2.2.1. Mbah Kalim
Mbah Kalem merupakan sosok laki-laki yang memiliki tinggi badan sekitar 167 cm dan berat badan sekitar 60 kg. Dari postur tubuhnya ia memiliki
tubuh yang tinggi dan tegap. Rambut mbah Kalim sudah putih semua kalaupun ada yang hitam biasanya ada di dasar atau bawah rambut. Mbah Kalim memiliki
jenggot dan kumis yang tipis serta sudah memutih. Bagian wajah terlihat guratan- guratan keriput hal ini yang menunjukkan bahwa mbah Kalim sudah lanjut usia.
Dari mimik wajahnya terlihat bahwa mbah Kalim adalah kriteria orang yang ramah. Hal ini terbukti pada saat berkunjung kerumahnya, ia langsung akrab dan
tidak sungkan-sungkan menceritakan semua keahliannya dalam mengobati orang. Dari gaya bicara mbah Kalim juga merupakan orang yang mudah bersosialisasi
dengan lingkungan. Hampir setiap pagi ia pergi berkunjung kerumah-rumah orang yang ia kenal. Sikap ramah dan mudah bergaulnya menjadi poin yang penting
dalam memudahkan mengorek setiap informasi.
Foto 1 Mbah Kalim
Sumber foto : Yayuk Yusdiawati, 2013
Universitas Sumatera Utara
Mbah Kalim lahir pada tahun 1935 di Madura Jawa Timur. Semasa kecil ia tinggal bersama kedua orang tuanya yang sekarang sudah meninggal. Pada
tahun 1954 Mbah Kalim bertransmigrasi ke Desa Aek Loba Pekan bersama keluarganya. Ketika sekitar tahun 1960 ia dan ketiga temannya pergi merantau
ke Pematang Siantar. Alasan mbah Kalim pergi merantau karena pada saat itu ia belum memiliki pekerjaan. Saat di Siantar ia dan ketiga temannya membuka
sebuah warung makan. Mulai disanalah mbah Kalim belajar memasak dan menekuni profesinya sebagai wirausaha. Namun membuka rumah makan hanya
berlangsung lima tahun, sekitar tahun 1965 ia kembali lagi ke Desa Aek Loba. Tidak lama setelah kepulanganya ke Desa Aek Loba Pekan ia pun menikah
dengan seorang gadis bernama Ngatemi. Ngatemi merupakan salah satu gadis Desa Aek Loba Pekan yang juga transmigrasi dari Jawa.
Mereka membina rumah tangga sekitar tahun 1965, dari pernikahannya mbah Kalim dikaruniain 8 delapan orang anak yaitu 1 satu orang laki-laki dan
7 tujuh orang perempuan. Pada saat ini anaknya sudah menikah semua dan tinggal terpisah dari mbah Kalim. 3 tiga orang anaknya setelah menikah tinggal
di daerah Kandis, 4 empat anaknya lagi setelah menikah tinggal di daerah Bagan Siapi, serta 1 satu orang anakya tinggal di km 5 tepatnya di Desa Kampung
Petani. Anaknya yang tinggal di Desa Kampung Petani seminggu sekali datang untuk menjenguk mbah Kalim sedangkan yang lainnya datang ketika lebaran Idul
Fitri tiba. Pada tahun 1987 istri mbah Kalim meninggal karena sakit, ketika itu ia
merasa terpukul dengan kepergian istrinya. Ia pun tinggal hanya dengan ketiga anaknya, karena yang lainnya sudah menikah dan tinggal di rumah mereka
Universitas Sumatera Utara
masing-masing. Ketika semua anaknya menikah maka iapun tinggal sendiri di rumah peninggalan kedua orang tuanya. Tinggal di rumah yang lumayan besar,
mbah kalim harus menjalani aktifitasnya sendiri. Rumah yang memiliki 2 dua ruang kamar tidur, 2 dua ruang tamu dan 1 satu ruang dapur yang cukup luas.
