Disain sistem kompensasi human capital berbasis person value pada perusahaan agroindustri

(1)

DESAIN SISTEM KOMPENSASI

HUMAN CAPITAL

BERBASIS

PERSON VALUE

PADA PERUSAHAAN

AGROINDUSTRI

ALEX DENNI

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Desain Sistem Kompensasi Human Capital Berbasis Person Value pada Perusahaan Agroindustri ini adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Agustus 2011

Alex Denni NIM. F361040181


(3)

ALEX DENNI. Person Value Based Human Capital Compensation System Design for Agroindustrial Company. Under direction of IRAWADI JAMARAN, YANDRA ARKEMAN, and AJI HERMAWAN

Human Resource Management system expanded in industrial era has nowadays transformed in the era of knowledge and information into human capital approach. The man, who once referred to as a resource, is currently expressed as company most valuable asset.

This study attempts to define the value of an employee; that in this research refers to a person value; based on the competency he or she has which is then referred to determinant used to calculate his or her base pay at a certain position. Until this time, compensation system for base pay has been focused more on job value determined through a series of processes called job evaluation. Person value based human capital compensation system produces formula of S = CB [wVP+ (1-w) Vj], where S is Salary, CB

is Constanta of Budget Factor, wis Weight for Person Value, VPis Person

Value and Vj

Base pay calculation system is developed through an Expert Panel method with the use of the decision support instruments, Focus Group Discussion (FGD) and Multi Rater AHP (Analytical Hierarchy Process). The advantages of this system is that base pay counting system with person value based is oriented more to people as the job holders so that the sense of internal equity will be easier to fulfill. In addition, since individual competency is designated as the most influence determinant of the base pay this system will automatically encourage employees to increase their competencies in order to support the company performance.

is Job Value.

The system was tested using the Net Promoter Score (NPS) method and showed excellent value of face validity: 64.87%. This base pay calculation system can only be implemented with these requirements: availability of the job descriptions, competency dictionary, job competency model and competency profile of the individual.


(4)

RINGKASAN

ALEX DENNI. Disain Sistem Kompensasi Human Capital Berbasis Person Value pada Perusahaan Agroindustri. Dibimbing oleh IRAWADI JAMARAN, YANDRA ARKEMAN, dan AJI HERMAWAN.

Sistem Manajemen Sumberdaya Manusia (SDM) yang berkembang di era industri, mengalami transformasi menuju pendekatan human capital pada era pengetahuan dan informasi sekarang ini. Manusia yang dulunya disebut sebagai sumberdaya, saat ini dinyatakan sebagai aset yang paling berharga bagi perusahaan. Dalam hal ini, sebutan aset merujuk pada kompetensi yang dimiliki oleh seorang karyawan, yakni karakteristik yang melekat pada seseorang yang memiliki hubungan sebab akibat dengan kinerjanya pada situasi, tugas atau jabatan tertentu. Adapaun karakteristik dari kompetensi ini dapat berupa ketrampilan (skill), pengetahuan (knowledge) maupun perilaku (behavior).

Penelitian ini mendefinisikan nilai dari seorang karyawan sebagai person value, berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh sebuah organisasi. Dalam penelitian ini, kompetensi yang dimiliki seorang karyawan dijadikan determinan untuk menghitung kompensasinya pada sebuah jabatan tertentu. Selama ini sistem penghitungan kompensasi lebih difokuskan kepada job value (nilai jabatan) yang ada di dalam organisasi, melalui serangkaian proses yang disebut job evaluation (evaluasi jabatan). Asumsi yang digunakan dalam proses evaluasi jabatan adalah bahwa setiap pemangku jabatan memiliki kinerja yang sama 100%. Dengan menggunakan asumsi ini gaji pokok seorang pemangku jabatan pada nilai jabatan yang sama ditetapkan sama. Dalam kenyataannya pada era informasi dan pengetahuan sekarang ini, asumsi tersebut menjadi tidak relevan. Hal ini disebabkan karena setiap pemangku jabatan yang memiliki kompetensi berbeda berpotensi untuk menghasilkan kinerja berbeda, meskipun ditempatkan pada posisi yang sama. Karena itu biasanya orang-orang yang memiliki kompetensi lebih tinggi merasa sistem penggajian semacam ini kurang adil buat mereka.

Penelitian ini berangkat dari cara pandang yang berbeda bahwa karena sesungguhnya yang menghasilkan kinerja dan yang menerima gaji itu adalah orang sebagai pemangku jabatan. Karena itu basis dari gaji pokok seharusnya lebih ditekankan pada person value sebagai pemangku jabatan daripada nilai jabatan itu sendiri. Nilai jabatan sendiri ditentukan oleh nilai yang dihasilkan dari model kompetensi sebagai persyaratan jabatan, sementara person value ditentukan oleh nilai dari atribut individu pemangku jabatan, yakni berupa kompetensi yang relevan dengan jabatan yang dipegangnya.

Penelitian ini diawali dengan melakukan identifikasi sistem terlebih dahulu. Dalam hal ini penulis merumuskan skema umum determinan gaji pokok yang menunjukkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap gaji pokok dalam bentuk influence diagram. Berdasakan skema umum tersebut,


(5)

Setelah itu baru dilakukan pembuatan model penghitungan gaji pokok sesuai dengan determinan yang sudah dihasilkan sebelumnya. Sistem penghitungan yang dihasilkan kemudian diuji menggunakan pendekatan face validity.

Pemodelan kompetensi jabatan dilakukan dengan menggunakan pendekatan expert panel (panel ahli). Adapun para ahli yang dijadikan responden adalah Senior Manager SDM dari perusahaan sub-holding yang membawahi PT XYZ, General Manager PT XYZ dan seorang konsultan ahli manajemen SDM yang sudah berpengalaman lebih dari 18 (delapan belas) tahun dan pernah menjadi praktisi Manajer SDM di perusahaan Agroindustri selama lebih dari 5 (lima) tahun. Metodologi yang digunakan dalam pemodelan kompetensi jabatan ini adalah multi rater analytical hierarchy process. Kamus kompetensi yang digunakan adalah kamus kompetensi pembeda (differentiating competency) yang dikembangkan oleh Spencer & Spencer (1993) dan sudah dikontekstualkan dalam penelitian ini untuk keperluan PT XYZ. Keduapuluh kompetensi pembeda tersebut adalah orientasi berprestasi, kepedulian terhadap keteraturan, inisiatif, pencarian informasi, pemahaman hubungan antar manusia, orientasi pada pelayanan pelanggan, dampak dan pengaruh, pemahaman keorganisasian, membangun jejaring, mengembangkan orang lain, pengarahan, kerjasama, kepemimpinan, pemikiran analitis, pemikiran konseptual, pengendalian diri, keyakinan diri, fleksibilitas, komitmen berorganisasi dan pengembangan keahlian.

Nilai relatif masing-masing kompetensi ditetapkan dengan melakukan pair wise comparison (perbandingan berpasangan) menggunakan skala AHP, berdasarkan kebutuhan organisasi. Dalam hal ini yang menjadi rater (ahli) adalah Senior Manager SDM sub-holding, yang dianggap sebagai pihak yang paling berkepentingan dan netral, mewakili manajemen perusahaan.

Perhitungan job value masing-masing jabatan dilakukan dengan menjumlahkan semua nilai kompetensi sesuai dengan model kompetensi jabatan dengan formula : Vj = , dimana Vj

Perhitungan person value untuk masing-masing pemangku jabatan dilakukan dengan memasukkan hasil penilaian kompetensi individu ke dalam nilai relatif kompetensi sesuai dengan model kompetensi jabatan masing-masing, dengan formula : V

adalah job value, adalah nilai kompetensi ke-i sesuai model kompetensi dan adalah jumlah kompetensi pada model kompetensi jabatan.

P = , dimana VP adalah Person

Value dari pemangku jabatan, adalah nilai kompetensi ke-i pemangku

jabatan sesuai model kompetensi jabatan dan adalah jumlah kompetensi sesuai model kompetensi jabatan.


(6)

Adapun sistem penghitungan gaji pokok dirumuskan dengan mengalokasikan faktor anggaran kepada Job Value dan Person Value, dengan dengan formula :S = CB [wVP+ (1-w) Vj], dimana S adalah Salary

(gaji pokok), CB adalah Constanta of Budget Factor (konstanta factor

ang-garan), w adalah Weight for Person Value (Bobot dari Person Value), VP

adalah Person Value and Vj

Pengujian sistem dilakukan dengan pendekatan face validity menggunakan metode Net Promoter Score (NPS) yang dikembangkan oleh Fred Reichheld dalam bukunya The Ultimate Questions (2006). Sistem Gaji Pokok Berbasis Person Value ini dipresentasikan di hadapan praktisi SDM secara utuh, kemudian kepada mereka diberikan kuesioner dengan pertanyaan “Seberapa besar keinginan anda untuk merekomendasikan sistem ini diterapkan di perusahaan Anda?” dengan rating 0-10. Responden yang menjawab 9-10 disebut Promoter, yang menjawab 7-8 disebut Passive dan 0-6 disebut Detractor. NPS adalah jumlah Promoter (P) dikurangi dengan Detractor (D). Jika NPS lebih besar dari 0, maka dapat dikatakan bahwa sistem ini valid dan dapat diandalkan.

adalah Job Value.

Hasil NPS yang diperoleh dalam pengujian sistem yang dilakukan terhadap 37 orang responden yang merupakan para praktisi SDM dengan pengalaman rata-rata lebih dari 10 (sepuluh) tahun adalah 64.87%. Angka ini diperoleh dari 24 (duapuluh empat) orang Promoter, 13 (tiga belas) orang Passive dan tidak ada Detractor. Dengan demikian, menggunakan pendekatan Face Validity menggunakan NPS sebagai alat ukur, dapat disimpulkan bahwa sistem yang dihasilkan valid dan dapat diandalkan.

Kelebihan sistem ini dibandingkan dengan sistem konvensional penghitungan gaji pokok adalah lebih berorientasi kepada orang sebagai pemangku jabatan, sehingga rasa keadilan internal akan lebih mudah untuk dipenuhi. Disamping itu sistem ini akan mendorong karyawan untuk meningkatkan kompetensinya guna mendukung kinerja perusahaan, karena kompetensi individu ditetapkan sebagai determinan yang paling menentukan tinggi-rendahnya gaji pokok.


(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber :

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau


(8)

(9)

AGROINDUSTRI

ALEX DENNI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Teknologi Industri Pertanian

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(10)

Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr. Ir. Eriyatno, MSAE Dr. Ir. Amril Amman, M.Sc.

Penguji pada Ujian Terbuka : Prof. Dr. Bomer Pasaribu, SH. SE. MS Dr. Ir. Handry Satriago, MM. MBA


(11)

Nama : Alex Denni

NIM : F. 361040181

Disetujui Komisi Pembimbing

Ketua

Prof. Dr. Ir. Irawadi Jamaran, MSc

Dr. Ir. Yandra Arkeman, M.Eng

Anggota Anggota

Dr. Ir. Aji Hermawan, MM

Mengetahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Teknologi Industri Pertanian

Dr. Ir. Machfud MS Dr. Ir. Dahrul Syah, Msc.Agr

Tanggal Ujian: Tanggal Lulus:


(12)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi yang berjudul Desain Sistem Kompensasi Human Capital Berbasis Person Value pada Perusahaan Agroindustri ini dengan baik.

Terima kasih yang tidak terhingga penulis haturkan kepada yang terhormat Bapak Prof. Dr. Ir. Irawadi Jamaran selaku ketua komisi pembimbing yang telah memberikan dukungan, bimbingan dan arahan tiada henti kepada penulis hingga penulis merasa tidak akan pernah mampu untuk membalas jasa-jasanya. Penulis juga menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang tulus kepada Bapak Dr. Ir. Yandra Arkeman, M.Eng. dan Bapak Dr. Ir. Aji Hermawan, MM selaku anggota komisi pembimbing atas semua saran, bimbingan, arahan dan dukungan yang besar dalam penyelesaian disertasi ini.

