Analisis Kandungan Timbal (Pb) dan Ketengikan pada Minyak Goreng yang Digunakan Berulang Serta Perilaku Para Pedagang Gorengan pada Persimpangan di Kelurahan Kenangan Perumnas Mandala Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun 2015

(1)

YANG DIGUNAKAN BERULANG SERTA PERILAKU PARA

PEDAGANG GORENGAN PADA PERSIMPANGAN DI

KELURAHAN KENANGAN PERUMNAS MANDALA KECAMATAN PERCUT SEI TUAN TAHUN 2015

SKRIPSI

OLEH:

IRMA TARULI SIBURIAN 111000192

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015


(2)

YANG DIGUNAKAN BERULANG SERTA PERILAKU PARA

PEDAGANG GORENGAN PADA PERSIMPANGAN DI

KELURAHAN KENANGAN PERUMNAS MANDALA KECAMATAN PERCUT SEI TUAN TAHUN 2015

Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar

Sarjana Kesehatan Masyarakat

OLEH:

IRMA TARULI SIBURIAN 111000192

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015


(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul ”ANALISIS KADAR TIMBAL DAN KETENGIKAN MINYAK GORENG YANG DIGUNAKAN BERULANG SERTA PERILAKU PARA PEDAGANG GORENGAN PADA PERSIMPANGAN DI KELURAHAN KENANGAN PERUMNAS MANDALA KECAMATAN PERCUT SEI TUAN TAHUN 2015” ini beserta seluruh isinya adalah benar hasil karya saya sendiri, dan saya tidak melakukan penjiplakan atau mengutip dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang berlaku dalam masyarakat keilmuan. Atas pernyataan ini, saya siap menanggung resiko atau sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya saya ini, atau klaim dari pihak lain terhadap keslian karya saya ini.

Medan, Agustus 2015 Yang membuat pernyataan


(4)

(5)

ABSTRAK

Keberadaan pedagang gorengan semakin banyak ditemukan pada persimpangan jalan raya di Kelurahan Kenangan yang beresiko tercemar timbal yang diemisikan melalui asap kendaraan bermotor dan adanya kebiasaan para pedagang menggunakan minyak goreng secara berulang. Ada dua hal yang dikhawatirkan dengan adanya kondisi seperti ini, yakni cemaran timbal pada minyak goreng dan meningkatnya kadar bilangan peroksida sebagai indikator terjadinya ketengikan minyak goreng tersebut yang jelas sangat membahayakan kesehatan konsumen jajanan gorengan.

Penelitian ini bersifat deskriptif dan bertujuan untuk mengetahui gambaran kadar timbal (Pb), bilangan peroksida pada minyak goreng yang digunakan oleh pedagang gorengan serta perilaku pedagang gorengan tersebut. Adapun yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah sampel minyak goreng yang terakhir kali digunakan oleh lima pedagang gorengan di lokasi yang berbeda dalam satu hari beraktivitas.

Hasil penelitian menunjukkan, kadar timbal pada seluruh sampel dan kadar tertingginya sebesar 1,0391 ppm, kemudian kandungan bilangan peroksida pada satu sampel di atas nilai ambang batas, yang tertinggi yakni 15 mek O2/kg ini juga didukung oleh hasil analisis perilaku pedagang juga masih belum sesuai dengan prinsip higiene dan sanitasi makanan dalam menghindarkan makanan olahannya dari pencemaran timbal (Pb) dan mengurangi resiko meningkatnya bilangan peroksida minyak goreng, yang didapatkan melalui proses wawancara dan pengamatan secara langsung.

Melalui penelitian ini, disarankan kepada para pedagang hendaknya lebih memperhatikan prinsip higiene dan sanitasi makanan, jarak tempat berdagang dari persimpangan, menggunakan pelindung atau penghalang di sekitar wajan penggorengan, dan pemakaian minyak goreng yang tidak berulang karena dapat membahayakan kesehatan konsumen. Kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdang juga disarankan agar dilakukan pembinaan serta pengawasan kepada pelaku usaha dagang gorengan yang semakin banyak ditemukan berjualan di persimpangan jalan raya.


(6)

v ABSTRACT

The presence of many fried food traders can be found at the intersection of Kenangan village that have many risks to be contaminated by plumbum resulting smoke emission vehicles and there are many fried food sellers’ bad behavior in using the frying oil in many times. There are two worried conditions such as plumbum contamination and the increase of peroxide value as the indicator of the frying oil rancidity, which are damaged for consumer’s health.

This descriptive research was aimed to determine the plumbum levels, peroxide value of the frying oil and fried food traders’ behavior. The research object was the last usage frying oil that was used by five fried food trders in different places in one day activity.

The result of this research showed that all of the samples were contaminated by plumbum and the highest value is 1,0391 ppm and then the value were not eligible under the regulation of SNI 01-3741-2013. For the peroxide value, there was one sample that not eligible under the regulation of SNI 01-3741-2013 and it was the highest value, 15 mEq �2/kg. The plumbum contamination and peroxide value that still over the regulation were supported by the trader behaviors that still not in accordance with the principles of hygiene and sanitation of food processing to avoid the plumbum contamination and to prevent the increasing of frying food peroxide value that were gotten by interviewed and directly observation.

By this research, it was recommended to the traders should paid more attention to the principles of food hygiene and sanitation, the distance of the trade place from the highway intersection, to use the barrier around the frying pan, and the using of cooking oil that were not repeated because it can harm consumer’s health. To the Medan City Health Department was suggested to train and supervise the fried food trader that were found sold fried food in the highway intersections.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas penyertaan dan kasih karunia-Nya kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Adapun judul skripsi ini adalah ”Analisis Kandungan Timbal (Pb) dan Ketengikan pada Minyak Goreng yang Digunakan Berulang Serta Perilaku Para Pedagang Gorengan pada Persimpangan di Kelurahan Kenangan Perumnas Mandala Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun 2015” yang merupakan hasil karya ilmiah penulis atas ilmu yang diperoleh selama menajalani pendidikan di FKM USU ini. Semoga penulisan skripsi ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya Ilmu Kesehatan Masyarakat.

Selama pelaksanaan penelitian penulis telah banyak mendapatkan bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. dr. Devi N. Santi, M.Kes dan Ir. Indra Chahaya, M. Si selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang dengan sabar dan penuh perhatian membimbing penulis mulai dari awal hingga selesainya penulisan skripsi ini.

2. Dr. dr. Wirsal Hasan, MPH, dan Dra. Nurmaini, MKM, Ph. D selaku Dosen Penguji yang banyak memberikan saran dan masukan dalam menyempurnakan skripsi ini sehingga menjadi lebih baik.

3. Dr. Drs. Surya Utama, MS selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.


(8)

vii

4. Prof. Dr. Ir. Albiner Siagian, M.Si selaku Dosen Penasehat Akademik yang selalu memantau perkembangan studi penulis, memberikan semangat dan motivasi selama penulis menjalani perkuliahan di FKM USU.

5. Kepala Laboratorium Instrumen dan MMH Balai Riset dan Standardisasi Industri Medan yang telah bersedia memfasilitasi pemeriksaan sampel yang diperlukan pada penelitian ini.

6. Lurah Desa Kenangan Perumnas Mandala beserta staf pegawai yang telah memberikan izin penelitian dan memberikan data kelurahan yang dibutuhkan oleh peneliti.

7. Ayahanda terkasih, Prof. Dr. Paningkat Siburian, M. Pd dan Ibunda tersayang, Longgom Tampubolon yang selalu memberikan dukungan, nasihat, semangat dan doa yang tiada putus kepada penulis dalam menjalani pendidikan ini, terkhusus selama penulis menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

8. Abang dan kakak penulis, Elsa Siburian, M.Ec, S. Gulo/Lusiana Siburian, S. Gultom/Indrawati Siburian,S.Pd, S. Tarihoran, S.T/Yosefina Siburian, S.E dan Yohana Siburian, S.Pd, terimakasih atas perhatian dan dukungannya kepada penulis selama menjalani pendidikan ini.

9. Sahabat-sahabat terkasih penulis Irene Silitonga, SKM, Riris Manurung, Windy Simorangkir, SKM, Putri Lubis, SKM, Martharia Panjaitan, terima kasih atas canda tawa, semangat serta kritik yang sangat membangun serta motivasi yang tiada hentinya diberikan selama ini kepada penulis.


(9)

10. Alessandro Hutapea, S.Pd, terima kasih telah bersama penulis yang dengan ikhlasnya mendengarkan keluh kesah, memberikan semangat, dukungan dan perhatian sejak awal hingga penyelesaian penelitian ini dengan baik. 11. Teman-teman satu peminatan Kesehatan Lingkungan 2011.

12. Teman-teman PBL Marnaek Manurung, Agustia Rizky Amelia, Flora Sitorus, Anastasia Serani, Nia Sylviana dan Marissa Nasution. Terima kasih untuk suka duka yang dilalui bersama selama berada dalam satu rumah di Dusun I Landbau Kec. Bahorok.

13. Teman-teman LKP di Dinas Kesehatan Kota Medan Roma Christin, Martha Elnist, dan Gabriella Sembiring, SKM yang setia bekerja sama dengan penulis selama kegiatan LKP.

14. Semua pihak yang telah memberikan bantuan untuk kelancaran pembuatan skripsi penulis, penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaannya untuk boleh bermanfaat bagi pembaca dan orang banyak. Atas ketidaksempurnaan itu, penulis tetap menerima masukan berupa saran maupun kritik yang bersifat konstruktif demi penyempurnaan skripsi ini. Atas segala perhatian yang sudah diberikan, penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, Juli 2015


(10)

ix DAFTAR ISI

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iii

ABSTRAK ... ... iv

ABSTRACT ... ... vi

KATA PENGANTAR ... ... vii

DAFTAR ISI ... ... ix

DAFTAR TABEL ... ... xii

DAFTAR GAMBAR ... ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... ... xv

RIWAYAT HIDUP ... ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.3.1 Tujuan Umum ... 5

1.3.2 Tujuan Khusus ... 5

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Pencemaran Udara ... 7

2.1.1 Pengertian Pencemaran Udara ... 7

2.1.2 Dampak Pencemaran Udara ... 8

2.1.3 Upaya Pencegahan dan Pengendalian Pencemaran Udara... 10

2.2 Karakteristik dan Sumber Polusi Timbal (Pb) ... 11

2.2.1 Karakteristik Timbal ... 11

2.2.2 Sumber Polusi Timbal ... 12

2.3 Kandungan Timbal dalam Makanan ... 15

2.4 Keracunan Logam Timbal... 16

2.4.1 Keracunan Akut ... 21

2.4.2 Keracunan Kronik ... 21

2.5 Metode Spektrofotometri ... 22

2.6 Ketengikan ... 23

2.6.1 Jenis-Jenis Ketengikan ... 24

2.6.2 Racun dalam Minyak yang Digunakan Berulang Kali dan Dampaknya bagi Kesehatan……… 26

2.7 Metode Titrasi Iodine ... 28

2.8 Minyak Goreng ... 29

2.8.1 Pengertian Miyak Goreng ... 29

2.8.2 Sifat Fisika dan Kimia Minyak Goreng ... 31

2.8.3 Proses Penggorengan ... 34

2.8.4 Perbedaan Minyak Goreng Kemasan dan Minyak Goreng Curah ... 37


(11)

