Faktor yang Berhubungan dengan Tindakan Ibu untuk Mengimunisasikan HB0 pada Bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Kuala Kabupaten Bireuen Tahun 2014

(1)

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TINDAKAN IBU UNTUK MENGIMUNISASIKAN HB0 PADA BAYI DI WILAYAH KERJA

PUSKESMAS KECAMATAN KUALA KABUPATEN BIREUEN

TAHUN 2014

TESIS

Oleh ZAKIYUDDIN 127032164/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

FACTORS RELATED WITH MATERNAL ACTION TO IMMUNIZE INFANTS HB0 IN DISTRICT HEALTH CENTER

IN THE WORKING AREA OF KUALA BIREUEN DISTRICT

2014

THESIS

By

ZAKIYUDDIN 127032164/IKM

MAGISTER OF PUBLIC HEALTH SCIENCE STUDY PROGRAM FACULTY OF PUBLIC HEALTH

UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TINDAKAN IBU UNTUK MENGIMUNISASIKAN HB0 PADA BAYI DI WILAYAH KERJA

PUSKESMAS KECAMATAN KUALA KABUPATEN BIREUEN

TAHUN 2014

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Oleh

ZAKIYUDDIN 127032164/IKM

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(4)

Judul Tesis : FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TINDAKAN IBU UNTUK

MENGIMUNISASIKAN HB0 PADA BAYI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS

KECAMATAN KUALA KABUPATEN BIREUEN TAHUN 2014

Nama Mahasiswa : Zakiyuddin Nomor Induk Mahasiswa : 127032164

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof.dr. Sorimuda Sarumpaet, M.P.H) (Siti Khadijah Nasution, S.K.M, M.Kes

Ketua Anggota

)

Dekan


(5)

Telah diuji

Pada Tanggal : 26 Januari 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. dr. Sorimuda Sarumpaet, M.P.H Anggota : 1. Siti Khadijah Nasution, SKM, M.Kes

2. Dr. Rahayu Lubis, M.Kes, Ph.D. 3. Drs. Eddy Syahrial, MS


(6)

PERNYATAAN

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TINDAKAN IBU UNTUK MENGIMUNISASIKAN HB0 PADA BAYI DI WILAYAH KERJA

PUSKESMAS KECAMATAN KUALA KABUPATEN BIREUEN

TAHUN 2014

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, 26 Januari 2015

( Zakiyuddin )


(7)

ABSTRAK

Data WHO (2004) ada 350 juta orang lebih pengidap (carier) HbsAg di dunia dan 220 juta (78 %) di antaranya terdapat di Asia, prevalensi Hepatitis B di Indonesia antara 2,50%-36,17%. Cakupan imunisasi HB0 di Indonesia sebesar 59,19%, sedangkan di Provinsi Aceh pencapaian desa (UCI) adalah 64%. Pencapain imunisasi HB0 Kabupaten Bireuen tahun 2012 adalah 79,4%. Sedangkan di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Kuala, imunisasi HB0 hanya 58%. Tujuan penelitian untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan tindakan ibu untuk mengimunisasikan HB0 pada bayi di Wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Kuala Kabupaten Bireuen Tahun 2014.

Penelitian merupakan studi observasional analitik dengan desain cross sectional. Sampel adalah ibu yang mempunyai bayi berusia ≥7 hari -6 bulan berjumlah 76 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara menggunakan kuesioner. Metode analisa data yang digunakan adalah Chi-Square Test dan Regresi Logistik.

Hasil uji chi-square dari 10 variabel independen ada 6 variabel yang berhubungan signifikan dengan tindakan ibu untuk mengimunisasikan HB0 pada bayi yaitu umur, pendidikan, pengetahuan, sikap, penolong persalinan dan pelayanan petugas kesehatan. Hasil analisis multivariat dengan regresi logistik ada 5 variabel yang berhubungan dengan tindakan ibu untuk mengimunisasikan HB0 pada bayi yaitu pendidikan RP=4,99 ; 95% CI (1,13-21,98), pengetahuan RP=6,82 ; 95% CI (6,1,58-29-40), sikap RP=8,03 ; 95% CI (1,90-33,83), penolong persalinan RP=10,60 ; 95% CI (2,28-49,16) dan pelayanan petugas kesehatan RP=3,92 ; 95% CI (1,08-14,26). Variabel penolong persalinan merupakan variabel paling dominan, RP=10,60 ; 95% CI (2,288-49,161).