Dengan segala keterbatasan yang penulis miliki, penelitian ini hanya bisa diselesaikan dengan dukungan penuh dari keluarga; khususnya istri tercinta (Ernita Sari), Mama (Dra. Narcis Boer), Papa (Drs. Daftuni), Bapak mertua (Ir. M. Soekmono) dan Ibu mertua (Maryati Soekmono); rekan-rekan Dunamis; khususnya Dunamis Human Capital; rekan-rekan sebimbingan di bawah asuhan Bapak Irawadi Jamaran, manajemen tempat penelitian; Bapak Iman Santoso, Bapak Alita Ilyas, Ibu Yoomeidinar dan Bapak Ishom Subkhan; para penguji ujian tertutup dari luar komisi; Prof. Dr. Ir. Eriyatno MSAE dan Dr. Ir. Amril Amman; serta banyak pihak yang nama mereka tidak mungkin untuk penulis sebutkan satu persatu, yang telah memberikan kemudahan, inspirasi, penajaman pemikiran, doa dan suntikan semangat pada penulis. Karena itu hanya ucapan terima kasih dan doa tulus yang bisa penulis panjatkan, semoga amal ibadah mereka dilipatgandakan hendaknya oleh Allah Yang Maha Kuasa.

Akhir kata, penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu dan pengetahuan, serta memberikan inspirasi kepada masyarakat umum, khususnya ananda Khadijah Vivinca Alessandra dan Khadijah Jovanka Alessandra dalam mengarungi kehidupannya kelak.

Bogor, Agustus 2011 Alex Denni


(13)

Penulis dilahirkan di Lintau, Sumatera Barat, pada tanggal 27 Desember 1968 sebagai anak sulung dari 3 bersaudara pasangan Drs. Daftuni dan Dra. Narcis Boer. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, lulus pada tahun 1990. Pada tahun 1993 penulis melanjutkan studi di Magister Manajemen Universitas Atma Jaya Jakarta dan lulus pada tahun 1997. Pada tahun 2004 penulis melanjutkan studi Doktoral di Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor dengan program studi Teknologi Industri Pertanian.

Setelah menyelesaikan program sarjana pada akhir tahun 1990, penulis memulai karir di sebuah perusahaan Badan Usaha Milik Negara patungan, SUCOFINDO (Superintending Company of Indonesia) sebagai konsultan junior. Beberapa pengalaman manajerial sempat dilalui penulis selama hampir sepuluh tahun di perusahaan ini seperti Manajer Analisa dan Pengembangan Bisnis, Manajer Evaluasi Mutu, Manajer Pengembangan Usaha, Manajer Pemasaran, Chief Executive Officer Kopsucofindo, Direktur perusahaan investasi Nisessa Adhikatama dan Komisaris Sucofindo Nissessa Apraisal.

Pada tahun 2000, penulis bergabung dengan sebuah perusahaan konsultan Manajemen Sumberdaya Manusia (SDM) bernama Parardhya Mitra Karti (PMK) sebagai senior konsultan yang juga acting sebagai Managing Partner. Pada tahun 2003 penulis dipercaya sebagai President Director sekaligus Managing Partner di perusahaan tersebut.

Penulis kemudian mendirikan perusahaan konsultan pada tahun 2005, yang diberi nama A+ Consulting. Pada tahun 2006, perusahaan ini kemudian diakuisisi oleh Dunamis Organization Services yang merupakan pemegang lisensi FranklinCovey di Indonesia. Sejak saat itu, penulis menjadi Partner di Dunamis Organization Services.

Selama periode 2007-2010 penulis dipercaya sebagai Sekretaris Jendral Asosiasi Manajemen Indonesia (AMA Indonesia).

Pada tahun 2000 penulis menikah dengan Ernita Sari dan saat ini dikaruniai 2 (dua) orang putri yang diberi nama Khadijah Vivinca Alessandra (3.5 tahun) dan Khadijah Jovanka Alessandra (1.5 tahun).


(14)

PUBLIKASI ILMIAH

Berdasarkan disertasi ini telah siap diterbitkan 2 (dua) buah publikasi ilmiah yaitu :

1. Pemodelan Kompetensi Jabatan Pada Perusahaan Agroindustri Menggunakan Multi Rater AHP, pada Jurnal Teknologi Industri Pertanian, ISSN 0216-3160

2. Desain Sistem Kompensasi Gaji Pokok Berbasis Person Value Pada Perusahaan Agroindustri, pada Jurnal Manajemen Vol. VI, No. 3, Desember 2010.


(15)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang. ... ... 1

Tujuan Penelitian ... …..……...4

Ruang Lingkup Penelitian ... ... 4

TINJAUAN PUSTAKA.... ... ...6

Sistem Kompensasi dan Gaji Pokok … ....………...6

Gaji Pokok dan Evaluasi Jabatan… ... ………..14

Pro dan Kontra terhadap Evaluasi Jabatan … ... ………..16

Manajemen Kompetensi dalam Transformasi Human Capital ... 23

Analytical Hierarchy Process untuk Pengambilan Keputusan Multi Kriteria ... 30

Kesimpulan Tinjauan Pustaka … ... ………...33

METODOLOGI ... ... 34

Kerangka Pemikiran … ... ……… 34

Tahapan Pelaksanaan… ... ………..35

Pemodelan Kompetensi Jabatan… ... ………..37

Penghitungan Nilai Relatif Kompetensi…… .. ……… 45

Penghitungan Job Value… ... ………..46

Penghitungan Person Value… ... ………..47

Penghitungan Gaji Pokok… ... ………..51

Pengujian Sistem…... ………..52

Pengumpulan dan Pengolahan Data ……… ………53

HASIL DAN PEMBAHASAN… ... ………... 55

Uraian Singkat Perusahaan ………. ………..55

Identifikasi Sistem ……… ... ……….58

Identifikasi Uraian Jabatan ………… ... ……….59

Permodelan Kompetensi Jabatan… ... ……….59


(16)

iii

Penghitungan Job Value ……… ... ………90

Penghitungan Person Value ……… ... ………88

Penghitungan Gaji Pokok ……… ... ………91

Pengujian Sistem ……… ... ………. 94

Penghitungan Person Value ……… ... ………104

Perhitungan Gaji Pokok……… ...….107

Pengujian Sistem ... 112

Keterbatasan Sistem ……… ... ………113

KESIMPULAN DAN SARAN ……... ... ... 114


(17)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Tabel 1 Skala nilai perbandingan berpasangan ... 42

2. Tabel 2 Perbandingan validitas metode evaluasi kompetensi ... 47

3. Tabel 3 Model Kompetensi Jabatan General Manager ... 61

4. Tabel 4 Model kompetensi jabatan Plant Manager ... 63

5. Tabel 5 Model Kompetensi JabatanSupply Chain and By Product Manager... 64

6. Tabel 6 Model Kompetensi Jabatan Finance & Administration Manager ... 65

7. Tabel 7 Model Kompetensi Jabatan HSE Superintendent ... 67

8. Tabel 8 Model Kompetensi Jabatan Maintenance Superintendent ... 68

9. Tabel 9 Model Kompetensi Jabatan Feedstock Superintendent. ... 69

10. Tabel 10 Model Kompetensi Jabatan Technology Superintendent ... 70

11. Tabel 11 Model Kompetensi Jabatan HR & GA Supervisior ... 72

12. Tabel 12 Model Kompetensi Jabatan Public Relation Supervisor ... 73

13. Tabel 13 Model Kompetensi Jabatan Process Supervisor ... 74

14. Tabel 14 Model Kompetensi Jabatan Utility Supervisor ... 76

15. Tabel 15 Model Kompetensi Jabatan Maintenance Planning & Control Supervisor ... 77

16. Tabel 16 Model Kompetensi Jabatan Mechanical Supervisor ... 78

17. Tabel 17 Model Kompetensi Jabatan Electrical Supervisor ... 80

18. Tabel 18 Model Kompetensi Jabatan Warehouse Supervisor ... 81

19. Tabel 19 Model Kompetensi Jabatan Process Engineering Supervisor . 82 20. Tabel 20 Model Kompetensi Jabatan Laboratory Supervisor ... 83

21. Tabel 21 Model Kompetensi Jabatan Pengembangan Tanaman Supervisor ... 85

22. Tabel 22 Model Kompetensi Jabatan Port Panjang & Bay Product Supervisor ... 86

23. Tabel 23 Nilai relatif kompetensi di PT XYZ ... .88


(18)

v

25. Tabel 25 Job Value untuk Jabatan General Manager ... 91

26. Tabel 26 Job Value untuk jabatan Plant Manager ... 91

27. Tabel 27 Job Value untuk jabatan Supply Chain and By Product Manager... 92

28. Tabel 28 Job Value untuk jabatan Finance & Administration Manager 93 29. Tabel 29 Job Value untuk jabatan HSE Superintendent... 93

30. Tabel 30 Job Value untuk jabatan Maintenance Superintendent... 94

31. Tabel 31 Job Value untuk jabatan Feedstock Superintendent. ... 95

32. Tabel 32 Job Value untuk jabatan Technology Superintendent ... 95

33. Tabel 33 Job Value untuk jabatan HR & GA Supervisior ... 96

34. Tabel 34 Job Value untuk jabatan Public Relation Supervisor ... 97

35. Tabel 35 Job Value untuk jabatan Process Supervisor ... 97

36. Tabel 36 Job Value untuk jabatan Utility Supervisor ... 98

37. Tabel 37 Job Value untuk jabatan Maintenance Planning & Control Supervisor ... 98

38. Tabel 38 Job Value untuk jabatan Mechanical Supervisor ... 99

39. Tabel 39 Job Value untuk jabatan Electrical Supervisor ... 100

40. Tabel 40 Job Value untuk jabatan Warehouse Supervisor ... 100

41. Tabel 41 Job Value untuk jabatanProcess Engineering Supervisor .... 101

42. Tabel 42 Job Value untuk jabatan Laboratory Supervisor ... 101

43. Tabel 43 Job Value untuk jabatan Pengembangan Tanaman Supervisor ... 102

44. Tabel 44 Job Value untuk jabatanPort Panjang & Bay Product Supervisor ... 102

45. Tabel 45 Daftar Job Value jabatan manajerial PT XYZ ... 103

46. Tabel 46 Person Value Mr X sebagai General Manager ... 105

47. Tabel 47 Person Value Mr Y sebagai Finance & Administration Manager... 108

48. Tabel 48 Person Value Mr Z sebagai HSE Superintendent... 108


(19)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Gambar 1 Skema Umum Determinan Gaji Pokok... 34

2 Gambar 2 Tahapan Penelitian…...36

3 Gambar 3 Bagan Alir Pemodelan Kompetensi Jabatan ... 44

4 Gambar 4 Diagram Input – Output Perhitungan Nilai Relatif Kompetensi 46 5 Gambar 5 Diagram input – Output Perhitungan Job Value ... 47

6 Gambar 6 Diagram Input – Output perhitungan Person Value ... 49

7 Gambar 7 Diagram Input – Output perhitungan Gaji Pokok ... 52

8 Gambar 8 Peta Lokasi Pabrik PT XYZ... 55

9 Gambar 9. Influence Diagram Sistem Penghitungan Gaji Pokok... 58


(20)

vii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Uraian Jabatan ... 125 2 Kamus Kompetensi ... 190


(21)

Sistem manajemen sumberdaya manusia (SDM) yang berkembang di era industri, mengalami transformasi menuju pendekatan human capital pada era pengetahuan dan informasi sekarang ini. Manusia yang dulunya disebut sebagai sumberdaya, saat ini dinyatakan sebagai aset yang paling berharga bagi perusahaan. Aset penting yang dimiliki oleh manusia pada era informasi dan pengetahuan ini adalah berupa kompetensi yang memiliki hubungan sebab-akibat dengan kinerja manusia tersebut di dalam sebuah organisasi. Adapun karakter dari kompetensi ini dapat berupa keterampilan (skill), pengetahuan (knowledge) dan perilaku (behavior) yang relevan dengan pekerjaan atau jabatan tertentu.