BAB III METODE PENELITIAN ... 41

3.1 Jenis Penelitian ... ... 41

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 41

3.2.1 Lokasi Penelitian ... 41

3.2.2 Waktu Penelitian ... 42

3.3 Populasi dan Sampel ... 42

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 42

3.4.1 Data Primer ... 42

3.4.2 Data Sekunder ... 43

3.5 Defenisi Operasional ... 43

3.6 Metode Pengukuran Data ... 44

3.6.1 Pemeriksaan Timbal ... 44

3.6.2 Penentuan Bilangan Peroksida ... 46

3.6.3 Aspek Pengukuran Perilaku Pedagang Gorengan ... 48

3.7 Metode Analisis Data ... 51

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 52

4.1 Gambaran Umum Daerah Penelitian ... 52

4.2 Gambaran Lokasi Penelitian ... 53

4.2.1 Simpang Jalan Kenari Raya (S1) ... 53

4.2.2 Simpang Jalan Rajawali (S2) ... 53

4.2.3 Simpang Jalan Kepodang (S3) ... 54

4.2.4 Simpang Jalan Garuda (S4) ... 54

4.2.5 Simpang Jalan Cucakrawa (S5) ... 55

4.3 Hasil Penelitian ... 55

4.3.1 Hasil Laboratorium ... 55

4.3.1.1 Kadar Timbal ... 56

4.3.1.2 Kadar Bilangan Peroksida ... 56

4.3.2 Hasil Pengolahan Data Kuesioner Penelitian ... 57

4.3.2.1 Data Umum ... 57

4.3.2.2 Perilaku Terkait Kadar Timbal... 66

A. Pengetahuan ... 66

B. Sikap ... 68

C. Tindakan ... 71

4.3.2.3 Perilaku Terkait Kadar Bilangan Peroksida ... 74

A. Pengetahuan ... 74

B. Sikap ... 77

C. Tindakan ... 79

BAB V PEMBAHASAN ... 81

5.1 Kadar Timbal (Pb) pada Minyak Goreng... 81

5.2 Kadar Bilangan Peroksida pada Minyak Goreng ... 85

5.3 Hasil Pengolahan Data Kuesioner Penelitian ... 86

5.3.1 Data Umum ... 86

a. Pengetahuan Pedagang Mengenai Kadar Timbal ... 89


(12)

xi

c. Tindakan Pedagang Mengenai Kadar Timbal ... 91

d. Pengetahuan Mengenai Kadar Bilangan Peroksida ... 92

e. Sikap Mengenai Kadar Bilangan Peroksida ... 93

f. Tindakan Mengenai Kadar Bilangan Peroksida ... 93

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 95

6.1 Kesimpulan ... 95

6.2 Saran ... 96

DAFTAR PUSTAKA ... 98


(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Kandungan Senyawa Timbal (Pb) dalam Gas Buangan Kendaraan

Bermotor ... 15

Tabel 2.2 Empat Kategori Timbal (Pb) dalam Darah Orang Dewasa... 21

Tabel 2.3 Syarat Mutu Minyak Goreng ... 31

Tabel 4.1 Hasil Pemeriksaan Kadar Timbal (Pb) pada Minyak Goreng... 56

Tabel 4.2 Hasil Pemeriksaan Bilangan Peroksida (Pb) pada Minyak Goreng ... 56

Tabel 4.3 Distribusi Responden Berdasarkan Alasan Memilih Lokasi Berdagang ... 57

Tabel 4.4 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Minyak Goreng ... 58

Tabel 4.5 Distribusi Responden Berdasarkan Sumber Minyak Goreng ... 59

Tabel 4.6 Distribusi Responden Berdasarkan Minyak Goreng Pertama Kali Pakai ... 59

Tabel 4.7 Distribusi Responden Berdasarkan Bahan Pembuatan Wajan ... 60

Tabel 4.8 Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Penghalang Wajan ... 61

Tabel 4.9 Distribusi Responden Berdasarkan Keadaan Wadah Penyimpanan Minyak Goreng ... 62

Tabel 4.10 Distribusi Responden Berdasarkan Lama Berdagang Setiap Hari... 62

Tabel 4.11 Distribusi Responden Berdasarkan Frekuensi Penggantian Minyak Goreng ... 63

Tabel 4. 12 Distribusi Responden Berdasarkan Banyaknya Aktivitas Penggorengan ... 64

Tabel 4.13 Distribusi Responden Berdasarkan Tindakan yang Dilakukan Setiap Kali Mengganti Minyak Goreng ... 64

Tabel 4.14 Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan mengenai Konsumsi Minyak Goreng Berulang Pakai terhadap Dampak Kesehatan ... 65


(14)

xiii

Tabel 4.15 Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan tentang Pencemaran Udara, Timbal dan Kaitannya dengan Penggorengan ... 66 Tabel 4.16 Hasil Tabulasi Silang Pengetahuan Responden dengan Kadar Timbal

...67 Tabel 4.17 Distribusi Responden Berdasarkan Sikap untuk Menghindarkan

Dagangan Gorengan dari Pencemaran Udara ... 68 Tabel 4.18 Hasil Tabulasi Silang Sikap Responden dengan Kadar Timbal ... 70 Tabel 4.19 Distribusi Responden Berdasarkan Tindakan dalam Menjaga Higienis

Dagangan Gorengan ... 71 Tabel 4.20 Hasil Tabulasi Silang Tindakan Responden dengan Kadar Timbal ... 72 Tabel 4.21 Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan tentang Ketengikan

Minyak Goreng, Faktor dan Dampak bagi Kesehatan ... 74 Tabel 4.22 Tabulasi Silang Pengetahuan Responden dengan Kadar Ketengikan . 76 Tabel 4.23 Distribusi Responden Berdasarkan Sikap Pedagang untuk Mencegah

Penurunan Kualitas Minyak Goreng ... 77 Tabel 4.24 Tabulasi Silang Sikap Responden dengan Kadar Ketengikan ... 78 Tabel 4.25 Distribusi Responden Berdasarkan Tindakan dalam Menjaga Higienis

Dagangan Gorengan ... 79 Tabel 4.26 Tabulasi Silang Tindakan Responden dengan Kadar Ketengikan ... 80


(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kinetika Perjalanan Timbal (Pb) Masuk ke dalam Tubuh Manusia . 19

Gambar 2.2 Skema Metabolisme Timbal (Pb) dalam Tubuh Manusia ... 20

Gambar 2.3 Proses Hidrolisis Minyak dan Lemak ... 25

Gambar 2.4 Tahapan Ketengikan Oksidasi ... 26

Gambar 2.5 Struktur Minyak dan Lemak ... 30

Gambar 2.6 Minyak Goreng Kemasan... 37

Gambar 2.7 Minyak Goreng Curah ... 38


(16)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Lembar Kuesioner

Lampiran2 Peraturan Pemerintah P No.41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara

Lampiran 3 Baku Mutu Minyak Goreng SNI 01-3741 Tahun 2013 Lampiran 4 Surat Permohonan Izin Penelitian

Lampiran 5 Surat Izin Penelitian

Lampiran 6 Surat Keterangan Telah Selesai Melakukan Penelitian

Lampiran 7 Hasil Uji Laboratorium Kadar Timbal pada Sampel Minyak Goreng

Lampiran 8 Hasil Uji Laboratorium Kadar Bilangan Peroksida pada Sampel Minyak Goreng

Lampiran 9 Master Data Kuesioner Lampiran 10 Output Hasil Penelitian Lampiran 11 Dokumentasi Penelitian


(17)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Irma Taruli Siburian Tempat Lahir : Medan

Tanggal Lahir : 31 Januari 1993 Suku Bangsa : Batak Toba Agama : Kristen Protestan Status Perkawinan : Belum Menikah

Nama Ayah : Prof. Dr. Paningkat Siburian, M. Pd Suku Bangsa Ayah : Batak Toba

Nama Ibu : Longgom Tampubolon Suku Bangsa Ibu : Batak Toba

Jumlah Bersaudara : 6 (enam) bersaudara

Alamat Rumah : Jl. Enggang XV no.192 RT 009/RW 003 Kelurahan Kenangan Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara

Riwayat Pendidikan

Tahun 1998-1999 : TK Betania Medan

Tahun 1999-2005 : SD Katolik Budi Luhur Medan Tahun 2005-2008 : SMP Katolik Trisakti 2 Medan

Tahun 2008-2011 : SMA Swasta Kristen Immanuel Medan Tahun 2011-2015 : Fakultas Kesehatan Masyarakat USU


(18)

iv ABSTRAK

Keberadaan pedagang gorengan semakin banyak ditemukan pada persimpangan jalan raya di Kelurahan Kenangan yang beresiko tercemar timbal yang diemisikan melalui asap kendaraan bermotor dan adanya kebiasaan para pedagang menggunakan minyak goreng secara berulang. Ada dua hal yang dikhawatirkan dengan adanya kondisi seperti ini, yakni cemaran timbal pada minyak goreng dan meningkatnya kadar bilangan peroksida sebagai indikator terjadinya ketengikan minyak goreng tersebut yang jelas sangat membahayakan kesehatan konsumen jajanan gorengan.

Penelitian ini bersifat deskriptif dan bertujuan untuk mengetahui gambaran kadar timbal (Pb), bilangan peroksida pada minyak goreng yang digunakan oleh pedagang gorengan serta perilaku pedagang gorengan tersebut. Adapun yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah sampel minyak goreng yang terakhir kali digunakan oleh lima pedagang gorengan di lokasi yang berbeda dalam satu hari beraktivitas.

Hasil penelitian menunjukkan, kadar timbal pada seluruh sampel dan kadar tertingginya sebesar 1,0391 ppm, kemudian kandungan bilangan peroksida pada satu sampel di atas nilai ambang batas, yang tertinggi yakni 15 mek O2/kg ini juga didukung oleh hasil analisis perilaku pedagang juga masih belum sesuai dengan prinsip higiene dan sanitasi makanan dalam menghindarkan makanan olahannya dari pencemaran timbal (Pb) dan mengurangi resiko meningkatnya bilangan peroksida minyak goreng, yang didapatkan melalui proses wawancara dan pengamatan secara langsung.

Melalui penelitian ini, disarankan kepada para pedagang hendaknya lebih memperhatikan prinsip higiene dan sanitasi makanan, jarak tempat berdagang dari persimpangan, menggunakan pelindung atau penghalang di sekitar wajan penggorengan, dan pemakaian minyak goreng yang tidak berulang karena dapat membahayakan kesehatan konsumen. Kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdang juga disarankan agar dilakukan pembinaan serta pengawasan kepada pelaku usaha dagang gorengan yang semakin banyak ditemukan berjualan di persimpangan jalan raya.


(19)

ABSTRACT

The presence of many fried food traders can be found at the intersection of Kenangan village that have many risks to be contaminated by plumbum resulting smoke emission vehicles and there are many fried food sellers’ bad behavior in using the frying oil in many times. There are two worried conditions such as plumbum contamination and the increase of peroxide value as the indicator of the frying oil rancidity, which are damaged for consumer’s health.

This descriptive research was aimed to determine the plumbum levels, peroxide value of the frying oil and fried food traders’ behavior. The research object was the last usage frying oil that was used by five fried food trders in different places in one day activity.

The result of this research showed that all of the samples were contaminated by plumbum and the highest value is 1,0391 ppm and then the value were not eligible under the regulation of SNI 01-3741-2013. For the peroxide value, there was one sample that not eligible under the regulation of SNI 01-3741-2013 and it was the highest value, 15 mEq �2/kg. The plumbum contamination and peroxide value that still over the regulation were supported by the trader behaviors that still not in accordance with the principles of hygiene and sanitation of food processing to avoid the plumbum contamination and to prevent the increasing of frying food peroxide value that were gotten by interviewed and directly observation.

By this research, it was recommended to the traders should paid more attention to the principles of food hygiene and sanitation, the distance of the trade place from the highway intersection, to use the barrier around the frying pan, and the using of cooking oil that were not repeated because it can harm consumer’s health. To the Medan City Health Department was suggested to train and supervise the fried food trader that were found sold fried food in the highway intersections.


(20)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Polusi atau pencemaran lingkungan adalah suatu peristiwa masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan, atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia atau proses alam sehingga kualitas lingkungan turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya (Undang-Undang Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup No 4 Tahun 1982).

