalah wawancara mendalam dept Universitas Sumatera Utara interview dengan responden yaitu mahasiswamahasiswi FISIP USU. Wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara namun dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan penelitian. Wawancara ini termasuk wawancara semiterstruktur. Tujuan dari wawancara ini adalah untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka, dimana pihak yang diajak wawancara diminta pendapat dan ide-idenya. Selain wawancara mendalam dengan informan, peneliti juga melakukan studi literature. Literature dapat berbentuk dokumen, tulisan, gambar, atau karya- karya monumental dari seseorang. Studi literature merupakan pelengkap dari penggunaan metode wawancara dalam penelitian kualitatif. III.1.6 Teknik Analisis Data Penelitian ini memakai teknik deskriptif kualitatif yang merupakan pengukuran dengan menggunakan data-data nominal yang menyangkut klasifikasi atau kategorisasi sejumlah variabel ke dalam sub kelas nominal. Melalui pendekatan kualitatif, data yang diperoleh dari lapangan maka diambil kesimpulan yang bersifat khusus kepada yang bersifat umum dan kemudian disajikan dalam bentuk narasi. Adapun langkah-langkah analisis data adalah sebagai berikut: 1. Reduksi Data Data yang diperoleh dari lapangan ditulis dalam bentuk uraian atau laporan terperinci. Laporan yang disusun kemudian direduksi, dirangkum, dipilih hal-hal pokok, difokuskan pada hal-hal yang penting dan dicarikan temanya. 2. Display Data Universitas Sumatera Utara Data yang telah diperoleh diklasifikasikan menurut pokok permasalahan dan dibuat matriks sehingga memudahkan peneliti untuk melihat hubungan suatu data dengan data yang lain. 3. Mengambil Kesimpulan dan Verifikasi Peneliti membuat kesimpulan berdasarkan data yang telah diproses melalui reduksi dan display data. III.1.7 Validitas Data Validitas merupakan derajat ketepatan antara data yang terjadi pada objek penelitian dengan data yang dapat dilaporkan peneliti. Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini disesuaikan dengan masalah dan tujuan penelitian. Jenis data dalam penelitian ini dibagi menjadi dua kategori, yaitu : 1. Data primer, yaitu data yang diperoleh dari lapangan melalui responden dengan cara wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara, tape recorder dan buku catatan. Data primer pada penelitian ini yaitu 10 orang mahasiswa FISIP yang telah menyaksikan film My name is Khan dan kemudian memberikan persepsi mereka terhadap stigma terorisme dalam film tersebut. 2. Data sekunder, yaitu data atau informasi yang diperoleh dari lapangan sebagai data pendukung yang berkaitan dengan identifikasi masalah. Data sekunder dalam penelitian ini yaitu film My name is Khan itu sendiri, maupun data dokumen berupa pressrelles maupun publikasi tentang film My name is Khan. Adapun data yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi : Universitas Sumatera Utara 1. Sejarah dan seluk beluk dalam pembuatan film My name is Khan, maupu data-data yang melatar belakangi tema yang diangkat dalam film tersebut. 2. Profil tentang para informan yang menjadi nara sumber dalam penelitian ini. Data ini meliputi nama, agama, jenis kelamin, dan jurusan. Universitas Sumatera Utara

BAB IV PEMBAHASAN