Saat ini kompetensi telah menjadi salah satu faktor penting dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pengelolaan manusia di dalam sebuah organisasi, seperti keputusan perekrutan, penempatan, pengelolaan kinerja, pengelolaan karir dan pemberian kompensasi. Masing-masing keputusan penting tadi didukung oleh sub-sistem tertentu, seperti sub-sistem perekrutan, sub-sistem penempatan, sub-sistem pengelolaan kinerja, sub-sistem pengelolaan karir dan sub-sistem kompensasi, yang terintegrasi dalam satu kesatuan Human Capital Management System (HCMS). Setiap sub-sistem tentunya dapat dilihat sebagai satu sistem sendiri yang berinteraksi dan berkoordinasi dengan sistem lainnya di dalam organisasi.

Sistem kompensasi merupakan satu dari tiga alasan utama seorang karyawan pindah dari suatu perusahaan, selain perilaku dari atasan langsung dan ketidak-jelasan karir dan pengembangan. Berkaitan dengan hal ini Rappaport et al, dalam Harvard Business Review on Compensation (2001) menyebutkan bahwa yang penting bukan seberapa besar perusahaan membayar gaji karyawannya, tetapi lebih pada bagaimana sistem pembayaran gaji tersebut dilakukan.

Tidak banyak perusahaan yang secara transparan memberitahukan sistem penghitungan kompensasi yang diberikan kepada karyawannya. Dengan informasi yang terbatas, karyawan biasanya mencoba membanding-bandingkan apa yang dia terima dengan apa yang diterima oleh karyawan lainnya. Sebagai akibatnya,


(22)

2

persepsi yang muncul akan memberikan dampak pada cara pandang karyawan tersebut terhadap perusahaan tempatnya bekerja.

Persepsi atau keterterimaan yang baik atas sistem kompensasi dapat mendorong kinerja karyawan dan meningkatkan daya saing organisasi. Sebaliknya, persepsi atau keterterimaan yang buruk terhadap sistem kompensasi dapat menurunkan motivasi karyawan dan berdampak kepada rendahnya kinerja organisasi secara keseluruhan. Lebih jauh dari itu, keterterimaan yang buruk atas sistem kompensasi ini dapat menyebabkan organisasi kehilangan orang-orang terbaiknya yang pindah ke pesaing. Karena itu salah satu tantangan yang dihadapi oleh para pimpinan organisasi adalah menemukan cara-cara baru di dalam mengelola sistem kompensasi, agar efektif mendukung strategi organisasi dan mampu mempertahankan talenta terbaiknya untuk memenangkan persaingan yang semakin terbuka dan kompetitif.

Sistem kompensasi total menurut Chingos (2002) harus mempertimbangkan 3P, yaitu pay for position (kompensasi atas posisi), pay for person (kompensasi atas orang), dan pay for performance (kompensasi atas kinerja). Salah satu komponen dari sistem kompensasi ini adalah gaji pokok, yang biasanya ditentukan oleh nilai jabatan yang dihitung dengan serangkaian proses yang disebut job evaluation (evaluasi jabatan). Metode evaluasi jabatan menggunakan asumsi yang sama pada basis perhitungannya yaitu setiap pemangku jabatan dianggap memiliki kinerja maksimal 100%. Dengan menggunakan asumsi ini gaji pokok seorang pemangku jabatan pada nilai jabatan yang sama ditetapkan sama. Kalaupun ada perbedaan, biasanya hanya perbedaan kecil yang timbul karena ada pertimbangan pendidikan dan pengalaman kerja dari seorang pemangku jabatan. Pada era informasi dan pengetahuan sekarang ini, asumsi ini sebetulnya sudah tidak lagi relevan, karena setiap pemangku jabatan yang memiliki kompetensi berbeda berpotensi untuk menghasilkan kinerja berbeda, meskipun ditempatkan pada posisi yang sama.

Menurut Aplied Phsycology Journal yang dimuat pada materi lokakarya

Leadership: Great Leaders, Great Teams, Great Result yang dikembangkan oleh


(23)

poor (buruk) di era informasi dan pengetahuan ini semakin jauh rentangnya. Perbedaan kinerja pada jenis pekerjaan yang kategorinya sederhana saja bisa mencapai 300%. Adapun contoh dari pekerjaan yang kompleksitasnya rendah ini adalah pramusaji. Dengan perbandingan kinerja seperti itu, perusahaan lebih baik memiliki 1 orang pramusaji yang kinerjanya superior dibandingkan memiliki 3 pramusaji yang kinerjanya buruk. Sementara itu untuk pekerjaan yang kategori kompleksitasnya sedang bisa mencapai 1200%. Contoh pekerjaan untuk kategori sedang ini adalah produksi pabrik. Perbedaan kinerja yang tidak terhingga bisa terjadi pada pekerjaan dengan kategori sangat kompleks seperti investment banking, konsultan manajemen atau dokter spesialis.

Aspek yang dianggap paling berpengaruh kepada perbedaan kinerja ini adalah kompetensi. Beberapa penelitian sudah dilakukan untuk merumuskan kompetensi yang dibutuhkan organisasi; biasa disebut kamus kompetensi; atau yang dibutuhkan oleh suatu jabatan; biasa disebut model kompetensi jabatan; agar sukses menjalankan misinya. Begitu juga penelitian tentang bagaimana meningkatkan efektivitas dari proses perekrutan, penempatan atau pengembangan karir karyawan di dalam organisasi, dikaitkan dengan kompetensi yang dibutuhkan oleh masing-masing jabatan di dalam organisasi.

Penelitian ini mencoba melihat aspek yang lain dari manajemen sumberdaya manusia berkaitan dengan aspek kompetensi, yaitu sistem kompensasi yang diberikan kepada human capital yang ada di perusahaan. Kebaruan dari penelitian ini diawali dengan perubahan cara pandang terhadap sistem kompensasi yang selama ini lebih fokus pada nilai jabatan (job value) sebagai faktor yang paling berpengaruh, kepada person value yang ditentukan oleh kompetensinya sebagai pemangku jabatan.

Pada sistem kompensasi yang konvensional, nilai jabatan sangat mempengaruhi gaji seseorang. Nilai jabatan adalah nilai relatif dari suatu jabatan dibandingkan dengan jabatan lainnya yang ada di dalam sebuah organisasi. Nilai jabatan ini kemudian dilekatkan pada rentang gaji yang memberikan pedoman tentang gaji maksimum dan minimum pada suatu jabatan atau klasifikasi jabatan tertentu. Kemudian untuk menentukan gaji seorang karyawan yang duduk di suatu jabatan, biasanya manajemen melakukan judgment dengan mempertimbangkan


(24)

4

latar belakang, pengalaman, gaji saat ini dan kompetensi dari karyawan tersebut untuk ditempatkan pada rentang gaji sesuai dengan jabatan yang ditugaskan kepadanya. Kebaruan dari studi ini adalah pada formula penetapan gaji pokok seorang karyawan yang menempatkan kompetensi sebagai determinannya, sebagai aspek yang dianggap paling berpengaruh pada kinerja. Dengan demikian hal yang selama ini ditetapkan dengan pertimbangan manajemen; yang berpotensi menimbulkan rasa ketidak-adilan; dapat ditetapkan menggunakan formula yang lebih transparan guna meningkatkan keterterimaan karyawan. Disamping itu, melalui sistem ini, yang lebih dominan mempengaruhi gaji seseorang bukanlah nilai jabatannya, melainkan person value yang dimilikinya.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan desain sistem kompensasi

human capital berbasis person value pada perusahaan Agroindustri yang

memberikan rasa keadilan kepada karyawan. Perbedaan person value secara relatif di dalam perusahaan akan ditentukan oleh kompetensi yang dimiliki, yang relevan dengan kebutuhan organisasi atau jabatan yang dipangku oleh karyawan di dalam organisasi tersebut.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah sebagai berikut :

(1) Desain sistem kompensasi dibatasi pada aspek gaji pokok sebagai komponen utama dari sistem kompensasi.

(2) Penghitungan person value dibatasi pada aspek kompetensi sebagai faktor yang diasumsikan bersifat paling berhubungan dengan kinerja dan menjadi komponen utama dalam persyaratan jabatan.

(3) Ruang lingkup kompetensi dibatasi pada 20 kompetensi yang ditemukan oleh Spenser & Spencer (1993) sebagai kompetensi pembeda (differentiating competency).


(25)

(4) Organisasi yang dijadikan tempat penelitian adalah PT. XYZ yang merupakan perusahaan Agroindustri berbahan baku singkong, dengan produk utamanya adalah ethanol.

(5) Ruang lingkup jabatan dan pemangku jabatan yang akan dianalisis terbatas pada jabatan struktural yang ada di PT XYZ, sebagai jabatan kunci yang ada di perusahaan tersebut.


(26)

TINJAUAN PUSTAKA

Sistem Kompensasi dan Gaji Pokok

Tujuan utama dari sistem kompensasi adalah menyelaraskan tujuan dan keinginan karyawan dengan tujuan dan keinginan organisasi (Heneman, 2001). Keinginan organisasi, misalnya, adalah memiliki karyawan yang berpikir dan berperilaku seperti pemilik bisnis. Untuk hal-hal pokok seperti tujuan organisasi dan penghargaan untuk setiap pencapaian perlu diketahui semua karyawan melalui strategi korporat yang membantu menentukan tujuan yang diraih karyawan dan sistem kompensasi yang menghubungkan upaya karyawan meraih tujuan tersebut.

Selanjutnya Heneman menjelaskan bahwa sistem kompensasi sebaiknya dirancang sesuai strategi bisnis guna mendukung kinerja organisasi secara efektif. Pernyataan Henneman ini mendukung apa yang sudah dijelaskan oleh Berger (1994), bahwa organisasi dengan strategi bisnis berbeda memerlukan strategi pengelolaan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berbeda pula. Strategi pengelolaan SDM ini termasuk di dalamnya adalah strategi kompensasi. Penyelarasan strategi kompensasi ini dilakukan dengan mempertimbangkan strategi bisnis, perencanaan strategis operasional dan nilai-nilai organisasi dengan pertimbangan tuntutan (konstrain) yang ada. Beberapa pilihan strategi pengelolaan sumberdaya sebagai daya saing dalam menghasilkan produk atau jasa yang akan mempengaruhi pilihan strategi kompensasi selanjutnya diuraikan oleh Heneman sebagai berikut :

a. Strategi Pelayanan Pelanggan

Perusahaan yang menggunakan strategi ini mencoba untuk menghasilkan keunikan produk atau jasanya melalui fokus pada faktor-faktor utama pelayanan pelanggannya, seperti pelayanan secara fisik dan keandalan produk atau jasa yang diberikan. Pelayanan pelanggan yang baik dapat didefinisikan dalam berbagai faktor. Salah satunya adalah berupa wujud dari pelayanan yang diterima oleh pelanggan melalu tenaga pelayanan pelanggannya,


(27)

seperti tanggapan yang cepat, keramahan dan sikap tubuh yang bersahabat. Faktor lain misalnya adalah keandalan dari produk atau jasa yang diberikan, dikaitkan dengan tingkat pemenuhan atas kualitas yang diminta oleh pelanggan, pada kegiatan bisnis yang berulang.

b. Strategi Kualitas

Perusahaan berkompetisi dengan basis kualitas produk atau jasa. Dalam hal ini, pendekatan Total Quality Management (TQM) sering digunakan bersama dengan aktivitas pengendalian proses (Statistical