Secara istilah udara merupakan campuran berbagai macam gas yang tidak berwarna dan berbau (seperti oksigen dan nitrogen) yang memenuhi ruang di atas bumi seperti yang kita hirup pada saat bernapas. Adapun uraian campuran berbagai gas tersebut antara lain nitrogen sebesar 78%, oksigen sebesar 21% dan sisanya gas lain 1%. (Suarma, 2013).

Wardhana (2001) mengatakan bahwa terjadinya pencemaran udara karena kehadiran zat-zat asing di dalam udara yang menyebabkan perubahan susunan (komposisi) udara dari keadaan yang seharusnya dan dalam waktu yang cukup lama akan mengganggu kehidupan berbagai komponen lingkungan. Pencemaran udara disebabkan oleh aktivitas alam dan aktivitas manusia. Sumber polusi udara yang dikarenakan adanya aktivitas alam misalnya debu vulkanik hasil letusan gunung berapi, asap kebakaran hutan dan lain sebagainya. Sumber polusi udara


(21)

yang dikarenakan adanya aktivitas manusia misalnya kegiatan industri, proses pembakaran, gas buangan pabrik dan transportasi dan merupakan penyebab terbesar terjadinya pencemaran udara (Fardiaz, 2006).

Menurut Gusnita (2010), daerah perkotaan besar merupakan daerah yang rawan pencemaran timbal (Pb) karena pada perkotaan banyak terdapat industri dan adanya laju pertumbuhan kepemilikan kendaraan bermotor pribadi yang pesat. Rachmariska (2009) menyebutkan bahwa 70% pencemaran udara di Indonesia disebabkan oleh emisi kendaraan bermotor yang tidak terawat sehingga dapat mengeluarkan zat-zat berbahaya bagi kesehatan manusia maupun komponen lingkungan lainnya.

Surani (2002) yang mengutip pendapat dari Environment Project Agency menyebutkan bahwa 25% logam berat timbal (Pb) akan tetap berada pada mesin kendaraan bermotor dan 75% lainnya akan mencemari udara di mana kendaraan itu berada, dengan pembagiannya 10% akan mencemari lokasi dalam radius kurang dari 100 meter, 5% dalam radius 20 kilometer dan sisanya akan terbawa oleh udara dalam jarak yang lebih jauh lagi.

Mengingat jarak pergerakan timbal di udara untuk mencemari komponen lingkungan sekitarnya cukup jauh dan banyak ditemukan para pedagang gorengan yang mengolah dan menjajakan dagangannya di persimpangan jalan raya yang selalu padat akan lalu lintas kendaraan bermotor, dikhawatirkan kondisi di mana minyak yang digunakan oleh para pedagang tercemar oleh timbal yang merupakan hasil pembuangan kendaraan bermotor tersebut. Apabila minyak yang digunakan


(22)

sudah tercemar timbal, maka dapat dipastikan bahwa makanan yang digoreng menggunakan minyak tersebut juga sudah mengandung timbal.

Kondisi ini diperparah dengan lemahnya pengetahuan pedagang akan prinsip higiene sanitasi pengolahan makanan, seperti penggunaan minyak goreng secara berulang, penggunaan peralatan masak yang tidak higienis dari paparan timbal (Pb) karena terbuat dari bahan yang mengandung timbal atau mungkin sudah mengalami kontaminasi timbal (Pb) terlebih dahulu atau menggunakan wajan penggorengan berbahan dasar aluminium yang dilapisi dengan timbal untuk mencegah karat serta kebiasaan tidak menggunakan penghalang pada wajan penggorengan untuk menghindari kontaminasi dengan kontaminan yang terdapat pada udara sekitar lokasi dagangnya. Hasibuan (2012) dalam penelitiannya terhadap paparan timbal pada minyak goreng yang digunakan oleh pedagang gorengan yang berada di beberapa kawasan traffic light di kota Medan menyatakan bahwa semua sampel minyak goreng terbukti mengandung kadar timbal yang melewati baku mutu.

Kondisi kedua adalah proses ketengikan minyak goreng yang merupakan salah satu bentuk penurunan kualitas minyak goreng. Proses ketengikan ini dapat disebabkan oleh aktivitas pemanasan minyak goreng pada suhu tinggi dalam jangka waktu yang cukup lama, adanya kontak dengan udara dan material yang terkandung dalam udara, termasuk logam tertentu serta kontak langsung dengan air yang terkandung dalam bahan yang digoreng. Hal ini dapat menyebabkan terputusnya rantai triglesirida menjadi asam-asam lemak bebas dan gliserol yang sangat membahayakan tubuh.


(23)

Menurut Sudarmaji (1982), sebagai indikator bahwa minyak atau lemak yang telah mengalami oksidasi sebagai tanda terjadinya proses ketengikan adalah dengan menentukan bilangan peroksida pada minyak atau lemak tersebut. Nilai ambang batas kandungan bilangan peroksida minyak goreng yang ditetapkan dalam SNI 01-3741 Tahun 2013 per 100 gram minyak adalah sebesar 10 mek O2 /kg minyak. Chairunissa (2013) dalam penelitiannya mendapatkan bahwa kadar bilangan peroksida sebagai indikator ketengikan minyak goreng pada pedagang gorengan di sekitar kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta melewati baku mutu, yakni mencapai 15,11 mek O2 /kg. Secara umum, mengonsumsi makanan yang digoreng dengan minyak yang sudah mengalami proses ketengikan dapat mengakibatkan timbulnya gejala keracunan yang ditandai dengan iritasi saluran pencernaan, diare, pembengkakan organ tubuh, penyakit terkait pembuluh darah bahkan penyakit degeneratif berbahaya lainnya seperti kanker (Muchtadi, 1989). 1.2 Rumusan Masalah

Banyaknya pedagang gorengan yang membuka usahanya di persimpangan Kelurahan Kenangan yang sangat dekat dengan lalu lalang kendaraan bermotor dan kebiasaan menggunakan minyak goreng secara berulang serta membiarkan wajan penggorengan dalam keadaan terbuka dalam jangka waktu yang panjang dapat mengakibatkan 2 (dua) bahaya sekaligus, yaitu adanya cemaran logam berat timbal (Pb) pada minyak goreng dan terjadinya peristiwa ketengikan minyak goreng, sehingga diperlukan analisis mengenai kadar timbal (Pb) dan ketengikan yang dinyatakan dalam bilangan peroksida pada minyak goreng yang digunakan


(24)

secara berulang oleh pedagang gorengan di persimpangan di Kelurahan Kenangan Kecamatan Percut Sei Tuan tahun 2015.

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui kandungan timbal (Pb) dan kadar bilangan peroksida pada minyak goreng sebagai indikator kualitas minyak goreng yang digunakan secara berulang oleh pedagang gorengan di Kelurahan Kenangan Kecamatan Percut Sei Tuan tahun 2015.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui kadar timbal (Pb) dan kadar bilangan peroksida sebagai indikator ketengikan, apakah memenuhi syarat atau tidak sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam SNI 01-3741 Tahun 2013.

2 Untuk mengetahui perilaku (pengetahuan, sikap dan tindakan) para pedagang gorengan akan pencemaran timbal pada minyak goreng dan penggunaan minyak goreng bekas dalam proses penggorengan bahan makanan yang dijajakan.


(25)

1.4 Manfaat Penelitian

1. Bermanfaat oleh masyarakat sebagai informasi seberapa aman makanan gorengan yang dijual di Kelurahan Kenangan Kecamatan Percut Sei Tuan.

2. Menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis tentang kadar cemaran timbal (Pb) dan ketengikan pada minyak goreng, khususnya cara penentuan kadar timbal (Pb) dan bilangan peroksida pada minyak goreng yang digunakan oleh pedagang gorengan di Kelurahan Kenangan Perumnas Mandala.

3. Sebagai bahan referensi bagi peneliti selanjutnya sehingga penelitian ini dapat digunakan untuk berbagai keperluan dan dapat bermanfaat bagi khalayak ramai.


(26)

7

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Udara

2.1.1. Pengertian Pencemaran Udara

Pencemaran udara merupakan salah satu bentuk dari berbagai bentuk pencemaran lingkungan, dimana yang terjadi adalah penurunan kualitas udara yang diakibatkan oleh hadirnya satu atau lebih substansi fisik, kimia atau biologi di atmosfer dalam jumlah tertentu yang dapat membahayakan kesehatan manusia, hewan dan tumbuhan, mengganggu estetika dan kenyamanan serta kerusakan properti. Adapun setiap substansi yang bukan merupakan komposisi penyusun udara disebut sebagai polutan (Ariens, 1986).

Pencemaran udara merupakan salah satu permasalahan yang tengah dihadapi oleh negara berkembang. Pencemaran udara dibedakan atas pencemaran udara di luar rumah dan pencemaran udara di dalam rumah. Pembagian ini sangat penting berdasarkan upaya pencegahannya, di mana pencemaran udara di dalam rumah dapat diatasi dengan upaya penduduk dan pencemaran di luar rumah memerlukan bantuan pemerintah. Sumber utama dari pencemaran udara itu sendiri ada 4, yakni transportasi, penduduk, kegiatan industri dan pembakaran sampah (Atmakusumah, dkk, 1996)

Sebenarnya udara sendiri cenderung mengalami pencemaran oleh kehidupan dan kegiatan manusia serta proses alam lainnya. Dalam batas-batas tertentu, alam mampu membersihkan udara dengan cara membentuk suatu keseimbangan ekosistem yang disebut removal mechanism. Proses yang terjadi


(27)

dapat berupa pergerakan udara, hujan, sinar matahari, dan fotosintesis tumbuh-tumbuhan. Pada suatu keadaan ketika pencemaran yang terjadi melebihi kemampuan alam untuk membersihkan dirinya sendiri, pencemaran itu akan membahayakan kesehatan manusia dan memberikan dampak yang luas terhadap fauna, flora dan ekosistem yang ada (Chandra, 2007).

2.1.2 Dampak Pencemaran Udara

Menurut Chandra (2007), apabila kandungan bahan-bahan pencemar melebihi nilai ambang batas yang sudah ditetapkan dalam PP No.41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, tentu dapat menimbulkan efek/dampak buruk, baik itu secara umum, efek terhadap ekosistem, efek terhadap kesehatan, efek terhadap hewan dan tumbuh-tumbuhan, efek terhadap cuaca dan iklim serta efek terhadap sosial-ekonomi.

1. Efek Umum

a. Meningkatkan angka kesakitan dan kematian pada manusia, flora dan fauna.

b. Memengaruhi kualitas dan kuantitas sinar matahari yang sampai ke permukaan bumi serta memengaruhi proses fotosintesis.

c. Memengaruhi dan mengubah iklim akibat pengingkatan kadar CO2 dan efek rumah kaca.

d. Mengakibatkan korosif pada benda yang terbuat dari logam. e. Meningkatkan biaya perawatan bangunan.

f. Meningkatkan kecelakaan karena memengaruhi penglihatan saat berlalu lintas, baik lalu lintas air, darat maupun laut.


(28)

2. Efek terhadap Ekosistem

Salah satu contoh dampak pencemaran lingkungan adalah terjadinya hujan asam yang merupakan reaksi antara air dengan zat oksida sulfat yang dihasilkan dari kegiatan industri batubara. Hujan asam akan turun ke perairan, di mana di dalamnya juga terdapat biota air yang dapat terancam kehidupannya.

3. Efek terhadap Kesehatan

Efek pencemaran lingkungan terhadap kesehatan dapat dibedakan atas dua. Yang pertama adalah efek cepat, dengan contoh keracunan gas CO yang afinitasnya dengan sel darah merah terjadi sangat cepat sehingga dapat menimbulkan kematian. Yang kedua adalah efek lambat dengan contoh bronkitis, emfisema paru, black lung disease, asbestosis, silikosis, bisinosis, asma dan lain sebagainya.