Keseluruhan bangunan depan berdindingkan batu, sedangkan bagian belakangnya berdindingkan separuh batu dan separuh papan. Ruang tamu depan yang sedikit
lebih kecil di bandingkan ruang tamu tengah terletak berjajar sofa berwarna biru. Di bagian ruang tengah hanya terletak 1 satu unit TV, bagian belakang TV ada 1
lemari hias dan terletak 1 satu kasur, yang sepertinya biasa digunakan mbah Kalim untuk bersantai sambil menonton.
Foto 2 Rumah mbah Kalim
Sumber foto : Yayuk Yusdiawati, 2013 Dalam hal memasak mbah Kalim tidak khawatir karena memang dari
mudanya beliau sudah pandai memasak. Sehingga untuk makannya sehari-hari mbah Kalim lebih memilih untuk memasak sendiri ketimbang menyuruh orang.
Universitas Sumatera Utara
Semua pekerjaan rumah hampir seluruh ditangani oleh mbah Kalim seperti menyampu rumah, menyapu halaman dan mencuci piring. Namun ada satu
pekerjaan yang dilakukan oleh orang lain yaitu mencuci pakaian. Biasanya tukang cuci mbah Kalim datang kerumah seminggu dua kali. Tukang cuci mbah Kalim
beretniskan cina dan tukang cucinya juga merupakan salah satu yang pernah menjadi pasiennya. Tukang cuci mbah Kalim tinggal di daerah wetan
26
Seperti layaknya orang biasa beraktifitas, mbah Kalim juga menjalani aktifitas yang tak jauh beda. Aktifitas mbah Kalim dirumah yaitu paling sering
menonton TV dengan chanel ANTV acara sepak bola dan acara berita Indonesia. Selain menonton TV, aktifitas yang dilakukan mbah Kalim di rumah adalah
mengerjakan pekerjaan rumah dan tidur siang. Biasanya jam 09.00 wib mbah Kalim sudah pergi keluar rumah menggunakan sepedanya, ia akan pergi jalan-
jalan. Sesekali mbah Kalim akan singgah kerumah penduduk untuk sekedar mengobrol dengan topik yang tak tentu. Sekitar jam 11.00 wib ia akan pulang ke
rumah untuk istirahat dan menonton TV. Sekitar jam 14.00 wib ia akan bergegas untuk pergi kewarung pak Sahril. Warung yang berdidingkan setengah gedek ini,
dengan ruang yang disekat-sekat dan memiliki tempat lesehan menjadi warung favorit mbah Kalim. Mbah Kalim biasanya selalu memesan segelas kopi dan
beberapa biji gorengan. Sebenarnya mbah Kalim bisa minum kopi di rumah, namun menurutnya tidak enak jika minum kopi sendirian tidak ada temannya
mengobrol. Bahkan jika mbah Kalim minum kopi di rumah selalu tidak habis. desa,
karena lumayan jauh sehingga ia hanya datang mencuci seminggu dua kali dengan bayaran Rp 80.000 perbulan.
26
Timur
Universitas Sumatera Utara
Jika mbah Kalim minum kopi di warung pak Sahril ia bisa mengobrol baik dengan penjual maupun pembeli yang datang kewarung tersebut. Setelah jam
15.00 wib ia akan pulang kerumah untuk menonton acara sepak bola ataupun tidur siang.
Sumber ekonomi mbah Kalim selain menjadi dukun suwuk yaitu mbah Kalim memiliki beberapa rante kebun sawit yang terletak di belakang rumahnya.
Untuk merawat dan memanen kebunnya mbah Kalim lebih memilih membayar orang ketimbang mengerjakan sendiri. Menjadi seorang dukun, bukanlah
memiliki penghasilan yang tetap karena memang mbah Kalim tidak pernah mematokkan harga pengobatan. Sehingga mbah Kalim harus memiliki sumber
ekonomi lain .
2.2.2. Mbah Janem atau Mbah Ompong