Process Control), aktivitas komunikasi dengan pelanggan perihal

pemenuhan kebutuhan, aktivitas perencanaan proses bisnis terhadap sasaran-sasaran mutu, dan aktivitas proses pengambilan keputusan. Dengan menggunakan Statistical Process Controll (SPC) atau pengendalian proses secara statistik perusahaan dapat mengukur seberapa baik kwalitas produk atau jasa yang mereka hasilkan atau bilamana produk tersebut gagal memenuhi spesifikasi yang sudah ditetapkan, untuk kemudian dilakukan tindakan koreksi atau perbaikan. Dengan menjalin komunikasi yang rutin, perusahaan dapat memastikan kebutuhan pelanggannya terpenuhi. Melalui rekayasa perusahaan dapat memastikan bilamana proses bisnis sejalan dengan sasaran-sasaran mutu yang ditetapkan. Melalui proses pengambilan keputusan, perusahaan dapat mendapat masukan langsung dari karyawan yang berhubungan langsung dengan pelanggan sehingga situasi yang muncul dapat dengan cepat ditanggapi.

c. Strategi Inovasi dan Waktu

Produk atau jasa hasil inovasi yang berkelanjutan dari suatu perusahaan tidak dengan mudah ditiru pesaing, sehingga kecenderungan lamanya waktu untuk meniru juga lama. Upaya ini


(28)

8

menuntut kemampuan perusahaan untuk melakukan pembelajaran dalam melakukan inovasi secara berkelanjutan. Ketika inovasi tercipta, tidak menjamin keunggulan bersaing dimiliki selamanya. Disamping itu, gagasan yang baik harus bisa dihantarkan ke pasar secara cepat. Perusahaan perlu memiliki kemampuan untuk melakukan inovasi secara terus menerus. Beberapa hal harus dipersiapkan terlebih dahulu. Pertama, harus ada sistem yang ditetapkan untuk proses pengembangan produk atau jasa. Misalnya, dibentuknya tim lintas fungsi untuk melakukannya. Kedua, harus ada sistem yang memungkinkan perusahaan melakukan alih pengetahuan. Dalam hal ini proses pembelajaran pada suatu bagian di perusahaan dapat diteruskan ke bagian lain di perusahaan tersebut. Beberapa perusahaan, seperti General Electric misalnya, mempunyai

Chief Learning Officer yang bertanggung jawab untuk memastikan

proses alih pengetahuan ini berjalan dengan baik. Ketiga, pengetahuan harus dilembagakan sehingga dapat digunakan secara berulang.

d. Strategi Produktivitas

Strategi ini mengupayakan peningkatan produk atau jasa yang dihasilkan (output) dan menurunkan jumlah sumber daya manusia yang digunakan untuk menghasilkan produk atau jasa tersebut

(input). Peningkatan output berarti peningkatan kualitas produk/jasa, penurunan input berarti peningkatan kompetensi SDM untuk lebih produktif. Output dapat ditingkatkan dengan menghasilkan produk atau jasa yang lebih berkualitas, sementara input dapat diturunkan dengan mengurangi jumlah orang yang terlibat dalam produksi produk atau jasa tersebut. Upaya menurunkan jumlah SDM yang dibutuhkan dalam proses produksi, perlu upaya peningkatan kompetensi SDM sehingga karyawan memiliki kemampuan untuk bekerja lebih produktif dan mengembangkan cara-cara yang lebih efisien dalam menghasilkan produk atau jasa


(29)

e. Strategi Biaya

Cara umum dan mudah ditiru ini mengupayakan penurunan biaya untuk menghasilkan peningkatan jumlah pelanggan. Hal ini mengakibatkan, perusahaan dapat terjebak pada kondisi perang harga yang berdampak pada penurunan kualitas produk atau jasa.

f. Strategi Keuangan

Dengan memanfaatkan secara lebih produktif aset yang ada melalui model Economic Value Added (EVA), strategi ini mengupayakan perusahaan menghasilkan pengembalian aset yang diinvestasikan dibanding alternatif investasi lain.

g. Strategi Human Capital

Cara pandang bahwa karyawan adalah aset untuk menghasilkan pendapatan bagi perusahaan memiliki hubungan yang positif dengan kinerja keuangan dan tingkat kepuasan pelanggan. Semakin banyak temuan yang menunjukkan bahwa iklim kekaryawanan di sebuah perusahaan ternyata memiliki hubungan yang positif dengan kinerja keuangan perusahaan tersebut. Disamping itu, juga ditemukan bahwa sikap karyawan dalam bekerja memiliki hubungan yang positif pula dengan tingkat kepuasan pelanggan. Kondisi ini mengarah pada kenyataan bahwa tingkat kepuasan pelanggan memiliki hubungan yang sangat kuat dengan pertumbuhan pendapatan perusahaan.

h. Balanced Scorecard

Perspektif terhadap penggunaan lebih dari satu strategi bersaing memungkinkan sebuah perusahaan memberikan penekanan berbeda tergantung pada situasi persaingan saat itu. Pendekatan ini disebut dengan Balanced Scorecard. Pendekatan ini juga memungkinkan terbentuknya kombinasi yang relatif unik dibandingkan dengan pesaing yang ada.


(30)

10

Pilihan strategi bisnis akan mempengaruhi perilaku dari organisasi (Gibson et al, 2000). Perilaku organisasi ini tercermin dari keputusan-keputusan yang dibuat oleh manajemen dan tindakan atau respon yang dilakukan oleh karyawan terhadap keputusan dimaksud atau terhadap cara atau proses keputusan itu dibuat. Salah satu keputusan penting yang sangat mempengaruhi perilaku organisasi adalah keputusan tentang sistem kompensasi.

Menurut Case (2001) di era informasi dan pengetahuan sekarang ini dimana informasi tentang gaji sangat sulit untuk dirahasiakan, maka manajemen perlu lebih berhati-hati di dalam menyusun kebijakan dan sistem kompensasi agar tidak menimbulkan kontraproduktif di kalangan karyawan. Di samping itu manajemen perlu untuk meningkatkan inovasi dan kreativitasnya di dalam penyusunan kebijakan dan sistem kompensasi agar perusahaan mampu mempertahankan orang-orang terbaiknya dan bahkan mampu menarik talenta-talenta unggul dari luar untuk mau bergabung dengan perusahaannya.

Pendapat Case dikaitkan juga dengan teori internal equity. Menurut teori ini seorang karyawan memiliki kecenderungan untuk membandingkan dirinya dengan orang lain yang dianggap pantas untuk sebanding dengan dirinya. Adapun aspek yang dibandingkan adalah rasio dari outcomes (hasil) dengan

input (masukan). Outcomes adalah segala sesuatu yang dia terima dari

perusahaan. Segala sesuatu ini dapat berupa gaji, tunjangan-tunjangan, insentif, bonus, status, kebanggaan dan lain sebagainya. Sedangkan input adalah segala sesuatu yang dia bawa ke perusahaan, mencakup pendidikan, pengalaman, kompetensi, energi semangat dan lain sebagainya. Apabila seorang karyawan merasa rasio outcomes terhadap input-nya lebih besar atau sama dengan pembanding yang dia tetapkan, maka dia akan merasa perusahaan berlaku adil kepadanya. Tetapi apabila terjadi hal yang sebaliknya, dimana rasio outcomes

terhadap input-nya lebih kecil dibandingkan dengan pembanding yang dia tetapkan, maka dia akan merasa sedang diperlakukan tidak adil oleh perusahaan. Dalam situasi seperti ini, setiap karyawan biasanya berusaha untuk mendapatkan keadilan internal (internal equity) dari perusahaan.


(31)

Keinginan untuk mendapatkan keadilan internal ini biasanya dimulai dengan berupaya untuk mendapatkan outcomes yang lebih besar. Caranya adalah dengan berdialog dengan atasan langsung, bagian sumberdaya manusia atau pihak-pihak yang menurutnya akan berpengaruh atas keputusan peningkatan outcomes yang akan diterimanya. Apabila upaya ini tidak berhasil, maka biasanya karyawan memilih untuk mengurangi input yang diberikannya ke perusahaan. Perilaku yang muncul bisa dengan mengurangi jam kerja efektifnya, sering mangkir, apatis dan perilaku-perilaku lainnya yang bisa sangat merugikan perusahaan.

Pilihan terakhir bagi seorang karyawan untuk memperjuangkan rasa keadilannya adalah keluar dari perusahaan. Dalam hal ini perusahaan kehilangan aset paling berharga yang sudah dibina mungkin selama beberapa tahun.

Christensen dan Raynor (2003) menjelaskan bahwa peran senior manejemen dalam hal inovasi; termasuk inovasi sistem kompensasi; ini sangatlah penting. Peran pertama adalah untuk berdiri diantara kenyamanan situasi bisnis saat ini dengan keberanian untuk keluar dari zona tersebut, serta kemudian memutuskan mana yang perlu dirubah dan mana yang tidak. Peran kedua adalah menciptakan mesin perubahan dan memastikan setiap individu mendukung rencana perubahan tersebut. Peran ketiga menurut Christensen adalah memastikan organisasi senantiasa peka terhadap perubahan dan secara terus-menerus memotivasi organisasi untuk melakukan perubahan baru sesuai kebutuhannya.

Sejalan dengan itu Ross (2003) menyatakan bahwa salah satu nilai yang paling berharga dari seorang pimpinan perusahaan adalah kemampuannya untuk melakukan pembaharuan yang mempertimbangkan tren masa depan. Begitupun Dotlich dan Cairo (2003) memperkuat argumen tersebut dengan menyatakan bahwa salah satu penyebab gagalnya seorang pemimpin dalam era sekarang ini adalah terlalu arogan dan tidak peka dengan lingkungannya yang berubah.

Pengembangan dan transformasi organisasi sepertinya sudah menjadi perjalanan tiada henti yang harus ditempuh oleh semua organisasi. Menurut


(32)

12

Cummings dan Worley (2001) para manajer sebaiknya memiliki pendekatan yang sistematis dalam melakukan pengembangan dan perubahan organisasinya. Pandangan ini memperkuat temuan Kotter (1998) yang mengatakan bahwa salah satu penyebab gagalnya transformasi organisasi adalah tidak adanya perencanaan yang sistematis atas kemenangan-kemenangan jangka pendek. Di samping itu Kotter juga menemukan bahwa kurangnya rasa sence of urgency

untuk berubah, menjadi penyebab lain dari gagalnya transformasi.

Menurut Wilson (2003) inovasi sistem kompensasi penting sekali untuk dilakukan pada situasi kerja yang sedang melakukan perubahan, karena perubahan seringkali membawa ketidaknyamanan bagi karyawan. Ketidaknyamanan ini perlu distimulasi dengan sistem kompensasi yang mendukung arah dan kebijakan perusahaan sesuai perubahan yang direncanakan. Perubahan pada sistem kompensasi biasanya akan mempengaruhi sub-sistem lain dari organisasi. Karena secara keseluruhan organisasi ada untuk mencapai tujuan tertentu, maka perilaku para anggotanya dapat dijelaskan sebagai pengejaran rasional terhadap tujuan tersebut. Dalam hal ini Robbins (2001) memberikan teorinya bahwa organisasi terdiri dari kelompok-kelompok yang masing-masing mencoba untuk memuaskan kepentingannya sendiri. Kelompok-kelompok tersebut menggunakan kekuasaan mereka untuk mempengaruhi distribusi sumberdaya dalam organisasi. Menyeimbangkan kebutuhan karyawan sebagai suatu kelompok dan kemampuan perusahaan yang diwakili oleh manajemen pada kelompok lainnya menjadi tantangan sendiri dalam aspek kompensasi.

Pilihan-pilihan yang dibuat oleh manajemen sebaiknya menumbuhkan kepercayaan yang tinggi dari anggota organisasi, agar dukungan optimal dapat diperoleh sebagai konsekuensinya. Menurut Covey (2006), tingkat kepercayaan akan berhubungan dengan kecepatan dan biaya yang ditanggung oleh organisasi. Apabila kepercayaan tinggi, maka kecepatan organisasi akan meningkat dan biaya yang ditimbulkan akan rendah. Sedangkan bila tingkat kepercayaan rendah, maka kecepatan organisasi akan berkurang dan organisasi akan terjebak pada biaya tinggi.


(33)

Sementara itu menurut Krames (2003), seorang pemimpin perusahaan harus mampu menciptakan budaya berkinerja tinggi yang didukung oleh kemampuan belajar organisasi. Budaya berkinerja tinggi ini juga memerlukan dukungan dari sistem organisasi, tidak terkecuali sistem kompensasi.