4. Efek terhadap Tumbuhan dan Hewan

Hal ini terkait dengan dampak pada ekosistem, salah satu contohnya adalah terjadinya peristiwa hujan asam. Hujan asam tidak hanya berdampak pada penurunan kualitas air dan biota yang ada di dalamnya, tapi juga tumbuhan yang ada di daratan, di mana dapat menyebabkan kematian tumbuhan.

5. Efek terhadap Cuaca dan Iklim

Sebagai contohnya adalah peningkatan kadar CO2 mengakibatkan tertahannya panas bumi di lapisan bawah atmosfer sehingga mengakibatkan efek rumah kaca (green house effect).


(29)

6. Efek terhadap Sosial Ekonomi

Hal ini terkait dengan adanya penambahan biaya terhadap pemeliharaan bangunan sehingga diperlukan biaya ekstra untuk mengendalikan pencemaran yang terjadi.

2.1.3 Upaya Pencegahan dan Pengendalian Pencemaran Udara

Dalam Chandra (2007) disebutkan ada beberapa batasan prosedur pencegahan dan pengendalian pencemaran udara yang diajukan dalam Research into Environmental Pollution WHO tahun 1968:

1. Containment, merupakan suatu upaya pencegahan masuknya gas-gas

secara langsung ke dalam udara. Cara ini dilakukan dengan bantuan filter pada alat pembuangan agar konsentrasi gas pencemar yang dihasilkan tidak melewati batas baku mutu emisi yang diperbolehkan.

2. Replacement, merupakan upaya mengganti perlengkapan dan sumber

energi yang lebih banyak menyumbangkan polutan dengan sumber energi yang lebih sedikit menyumbangkan polutan, misalnya mengganti bahan bakar batubara dengan tenaga listrik.

3. Dillution, merupakan upaya pengenceran bahan pencemar. Upaya ini dapat berlangsung secara alamiah dengan membangun daerah hijau berada di antara kawasan pemukiman dan kawasan industri.

4. Legislation, merupakan upaya pencegahan pencemaran udara dengan

dibuatkannya peraturan dan perundangan yang dikeluarkan untuk melindungi tenaga kerja, masyarakat umum dan lingkungan hidup.


(30)

2.2 Karakteristik dan Sumber Polusi Timbal (Pb) 2.2.1 Karakteristik Timbal

Menurut Palar (2004), timbal adalah salah satu unsur kimia yang di dalam tabel periodik unsur berada pada golongan IV-A dengan wujud padatan (solid) dan memiliki nomor atom 82 dan berat atom 207,2. Dalam keseharian unsur timbal lebih dikenal dengan istilah timah hitam dan nama ilmiahnya adalah Plumbum yang disingkat dengan Pb. Adapun sifat-sifat khusus dari logam timbal (Pb) adalah seperti berikut:

1. Merupakan logam yang lunak, sehingga dapat dipotong dengan menggunakan pisau atau dengan tangan dan dapat dibentuk dengan mudah.

2. Merupakan logam yang tahan korosi, sehingga sering digunakan sebagai bahan coating atau pelapis.

3. Mempunyai titik lebur rendah, hanya 328 0C dan titik didih 1740 0C. 4. Mempunyai kerapatan yang lebih besar dibandingkan dengan logam-logam biasa, kecuali emas dan merkuri.

5. Merupakan penghantar listrik yang tidak baik.

Sifat lain dari timbal yakni, mempunyai sifat kimia yang aktif sehingga bila dicampur dengan logam lain, timbal (Pb) akan membentuk logam campuran yang lebih bagus daripada logam murninya (Darmono, 1995), serta mudah larut dalam larutan garam, misalnya larutan amonium asetat (Sartono, 2001) dan bersifat lipofilik atau dapat larut dengan baik dalam minyak dan lemak.


(31)

2.2.2 Sumber Polusi Timbal

Sumber pencemaran timbal dapat digolongkan ke dalam beberapa bagian, antara lain:

1. Sumber Alami a. Bebatuan Alami

Di alam ini, kadar timbal (Pb) dapat ditemukan pada bebatuan sekitar 13mg/kg, terkhusus timbal (Pb) yang terkandung dalam batu fosfat dan dalm batu pasir kadarnya sebesar 100mg/kg.

b. Tanah

Pada tanah terdapat timbal (Pb) dengan kadar 5-25mg/kg. c. Air

Pada air bawah tanah terdapat timbal (Pb) dengan kadar 1-60μg/liter, pada air sungai sebesar 1-10μg/liter dan pada air laut sekitar 0,07μg/liter. Adapun baku mutu timbal (Pb) dalam air menurut WHO adalah 0,1 mg/liter dan KepmenLH No. 02 Tahun 1988 yaitu sebesar 0,05-1mg/liter.

d. Udara

Pada udara timbal (Pb) yang berbentuk gas dan partikel. Secara alamiah kadar timbal (Pb) berkisar 0,0006μg/m3. Baku mutu kadar timbal (Pb) di udara adalah sebesar 0,025-0,4 gr/Nm3.

e. Tumbuhan

Kadar timbal (Pb) yang terkandung secara alamiah pada daun adalah sebesar 2,5 mg/kg berat daun kering. Adapun jenis tumbuhan yang tinggi kandungan timbalnya adalah beras, gandum dan kentang.


(32)

f. Makanan dan Minuman

Makanan dan minuman bisa saja terpapar timbal (Pb) dikarenakan buruknya higiene sanitasi dalam proses pengolahan makanan dan minuman tersebut. Misalnya penggunaan peralatan masak yang proses pembuatannya memerlukan timbal untuk pematrian, menggunakan peralatan masak yang tanpa disadari terpapar oleh timbal dari asap kendaraan bermotor, jika lokasi pengolahan makanan dan minuman berada di pinggir jalan raya yang padat akan lalu lintas kendaraan bermotor. Selain itu, bahan baku pembuatan wadah tempat penyajian makanan dan minuman juga dapat memengaruhi kehadiran timbal pada makanan dan minuman, terutama makanan dan minuman yang dikalengkan.

2. Sumber dari Industri

Adapun berbagai kegiatan perindustrian yang menggunakan timbal (Pb) antara lain:

a. Industri Pengecoran dan Pemurnian

Kegiatan industri ini menghasilkan timbal konsentrat (primary lead) dan secondary lead yang berasal dari potongan logam.

b. Industri Baterai

Dalam industri pembuatan baterai biasanya digunakan lead antimony alloy dan lead oxides sebagai bahan dasar pembuatan baterai.

c. Industri Bahan Bakar

Adapun persenyawaan timbal (Pb) yang digunakan biasanya dalam bentuk tetra ethyl lead (TEL) sebagai bahan anti knock pada bahan bakar, sehingga baik


(33)

industri maupun bahan bakar yang dihasilkan merupakan sumber pencemaran timbal (Pb).

d. Industri Kabel

Timbal (Pb) digunakan dalam kegiatan pelapisan kabel listrik, walaupun sekarang ini sudah mulai berkurang industri yang menggunakan timbal (Pb) karena masih dapat menggunakan campuran logam lain seperti Kadmium, Besi, Krom, Emas dan Aresenik.

e. Industri Bahan Kimia

Penggunaan timbal (Pb) dalam industri bahan kimia salah satu contohnya adalah pada proses pembuatan cat sebagai bahan pewarna. Hal ini dikarenakan logam timbal (Pb) dianggap lebih rendah toksisitasnya dibandingkan logam pigmen lainnya. Adapun pewarna yang digunakan adalah red lead untuk warna merah dan lead chromate untuk warna kuning (Sudarmaji, dkk, 2006).

3. Sumber dari Transportasi

Timbal (Pb) digunakan pada industri bahan bakar dalam bentuk tetra ethyl lead (TEL) guna meningkatkan nilai oktan bahan bakar sehingga dapat digunakan sebagai bahan anti knock pada mesin kendaraan bermotor. Musnahnya timbal (Pb) dalam peristiwa pembakaran pada mesin yang menyala menyebabkan jumlah timbal (Pb) yang dibuang ke udara melalui asap buangan kendaraan menjadi sangat tinggi (Darmono, 2001).


(34)

Tabel 2.1. Kandungan Senyawa Timbal (Pb) dalam Gas Buangan Kendaraan Bermotor Senyawa Pb (%) 0 Jam (%) 18 Jam (%) PbBrCl PbBrCl.2PbO PbCl2 Pb(OH)Cl PbBr2

PbCl2.2PbO Pb(OH)Br

PbOx PbCO3 PbBr2.2PbO PbCO3.2PbO

32,0 31,4 10,7 7,7 5,5 5,2 2,2 2,2 1,2 1,1 1,0 12,0 1,6 8,3 7,2 0,5 5,6 0,1 21,2 13,8 0,1 29,6 Sumber: Palar (2008)

2.3 Kandungan Timbal dalam Makanan

Makanan merupakan kebutuhan pokok manusia yang secara langsung dapat berperan meningkatkan kesehatan, sehingga dapat melakukan kegiatan sehari-hari dengan baik dan untuk itulah beberapa kalangan, khususnya kalangan yang sangat memperhatikan kualitas kandungan setiap makanan yang dikonsumsi. Namun kenyataannya, saat ini sudah banyak sekali ditemukan makanan yang tidak terjamin lagi kualitasnya dikarenakan adanya pencemaran logam berat, salah satunya timbal (Pb).

Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Bapedal DKI Jakarta tahun 1998, kadar timbal (Pb) pada udara Jakarta sudah mencapai 0,5μg/m3. Untuk kawasan tertentu yang padat akan lalu lintas kendaraan bermotor seperti terminal bus, kadar timbal (Pb) bahkan sudah mencapai 2-8 μg/m3. Hal ini menyebabkan kandungan timbal (Pb) pada sayuran yang ditanam di pinggir jalan mencapai 15,5-29,9 ppm, padahal batas yang diperbolehkan oleh WHO hanya sebesar 2


(35)

ppm. Nilai ambang batas kadar timbal (Pb) pada minyak goreng sesuai dengan SNI 01-3741 Tahun 2013 adalah 0,1 mg/kg atau 0,1 ppm.

Selain dari cemaran asap kendaraan bermotor, timbal (Pb) dapat hadir pada makanan melalui peralatan dapur yang digunakan selama proses pengolahan, pengemasan hingga penyajian makanan. Sampai sekarang metode yang digunakan untuk membuat wadah pengemasan makanan kaleng masih menggunakan sistem pematrian dengan kandungan timbal yang tinggi. Begitu juga dengan kemasan dan non-kemasan (koran, majalah, dll) yang sering digunakan untuk membungkus makanan masih mengandung kadar timbal dalam jumlah yang melebihi batas yang sudah ditentukan. Marbun (2010) dalam penelitiannya juga memperoleh hasil bahwa lamanya waktu pajanan timbal (Pb) juga turut memberi kontribusi seberapa besar kadar timbal (Pb) yang terkanding pada makanan jajanan yang dijual di pinggir jalan Pasar I Padang Bulan Kota Medan.