Diharapkan pada puskesmas Kecamatan Kuala Kabupaten Bireuen untuk dapat lebih melibatkan bidan dan dukun beranak di desa sebagai penolong persalinan dan promosi pemberian imunisasi HB0 dengan cara pembinaan dan pelatihan teknis.


(8)

ABSTRACT

The WHO data (2004) there are over 350 million people living with (carrier) HBsAg in the world and 220 million (78%) of them are in Asia, the prevalence of Hepatitis B in Indonesia between 2.50% -36.17%. HB0 immunization coverage in Indonesia amounted to 86.8%, while in Aceh Province village achievement (UCI) was 64%. Accomplishment immunization HB0 Bireuen District in 2012 was 79.4%. While in Puskesmas District of Kuala, immunization HB0 only 58%. The research objective to identify factors related with maternal action to immunize infants HB0 in Kuala sub-district health center working area Bireuen District 2014.

Research is an analytic observational study with cross sectional design. Samples were mothers with infants aged ≥7 days-6 months amounted to 76 peoples. Data was collected by interviews use the questionnaires. Data analysis method used is the Chi-square test and logistic regression

Chi-square test results of 10 independent variables there are six variables significantly related with maternal action to immunize infants HB0 were age, education, knowledge, attitudes, birth attendants and health care personnel. Multivariate analysis by logistic regression there are 5 variables associated with maternal action to immunize infants HB0 that is education RP = 4.99; 95% CI (1.13 to 21.98), knowledge RP = 6.82; 95% CI (6,1,58-29-40), attitude RP = 8.03; 95% CI (1.90 to 33.83), birth attendants RP = 10.60; 95% CI (2.28 to 49.16) and the care health personnel RP = 3.92; 95% CI (1.08 to 14.26). Variable birth attendant is the most dominant variable, RP = 10.60; 95% CI (2.288 to 49.161).

Expected in Kuala sub-district health center Bireuen district to better involve midwives and TBAs in the village as birth attendants and immunization promotion HB0 by way of coaching and technical training.


(9)

KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala limpahan nikmat dan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis ini berjudul ”Faktor yang Berhubungan dengan Tindakan Ibu untuk Mengimunisasikan HB0 pada Bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Kuala Kabupaten Bireuen Tahun 2014”.

Penulis menyadari bahwa penulisan ini tidak dapat terlaksana dengan baik tanpa bantuan, dukungan, bimbingan dan kerjasama dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan yang baik ini izinkanlah penulis untuk mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

4. Prof. dr. Sorimuda Sarumpaet, MPH dan Siti Khadijah Nasution, SKM, M.Kes, selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu dan pikirannya dalam memberikan petunjuk, saran dan bimbingan sehingga tesis ini dapat diselesaikan.


(10)

5. Dr. Rahayu Lubis, M.Kes, Ph.D dan Drs. Eddy Syahrial, MS selaku Dosen Penguji yang telah memberikan saran dan kritikan yang membangun demi kesempurnaan tesis ini.

6. Husaini, SKM selaku Kepala Puskesmas Kecamatan Kuala Kabupaten Bireuen beserta jajarannya yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Kuala Kabupaten Bireuen.

7. Kedua orang tua, abang-abang dan adik yang penuh pengertian dan kesabaran, dan senantiasa berdo’a sehingga memotivasi penulis dalam menyelesaikan pendidikan.

8. Seluruh rekan-rekan mahasiswa di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat khususnya minat studi AKKm/Epidemiologi serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis dalam proses penulisan tesis ini hingga selesai.