Sistem kompensasi sendiri oleh Berger & Berger (2000) dikelompokkan ke dalam empat komponen utama, yaitu Base Pay (Gaji Pokok), Benefit

(Manfaat dan Tunjangan), Short Term Incentive (Insentif Jangka Pendek) dan

Long Term Incentive (Insentif Jangka Panjang). Gaji pokok merupakan

komponen utama dari sebuah sistem kompensasi yang dibayarkan secara tetap setiap satu kurun waktu tertentu yang disepakati antara pemberi kerja dan pekerja. Sementara itu manfaat dan tunjangan merupakan tambahan kenikmatan yang diberikan oleh pemberi kerja kepada pekerjanya, dapat berupa uang tunai atau dapat pula dalam bentuk kemanfaatan non tunai, seperti cuti, kupon bensin, pulsa telepon, asuransi, kendaraan, rumah, dan lain sebagainya. Adapun insentif merupakan stimulus yang diberikan oleh pemberi kerja kepada pekerjanya dengan tujuan untuk mendorong kinerja, baik jangka pendek maupun jangka panjang.

Pemberian kompensasi kepada karyawan merupakan kewajiban dan upaya perusahaan untuk memenuhi kebutuhan dari karyawannya. Menurut Covey (2004) karyawan sebagai manusia memiliki 4 (empat) kebutuhan yang ingin dia puaskan dari waktu ke waktu, yaitu kebutuhan body (fisik) untuk hidup, kebutuhan mind (pikiran) untuk tumbuh dan berkembang, kebutuhan heart

(perasaan) untuk membangun hubungan yang lebih kuat dan kebutuhan spirit

(jiwa) untuk berkontribusi dan meninggalkan warisan. Semakin baik karyawan merasa kebutuhannya dipenuhi, semakin tinggi pula komitmen karyawan pada perusahaannya. Manajemen dihadapkan pada pilihan-pilihan di dalam menerapkan sistem kompensasi ini guna memenuhi kebutuhan karyawan tersebut. Apabila dikaitkan dengan pilihan-pilihan yang dibuat oleh manusia setiap harinya, Covey (2006) menyebutkan bahwa sadar atau tidak kita dihadapkan pada choice of act (pilihan bertindak), choice of purpose (pilihan atas tujuan) dan choice of principle (pilihan atas prinsip). Dalam konteks sistem kompensasi, pilihan atas prinsip keadilan biasanya menjadi pertimbangan yang


(34)

14

utama. Rasa keadilan yang ditimbulkan oleh sistem kompensasi yang diberikan akan mendorong komitmen karyawan dalam memberikan kontribusi terbaiknya kepada organisasi. Zender (2001) menjelaskan bahwa kesempatan yang sama yang diberikan kepada para konsultan mereka untuk memperoleh penghasilan sesuai dengan perilaku mereka di dalam organisasi, telah membuat kinerja mereka tumbuh secara baik dan turn over konsultan yang sangat rendah.

Pemberian sistem kompensasi total menurut Chingos (2002) harus mempertimbangkan 3P, yaitu Pay for Position (kompensasi atas posisi), Pay for Person (kompensasi atas orang), dan Pay for Performance (kompensasi atas kinerja). Kompensasi atas posisi dan atas orang biasanya mempengaruhi komponen gaji pokok dan manfaat atau tunjangan yang diberikan. Sedangkan kompensasi atas kinerja biasanya mempengaruhi insentif jangka pendek atau insenstif jangka panjang.

Menurut Ellis et al, (2004) kombinasi pemberian kompensasi kepada karyawan berkorelasi dengan produktivitas karyawan di dalam organisasi. Selanjutnya Ellis menjelaskan teorinya mengenai peningkatan produktivitas kompensasi dengan menggunakan sistem penilaian kerja strategik. Sementara itu Sallie (2004) juga menyatakan bahwa salah satu tantangan utama di dalam sistem kompensasi adalah mendapatkan internal equity (rasa keadilan internal). Smith dan Mazim (2004) lebih jauh menjelaskan bahwa perasaan karyawan atas kompensasi yang diterimanya merupakan sinyal kuat atas keputusan penting yang akan dibuat oleh karyawan tersebut berkaitan dengan masa depannya di organisasi tersebut. Meskipun kompensasi bukanlah alasan nomor satu dari keluarnya seorang karyawan dari organisasi, namun pada setiap survey karyawan selalu saja ditemukan ruang untuk perbaikan dari aspek ini.

Gaji Pokok dan Evaluasi Jabatan

Gaji pokok biasanya ditetapkan dengan menghitung nilai jabatan terlebih dahulu. Nilai jabatan diperoleh melalui proses evaluasi jabatan, yakni serangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistematis untuk menentukan nilai


(35)

relatif suatu jabatan terhadap jabatan-jabatan lainnya yang ada di dalam suatu organisasi. Beberapa metode yang biasa dilakukan dalam proses evaluasi jabatan adalah metode ranking, metode grading (classification) dan metode

point system (Berger & Berger, 2000).

Menurut Sushil (2009), metode ranking adalah metode yang paling mudah dan sederhana. Setiap jabatan yang ada diranking berdasarkan tingkat kepentingannya di dalam organisasi, yang mencerminkan nilai relatif dari jabatan tersebut dibandingkan dengan jabatan lain yang ada di organisasi tersebut. Kelemahan dari metode ranking adalah ketidakmampuannya membedakan jarak antar ranking. Kita tidak bisa mengetahui apakah jarak antara ranking 1 (satu) ke ranking 2 (dua) sama atau tidak dengan jarak antara ranking 2 (dua) ke ranking 3 (tiga) dan seterusnya. Disamping itu, metode ini tidak efektif untuk diterapkan pada perusahaan besar yang jumlah jabatannya lebih dari 30 (tiga puluh).

Metode grading (classification) muncul untuk menjawab kebutuhan perusahaan yang jumlah jabatannya banyak. Dengan metode ini, jabatan-jabatan yang dianggap memiliki karakteristik yang sama dikelompok-kelompokkan kedalam kelas tertentu. Misalnya kelas general manager, kelas senior manager, kelas manager dan seterusnya.

Metode yang paling banyak digunakan saat ini adalah metode point

system (sistem poin). Dengan metode ini setiap jabatan yang ada di dalam

organisasi dapat ditentukan poinnya sebagai acuan nilai relatif dari jabatan tersebut terhadap jabatan lain yang ada. Poin nilai jabatan ini diperoleh dengan menetapkan faktor penting yang disebut sebagai compensible factor. Pada perusahaan-perusahaan besar yang jumlah jabatannya ratusan, seringkali metode

grading dan point system dikombinasikan penerapannya.

Secara konseptual, metode evaluasi jabatan juga dijadikan dasar dalam pertimbangan nilai kesetaraan dan menghilangkan kesenjangan upah berdasarkan gender. Namun sejauh mana evaluasi jabatan tersebut bisa menjadi alat yang efektif untuk upah yang setara dalam organisasi saat ini mulai ditanggapi secara skeptis. Banyak peneliti telah melakukan kajian atas pro dan


(36)

16

kontra dari penggunaan evaluasi jabatan sebagai instrument keputusan utama dalam pemberian kompensasi.

Pro dan Kontra terhadap Evaluasi Jabatan

Sejak diperkenalkan dan digunakan secara luas, sampai dengan saat ini banyak sekali studi yang membahas metode, kegunaan dan manfaat yang diberikan oleh proses evaluasi jabatan kepada organisasi. Muara dari studi tersebut adalah adanya pro dan kontra dengan argumentasi dan paradigma yang terus berkembang di dalamnya.

Mahoney (1983) menyebutkan bahwa penggunaan istilah nilai relatif dalam evaluasi jabatan harus bisa menjawab tantangan dari aspek sosial dan aspek legal di dalam organisasi. Kita mengetahui bahwa pada masa itu banyak sekali praktek diskriminasi yang diberikan oleh perusahaan kepada pekerjanya, baik berupa jender ataupun ras.

Sementara itu Ahmed (1989) menyebutkan bahwa evaluasi jabatan merupakan proses yang sistematik dalam menentukan nilai relatif jabatan di dalam organisasi. Beberapa pendekatan analitis kuantitatif diterapkan untuk mempelajari kompleksitas tugas, pendidikan yang diperlukan, tingkat supervisi yang dibutuhkan dan mental atau kebutuhan lain yang relevan dengan tugas pemangku jabatan untuk bisa menghasilkan kinerja secara efektif.

Chang dan Kleiner (2002) menyebutkan bahwa sebagai suatu proses yang sistematik untuk memperoleh informasi yang valid, evaluasi jabatan harus mampu membantu manajemen dalam mengambil keputusan. Karena itu pendekatan sistematik ini harus didukung oleh kerjasama yang baik dari karyawan dan metode yang dapat diterima oleh fungsi SDM di dalam organisasi. Beberapa langkah yang disarankan Chang adalah (1) identifikasi dan isolasi komponen tugas dalam sebuah jabatan, (2) kaji bagaimana tugas dilaksanakan oleh pemangku jabatan, (3) identifikasi area penting tanggung jawab, (4) beri catatan lingkungan kerja yang dihadapi, menyangkut aspek fisik, sosial dan finansial, serta (5) identifikasi persyatatan yang harus dimiliki oleh pemangku jabatan untuk bisa menjalankan tugasnya dengan baik. Proses yang


(37)

sama disajikan oleh Balderrama (2003) dalam publikasinya yang berjudul

rediscovering job evaluation.

Dengan memperhatikan konsep yang dilakukan Taber dan Peters (1991), menyebutkan bahwa akurasi dari proses evaluasi jabatan sangat ditentukan oleh kelengkapan informasi yang disajikan. Semakin lengkap informasi yang disajikan, semakin tinggi tingkat akurasi proses yang dilakukan oleh para analis.

Pada tahun 1986, Levine melakukan penelitian terhadap metode analisa jabatan berbeda untuk kepentingan yang berbeda. Ada 7 (tujuh) metode evaluasi jabatan yang dipilih dalam penelitian ini, yaitu critical incident technique

(teknik kejadian kritis), position analysis questionnaire (kuesioner analisa jabatan), job element method (metode unsur jabatan), ability requirement scales

(skala persyaratan kemampuan), functional job analysis (analisa jabatan fungsional), task inventory-CODAP (kumpulan tugas-CODAP), threshold trait

analysis (analisa persyaratan minimum). Metode-metode ini dipilih karena

penggunaannya yang luas dan perbedaan kedalaman diantaranya. Metode yang berbeda dari analisa jabatan ternyata memberikan rating yang berbeda pada kepentingan yang berbeda. Misalnya untuk kepentingan job description

(deskripsi jabtan), kombinasi metode task inventory dan functional job analysis

memiliki rating yang paling tinggi. Sementara itu untuk kepentingan job classification (klasifikasi jabatan), disamping task inventory dan functional job analysis, position analysis questionnaire juga menunjukkan rating yang tinggi.

Davis et al, (1991) menyebutkan bahwa metode pembobotan dapat dijadikan alternatif untuk memperkuat metode lainnya dalam implementasi. Sedangkan Skenes dan Kleiner (2003) menjelaskan bahwa metode evaluasi jabatan yang paling banyak digunakan saat ini adalah metode poin.