2.4 Pengaruh Toksisitas Logam Timbal

Timbal (Pb) merupakan racun sistemik. Secara umum, timbal akan menimbulkan gejala seperti rasa logam di mulut, garis kehitaman pada gusi, gangguan gastro intestinal, anoreksia, muntah-muntah, kolik, encephalitis, wrist drop, iritasi kulit, perubahan kepribadian, kelumpuhan dan kebutaan. Gejala lain dari keracunan timbal ini adalah banemia dan albuminuria. (Soemirat, 2009)

Daya toksisitas logam berat terhadap makhluk hidup sangat bergantung pada spesies, lokasi, umur (fase siklus hidup), daya tahan (detoksikasi) dan kemampuan individu untuk bertahan dari pengaruh logam berat tersebut. Logam berat dapat masuk ke dalam jaringan tubuh makhluk hidup melalui beberapa jalur,


(36)

yaitu pernapasan (inhalasi), pencernaan (gastro intestinal) dan permukaan kulit (subkutan), dimana jalur yang paling memudahkan masuknya logam berat adalah jalur pernapasan (inhalasi). Setelah itu, logam berat akan diabsorpsi oleh darah, berikatan dengan protein darah dan didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh. Akumulasi logam tertinggi biasanya dalam organ detoksikasi (hati) dan ekskresi (ginjal). Biasanya kerusakan jaringan oleh logam berat terdapat di beberapa lokasi, baik tempat masuknya maupun tempat berakumulasinya logam berat tersebut. Akibat yang ditimbulkan antara lain berupa kerusakan fisik seperti erosi, degenerasi dan nekrosis serta gangguan fisologik seperti gangguan fungsi enzim dan gangguan metabolisme.

Frank (1994) berpendapat bahwa logam yang paling perlu diperhatikan dalam pajanannya lewat makanan adalah merkuri, timbal, dan kadmium. Asupan harian timbal lewat medium udara, air dan makanan jumlahnya mencapai masing-masing 15, 20 dan 140 ppm. Selain itu, Sartono (2001) mengatakan jika mengabsorpsi timbal (Pb) lebih dari 0,5 mg/hari akan terjadi akumulasi yang selanjutnya menyebabkan keracunan. Batas paparan untuk timbal tetrametil dan timbal tetraetil 0,07 mg/m3.

Darmono (1995) membagi gejala khas dari keracunan timbal (Pb) menjadi 3 bentuk, yaitu:

1. Gastroenteritis

Hal ini disebabkan oleh reaksi rangsangan garam Pb pada mukosa saluran pencernaan sehingga menyebabkan pembengkakan dan gerak kontraksi rumen


(37)

dan usus terhenti, peristaltik usus menurun sehingga terjadi konstipasi dan kadang-kadang diare.

2. Anemia

Timbal (Pb) terbawa dalam darah dan lebih dari 95% berikatan dengan eritrosit. Ini menyebabkan mudah pecahnya sel darah merah dan berpengaruh terhadap sintesis hemoglobin (Hb), sehingga menyebabkan anemia.

3. Encefalopati

Timbal (Pb) menyebabkan kerusakan sel endotel dan kapiler darah di otak. Pada umumnya barrier darah otak sangat mudah dilalui (permeable) oleh air, CO2,

dan O2, tetapi sedikit permeabel terhadap elektrolit seperti Na, Cl, dan K, dan

tidak dapat dilalui (impermeable) oleh sulfur dan logam berat. Tetapi pada saat sel endotel rusak, bentuk protein yang berukuran besar dapat lewat dan masuk ke dalam otak. Tekanan osmosis cairan ekstraseluler yang memenuhi otak mengakibatkan oedema otak. Kapiler darah otak ini sangat peka terhadap keracunan timbal (Pb), terutama pada hewan muda pada saat otak berkembang dengan cepat.


(38)

cemaran timbal (Pb) pada minyak goreng adalah sebesar 0,1 mg/kg bahan. Dalam SNI 01-3741 Tahun 2013, ditetapkan bahwa nilai ambang batas kadar timbal pada minyak goreng adalah sebesar 0,1 mg/kg dan Acceptable Dialy Intake (ADI) menurut WHO untuk logam berat timbal yang diperbolehkan untuk orang dewasa adalah sebesar 50 µg/kg berat badan dan untuk anak-anak adalah sebesar 25 µg/kg berat badan.

Salah satu faktor yang dapat memengaruhi tingkat keracunan pada individu seperti yang telah dijelaskan adalah berdasarkan umur individu tersebut. Bayi dan anak-anak umumnya lebih peka terhadap toksisitas timbal (Pb) daripada orang dewasa, hal ini disebabkan oleh:

Timbal di udara

Tanah Saluran

Pembuangan Debu

Tumbuhan Air

Binatang Tumbuhan

air

Manusia

Gambar 2.1 Kinetika Perjalanan Timbal (Pb) Hingga Masuk ke Dalam Tubuh manusia.(Environmental Health Criteria 3 WHO, 1997 dalam


(39)

1. Bayi dan anak-anak mengonsumsi makanan lebih banyak untuk setiap unit berat badannya.

2. Absorpsi timbal (Pb) lebih intensif pada saluran pencernaan.

3. Fungsi dari organ seperti otak, ginjal dan hati masih dalam proses perkembangan.

Darmono (1995) mengatakan bahwa timbal (Pb) dalam bentuk larutan diabsorpsi sekitar 1-10% melalui dinding pencernaan. Sistem darah porta hepatis (dalam hati) membawa timbal (Pb) tersebut dan dideposisi dan sebagian lagi dibawa darah dan didistribusikan ke dalam jaringan. Timbal (Pb) kemudian diekskresikan melaui urine dan feses.

Metabolisme timbal (Pb) dalam tubuh manusia dapat dilihat pada skema berikut:

ABSORPSI PENYIMPANAN EKSKRESI

Gambar 2.2 Skema metabolisme timbal (Pb) dalam tubuh manusia (Hemberg S dalam Zens C, 1994 dalam Hasibuan, 2012 dengan modifikasi)

Jaringan tulang Jaringan lunak

Keringat Rambut

Kuku Kulit

Darah Paru-paru

Saluran nafas atas

Urine Ginjal

Saluran cerna Faring

Feses Usus Besar


(40)

Pada manusia dewasa jumlah kandungan atau konsentrasi timbal (Pb) dalam darah tidak sama, sehingga konsentrasi timbal (Pb) dalam darah dapat digolongkan ke dalam 4 kategori, sebagaimana pada tabel 2.5 berikut:

Tabel 2.2 Empat Kategori Timbal (Pb) dalam Darah Orang Dewasa

Kategori µg Pb/100 ml Darah Deskripsi

A (normal) B (dapat ditoleransi)

<40 40-80

Tidak terkena paparan atau tingkat paparan normal

Pertambahan penyerapan dari keadaan terpapar tetapi masih bisa ditoleransi

C (berlebih)

D (tingkat bahaya)

80-120

>120

Kenaikan penyerapan dari keterpaparan yang banyak dan mulai memperlihatkan tanda keracunan

Penyerapan mencapai tingkat bahaya dengan tanda-tanda keracunan ringan sampai berat Sumber : Palar (2008)

2.4.1 Keracunan Akut

Keracunan akut pada anak-anak dan usia dewasa berbeda. Pada anak-anak, dalam kurun waktu 1-6 minggu gejala tidak tampak, setelah 6 minggu timbul gejala keracunan timbal (Pb) yang akut ditandai dengan hilangnya nafsu makan (anoreksia), lalu diikuti dengan rasa sakit perut dan muntah, tidak berkeinginan untuk bermain, berjalan sempoyongan, sulit berkata-kata, enselopati dan berujung pada koma.

2.4.2 Keracunan Kronik

Seperti yang dilaporkan oleh Molina dkk (1983) dan dikutip oleh Darmono (2001) keracunan timbal (Pb) kronik terjadi pada anak-anak dari keluarga pengrajin tembikar (tanah liat) di daerah Meksiko, di mana ibunya sudah


(41)

lama terpapar timbal (Pb) dan mengakibatkan adanya kadar timbal (Pb) yang tinggi pada darah ibu. Ibu tersebut akan melahirkan dan menyusui anak yang lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR), tidak optimalnya perkembangan otak anak yang mengakibatkan tingkat kecerdasan (IQ) anak rendah, gangguan fungsi pendengaran, perubahan tingkah laku dan gangguan fungsi organ vital lainnya.

Keracunan pada orang dewasa kebanyakan terjadi akibat paparan di tempat mereka bekerja. Gejala yang terlihat adalah wajah pucat, sakit perut, konstipasi, muntah, anemia dan sering terlihat garis biru pada gusi di atas gigi. Pada pemeriksaan psikologi dan neuropsikologi ditemukan gejala berkurangnya kemampuan sistem memori, konsentrasi menurun, sulit berbicara dan gangguan saraf lainnya.

2.5 Metode Spektrofotoskopi Serapan Atom

Spektrofotoskopi Serapan Atom (SSA) merupakan metode yang paling umum digunakan untuk menganalisis zat atau unsur logam berat atau metaloida yang berdasarkan pada penyerapan, absorpsi dan radiasi oleh atom bebas. Azis (2007) menyebutkan bahwa prinsip kerja SSA didasarkan pada hukum Labmert-Beer, yaitu absorbansi berbanding lurus dengan panjang nyala yang dilalui sinar dan konsentrasi uap atom dalam nyala.

Pada penggunaan spektrofotometri serapan atom, sampel yang dianalisis harus dalam keadaan asam dengan pH antara 2 sampai 3, karena pada keadaan inilah proses atomisasi dapat berjalan dengan sempurna dan dapat mencegah keadaan korosi pada dinidng kapiler spektrofotometri serapan atom. Adapun hal yang perlu diperhatikan dalam pemakaian SSA antara lain: pemilihan lampu,


(42)

pemilihan panjang gelombang dan pengaturan celah, penyediaan cuplikan, penyediaan api dan pengaturan dan pembacaan serapan.

2.6 Ketengikan

Menurut Aminah (2010), masyarakat Indonesia cenderung lebih menyukai makanan yang diolah dengan menggunakan minyak goreng dibanding makanan yang diolah dengan cara direbus. Hal ini dikarenakan hasil dari bahan pangan yang diolah dari proses penggorengan memiliki cita rasa yang khas sehingga memang lebih nikmat di lidah. Namun sayangnya, terkait hal ini muncul masalah baru, yakni maraknya penggunaan minyak goreng secara berulang kali dengan alasan tidak tahu dampak dari hal tersebut bagi kesehatan, adanya anggapan sebagian besar masyarakat rasa dari bahan pangan yang digoreng dengan minyak jelantah ini akan jauh lebih nikmat dan alasan penghematan, merasa sayang jika minyak goreng tersebut harus dibuang sementara tampilan fisiknya masih tampak bagus. Padahal sebenarnya batas maksimal pengulangan pemakaian minyak goreng adalah sebanyak 2 kali dan itupun tergantung pada kondisi fisik minyak goreng tersebut, di mana apabila minyak sudah berubah menjadi warna kecoklatan atau kehitaman, sudah dapat dipastikan bahwa kualitas minyak tersebut sudah menurun dan tidak layak digunakan kembali.

Minyak goreng yang digunakan berulang kali atau yang lebih dikenal dengan istilah minyak jelantah adalah minyak limbah yang bisa berasal dari jenis-jenis minyak goreng yang merupakan minyak bekas pemakaian kebutuhan rumah tangga umumnya dan digunakan kembali untuk keperluaran kuliner. Namun apabila ditinjau dari komposisi kimianya, minyak jelantah mengandung


(43)

senyawa-senyawa yang bersifat karsinogenik, yang terjadi selama proses penggorengan dalam jangka waktu yang cukup lama.

Ketengikan merupakan suatu proses di mana minyak goreng mengalami kerusakan dengan tanda adanya cita rasa dan bau yang tidak sedap pada minyak goreng yang disebabkan oleh suhu pemanasan yang tinggi dan adanya kandungan udara dan air pada bahan makanan yang tentunya mengalami kontak langsung dengan minyak goreng pada saat proses penggorengan berlangsung.

2.6.1 Jenis-Jenis Ketengikan

Menurut Ketaren (1986) berdasarkan penyebabnya, ketengikan minyak goreng terbagi atas 3 (tiga) jenis, yaitu ketengikan oleh hidrolisis, ketengikan oleh oksidasi dan ketengikan oleh enzim.