Penulis memahami bahwa penulisan tesis ini memiliki banyak kekurangan, oleh karena itu penulis terbuka untuk menerima kritikan dan saran-saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak demi memperkaya materi tesis ini. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih, semoga tesis ini dapat bermanfaat dalam disiplin ilmu kesehatan masyarakat.

Medan, Januari 2015


(11)

RIWAYAT HIDUP

Zakiyuddin, lahir pada tanggal 18 Juni 1988 di Tanjung Dama Kabupaten Aceh Utara. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Ayahanda Zulkifli. M dan Ibunda Nurhayati. AB.

Penulis memiliki pendidikan formal penulis dimulai dari pendidikan di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 5 Seunuddon pada tahun 1994 dan diselesaikan tahun 2000, Sekolah Menengah Pertama (SMP/MTSs) Al-Muslimun Lhoksukon Aceh Utara tahun 2000 dan diselesaikan tahun 2003, Sekolah Menengah Umum (SMU) Negeri 1 Bireuen pada tahun 2003 dan selesai tahun 2006, SI Sarjana Kesehatan Masyarakat STIKes Yayasan Harapan Bangsa Banda Aceh pada tahun 2007 dan selesai tahun 2011. Kemudian penulis mengikuti pendidikan lanjutan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Adminstrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara sejak tahun 2012 hingga saat ini.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Permasalahan ... 9

1.3 Tujuan Penelitian ... 10

1.4 Hipotesis ... 10

1.5 Manfaat Penelitian ... 10

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 12

2.1 Kosep Perilaku ... 12

2.1.1 Perilaku ... 12

2.1.2 Perilaku Kesehatan ... 13

2.1.3 Domain Perilaku ... 16

2.1.4 Determinan Perilaku ... 17

2.1.5 Perubahan Perilaku ... 19

2.2 Faktor yang Berhubungan dengan Tindakan Ibu untuk Mengimunisasikan HB0 pada Bayi ... 20

2.2.1 Usia ... 21

2.2.2 Pendidikan ... 23

2.2.3 Pekerjaan ... 24

2.2.4 Pengetahuan ... 25

2.2.5 Sikap ... 27

2.2.6 Norma ... 28

2.2.7 Penolong Persalinan ... 30

2.2.8 Tempat Persalinan ... 31

2.2.9 Pelayanan Petugas Kesehatan ... 32

2.2.10 Dukungan Keluarga ... 33

2.3 Tindakan Ibu ... 35

2.4 Kosep Imunisasi ... 36

2.4.1 Definisi Imunisasi ... 36


(13)

2.4.3 Tujuan Imunisasi ... 38

2.4.4 Manfaat Imunisasi ... 39

2.4.5 Hepatitis B ... 40

2.4.6 Cara Penularan ... 40

2.4.7 Pencegahan Hepatitis B... 41

2.4.8 Imunisasi Hepatitis B ... 42

2.4.1 Program Imunisasi Hepatitis B ... 43

2.4.10 Jadwal Imunisasi HB0 ... 44

2.5 Landasan Teori ... 46

2.4 Kerangka Konsep ... 49

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 50

3.1 Jenis Penelitian ... 50

3.2 Lokasi danWaktu Penelitian ... 50

3.3 Populasi dan Sampel ... 50

3.3.1 Populasi ... 50

3.3.2 Sampel ... 51

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 52

3.4.1 Data Primer ... 52

3.4.2 Data Sekunder ... 52

3.4.3 Uji Validitas ... 52

3.4.2 Uji Reliabilitas ... 54

3.5 Variabel dan Definisi Operasional ... 56

3.5.1 Variabel ... 56

3.5.2 Definisi Operasional... 56

3.6 Metode Pengukuran ... 58

3.7 Metode Analisis Data ... 59

3.7.1 Analisis Univariat ... 60

3.7.2 Analisis Bivariat ... 60

3.7.3 Analisis Multivariat ... 60

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 63

4.1 Gambaran Lokasi Penelitian ... 63

4.1.1 Kondisi Demografi ... 64

4.1.2 Fasilitas yang Tersedia ... 66

4.1.3 Sumber Daya Kesehatan ... 67

4.2 Analisa Univariat ... 67

4.2.1 Faktor Predisposisi ... 68

4.2.2 Faktor Pendukung ... 74

4.2.3 Faktor Pendorong ... 75

4.2.4 Tindakan Ibu untuk Mengimunisasikan HB0 pada Bayi . 79 4.3 Analisa Bivariat ... 80


(14)