Studi yang dilakukan oleh Wilde (1992) terhadap sebuah hypermarket

(kulakan) besar yang memiliki puluhan gudang yang tersebar di seluruh daerah memberikan makna lain dari proses evaluasi jabatan. Perusahaan ini memiliki 29 (dua puluh Sembilan) departemen yang berbeda yang masing-masingnya membutuhkan spesialis tertentu. Jumlah karyawannya adalah sekitar 1.670 (seribu enam ratus tujuh puluh orang) sampai 1.820 (seribu delapan ratus dua


(38)

18

puluh orang) tergantung musim. Faktor yang disepakati sebagai compensable factor (faktor penentu kompensasi) adalah pendidikan dan pengetahuan dasar yang dibutuhkan, pengalaman, kompleksitas tugas, tanggungjawab pada material atau dampak dari kesalahan, kontak dengan pihak lain atau lingkungan kerja, kerahasiaan data, supervisi yang diterima dan tanggung jawab untuk melakukan supervisi. Wilde menyimpulkan bahwa manfaat dari evaluasi jabatan akan optimal jika metode yang digunakan adalah metode yang sudah dikenal, mudah dimengerti dan mudah diterapkan. Sejalan dengan ini Hornsby et al,

(1994) melakukan kajian atas dampak dari sistem pengambilan keputusan terhadap metode evaluasi jabatan. Dalam hal ini Hornsby menyimpulkan bahwa keterlibatan karyawan dalam pemilihan metodologi akan memberikan tingkat kepercayaan dan keterterimaan lebih tinggi dibandingkan metode yang dipilih oleh manajemen dengan tidak melakukan pelibatan.

Sementara itu Collins dan Muchinsky (1993) menyebutkan bahwa ada 4 (empat) aspek yang perlu dipertimbangkan dalam evaluasi jabatan, yaitu keterampilan, tanggungjawab, upaya yang dituntut dan kondisi kerja. Meskipun demikian tidak ada batasan yang jelas terhadap keempat hal tersebut secara pasti, melainkan berupa judgment (pendapat subjektif) dari para evaluator yang selalu menimbulkan pertanyaan berkaitan dengan akurasinya. Terhadap aspek yang perlu dievaluasi, Buonasera (1994) kemudian mengembangkan beberapa kemungkinan metode skoring yang bisa digunakan.

Kelemahan dari proses evaluasi jabatan yang ditemukan oleh Benson dan Hornsby (1988) adalah adanya pengaruh yang kuat dari politik kantor terhadap hasil evaluasi jabatan yang dilakukan oleh komite evaluasi. Pengaruh politik kantor ini sangat mungkin dimanfaatkan oleh orang yang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi orang lain dengan pandangan-pandangan yang dirasionalkan melalui kemampuan komunikasi verbal.

Montemayor dan Rose (1994) secara tegas menyatakan bahwa kajian yang bertujuan untuk memberikan rasa kesetaraan sebetulnya hanyalah mitos. Kejadian yang sesungguhnya adalah bahwa setiap proses evaluasi jabatan tidak akan pernah memuaskan semua orang terlepas sebaik apapun hasil yang


(39)

diperoleh. Dia bahkan menyatakan diskriminasi tetap akan terjadi dalam bentuk ras, jender, warna kulit atau kecacatan.

Pendapat ini diperkuat oleh Behrooz dan Kalantar (1995) yang menyebutkan bahwa dilema dalam perbedaan upah merupakan dinamika yang terjadi melalui proses evaluasi jabatan. Bahkan di Amerika pekerja wanita tetap mengalami ketidakadilan sampai saat ini, sebagai bukti nyata dari gagalnya evaluasi jabatan.

Senada dengan ini, Naughton dan Thomas (1998) juga menemukan bahwa satu dari dua jabatan yang berkaitan dengan wanita memiliki nilai 5.6% lebih rendah. Hal ini biasanya dikaitkan dengan aspek upaya dan aspek tanggungjawab yang dibutuhkan dalam bekerja, bukan pada aspek pendidikan atau pengetahuan. Chen dan Brasher (1999) bahkan menemukan tingkat kesalahan yang lebih besar pada proses evaluasi jabatan yang terjadi karena bias jender, yakni 34%-44% terhadap jabatan-jabatan yang didominasi oleh pekerja wanita.

Sementara itu Grams dan Schwab (1986) melakukan kajian yang agak berbeda dari kajian-kajian yang dilakukan oleh peneliti lainnya. Kalau kebanyakan peneliti mengkaji bias jender yang terjadi pada jabatan-jabatan yang memiliki preferensi jender, maka Grams justru melakukan kajian atas bias hasil evaluasi jabatan yang terjadi karena perbedaan jender evaluatornya. Perbedaan komposisi jender dalam evaluasi jabatan ternyata menunjukkan beberapa perbedaan pada hasil evaluasi jabatan tersebut. Seperti diketahui perbedaan hasil evaluasi jabatan akan membawa implikasi kepada penetapan gaji.

Welbourne dan Trevor (2000) menjelaskan bahwa peran dari suatu departemen atau posisi tawar dari evaluator juga sangat berpengaruh pada hasil evaluasi jabatan. Hal ini diperkuat oleh Arnault et al, (2001) yang menyatakan bahwa setiap jabatan memiliki nilai inheren yang bebas dari harga pasar dan pengaruh supply –demand. Namun ternyata dari penelitian yang dilakukannya, satu dari 3 (tiga) evaluator gagal mengukur nilai relatif ini secara akurat. Kesimpulan yang ditarik oleh Arnault adalah bawah penilaian nilai relatif jabatan sensitif terhadap evaluator yang dipilih.


(40)

20

Studi lain yang dilakukan oleh Rutt dan Doverspike (1999) adalah dampak gaji dan hirarki organisasi yang terjadi terhadap hasil evaluasi jabatan. Kecenderungan yang terjadi adalah semakin tinggi hirarki organisasi maka akan semakin tinggi pula nilai evaluasi yang diberikan oleh evaluator. Hal ini menimbulkan efek vertikal pada karyawan, yakni keinginan untuk mendapatkan promosi ke hirarki yang lebih tinggi guna mendapatkan gaji yang lebih tinggi pula.

Yu dan Kleiner (1992) melakukan kajian atas peraturan yang dikeluarkan pada 20 desember 1994 oleh Department of Labor (departemen tenaga kerja) di Amerika yang berisi tentang Labor Condition Application (LCA). Dalam hal ini pemerintah mengharuskan para pekerja untuk memperoleh sertifikasi tertentu, yang sebetulnya bertujuan untuk melindungi pekerja lokal dari pekerja migran. Hal ini membuktikan bahwa kecenderungan untuk terjadinya bias tetap belum bisa dieliminasi sepenuhnya.

Figart (2000) menyatakan bahwa sebetulnya evaluasi jabatan dirancang untuk mengeliminasi praktek-praktek manajemen yang paternalistik, yang kadang-kadang melihat pekerja dari lingkungan keluarga dari pekerja tersebut, sejarah bekerjanya selama ini dan segala hal yang bersifat personal yang kemudian dikaitkan dengan penentuan gaji. Pada tahun 2001, Figart melakukan kajian yang cukup komprehensif atas evaluasi jabatan. Dia menyebutkan bahwa sebetulnya penggunaan evaluasi jabatan secara luas mulai dikenal antara tahun 1920-an dan 1930-an. Kemudian ramai kembali dibicarakan pada era pasca perang dunia ke dua antara tahun 1940 sampai dengan 1960. Era pasca perang dunia kedua ini juga sering disebut sebagai era Fordism. Fordism adalah semacam penyebutan terhadap era dimana Henry Ford, pemilik perusahaan otomotif terkemuka pada saat itu di Amerika Serikat mengeluarkan kebijakan berkaitan dengan hubungan pabrik otomotif yang dimilikinya dengan para pekerja. Salah satu kebijakan yang dikeluarkan oleh Henry adalah kebijakan 5

dollar a day, dimana pekerja mendapatkan upah sebesar 5 (lima) dolar perhari. Kesimpulan dari penelitian Figart adalah bahwa saat ini pendekatan evaluasi jabatan mulai diabaikan oleh neo-economist maupun oleh political economist.


(41)

Salah satu contoh dari kesimpulan Figart mungkin bisa dilihat dari ilustrasi yang disampaikan oleh Ang et al, (2002) yang melakukan penelitian terhadap IT Professional (professional teknologi infromasi) sebanyak1576 (seribu lima ratus tujuh puluh enam) orang dari 39 (tiga puluh sembilan) institusi berbeda. Kajian yang dilakukannya menunjukkan bahwa gaji secara signifikan ditentukan oleh nilai human capital yang diperoleh melalui pendidikan dan pengalaman. Perusahaan besar membayar lebih mahal dibandingkan perusahaan kecil kepada orang yang memiliki pendidikan lebih tinggi, sedangkan perusahaan kecil membayar lebih mahal dibandingkan perusahaan besar kepada orang yang memiliki pendidikan lebih rendah. Pembayaran gaji ternyata tidak ada korelasinya terhadap nilai evaluasi jabatan yang dilakukan sebelumnya.

Prinsip dari evaluasi jabatan adalah membandingkan pekerjaan dengan menggunakan prosedur formal dan sistematis untuk menentukan posisi relatif dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain dalam hirarki upah dengan

Evaluasi jabatan merupakan prosedur formal yang secara hirarki mengatur serangkaian pekerjaan sesuai dengan kapabilitas masing-masing pekerja. Semakin besar nilai sebuah jabatan dalam sebuah organisasi, semakin besar gaji yang didapat oleh pemangku jabatannya. Inti dari evaluasi jabatan ini lebih difokuskan kepada pembayaran yang didasarkan atas 'nilai tarif' dari

asumsi bahwa setiap pemangku jabatan dianggap memiliki kinerja maksimal 100%. Dengan menggunakan asumsi ini gaji pokok seorang pemangku jabatan pada nilai jabatan yang sama ditetapkan sama. Kalaupun ada perbedaan, biasanya hanya perbedaan kecil yang timbul karena ada pertimbangan pendidikan dan pengalaman kerja dari seorang pemangku jabatan. Pada era informasi dan pengetahuan sekarang ini, asumsi ini sebetulnya sudah tidak lagi relevan, karena setiap pemangku jabatan yang memiliki kompetensi berbeda berpotensi untuk menghasilkan kinerja berbeda, meskipun ditempatkan pada posisi yang sama. Seperti yang sudah disampaikan pada bagian pendahuluan bahwa perbedaan kinerja pada jenis pekerjaan yang kategorinya sederhana saja bisa mencapai 300%. Semakin rumit suatu pekerjaan, semakin besar jarak kinerja antara kinerja unggul dengan yang buruk.


(42)

22

jabatan dan bukan didasarkan kepada nilai perorangan dari pemangku jabatannya.

Sementara itu kita mengetahui bahwa yang menghasilkan kinerja sesungguhnya adalah orang atau karyawan sebagai pemangku jabatan. Begitupun yang menerima gaji adalah orangnya dan bukan jabatannya. Hal inilah yang kemudian menjadi penyebab munculnya rasa ketidakadilan di antara karyawan yang merasa memiliki kompetensi lebih dibandingkan orang lain.

Heneman et al, (2003) menyatakan bahwa dengan banyak sekali kritik yang dilontarkan kepada praktek evaluasi jabatan ini maka perlu dicari alternatif baru yang lebih bisa menjawab tantangan ini secara berkelanjutan. Sistem kompensasi perlu mempertimbangkan strategi organisasi dan lingkungan bisnis yang berubah dari waktu ke waktu.

Salah satu alternatif yang ditawarkan oleh Hughes (2003) adalah mengaitkan pembayaran gaji secara langsung dengan keterampilan atau pendidikan pekerja. Dalam hal ini dia kemudian melakukan kajian atas mana yang sebaiknya lebih menentukan gaji, apakah keterampilan, ataukah diploma yang diperoleh dari proses pendidikan. Kesimpulan yang diperoleh Hughes mengindikasikan bahwa pada banyak kasus, keterampilan mendapatkan prioritas lebih sebagai faktor yang lebih mempengaruhi.