1. Ketengikan Hidrolisis (Hydrolitic Rancidity)

Ketengikan hidrolisis terjadi akibat lepasnya komponen asam lemak bebas karena terlepasnya ikatan ester pada lemak (trigliserol) sehingga mengakibatkan memendeknya rantai asam lemak bebas dan menghasilkan asam lemak dan gliserol dan juga bau khas yang tidak sedap. Menurut Winarno (1995), ketengikan hidrolisis biasanya terjadi dalam proses penggorengan dengan metode deep-fat frying karena menggunakan suhu yang tinggi yang dapat memecahkan struktur lemak menjadi asam lemak dan gliserol. Selanjutnya, ikatan gliserol akan pecah dan menyebabkan lepasnya dua molekul air dan membentuk senyawa akrolein yang dapat mengiritasi mata dan tenggorokan.


(44)

��2 OOC �1 H C OH

��2 OOC �2 -2 �2� H C + �2O ��2 OOC �3 panas H C H

gliserol akrolein

Gambar 2.3 Proses Hidrolisis Minyak dan Pembentukan Akrolein (Winarno, 1995)

2. Ketengikan oleh Oksidasi (Oxidative Rancidity)

Ketengikan oksidatif terjadi akibat terjadinya proses oksidasi lemak pada minyak goreng yang dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti komposisi asam lemak, konsentrasi oksigen, pencahayaan, temperatur yang tinggi dan keberadaan logam tertentu pada minyak goreng yang dapat membentuk radikal bebas. Ada tiga tahapan penting dalam proses ketengikan oksidatif, yaitu tahap inisiasi aktivasi yang ditandai dengan pemutusan ikatan rangkap dari asam lemak jenuh (RH) yang dikatalis oleh cahaya, panas dan ion logam. Selanjutnya adalah tahap propagasi atau dekomposisi peroksida yang ditandai dengan pelepasan atom hidrogen dari molekul lemak atau minyak atau penambahan oksigen ke radikal alkil. Tahap terakhir adalah tahap terminasi atau penghentian yang ditandai dengan adanya penggabungan produk-produk radikal membentuk senyawa-senyawa nonradikal.


(45)

Tahap Inisiasi Aktivasi : RH+ O2 radikal bebas : ROOH

(ROOH)2 Tahap Dekomposisi Peroksida: R+ O2 RO2

RO2 + RH R + ROOH Tahap Terminasi : R +R RR

R + OR R + RO2

Gambar 2.4 Tahapan Ketengikan Oksidasi (Lawson, 1985) 3. Ketengikan oleh Enzim (Enzymatic Rancidity)

Ketengikan enzimatis merupakan proses rusaknya komponen minyak goreng dikarenakan adanya aktivitas organisme penghasil enzim tertentu dalam lemak yang dapat menguraikan trigliserida menjadi asam lemak bebas dan gliserol juga sekaligus dapat berperan sebagai katalisator dan menghasilkan hyperperoxyde (nilai peroksida yang berlebih). Menurut Ketaren (1986) sebagai contoh bahan pangan dengan kadar air dan kelembaban udara tertentu merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan jamur. Jamur dapat mengeluarkan enzim lipo clastic yang mampu menguraikan trigliserida menjadi asam lemak bebas dan gliserol.

2.6.2 Racun dalam Minyak yang Digunakan Berulang Kali dan Dampaknya bagi Kesehatan

1. Akrolein

Akrolein adalah senyawa yang terbentuk apabila minyak digunakan berulang kali dalam suhu yang sangat tinggi. Akrolein inilah yang dapat

R, OR, RO2 dan OH

Hasil akhir tidak stabil Nonradikal


(46)

menyebabkan alergi kerongkongan dan berujung pada terjadinya radang kerongkongan.

2. Jamur Aflatoksin

Minyak jelantah merupakan media yang sangat menguntungkan untuk pertumbuhan jamur. Hal ini dikarenakan adanya kandungan air yang terdapat pada bahan makanan tertentu yang digoreng dan tertinggal pada minyak penggorengan tersebut. Jamur aflatoksin tersebut dapat menginfeksi hati dan mengakibatkan radang hati (Sulistiyowati, 2011).

3. Asam Lemak Tidak Jenuh

Minyak jelantah merupakan minyak yang sudah mengalami perubahan kandungan nilai gizi yang di mana pada akhrinya minyak mengandung lebih sedikit asam lemak jenuh yang baik untuk kesehatan daripada asam lemak tak jenuh yang dapat menimbulkan berbagai gangguan kesehatan. Jika termasuk ke dalam tubuh, ikatan asam lemak tak jenuh ini sulit diuraikan dan dibawa dalam aliran darah sehingga dapat menimbulkan endapan yang menyumbat aliran pembuluh darah. Tersumbatnya aliran pembuluh darah mengakibatkan muncul penyakit degeneratif seperti arterosklerosis dan penyakit jantung koroner (PJK).

Selain itu, asam lemak tak jenuh juga dapat mengganggu susunan protein DNA dalam tubuh dan mengakibatkan mutasi sel dan dalam jangka waktu 5-10 tahun ke depan dapat menimbulkan sel-sel kanker.

4. Peroksida

Peroksida dapat mengakibatkan destruksi berbagai macam vitamin dalam bahan pangan berlemak, misalnya A, D, E, K dan sejumlah kecil vitamin B.


(47)

Keberadaan peroksida dalam sistem peredaran darah akan menigkatkan kebutuhan tubuh akan vitamin E (Ketaren, 1986).

5. Residu Karbohidrat

Residu karbohidrat berasal dari sisa penggorengan dari tepung yang digunakan untuk menggoreng bahan makanan tertentu. Tepung tersebut akan tertinggal dalam minyak dan jumlahnya akan meningkat sebanding dengan frekuensi pengulangan penggorengan dengan minyak yang sama. Jika mengonsumsi makanan yang digoreng dengan minyak goreng tersebut, karbohidrat dalam tepung akan masuk ke aliran darah, meningkatkan kadar gula darah dan mengakibatkan penyakit diabetes mellitus.

2.7 Metode Titrasi Iodine

Secara kualitatif, kualitas minyak goreng dapat dilihat dari tampilan fisiknya seperti adanya bau yang tidak sedap dan warna kecoklatan pada minyak goreng. Namun, secara kuantitatif, kualitas minyak goreng dapat ditentukan dari pennetuan bilangan peroksida yang merupakan indikator terjadinya pemecahan atau kerusakan minyak yang dikarenakan adanya kontak langsung minyak dengan oksigen. Semakin tinggi bilangan peroksida yang ditunjukkan, maka semakin rendah pula kualitas minyak goreng tersebut.

Penentuan bilangan peroksida dilakukan dengan cara titrasi dengan larutan Natrium tiosulfat 0,02 N sebagai pentiter. Prinsip dari penentuan bilangan peroksida ini adalah senyawa dalam minyak akan dioksidasi oleh Kalium Iodida (KI) dan iod yang dilepaskan akan dititer dengan tiosulfat (Farihah, 2002).


(48)

Bilangan peroksida dapat ditentukan secara kuantitatif dengan metode titrasi iodine, dengan menentukan jumlah iodine yang dibebaskan menggunakan kalium iodida. Jumlah iodine yang terbebas akan dititrasi dengan natrium tiosulfat dan ditambahkan indikator amilum hingga muncul warna kebiruan. Selanjutnya dititrasi kembali dengan natrium tiosulfat hingga warna biru tepat menghilang. Nilai bilangan peroksida dinyatakan dalam satuan miliekivalen iodine per kilogram minyak atau lemak (Arianti, dkk , 2003).

2.8 Minyak Goreng

2.8.1 Pengertian Minyak Goreng

Menurut SNI 01-3741-2013, minyak goreng adalah bahan pangan dengan komposisi utama trigliserida berasal dari bahan nabati, dengan atau tanpa perubahan kimiawi, termasuk hidrogenasi, pendinginan dan telah melalui proses rafinasi atau pemurnian dan digunakan untuk proses menggoreng. Minyak goreng yang biasa beredar di konsumen dan digunakan untuk kebutuhan rumah tangga adalah minyak yang berasal dari tumbuhan yang didapatkan dari tanaman sepereti kelapa, biji-bijian, kacang-kacangan, jagung, kedelai dan kanola.

Menurut Winarno (1995), minyak merupakan benda cair yang dikarenakan lebih rendahnya kandungan asam lemak jenuh dibanding asam lemak tak jenuhnya dan memiliki satu atau lebih ikatan rangkap di antara karbon-karbonnya sehingga memiliki titik lebur yang rendah. Sebagian besar minyak dan lemak di alam terdiri atas 95-98% trigliserida yang merupakan ester gliserol dan alkohol trihidrat dan asam lemak yang tepatnya disebut sebagai triasilgliserol. Bila ketiga asam lemak di dalam asam gliserida adalah asam lemak yang sama, maka disebut


(49)

sebagai trigliserida sederhana dan bila tidak sama disebut sebagai trigliserida campuran (Almatsier, 2009).

Secara umum komponen utama minyak yang sangat menentukan mutu minyak adalah asam lemaknya, karena asam lemak menentukan sifat kimia dan stabilitas minyak. Mutu minyak goreng juga ditentukan oleh titik asapnya, yaitu suhu pemanasan minyak sampai terbentuk akrolein yang menimbulkan rasa gatal pada tenggorokan yang terbentuk dari hidrasi gliserol. Titik asap suatu minyak goreng tergantung pada kadar gliserol bebasnya. Semakin tinggi kadar gliserol makin rendah titik asapnya, artinya minyak tersebut makin cepat berasap. Dengan kata lain, baik tidaknya kualitas minyak goreng juga dapat dilihat dari tinggi rendahnya titik asap minyak goreng, di mana jika semakin tinggi titik asapnya,maka kualitasnya baik dan sebaliknya, jika semakin rendah titik asapnya, maka semakin buruk pula kualitas dari suatu minyak goreng.

O CH2 O C R1

O

CH O C R2

O

CH2 O C R3


(50)

Berikut adalah beberapa parameter persyaratan minyak goreng yang diatur dalam SNI 01-3741 Tahun 2013:

Tabel 2.3 Syarat Mutu Minyak Goreng

No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan

1 Keadaan

1.1 Bau - Normal

1.2 Warna - Normal

2 Kadar air bahan menguap % (b/) maks 0,15

3 Bilangan asam mg KOH maks 0,6

4 Bilangan peroksida mek O2/kg maks 10

5 Minyak pelican - Negative

6 Asam linolenat (C18:3) dalam komposisi asam lemak minyak

% maks 2

7 Cemaran logam

7.1 Cadmium (Cd) mg/kg 0,2

7.2 Timbal (Pb) mg/kg 0,1

7.3 Timah (Sn) mg/kg maks 40/250

7.4 Merkuri (Hg) mg/kg maks 0,05

7.5 Arsen (As) mg/kg 0,1

Sumber: BSN (2013)

2.8.2 Sifat-Sifat Minyak Goreng

Minyak goreng memiliki sifat-sifat tertentu, antara lain sifat fisika dan sifat kimia.