4.3.2 Hubungan Faktor Pendukung ... 83

4.3.3 Hubungan Faktor Pendorong ... 86

4.4 Analisa Multivariat... 87

BAB 5. PEMBAHASAN ... 90

5.1 Hubungan Faktor Predisposisi dengan Tindakan Ibu untuk Mengimunisasikan HB0 pada Bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Kuala Kabupaten Bireuen Tahun 2014 .. 90

5.1.1 Hubungan Umur Tindakan Ibu untuk Mengimunisasikan HB0 pada Bayi ... 90

5.1.2 Hubungan Pendidikan Tindakan Ibu untuk Mengimunisasikan HB0 pada Bayi ... 92

5.1.3 Hubungan Pekerjaan Tindakan Ibu untuk Mengimunisasikan HB0 pada Bayi ... 94

5.1.4 Hubungan Pengetahuan Tindakan Ibu untuk Mengimunisasikan HB0 pada Bayi ... 96

5.1.5 Hubungan Sikap Tindakan Ibu untuk Mengimunisasikan HB0 pada Bayi ... 98

5.1.6 Hubungan Norma Tindakan Ibu untuk Mengimunisasikan HB0 pada Bayi ... 102

5.2 Hubungan Faktor Pendukung dengan Tindakan Ibu untuk Mengimunisasikan HB0 pada Bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Kuala Kabupaten Bireuen Tahun 2014 .. 104

5.2.1 Hubungan Penolong Persalinan dengan Tindakan Ibu untuk Mengimunisasikan HB0 pada Bayi... 104

5.2.2 Hubungan Tempat Persalinan dengan Tindakan Ibu untuk Mengimunisasikan HB0 pada Bayi... 110

5.3 Hubungan Faktor Pendorong dengan Tindakan Ibu untuk Mengimunisasikan HB0 pada Bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Kuala Kabupaten Bireuen Tahun 2014 .. 113

5.3.1 Hubungan Pelayanan Petugas Kesehatan dengan Tindakan Ibu untuk Mengimunisasikan HB0 pada Bayi .. 113

5.3.2 Hubungan Dukungan Keluarga dengan Tindakan Ibu untuk Mengimunisasikan HB0 pada Bayi... 117

5.4 Faktor yang Paling Berhubungan dengan Tindakan Ibu untuk Mengimunisasikan HB0 pada Bayi ... 118

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 122

6.1 Kesimpulan ... 122

6.2 Saran ... 123

DAFTAR PUSTAKA ... 124 LAMPIRAN


(15)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

2.1 Jadwal Imunisasi Hepatitis B ... 43

3.1 Uji Validitas ... 53

3.2 Uji Reliabilitas ... 54

3.3 Aspek Pengukuran Variabel ... 58

4.1 Distribusi Penduduk di Kecamatan Kuala Kabupaten Bireuen Tahun 2013 ... 64

4.2 Distribusi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin di Kecamatan Kuala Kabupaten Bireuen Tahun 2013 ... 65

4.3 Distribusi Penduduk Berdasarkan Pendidikan di Kecamatan Kuala Kabupaten Bireuen Tahun 2013 ... 65

4.4 Distribusi Penduduk Berdasarkan Pekerjaan di Kecamatan Kuala Kabupaten Bireuen Tahun 2013 ... 66

4.5 Distribusi Jenis Tenaga Kesehatan di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Kuala Kabupaten Bireuen Tahun 2014 ... 67

4.6 Distribusi Faktor Predisposisi Responden di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Kuala Kabupaten Bireuen Tahun 2014 ... 68 4.7 Distribusi Frekuensi Jawaban Responden Berdasarkan Pengetahuan


(16)

Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Kuala Kabupaten Bireuen Tahun 2014 ... 69 4.8 Distribusi Frekuensi Faktor Predisposisi Responden Berdasarkan

Pengetahuan di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Kuala Kabupaten Bireuen Tahun 2014 ... 71 4.9 Distribusi Frekuensi Jawaban Responden Berdasarkan Sikap dengan

Tindakan Ibu untuk Mengimunisasikan HB0 pada Bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Kuala Kabupaten Bireuen Tahun 2014 .. 72 4.10 Distribusi Frekuensi Faktor Predisposisi Responden dengan

Tindakan Ibu untuk Mengimunisasikan HB0 pada Bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Kuala Kabupaten Bireuen Tahun 2014 . 74 4.11 Distribusi Frekuensi Faktor Pendukung Responden di Wilayah Kerja

Puskesmas Kecamatan Kuala Kabupaten Bireuen Tahun 2014 ... 74 4.12 Distribusi Frekuensi Jawaban Responden Berdasarkan Pelayanan

Petugas Kesehatan dengan Tindakan Ibu untuk Mengimunisasikan HB0 pada Bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Kuala Kabupaten Bireuen Tahun Tahun 2014 ... 75 4.13 Distribusi Frekuensi Jawaban Responden Berdasarkan Dukungan

Keluarga dengan Tindakan Ibu untuk Mengimunisasikan HB0 pada Bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Kuala Kabupaten Bireuen Tahun 2014 ... 77


(17)

4.14 Distribusi Faktor Pendorong dengan Tindakan Ibu untuk Mengimunisasikan HB0 pada Bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Kuala Kabupaten Bireuen Tahun 2014 ... 79 4.15 Distribusi Frekuensi Tindakan Ibu untuk Mengimunisasikan HB0

pada Bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Kuala Kabupaten Bireuen Tahun 2014 ... 79 4.16 Hubungan Faktor Predisposisi dengan Tindakan Ibu untuk

Mengimunisasikan HB0 pada Bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Kuala Kabupaten Bireuen Tahun 2014 ... 81 4.17 Hubungan Faktor Pendukung dengan Tindakan Ibu untuk

Mengimunisasikan HB0 pada Bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Kuala Kabupaten Bireuen Tahun 2014 ... 84 4.18 Hubungan Faktor Pendorong dengan Tindakan Ibu untuk

Mengimunisasikan HB0 pada Bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Kuala Kabupaten Bireuen Tahun 2014 ... 86 4.19 Hasil Uji Regresi Logistik Berganda Hubungan Faktor Predisposisi,

Faktor Pendukung dan Faktor Pendorong dengan Tindakan Ibu untuk Mengimunisasikan HB0 pada Bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Kuala Kabupaten Bireuen Tahun 2014 ... 89


(18)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

2.1. Kerangka Teori ... 47 2.2. Kerangka Konsep ... 48


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Surat Permohonan Izin Penelitian ... 2. Surat Keterangan Selesai Penelitian ... 3. Daftar Pertanyaan/Kuesioner ... 4. Master Tabel Penelitian ... 5. Hasil Analisis Univariat ... 6. Hasil Analisis Bivariat ... 7. Hasil Analisis Multivariat ... 8. Dokumentasi Penelitian ...


(20)

ABSTRAK

Data WHO (2004) ada 350 juta orang lebih pengidap (carier) HbsAg di dunia dan 220 juta (78 %) di antaranya terdapat di Asia, prevalensi Hepatitis B di Indonesia antara 2,50%-36,17%. Cakupan imunisasi HB0 di Indonesia sebesar 59,19%, sedangkan di Provinsi Aceh pencapaian desa (UCI) adalah 64%. Pencapain imunisasi HB0 Kabupaten Bireuen tahun 2012 adalah 79,4%. Sedangkan di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Kuala, imunisasi HB0 hanya 58%. Tujuan penelitian untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan tindakan ibu untuk mengimunisasikan HB0 pada bayi di Wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Kuala Kabupaten Bireuen Tahun 2014.