(43)

Manajemen Kompetensi dalam Transformasi Human Capital

Sistem Manajemen SDM yang berkembang di era industri, mengalami transformasi menuju pendekatan human capital pada era pengetahuan dan informasi sekarang ini. Manusia yang dulunya disebut sebagai sumberdaya, saat ini dinyatakan sebagai aset yang paling berharga bagi perusahaan. Adapun wujud aset yang dimiliki oleh manusia adalah berupa kompetensi; ketrampilan (skill), pengetahuan (knowledge) dan perilaku (behavior); yang diyakini memiliki hubungan sebab-akibat dengan kinerja manusia tersebut di dalam sebuah organisasi. Pengelolaan kompetensi sebagai wujud aset yang dimiliki oleh manusia di dalam organisasi menjadi faktor kunci keberhasilan organisasi di era ini. Fitz-enz (2002) menyatakan bahwa dalam pendekatan human capital,

inisiatif pengelolaan manusia di dalam organisasi haruslah bisa diukur perkembangannya. Dengan dilakukannya pengukuran ini, manajemen dapat mengambil keputusan-keputusan penting berkaitan dengan aset yang paling berharga tersebut.

Kompetensi didefinisikan oleh Spencer & Spencer (1993) sebagai karakteristik melekat yang dimiliki oleh seseorang yang berhubungan sebab akibat dengan kinerjanya pada situasi atau standar kinerja tertentu. Kompetensi dikelompokkan dalam Threshold Competency (Kompetensi Ambang) dan

Differentiating Competency (Kompetensi Pembeda). Kompetensi Ambang;

biasanya berupa skill (Keterampilan) atau knowledge (Pengetahuan); merupakan karakteristik dasar minimal yang harus dimiliki oleh seseorang agar dia bisa efektif dalam menjalankan tugas-tugasnya. Sementara itu, Kompetensi Pembeda; biasanya berupa kumpulan perilaku; merupakan karakteristik yang akan membedakan orang yang kinerjanya superior dengan orang yang kinerjanya rata-rata dalam suatu tugas atau jabatan tertentu. Dari riset terhadap 200 (dua ratus) jabatan, ditemuka n 20 (dua puluh) kompetensi pembeda, yaitu orientasi berprestasi, kepedulian terhadap keteraturan, inisiatif, pencarian informasi, pemahaman hubungan antar manusia, orientasi pada pelayanan pelanggan, dampak dan pengaruh, pemahaman keorganisasian, membangun jejaring, mengembangkan orang lain, pengarahan, kerjasama, kepemimpinan,


(44)

24

pemikiran analitis, pemikiran konseptual, pengendalian diri, keyakinan diri, fleksibilitas, komitmen berorganisasi dan pengembangan keahlian.

Begitu pentingnya isu manajemen kompetensi saat ini sehingga Hansen

et al, (2001) menyarankan agar setiap organisasi merumuskan strategi khusus untuk mengelola pengetahuan guna memenangkan persaingan di era informasi dan pengetahuan ini. Menurut Hansen pengelolaan pengetahuan dapat dilakukan dengan kodefikasi maupun melalui strategi personalisasi. Sejalan dengan pemikiran ini, Krames (2008) menyebutkan bahwa salah satu hal penting yang dilakukan oleh pemimpin hebat di era informasi dan pengetahuan ini adalah melakukan audit terhadap kompetensi karyawannya. Audit kompetensi ini dimaksudkan untuk menemukan kekuatan dari masing-masing karyawan untuk selanjutnya diberdayakan secara optimal. Buckingham dan Cliffton (2001) juga menyarankan agar organisasi lebih fokus kepada kekuatan karyawannya, untuk membuat kelemahannya menjadi tidak relevan. Sementara itu kebanyakan pemimpin jutsru berusaha keras untuk memperbaiki kelemahan karyawannya. Hal ini menurut Buckingham sangatlah tidak efektif. Dari pada memboroskan energi untuk menutupi kelemahan, dia menyarankan untuk mengembangkan kekuatan orang-orang untuk menjadi yang terbaik di bidangnya. Apapun pilihan yang diambil oleh sebuah organisasi, diperlukan suatu proses yang sistematis terlebih dahulu untuk mendefinisikan kompetensi yang dibutuhkan, sebelum melakukan audit terhadap kompetensi yang dimiliki oleh karyawan. Setelah itu barulah dipikirkan cara-cara untuk mengembangkan kompetensi tersebut secara cepat guna mendukung kinerja organisasi. Menurut Brown dan Duguid (2001) pendekatan pembelajaran organisasi dapat dilakukan untuk mempercepat proses ini. Melalui pembelajaran organisasi, keterbatasan anggaran dan waktu yang dimiliki oleh pendekatan pelatihan yang konvensiaonal dapat dieliminasi. Hal ini memperkuat pandangan Prokesh (2000) yang menjelaskan bahwa organisasi akan memperoleh hasil yang luar biasa jika mampu melepaskan energi belajarnya secara kolektif.

Proses mendefinisikan semua kompetensi yang dibutuhkan oleh sebuah jabatan oleh Spencer disebut sebagai pemodelan kompetensi jabatan. Hasilnya disebut model kompetensi jabatan.


(45)

Dalam organisasi yang menerapkan Competency Based Human

Resource Management (CBHRM), pemodelan kompetensi ini merupakan

langkah awal yang sangat menentukan keberhasilan organisasi. Hal ini disebabkan karena selanjutnya proses pengelolaan SDM akan menggunakan model kompetensi jabatan ini sebagai dasar pengambilan keputusan yang berkaitan dengan manajemen SDM.

Keputusan rekrutmen, penempatan atau promosi akan didasari pada kesesuaian kompetensi kandidat dengan model kompetensi jabatan. Keputusan pelatihan dan pengembangan akan difokuskan pada kesenjangan antara kompetensi seseorang dengan model kompetensi jabatannya. Keputusan pengelolaan karir akan dimulai dengan menetapkan jenjang karir berdasarkan kedekatan model kompetensi jabatan dari sekumpulan jabatan tertentu. Begitu juga dengan keputusan tentang kompensasi.

Sama halnya dengan pendapat yang dikemukakan oleh Spencer, Martone (2003) juga menyebutkan bahwa kompetensi merupakan salah satu aspek penting yang harus diperhatikan dalam menyusun sistem pengelolaan kinerja di era pengetahuan dan informasi seperti sekarang ini. Lebih lanjut Martone menyatakan bahwa di dalam sistem pengelolaan kinerja, kompetensi yang berorientasi kepada perilaku jauh lebih penting untuk dijadikan pertimbangan dibandingkan hasil pekerjaan itu sendiri. Hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Ridley pada tahun 2007, yang menemukan bahwa aspek perilaku manusia memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap perbedaan kinerja. Perilaku yang disebutkan di sini adalah perilaku yang berkaitan dengan kebutuhan pekerjaan itu sendiri (job related behavior), atau yang oleh Spencer disebut sebagai kompetensi.

Pemodelan kompetensi menurut Spencer dapat dilakukan dengan beberapa metode. Tiga metode yang paling banyak digunakan adalah (1) survey, (2) behavior event interview (BEI) dan (3) expert panel. Masing-masing metode memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing.

Metode survey misalnya memiliki keunggulan karena prosesnya dapat lebih cepat dan murah. Disamping itu pelibatan karyawan di dalam survey juga


(46)

26

dapat memberikan dampak positif dari aspek komitmen karyawan. Tetapi kelemahan dari metode survey adalah keterbatasan data yang diperoleh dari kuesioner yang dibagikan. Jika informasi yang ingin digali lebih banyak, survey juga bisa menjadi tidak efisien untuk dilakukan.

Metode behavior event interview (BEI) memiliki keunggulan pada kedalaman informasi yang dihasilkan. Metode ini juga memberikan informasi tentang algoritma berfikir para responden yang biasanya dipilih karena perbedaan kinerja mereka yang superior dibandingkan dengan kinerja rata-rata. Melalui BEI juga bisa dihasilkan bahan dan informasi yang sangat berguna untuk kepentingan assessment dan pengembangan karyawan. Informasi ini dapat dimanfaatkan oleh pusat pengkajian dan pengembangan karyawan dalam menemukan cara-cara yang efektif untuk kepentingan pengembangan. Pusat pengkajian dan pengembangan karyawan (assesment center) menurut Woodruffe (2003) tidaklah diartikan sebagai sebuah tempat, melainkan pendekatan yang komprehensif menggunakan beberapa alat, metoda dan rater

di dalam menilai kompetensi seseorang. Dibandingkan dengan pendapat seseorang (single rater), Kipley dan Lewis (2008) menyatakan bahwa multi

rater dapat memberikan kelengkapan sudut pandang terhadap aspek yang

dinilai, dilihat dari sudut pandang yang berbeda.

Adapun kelemahan dari metode BEI terletak pada banyaknya waktu dan biaya yang diperlukan untuk melaksanakannya. Karena itu, biasanya untuk organisasi yang besar dan memiliki banyak sekali jabatan, metode ini menjadi sulit untuk dilakukan.

Metode expert panel memiliki keunggulan dari aspek kecepatan dan efisiensi proses. Dalam hal ini panel ahli adalah orang yang dianggap memiliki kompetensi di bidang organisasi dan manajemen kompetensi. Kelemahan dari metode ini terletak pada kemungkinan perbedaan sudut pandang dari masing-masing ahli dan kemungkinan mereka terjebak dalam motherhood statement. Tetapi menurut Lohman (2004), kelemahan ini sekaligus dapat dijadikan kekuatan, bila metode panel ahli didukung oleh sistem pengambilan keputusan yang dapat diandalkan.


(47)

Sistem manajemen kinerja berbasis kompetensi merupakan cara formal pembentukan keterampilan dan perilaku karyawan untuk berhasil dalam perannya sekarang dan untuk pertumbuhan organisasi di masa depan. Ekspektasi perusahaan kepada karyawan diinformasikan dan ditempatkan pada jalur yang jelas melalui model kompetensi yang dihasilkan dari kerangka kerja terstruktur guna menyelaraskan kinerja karyawan dengan sasaran (jangka pendek dan jangka panjang) organisasi.

Sejumlah organisasi berusaha membuat program berbasis kompetensi yang mengharuskan semua karyawan untuk kuat di semua keterampilan namun cenderung gagal karena tidak mencerminkan kenyataan bahwa semua orang tidak memiliki keterampilan dan minat yang sama. Namun dengan mengetahui perbedaan dan kekuatan individu sementara pada saat yang sama mengajarkan karyawan ketergantungan, keselarasan dan kemampuan untuk bekerja sama dengan erat, output kolektifnya akan jauh lebih besar daripada individu yang bekerja secara independen.

Sistem manajemen kinerja berbasis kompetensi memungkinkan organisasi bisa menggambarkan kriteria kinerja untuk setiap tingkat sehingga menciptakan dasar untuk pengakuan, penghargaan, dan promosi. Dengan sistem ini perusahaan akan dapat lebih mudah mengelola bakat karyawan, merencanakan suksesi perencanaan dan membangun kekuatan baku. Aspek penting yang harus dipertimbangkan dalam merancang dan menerapkan sistem manajemen kinerja berbasis kompetensi adalah :

1.Membangun Kompetensi

Perusahaan menentukan kompetensi budaya seperti integritas, profesionalisme, akuntabilitas, kualitas, fokus hasil, dan profitabilitas. Perusahaan memilih tiga sampai empat kompetensi budaya, mendefinisikan dan membuat daftar prilaku untuk setiap kompetensi tersebut. Perusahaan juga dapat memilih kompetensi organisasi, yaitu keterampilan khusus yang diharapkan ditunjukkan oleh karyawan pada setiap tingkatan untuk promosi.


(48)

28

2.Menetapkan Target dan Ekspektasi Kinerja

Perusahaan perlu menetapkan dan ekspektasi kinerja untuk setiap pemimpin dan karyawan. Para pemimpin membuat laporan tentang target dan ekspektasi kerja untuk pengembangan karyawan dan mereka sendiri. Tahap penandatanganan oleh pemimpin dan karyawan adalah tahap penting untuk memastikan keselarasan target dan ekspektasi kinerja tersebut.

Meskipun langkah ini bisa memakan waktu, langkah ini adalah komponen kunci. Target yang ada harus selaras antara target yang di tingkat atas dengan tujuan di tingkat di bawahnya sehingga secara kolektif hasil tujuan fungsional dan individu akan selaras. Misalnya, target pendapatan yang ditetapkan untuk sales representative perorangan harus sama atau melebihi target pendapatan yang sudah ditetapkan untuk departemen penjualan, dan target yang ditetapkan untuk semua departemen harus sama atau melebihi target pendapatan untuk keseluruhan organisasi.