1. Sifat Fisik a. Berat Jenis

Berat jenis minyak lebih kecil dibanding berat jenis air, sehingga jika air minyak bercampur dengan minyak, maka lapisan minyak akan naik dan pada akhirnya berada di atas permukaan air.

b. Warna

Zat warna yang dimaksudkan adalah zat warna yang secara alamiah terdapat pada minyak goreng seperti α dan ß-karoten, xantofil, klorofil dan


(51)

anthosianin. Karotenoid inilah yang membuat minyak goreng berwarna kekuningan dan apabila terhidrogenasi dapat mengakibatkan intensitas warna kuning berkurang.

c. Odor dan Flavor

Odor dan flavor juga hal yang secara alami terdapat pada minyak goreng karena pembentukan asam-asam yang sangat pendek sebagai hasil penguraian pada kerusakan minyak goreng. Biasaya hal ini dikarenakan bahan bukan kompononen minyak, misalnya bau khas dari minyak kelapa sawit yang mengandung beta iodine, dan bau khas dari minyak kelapa yang mengandung nonylmethylketon.

d. Kelarutan

Pada umumnya, minyak tidak dapat larut dalam air, kecuali minyak jarak (castor oil). Kelarutan minyak dalam minyak ditentukan oleh panjangnya rantai asam lemak yang terkandung dalam minyak tersebut, di mana semakin panjang rantai asam lemaknya, semakin sulit larut dalam air. Minyak hanya dapat larut sedikit dalam alkohol, namum akan terlarut sempurna dalam etil-eter, karbon disulfida dan pelarut halogen.

e. Titik Cair

Menurut Winarno (1999), titik cair minyak ditentukan oleh banyaknya ikatan rangkap pada minyak, di mana semakin banyak ikatan rangkapnya, semakin lemah ikatannya dan titik cair semakin rendah. Penambahan 1 ikatan rangkap dapat menurunkan titik cair minyak sebesar 14ºC.


(52)

f. Titik Lebur

Titik lebur minyak juga dipengaruhi oleh sifat dari asam lemak yang terkandung dalam minyak tersebut, di mana asam lemak jenuh memiliki titik lebur yang lebih tinggi daripada asam lemak tidak jenuh.

g. Titik Didih, Titik Asap, Titik Nyala, Titik Api

Titik didih akan meningkat jika rantai karbon asam lemak semakin panjang. Titik asap merupakan suatu titik di mana apabila minyak dipanaskan akan muncul asap tipis kebiruan. Jika minyak terus dipanaskan, maka akan terbakar dan pada saat itu disebut sebagai titik api. Ketiga kondisi ini perlu diperhatikan untuk menentukan mutu minyak goreng yang akan digunakan. h. Titik Kekeruhan

Titik keruh dapat ditentukan dengan cara memanaskan minyak dengan campuran pelarut hingga terlarut sempurna, lalu didinginkan. Pada suhu tertentu, campuran akan mulai terpisah, dan suhu itulah yang dinamakan dengan titik keruh.

2. Sifat Kimia a. Hidrolisa

Hidrolisa merupakan suatu proses di mana kandungan minyak berubah menjadi asam lemak bebas dan gliserol. Hal ini dapat mengakibatkan penurunan kualitas minyak karena adanya kandungan air dan menyebabkan munculnya rasa dan bau tengik pada minyak tersebut.


(53)

b. Hidrogenasi

Hidrogenasi merupakan proses industri yang bertujuan untuk menjenuhkan ikatan rangkap dari rantai karbon minyak dengan menggunakan katalisator serbuk nikel dan hidrogen murni dan dapat menghasilkan minyak dalam bentuk padat atau margarine.

c. Esterifikasi

Proses esterifikasi ini bertujuan untuk mengubah asam lemak berantai pendek penyebab bau menjadi asmal lemak berantai panjang yang tidak menyebabkan bau.

d. Oksidasi

Oksidasi merupakan proses di mana minyak mengalami kontak dengan oksigen bebas dan menimbulkan bau tengik yang diawali dengan pembentukan peroksida.

2.8.3 Proses Penggorengan

Proses penggorengan adalah salah satu metode memasak klasik untuk menghasilkan produk yang kering dan bercita rasa khas. Bahan makanan menjadi kering karena ada proses hidrasi sebagai akibat proses perpindahan panas dari minyak goreng ke bahan makanan. Adapun sifat dari proses penggorengan ini antara lain:

1. Cepat, karena menggunakan suhu yang tinggi (177-221ºC), penguapan air dan pencoklatan enzimatis berlangsung pada waktu yang relatif singkat. 2. Efisien, energi panas tidak banyak terbuang serta media pemindahan panas


(54)

3. Sifat produk khas dari segi rasa dan tekstur, mengandung resapan minyak goreng yang tinggi sebagai akibat kontak langsung antara bahan pangan dengan minyak goreng selama proses penggorengan berlangsung (Rizky, 2006).

Beberapa hal yang dapat memengaruhi waktu penggorengan antara lain adalah:

1. Jenis Bahan Pangan

Jika bahan pangan yang akan diolah mengandung sedikit kadar air, maka hanya sedikit pula waktu yang digunakan untuk mengeringkan (mengurangi bahkan menghilangkan kadar air) bahan pangan tersebut dalam proses penggorengan. Sebaliknya, jika semakin besar kadar air yang terkandung dalam bahan pangan tersebut, maka semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk mengeringkan (mengurangi bahkan menghilangkan kadar air) bahan pangan tersebut dalam proses penggorengan.

2. Suhu Minyak Goreng

Semakin tinggi suhu yang digunakan dalam proses penggorengan, semakin singkat waktu yang diperlukan. Sebaliknya, jika suhu yang digunakan dalam proses penggorengan lebih rendah, lebih lama atau banyak pula lah waktu yang digunakan untuk proses penggorengan tersebut.

3. Metode penggorengan, meliputi:

a. Shallow/Pan Frying, dengan karakteristik penggunaan minyak dalam jumlah yang sedikit sehingga tidak semua bahan pangan terendam dalam minyak goreng, ada bagian bahan pangan yang kontak langsung dengan wajan


(55)

penggorengan, serta ada variasi suhu pada permukaan bahan selama proses penggorengan berlangsung.

b. Deep-Fat Frying, dengan karaktersitik penggunaan minyak dalam jumlah

yang banyak sehingga seluruh bagian bahan pangan terendam, panas yang diterima relatif merata. Metode ini banyak digunakan pada industri makanan ringan, industri mie instan, daging olahan dan lain sebagainya. Bahan makanan yang diolah dengan metode deep-fat frying ini akan mengalami perubahan seperti perubahan warna, oksidasi, polimerisasi dan hidrolisis (Lawson, 1985).

4. Ketebalan Bahan Pangan

Semakin tebal bahan pangan yang akan digoreng, semakin lama pula waktu yang dibutuhkan. Hal ini dikarenakan luasnya permukaan yang harus diresapi oleh panas yang dihantarkan melalui minyak goreng untuk mencapai tingkat perubahan tertentu yang diinginkan.

5. Tingkat Perubahan yang Diinginkan

Tingkat perubahan yang dimaksud di sini adalah tekstur dari bahan pangan itu sendiri setelah proses penggorengan; apakah rapuh atau tidak begitu rapuh. Dikatakan rapuh apabila kadar air pada bahan makanan itu benar-benar hilang setelah proses penggorengan dan diperlukan waktu yang lebih lama untuk hal ini.

Dalam porses penggorengan, minyak goreng berfungsi sebagai medium penghantar panas, dimana panas tersebut dapat membuat bahan pangan menjadi kering (kadar airnya berkurang atau bahkan hilang sama sekali) sehingga menjadikannya rapuh dan gurih serta menambah nilai gizi dan kalori dalam bahan pangan. Selama proses menggoreng berlangsung, sebagian minyak ikut


(56)

masuk ke bagian kerak dan bagian luar (outer zone) bahan pangan, sehingga jika seseorang mengkonsumsi bahan pangan digoreng, maka dia juga mengkonsumsi sejumlah lemak dan minyak yang terbawa dari kuali penggorengan ke dalam bahan pangan yang digoreng tersebut (Ketaren, 2008).

2.8.4 Perbedaan Minyak Goreng Curah dan Minyak Goreng Kemasan Minyak goreng curah merupakan sebutan yang umum digunakan untuk minyak goreng yang terbuat dari kelapa sawit. Minyak goreng ini biasanya diproduksi dalam jumlah yang cukup besar, dengan tujuan mengurangi biaya kemasan, sehingga harga jualnya juga lebih murah dibandingkan minyak goreng kemasan. Pada tahap pembuatannya hanya dilakukan satu kali proses penyaringan (rafinasi), sehingga fraksi padat stearinnya relatif lebih banyak dibandingkan dengan minyak goreng kemasan atau bermerk. Hal ini juga mengakibatkan minyak goreng curah menjadi lebih vepat membeku dibandingkan minyak goreng kemasan pada suhu rendah. Selain itu, perbedaan antara minyak goreng curah dan kemasan dapat dilihat dari tampilan fisiknya seperti warna yang lebih keruh pada minyak goreng curah dibanding minyak goreng kemasan yang warna kekuningannya lebih cerah dan jernih. Tampilan fisik lain yang membedaknnya adalah dari segi aroma (bau), di mana aroma minyak goreng curah lebih terasa dibandingkan dengan minyak goreng kemasan.


(57)

Gambar 2.7 Minyak Goreng Curah

Dalam hal produksi dan pendistribusian antara minyak goreng curah dan minyak goreng kemasan dari produsen menuju konsumen juga berbeda. Dalam hal produksi, seperti yang sudah dijelaskan bahwa minyak goreng curah hanya melewati satu kali proses rafinasi, sedangkan minyak goreng kemasan melewati dua kali proses rafinasi. Dalam hal pendistribusiannya, tingkat kebersihannya juga berbeda, sehingga resiko kontaminasi bahan pencemar pada kedua jenis minyak tersebut juga berbeda. Ketika minyak goreng curah akan didistribusikan dari produsen ke pedagang, biasanya digunakan wadah berupa drum atau jerigen minyak yang belum tentu terjaga kebersihannya. Demikian selanjutnya ketika minyak goreng curah didistribusikan dari pedagang ke konsumen, biasanya menggunakan cangkir untuk menuangkannya ke dalam wadah berupa plastik, yang keduanya juga belum tentu terjaga kebersihannya.

Kebersihan minyak goreng jelas sangat erat kaitannya dengan komposisi bahan yang terkandung dalam minyak goreng tersebut. Seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa minyak goreng curah didistribusikan dengan wadah berupa jerigen yang tidak dapat dipastikan kualitas kebersihannya bagaimana, bisa saja jerigen wadah penyimpanan minyak goreng, atau cangkir untuk menuangkan ke dalam wadah plastik atau bahkan wadah plastik ini terlebih dahulu sudah tercemar


(58)

minyak goreng curah tersebut. Hasibuan (2012) dalam penelitiannya memperoleh hasil bahwa timbal sudah ada pada seluruh sampel minyak goreng curah yang baru atau yang belum digunakan oleh pedagang untuk menggoreng, walaupun hanya satu di antara lima yang diperiksa yang kadar timbalnya melebihi batas nilai yang dipersyaratkan.

Selain terkait dengan kadar timbal, kontaminasi antara minyak goreng dengan udara bebas yang bisa saja mengandung bahan pencemar tertentu dapat mengakibatkan tingginya bilangan peroksida sebagai indikator ketengikan minyak goreng. Para pedagang di pasar tradisional biasa menyimpan minyak goreng curah dalam suatu jerigen atau tong, yang mana pada saat hendak menuangkannya ke dalam wadah plastik kepada konsumen, wadah penyimpanan dibiarkan dalam keadaan terbuka dan mengakibatkan terjadinya kontak langsung antara minyak goreng dengan udara bebas dalam beberapa saat. Yani (2011) dalam penelitiannya memperoleh hasil bahwa pada minyak goreng curah yang belum digunakan pun sudah mulai terjadi kenaikan bilangan peroksida. Pendapat Yani ini sejalan dengan hasil penelitian yang biasa dilakukan oleh pihak Balai Riset dan Standardisasi Industri Medan, di mana pada minyak goreng curah yang belum digunakan, kadar bilangan peroksidanya sudah mencapai angka 2 mek O2/kg bahan. Selain dari kontaminasi minyak goreng dengan udara bebas, peningkatan bilangan peroksida minyak goreng dapat disebabkan oleh faktor lainnya seperti cahya serta penggunaan suhu yang tinggi selama proses penggorengan berlangsung, di mana hal ini dapat memacu terjadinya oksidasi minyak goreng dan meningkatkan bilangan peroksidanya.


