Latar Belakang Efek Lama Pemanasan terhadap Perubahan Bilangan Peroksida Minyak Goreng yang Berpotensi Karsinogenik pada Pedagang Gorengan di Kelurahan Pasar Minggu Tahun 2015

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Minyak goreng merupakan minyak yang dimasak bersama bahan pangan atau dijadikan sebagai medium penghantar panas dalam memasak bahan pangan Ketaren, 2012. Minyak goreng mengandung vitamin A, D, E, dan lemak untuk pembentukan sel serta pertahanan tubuh, sehingga minyak goreng dapat disebut sehat. Namun, minyak goreng juga dapat berbahaya bagi tubuh yang disebabkan oleh penggunaannya dalam proses memasak seperti pemanasan dengan suhu tinggi agar makanan terasa lebih gurih. Pemanasan suhu tinggi dapat mengoksidasi minyak goreng dan menghasilkan radikal bebas Graha, 2010. Rusaknya minyak goreng dapat diketahui dengan melakukan uji bilangan peroksida. Bilangan peroksida merupakan salah satu senyawa yang dapat menentukan kualitas minyak goreng. Apabila bilangan peroksida melebihi 10 meq O 2 kg, maka kualitas minyak goreng sudah tidak lagi baik. Angka peroksida menunjukkan ketengikan minyak goreng akibat proses oksidasi serta hidrolisis. Kerusakan minyak karena pemanasan pada suhu tinggi disebabkan oleh proses oksidasi dan polimerisasi. Pada suhu ti nggi 200-2 0 ฀C terjadinya kerusakan minyak yang akan mengakibatkan keracunan dalam tubuh dan berbagai macam penyakit misalnya diare, pengendapan lemak dalam pembuluh darah artero sclerosis, kanker, dan menurunkan nilai cerna lemak Ketaren, 2012. 2 Kanker pada tubuh manusia karena paparan bahan kimia karsinogen tidak terjadi seketika, tetapi terjadi pada masa yang lamanya tergantung dari kekuatan bahan kimia karsinogen, dosis bahan kimia karsinogen, kepekaan sel penderita, dan berbagai macam faktor lain. Kanker dapat timbul beberapa tahun setelah terpapar oleh bahan kimia karsinogen Sumardjo, 2008. Zat atau bahan karsinogenik sendiri dapat ditemukan pada makanan yang mengalami pengolahan kurang tepat misalnya: cara menggoreng yang berlebihan, serta penggunaan minyak goreng berulang kali menimbulkan radikal bebas seperti: peroksida, epoksida, dan sebagainya, dan pemanasan dengan suhu terlampau tinggi dan lama menimbulkan zat trans-fatty acid Tapan, 2005. Lemak trans digunakan untuk memperpanjang umur produk-produk olahan. Lemak trans meningkatkan kadar LDL kolesterol jahat, inflamasi, dan diabetes. Tepung yang bereaksi dengan minyak panas juga memproduksi senyawa kimia akrilamida karsinogen. Selain itu, minyak goreng yang dipakai berulang kali berpotensi menghasilkan jenis karsinogen yang akan menempel pada batch makanan berikutnya yang masuk ke dalam penggorengan CancerHelps, 2014. Mengingat bahwa mengonsumsi makanan gorengan merupakan bagian dari budaya makan masyarakat Indonesia Anwar dan Khomsan, 2009 dan minyak goreng merupakan produk pangan yang sering dikonsumsi, maka perlu adanya jaminan keamanan, mutu, dan gizi dari minyak goreng. Oleh karena itu, dalam skala internasional, Food and Agriculture Organization FAO dan World Health Organization WHO pada tahun 1993 mengeluarkan standar mutu bilangan peroksida untuk biji bunga matahari yaitu ≤10 meqkg minyak kemasan dan ≤1 3 virgin oil. Standar bilangan peroksida yang ditentukan oleh Sudanese Standard and Metrology Organization SSMO tahun 2003 yaitu ≤10 meqk Abdellah, 2012. Hal ini sesuai