3.Memonitor Keberhasilan Kinerja dan Umpan Balik

Ada banyak proses monitoring keberhasilan kinerja dan umpan balik, tapi yang harus dipilih adalah yang terkait dengan kompetensi dan yang memberikan arahan berkelanjutan, pengukuran, dan umpan balik. Kunci sukses proses ini adalah menjadikannya bagian dari dialog yang dilakukan secara teratur antara karyawan dan atasan langsung. Cara paling buruk untuk mengelola sebuah proses monitoring keberhasilan kinerja dan umpan balik adalah melakukan proses penetapan tujuan sekali setahun dan kemudian tidak memberikan umpan balik sampai penilaian akhir tahun. Padahal, kunci sukses proses monitoring keberhasilan kinerja dan umpan balik adalah membuat proses ini bagian dari dialog yang dilakukan secara teratur antara pimpinan dan bawahannya. Dialog informal harian, mingguan, dan bulanan dan dialog formal triwulan formal atau, minimal, setengah tahunan menjadi proses bekerja. Diskusi triwulanan atau tahunan formal kuantitatif dan kualitatif memberikan karyawan umpan balik yang


(49)

diperlukan, untuk memastikan bahwa mereka berada di jalur, berfokus pada hal yang benar, dan memiliki alat yang tepat untuk mencapai tujuan mereka. Secara keseluruhan, mekanisme ini membuat semua orang di organisasi mendapat informasi yang dibutuhkan dan memungkinkan semua orang untuk mengetahui bilamana seorang individu sedang bekerja dengan benar.

4.Membuat Profil Lengkap Karyawan dan Rencana Pengembangan

Profil karyawan berisi ringkasan keterampilan, pengalaman, pendidikan, prestasi besar, posisi penting yang dijabat, dan kekuatan dan bidang pengembangan untuk setiap karyawan. Profil ini menjadi peta karir karyawan. Komponen fundamental dari perusahaan-perusahaan sukses adalah adanya umpan balik yang berkelanjutan, kuantitatif dan kualitatif yang dilakukan secara teratur antara leadermanajer dan stafnya. Tim eksekutif senior harus meninjau dan secara berkala dimutakhirkan proses ini. Pemimpin tim harus mampu melihat bilamana mereka memiliki orang yang tepat pada peran yang tepat bagi perusahaan yang akan sukses.

5.Memulai Perencanaan Suksesi dan Manajemen Talenta

Pemimpin mengidentifikasi kandidat suksesi dan kesenjangan keterampilan dan bakat di organisasi. Rencana tindakan dikembangkan untuk menutup kesenjangan tersebut. Dengan cara ini, pemimpin dapat mengelola dan mengembangkan bakat mereka dan fokus pada perilaku dan pengembangan keterampilan secara kolektif dan secara individual untuk mencapai gol utama organisasi.

Sistem kompetensi berbasis kinerja juga mengikat secara langsung proses rekrutmen dan seleksi. Dalam proses ini pemimpin menentukan keahlian, pengalaman, dan perilaku yang dibutuhkan. Proses ini juga memberikan wawasan yang jelas tentang kapan harus mendapatkan bakat di luar organisasi. Menurut Cappelli (2008) keputusan untuk mengembangkan kompetensi dari


(1)

4. DIMENSI

Dimensi keuangan:

-

Dimensi non-keuangan:

Bawahan langsung : 3 orang per shift

Bawahan tidak langsung : 32 orang per shift

Area kerja meliputi:

- Raw Water Intake - Water Treatment Plant - Waste Water Treatment Plant - Boiler

- Steam Turbine Generator - Instrument Air (Compressor)

5. HUBUNGAN KERJA

Internal Perusahaan

(Di dalam lingkungan Perusahaan)

- Operation Superitendent : koordinasi rencana dan target kerja. - Engineering : pelaporan hasil produksi, kuantitas dan kualitas - Maintenance : perawatan rutin dan perbaikan alat

- Process : pemenuhan kebutuhan soft water, process water, steam, pressured air, power - HSE : bekerjasama dalam penyediaan peralatan safety dan inspeksi

- Warehouse : Consumable material

Eksternal Perusahaan

(Di luar lingkungan Perusahaan)

Outsourcing : Penyedia tenaga helper.

6. MASALAH DAN TANTANGAN KERJA

- Tenaga kerja yang tidak mencukupi

- Ketersediaan bahan kimia dan bahan penunjang lainnya - Desain peralatan kerja yang tidak sesuai standard

- Kualitas bahan baku (air sungai) sangat terkait dengan kondisi sungai, musim - Kondisi tempat kerja WWTP yang tidak nyaman (bau limbah yang menyengat) - Kondisi tempat kerja WTP yang banyak bahan kimia

- Kondisi tempat kerja STG, tingkat kebisingan tinggi

- Melaksanakan pekerjaan diluar tanggung jawab utama jika dinilai mampu oleh management

7. WEWENANG

- Mengambil tindakan segera untuk pengamanan bila terjadi trouble atau emergency di unit utility ( RWI, WTP, WWTP, Boiler, STG, dan Compressor Coal Handling)


(2)

- Membuat Surat Perintah Kerja Lembur bawahan - Membuat WI dan check list di unit utilities - Mengesahkan work permit di unit utilitas

8. SPESIFIKASI JABATAN

Latar belakang pendidikan dan pengalaman:

S1 Teknik Kimia / Industri dengan pengalaman min. 3 tahun sebagai Utility Supervisor atau 5 tahun sebagai foreman di pabrik ethanol / alcohol atau industri petrokimia.

Pengetahuan / Ketrampilan:

- Memahami dan menguasai dengan baik alur kerja proses produksi - Memiliki pemahaman tentang P&ID

- Memiliki pemahaman tentang water treatment plant - Memiliki pemahaman tentang waste water treatment plant - Memiliki pemahaman tentang power generation secara umum - Mampu berbahasa Inggris lisan dan tulisan

- Mampu mengoperasikan komputer, menguasai MS. Office

Kompetensi:

- Mampu memahami salah satu cara kerja proses produksi ethanol (pre-treatment, destilation, decantation, liquefaction atau fermentation)

- Mengetahui parameter proses di salah satu unit kerja yang menjadi tanggung jawabnya - Mengetahui parameter proses di salah satu unit kerja yang menjadi tanggung jawabnya

- Memahami seluruh prosedur pengoperasian unit penunjang/utility (power, boiler, STG, water treatment, WWTP) Mampu melakukan troubleshooting terhadap proses maupun mesin peralatan penunjang/utility Mampu menentukan kelayakan operasi dari mesin dan peralatan penunjang/utility


(3)

9. STRUKTUR ORGANISASI

Operation Superintendent

Utility Supervisor Process

Supervisor

Water Treatment & Cooling Water System Foreman

Waste Water Treatment Foreman


(4)

Uraian Jabatan

1. IDENTIFIKASI

Nama jabatan :

Warehouse Supervisor Dibuat tgl. : 1 Oktober 2009

Perlu di review tgl. : 1 Oktober 2010

Departemen : Plant-Technical Lokasi : Site

Pemangku : XXXX

Persetujuan

(tanda tangan pemangku):

Melapor pada : Technical Superitendent Persetujuan

(tanda tangan atasan langsung):

2. TUJUAN JABATAN

Memonitor dan mengkoordinir kegiatan penerimaan, penyimpanan dan pendistribusian stok material, consumable material dan bahan penunjang proses produksi sehingga tersedia barang stok yang akurat untuk perencanaan produksi..

3. TANGGUNG JAWAB UTAMA

- Memonitor dan mengkoordinir ketersediaan kebutuhan stok material dan bahan penunjang, sesuai perencanaan, guna kelancaran proses produksi.

-- Memonitor dan memastikan distribusi dan penyimpanan stok material dan bahan penunjang sesuai dengan dengan kebutuhan produksi dan terjaga kondisinya.

- Memonitor dan memastikan penerapan MSDS (material safety data sheet) maupun COA (certificate of analysis) dalam kegiatan penerimaan, distribusi, dan penyimpanan stok material dan bahan penunjang untuk menghindari resiko yang mengakibatkan kerugian dan keterlambatan.

- Mengendalikan dan mengawasi tingkat stok minimum dan maksimum guna menjaga kelancaran proses produksi.

- Mengidentifikasi potensi , mengevaluasi, mendorong serta membina bawahan melalui coaching dan mentoring agar meningkatkan kompetensi dan kinerja bawahan.

- Menerapkan kebijakan dan prosedur keselamatan kerja di bagian Technical, menyelidiki kecelakaan / insiden yang terjadi, dan melakukan tindakan agar keselamatan dan kesehatan kerja dapat tercapai.

4. DIMENSI

Dimensi keuangan:

Anggaran biaya produksi : Rp


(5)

Dimensi non-keuangan:

Bawahan langsung : 2 orang

Bawahan tidak langsung : 4 orang

5. HUBUNGAN KERJA

Internal Perusahaan

(Di dalam lingkungan Perusahaan)

- Procurement: koordinasi kegiatan perencanaan dan pembelian berkaitan dengan kebutuhan stok material dan bahan penunjang proses produksi.

- Logistik: koordinasi untuk peminjaman alat-alat berat - Maintenance: koordinasi pemeliharaan alat angkat/ angkut

- Finance; koordinasi pembayaran tagihan sesuai barang yang sesuai quality dan quantity

- Quality Control; koordinasi kegiatan inspeksi penerimaan stok material dan bahan penunjang dari supplier/vendor

- HSE; koordinasi mengenai prosedur handling dan penyimpanan. - Operational; koordinasi kesiapan proses produksi

- HR&GA ;koordinasi kebutuhan overtime dan man power

Eksternal Perusahaan

(Di luar lingkungan Perusahaan)

- Instansi Pemerintah terkait; Pabean, LLAJR, Kepolisian,Bapelda - Lembaga/ Perusahaan Swasta Terkait: Auditor, Supplier

6. MASALAH DAN TANTANGAN KERJA

- Kondisi fasilitas pergudangan tidak sesuai standard penyimpanan material. - Ketersediaan, mutu stok material dan bahan penunjang proses produksi.

- Perubahan konsumsi dan estimasi kebutuhan stok material yang tidak sesuai rekomendasi - Perubahan jadual proses produksi.

- Perubahan target atau waktu pengiriman

- Kondisi iklim dan cuaca yang berpengaruh pada penyimpanan stok material

- Karakteristik yang berbeda – beda untuk stok material baik padat,cair, dan gas diperlakukan secara khusus

7. WEWENANG

- Menentukan tingkat minimum dan maksimum stok material - Melakukan penerimaan barang GR / IR sesuai SAP yang berlaku - Membuat Surat Perintah Kerja Lembur bawahan

- Membuat WI dan check list plant warehouse - Mengesahkan work permit di plant warehouse - Mengusulkan tingkat inventori yang optimal


(6)

Latar belakang pendidikan dan pengalaman:

S1 Teknik Industri / Mesin dengan pengalaman min. 3 tahun atau D3 dengan pengalaman min. 5 tahun sebagai pengawas PPC / warehouse di Industri kimia / Petrokimia.

Pengetahuan / Ketrampilan:

- Memahami dan menguasai dengan baik alur proses produksi di petrochemical/refinery - Memahami sistem dan prosedur proses produksi

- Memahami Standard Material dan Chemical

- Memiliki kemampuan Operation, People, Time dan Risk Management - Bisa berbahasa Inggris lisan maupun tulisan

- Mengetahui statik dan non statik equipment

- Mampu mengoperasikan komputer, menguasai MS. Office beserta aplikasinya

Kompetensi:

10. STRUKTUR ORGANISASI

Technical Superintendent

Warehouse Supervisor

Inspector Supervisor

Process Engineer

Laboratory Supervisor

Warehouse Foreman