(59)

2.9 Kerangka Konsep

Adapun .kerangka konsep penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.6 berikut:

Gambar 2.8 Kerangka Konsep Kadar Pb pada

minyak goreng Minyak Goreng pada

Pedagang Gorengan

Kadar ketengikan pada minyak

Memenuhi syarat

Tidak Memenuhi syarat

Memenuhi syarat

Tidak Memenuhi syarat

Perilaku Pedagang Gorengan (Pengetahuan, Sikap dan Tindakan)


(60)

41 BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini bersifat deskriptif, untuk mengetahui gambaran kadar timbal (Pb) dan bilangan peroksida sebagai indikator tingkat ketengikan minyak goreng yang digunakan berulang serta perilaku para pedagang gorengan di Kelurahan Kenangan Kecamatan Percut Sei Tuan pada tahun 2015.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1 Lokasi Penelitian

Lokasi pengambilan sampel dilakukan di lima persimpangan jalan di Kelurahan Kenangan, antara lain:

a. Simpang Jalan Kenari Raya 2 yang disebut dengan S1 b. Simpang Jalan Rajawali 1 yang disebut dengan S2 c. Simpang Jalan Kepodang 2 yang disebut dengan S3 d. Simpang Jalan Garuda 3 yang disebut dengan S4 e. Simpang Jalan Cucakrawa 2 yang disebut dengan S5

Adapun hal-hal yang menjadi pertimbangan dalam pemilihan kelima lokasi pengambilan sampel tersebut adalah:

1. Pedagang gorengan tersebut menjajakan dagangannya mulai dari siang hari hingga sore hari dan berada di lokasi yang strategis, yakni mudah dilihat oleh calon pembeli sehingga banyak dikunjungi.

2. Pengolahan makanan jajanan gorengan tersebut dilakukan di pinggir jalan yang dekat dengan jalur lalu lalang berbagai macam kendaraan bermotor dan


(61)

tanpa menggunakan penghalang yang memadai untuk mengurangi pajanan udara atau asap kendaraan bermotor yang lalu lalang.

3. Kebiasaan para pedagang yang menggunakan minyak goreng secara berulang untuk menggoreng jajanan dagangannya yang mendukung terjadinya kerusakan kualitas nilai gizi yang terkandung dalam minyak goreng tersebut.

Pemeriksaan kadar timbal (Pb) dan bilangan peroksida minyak goreng dilakukan di Balai Riset dan Standardisasi Industri Medan.

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan April hingga Juni 2015. 3.3 Populasi dan Sampel

Populasi dan sampel penelitian ini adalah minyak goreng yang digunakan oleh lima pedagang gorengan pada masing-masing persimpangan yang telah ditentukan dengan berbagai pertimbangan.

3.4 Metode Pengumpulan Data

Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling, dimana sampel dipilih secara sengaja berdasarkan pertimbangan tertentu. Sampel minyak goreng yang diambil adalah minyak goreng yang digunakan pada penggorengan terakhir kali dan selanjutnya dilakukan pemeriksaan kadar timbal (Pb) dan kadar bilangan peroksida pada minyak goreng dilakukan di Balai Riset dan Standarisasi Industri Medan.

3.4.1 Data Primer

Data primer diperoleh dari hasil observasi, pengisian kuesioner dan wawancara serta hasil pemeriksan sampel di Balai Riset dan Standarisasi Industri Medan terhadap kadar timbal (Pb) dan bilangan peroksida pada minyak goreng.


(62)

Pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui kadar timbal (Pb) secara kuantitatif dan kualitatif dilakukan dengan menggunakan metode Spektrofotoskopi Serapan Atom (SSA) dan untuk mengetahui kadar ketengikan (bilangan peroksida) minyak dapat dilakukan dengan metode titrasi iodine.

3.4.2 Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari berbagai literatur berupa hasil penelitian sebelumnya, karya-karya ilmiah terkait pemeriksaan kadar timbal dan bilangan peroksida pada minyak goreng.

3.5 Defenisi Operasional

1. Pedagang gorengan adalah pedagang yang mengolah dan menjajakan gorengannya di lima persimpangan jalan, yakni simpang Jalan Kenari Raya 2 (S1), Jalan Rajawali 1 (S2), Jalan Kepodang 2 (S3), Jalan Garuda 3 (S4) dan Jalan Cucakrawa 2 (S5).

2. Minyak goreng adalah minyak yang dipakai pedagang untuk menggoreng berbagai jenis makanan jajanan pada penggorengan yang terakhir kalinya. 3. Kadar timbal (Pb) pada minyak goreng adalah banyaknya timbal (Pb) yang

ditemukan pada sampel melalui pemeriksaan laboratorium dalam satuan ppm dan batas maksimum kadar timbal dalam minyak goreng sesuai dengan SNI 01-3741 Tahun 2013 yaitu sebesar 0,1 ppm.

4. Kadar bilangan peroksida pada minyak goreng menunjukkan banyaknya peroksida yang terbentuk akibat proses oksidasi lemak dan dapat mengakibatkan penurunan kualitas minyak berupa peristiwa ketengikan pada minyak dan baku mutu bilangan peroksida dalam SNI 01-3741 Tahun 2013 yaitu sebesar 10 mek O2 /kg bahan.


(63)

5. Perilaku pedagang adalah pengetahuan, sikap dan tindakan pedagang yang berhubungan dengan pencemaran jajanan gorengan oleh asap kendaraan bermotor dan penggunaan minyak goreng bekas secara berulang yang menimbulkan ketengikan pada minyak goreng.

3.6 Metode Pengukuran Data 3.6.1 Pemeriksaan Timbal (Pb)

Prosedur kerja pemeriksaan timbal (Pb) pada minyak goreng dilakukan dengan metode Spektroskopi Serapan Atom (SSA) berdasarkan SNI 01-3741 Tahun 2013 yaitu:

I. ALAT-ALAT

1. SSA dan kelengkapannya

2. Tanur terkalibrasi dengan ketelitian 1ºC 3. Neraca analitik terkalibrasi, ketelitian 0,1 mg 4. Pemanas listrik

5. Penangas air

6. Pipet ukur berskala 0,05 ml atau buret terkalibrasi 7. Labu ukur 1000 ml, 100 ml dan 50 ml terkalibrasi 8. Gelas ukur 100 ml

9. Gelas piala 10 ml 10. Botol propilen

11. Cawan porselen 50 ml dan 100 ml

12. Kertas saring dengan spesifikasiparticle retention liquid 20 µm sampai dengan 25 µm


(1)

Tabulasi Silang Perilaku Pedagang dengan Kadar Timbal

Case Processing Summary Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

Kategori Pengetahuan Timbal * Kadar Timbal Kategorik

5 100.0% 0 0.0% 5 100.0%

Kategori Sikap Timbal *

Kadar Timbal Kategorik 5 100.0% 0 0.0% 5 100.0% Kategori Tindakan Timbal *

Kadar Timbal Kategorik 5 100.0% 0 0.0% 5 100.0%

Kategori Pengetahuan Timbal * Kadar Timbal Kategorik Crosstabulation Kadar Timbal Kategorik Total Tidak Memenuhi Syarat Kategori Pengetahuan

Timbal Tidak Baik (<8)

Count 5 5

% of Total 100.0% 100.0% Total

Count 5 5

% of Total 100.0% 100.0%

Kategori Sikap Timbal * Kadar Timbal Kategorik Crosstabulation Kadar Timbal Kategorik Total Tidak Memenuhi Syarat

Kategori Sikap Timbal Tidak Baik (<24) Count 5 5 % of Total 100.0% 100.0% Total

Count 5 5


(2)

Kategori Tindakan Timbal * Kadar Timbal Kategorik Crosstabulation Kadar Timbal Kategorik Total Tidak Memenuhi Syarat Kategori Tindakan Timbal Tidak Baik (<5)

Count 5 5

% of Total 100.0% 100.0% Total

Count 5 5

% of Total 100.0% 100.0%

Tabel Tabulasi Silang Perilaku Pedagang dengan Kadar Bilangan Peroksida

Case Processing Summary Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

Kategori Pengetahuan Ketengikan * Kadar Ketengikan

5 100.0% 0 0.0% 5 100.0%

Kategori Sikap Ketengikan *

Kadar Ketengikan 5 100.0% 0 0.0% 5 100.0%

Kategori Tindakan Ketengikan * Kadar Ketengikan

5 100.0% 0 0.0% 5 100.0%

Kategori Pengetahuan Ketengikan * Kadar Ketengikan Crosstabulation

Kadar Ketengikan Total Memenuhi Syarat Tidak Memenuhi Syarat Kategori Pengetahuan

Ketengikan Tidak Baik (<6)

Count 4 1 5

% of Total 80.0% 20.0% 100.0%

Total Count 4 1 5


(3)

Kategori Sikap Ketengikan * Kadar Ketengikan Crosstabulation

Kadar Ketengikan Total Memenuhi

Syarat

Tidak Memenuhi

Syarat Kategori Sikap Ketengikan Tidak Baik (<12)

Count 4 1 5

% of Total 80.0% 20.0% 100.0% Total

Count 4 1 5

% of Total 80.0% 20.0% 100.0%

Kategori Tindakan Ketengikan * Kadar Ketengikan Crosstabulation

Kadar Ketengikan Total Memenuhi

Syarat

Tidak Memenuhi

Syarat Kategori Tindakan

Ketengikan Tidak Baik (<5)

Count 4 1 5

% of Total 80.0% 20.0% 100.0% Total

Count 4 1 5


(4)

Lampiran 11 Dokumentasi Penelitian

Gambar 1

Pengisian Kuesioner Pedagang Simpang Jalan Cucakrawa 2


(5)

Gambar 3

Pengisian Kuesioner Pedagang Simpang Jalan Garuda 3


(6)

Gambar 5

Pengisian Kuesioner Pedagang Simpang Jalan Rajawali 1


Dokumen yang terkait

Analisa Kandungan Timbal (Pb) pada Minyak Sebelum dan Sesudah Penggorengan yang Digunakan Pedagang Gorengan Sekitar Kawasan Traffic Light Kota Medan Tahun 2012

18 118 89

Pelaksanaan Tugas Kesehatan Keluarga pada Suku Jawa di Kelurahan Kenangan Baru Perumnas Mandala Kecamatan Percut Sei Tuan Deli Serdang

3 57 78

Pengaruh Tempat Tinggal terhadap Tingginya Angka Anak Putus Sekolah di Perumnas Mandala II Kelurahan Kenangan, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang

2 73 101

Analisis Kandungan Logam Berat Timbal (Pb) Ikan Mujair (Oreochromis mossambicus) di Daerah Aliran Sungai Percut Kecamatan Percut Sei Tuan Provinsi Sumatera Utara Tahun 2015

8 69 125

PERILAKU MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN SAMPAH KELURAHAN KENANGAN KECAMATAN PERCUT SEI TUAN KABUPATEN DELI SERDANG.

4 18 18

Pengaruh Tempat Tinggal terhadap Tingginya Angka Anak Putus Sekolah di Perumnas Mandala II Kelurahan Kenangan, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang

0 0 9

Pengaruh Tempat Tinggal terhadap Tingginya Angka Anak Putus Sekolah di Perumnas Mandala II Kelurahan Kenangan, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang

0 0 1

Pengaruh Tempat Tinggal terhadap Tingginya Angka Anak Putus Sekolah di Perumnas Mandala II Kelurahan Kenangan, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang

0 0 13

Pengaruh Tempat Tinggal terhadap Tingginya Angka Anak Putus Sekolah di Perumnas Mandala II Kelurahan Kenangan, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang

0 0 7

BILINGUALISME KEDWIBAHASAAN pada masyarakat 1

0 0 5