dengan Standar Nasional Indonesia SNI 2013 yang menetapkan bilangan peroksida yaitu maksimal 10 meq O 2 kg Badan Standardisasi Nasional, 2013. Pada penelitian yang dilakukan oleh Gunawan, Mudji Triatmo, dan Arianti Rahayu menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pemanasan dengan perubahan bilangan peroksida pada makanan kentang yang digoreng menggunakan minyak kedelai mulai dari perlakuan menggoreng pertama sampai kesepuluh dengan suhu pemanasan awal yaitu 140-180°C Gunawan dkk, 2003. Untuk mengetahui adanya perubahan bilangan peroksida dapat dilakukan uji mulai dari frekuensi penggorengan pertama hingga akhir, seperti pada penelitian terhadap sifat organoleptik tempe pada pengulangan penggorengan menggunakan minyak curah yang dilakukan oleh Siti Aminah 2010. Penelitian ini menunjukkan adanya peningkatan bilangan peroksida mulai dari kontrolminyak segar, penggorengan pertama, kelima, kesepuluh, kelima belas, dan kedua puluh. Pada pengulangan penggorengan kesepuluh, angka peroksida melebihi standar yang ditetapkan yaitu 10,35 meq peroksidakg. Hal ini menunjukkan semakin banyak pengulangan penggorengan maka bilangan peroksida semakin meningkat Aminah, 2010. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Mulasari dan Utami 2012 terhadap jenis makanan gorengan tahu, tempe, telur, terong, ayam, dan ikan goreng di 4 sepanjang Jl. Prof. Dr. Soepomo Umbulharjo menunjukkan data bahwa 14 dari 15 pedagang minyak goreng termasuk dalam kategori tidak baik dengan frekuensi penggorengan lebih dari empat kali dengan bilangan peroksida paling tinggi yaitu 11,25 meqkg Mulasari dan Utami, 2012. Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan di Kelurahan Pejaten Timur pada empat pedagang gorengan. Pedagang gorengan yang dimaksud adalah pedagang yang menggoreng ayam, ikan, bebek, tahu, dan tempe. Didapatkan hasil positif yaitu adanya perubahan peningkatan bilangan peroksida pada minyak goreng dengan rata-rata yaitu 4.26 mgO 2 100gr pada frekuensi pertama, 5.2 mgO 2 100gr pada frekuensi ke lima, 5.77 mgO 2 100gr pada frekuensi ke sepuluh, dan 6.14 mgO 2 100gr pada frekuensi ke lima belas. Pasar minggu merupakan daerah dengan luas 21,69 km 2 dan memiliki jumlah penduduk 298.099 jiwa Badan Pusat Statistik, 2014. Pasar minggu juga daerah transit dimana terdapat stasiun kereta api dan terminal bus. Oleh karena itu aktivitas jual beli di sekitar Kelurahan Pasar Minggu tinggi. Hal lain terjadi karena konsumen yang datang tidak hanya berasal dari Kelurahan Pasar Minggu. Hasil observasi yang telah dilakukan, terdapat beberapa pedagang yang menjual makanan dan diantaranya ada 30 pedagang makanan yang menggoreng ikan lele, ayam, burung dara, bebek, tahu, dan tempe. Pedagang gorengan umumnya menggunakan minyak goreng curah dengan kuali berukuran besar sehingga dalam sehari memiliki frekuensi penggorengan yang tinggi, yaitu lebih kurang 50 kali penggorengan. Selain itu, pedagang yang berlokasi di pinggir jalan ini, memiliki tempat penyimpanan bahan makanan yang tidak higiene yang dapat 5 mempengaruhi kesehatan bagi yang mengkonsumsi. Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti sebagai mahasiswa kesehatan lingkungan ingin mengetahui efek lama pemanasan terhadap perubahan bilangan peroksida minyak goreng yang berpotensi karsinogenik pada pedagang gorengan di Kelurahan Pasar Minggu.

B. Rumusan Masalah