Penelitian merupakan studi observasional analitik dengan desain cross sectional. Sampel adalah ibu yang mempunyai bayi berusia ≥7 hari -6 bulan berjumlah 76 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara menggunakan kuesioner. Metode analisa data yang digunakan adalah Chi-Square Test dan Regresi Logistik.

Hasil uji chi-square dari 10 variabel independen ada 6 variabel yang berhubungan signifikan dengan tindakan ibu untuk mengimunisasikan HB0 pada bayi yaitu umur, pendidikan, pengetahuan, sikap, penolong persalinan dan pelayanan petugas kesehatan. Hasil analisis multivariat dengan regresi logistik ada 5 variabel yang berhubungan dengan tindakan ibu untuk mengimunisasikan HB0 pada bayi yaitu pendidikan RP=4,99 ; 95% CI (1,13-21,98), pengetahuan RP=6,82 ; 95% CI (6,1,58-29-40), sikap RP=8,03 ; 95% CI (1,90-33,83), penolong persalinan RP=10,60 ; 95% CI (2,28-49,16) dan pelayanan petugas kesehatan RP=3,92 ; 95% CI (1,08-14,26). Variabel penolong persalinan merupakan variabel paling dominan, RP=10,60 ; 95% CI (2,288-49,161).

Diharapkan pada puskesmas Kecamatan Kuala Kabupaten Bireuen untuk dapat lebih melibatkan bidan dan dukun beranak di desa sebagai penolong persalinan dan promosi pemberian imunisasi HB0 dengan cara pembinaan dan pelatihan teknis.


(21)

ABSTRACT

The WHO data (2004) there are over 350 million people living with (carrier) HBsAg in the world and 220 million (78%) of them are in Asia, the prevalence of Hepatitis B in Indonesia between 2.50% -36.17%. HB0 immunization coverage in Indonesia amounted to 86.8%, while in Aceh Province village achievement (UCI) was 64%. Accomplishment immunization HB0 Bireuen District in 2012 was 79.4%. While in Puskesmas District of Kuala, immunization HB0 only 58%. The research objective to identify factors related with maternal action to immunize infants HB0 in Kuala sub-district health center working area Bireuen District 2014.

Research is an analytic observational study with cross sectional design. Samples were mothers with infants aged ≥7 days-6 months amounted to 76 peoples. Data was collected by interviews use the questionnaires. Data analysis method used is the Chi-square test and logistic regression

Chi-square test results of 10 independent variables there are six variables significantly related with maternal action to immunize infants HB0 were age, education, knowledge, attitudes, birth attendants and health care personnel. Multivariate analysis by logistic regression there are 5 variables associated with maternal action to immunize infants HB0 that is education RP = 4.99; 95% CI (1.13 to 21.98), knowledge RP = 6.82; 95% CI (6,1,58-29-40), attitude RP = 8.03; 95% CI (1.90 to 33.83), birth attendants RP = 10.60; 95% CI (2.28 to 49.16) and the care health personnel RP = 3.92; 95% CI (1.08 to 14.26). Variable birth attendant is the most dominant variable, RP = 10.60; 95% CI (2.288 to 49.161).

Expected in Kuala sub-district health center Bireuen district to better involve midwives and TBAs in the village as birth attendants and immunization promotion HB0 by way of coaching and technical training.


(22)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

United Nations Children's Fund (UNICEF) tahun (2007) menyebutkan, bahwa 27 juta anak di bawah lima tahun (balita) dan 40 juta ibu hamil di seluruh dunia masih belum mendapatkan layanan imunisasi rutin. Akibatnya, diperkirakan sekitar 2 juta orang meninggal tiap tahunnya. (WHO, 2007).

Menurut World Health Organization WHO tahun (2004) dunia diperkirakan terdapat kira-kira 350 juta orang lebih pengidap (carier) HbsAg di dunia dan 220 juta (78 %) di antaranya terdapat di Asia termasuk Indonesia. Berdasarkan pemeriksaan HbsAg pada kelompok donor darah di Indonesia, prevalensi Hepatitis B berkisar antara 2,50%-36,17%. Selain itu di Indonesia infeksi virus Hepatitis B terjadi pada bayi dan anak, diperkirakan 25%-45% pengidap adalah karena infeksi perinatal. Hal ini berarti bahwa Indonesia termasuk daerah endemis Hepatitis B sehingga termasuk negara yang diimbau oleh WHO untuk melaksanakan upaya pencegahan imunisasi (Achmadi, 2006).

Imunisasi merupakan suatu upaya pencegahan yang paling efektif untuk mencegah penularan penyakit hepatitis B. WHO melalui program The Expanded Program on Immunisation (EPI) merekomendasikan pemberian vaksinasi terhadap 7 jenis antigen penyakit sebagai imunisasi rutin di negara berkembang, yaitu: BCG, DPT, Polio, Campak, dan Hepatitis B.


(23)

Sejak diluncurkannya Program Pengembangan Imunisasi (EPI) pada 1974, imunisasi telah menyelamatkan lebih dari 20 juta jiwa pada dua dasawarsa. Imunisasi dapat menyelamatkan lebih banyak nyawa dan dana dibandingkan bentuk-bentuk intervensi lainnya. Program imunisasi merupakan intervensi kesehatan dengan pembiayaan efektif. Tidak hanya jiwa yang terselamatkan tapi juga memacu pembangunan yaitu dengan mengurangi beban biaya penyakit dan kematian pada sebuah keluarga. Imunisasi adalah cara untuk mencegah agar anak terhindar dari cacat atau penyakit yang mematikan dengan biaya efektif. (Depkes, 2004).

Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia (2012), cakupan imunisasi Hepatitis B (0-7 hari) di Indonesia sebesar 85,6%, pada Tahun 2013 cakupannya sebesar 86,8%. angka ini belum maksimal dalam mendekati Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk Universal Child Immunization (UCI) sebesar 100 % (Depkes RI, 2010).

Menurut Anwar (2001), imunisasi merupakan suatu usaha pencegahan yang paling efektif untuk mencegah penularan penyakit Hepatitis B. Program imunisasi Hepatitis B di Indonesia dimulai pada Tahun 1987 dan telah masuk ke dalam program imunisasi rutin secara nasional sejak Tahun 1997. Pada Tahun 1991 Indonesia dinyatakan telah mencapai (UCI) secara nasional, akan tetapi masih ditemukan kasus Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) seperti kasus Hepatitis B. Kasus penyakit Hepatitis B masih ada ditemukan di beberapa desa terutama desa dengan cakupan imunisasi Hepatitis B rendah khususnya imunisasi Hepatitis B pada bayi (0-7 hari).


(24)

Menurut Sampana (2000), pada ibu hamil di Indonesia tidak dilakukan uji saring Hepatitis B berdasarkan pemikiran bahwa pemberian imunisasi Hepatitis B yang pertama dilakukan pada usia 0-7 hari. Kebijakan tersebut didukung oleh beberapa studi yang menunjukkan bahwa bayi yang baru lahir dari ibu HbsAg positif dan tidak diimunisasi Hepatitis B, 90% akan mengidap Hepatitis B kronis. Apabila bayi diberi imunisasi Hepatitis B dosis pertama pada umur 0-7 hari maka yang menjadi pengidap kronis tinggal 23% dan bila bayi diberi imunisasi dosis pertama pada bulan pertama kehidupannya, maka yang menjadi pengidap kronis sebesar 40%.

Program Imunisasi di Indonesia dimulai pada tahun 1956 dan pada tahun 1990, kita telah mencapai status (UCI), yang merupakan suatu tahap dimana cakupan imunisasi di suatu tingkat administrasi telah mencapai 80% atau lebih. Tetapi kita masih memiliki tantangan mewujudkan 100% UCI Desa/Kelurahan pada tahun 2014, yang berarti cakupan imunisasi di seluruh desa dan kelurahan di Indonesia telah mencapai 80% atau lebih (www.Depkes.go.id, 2011).

Tidak terdapat perbedaan cakupan tiap jenis imunisasi menurut jenis kelamin, tetapi perbedaan menurut daerah. Cakupan untuk tiap jenis imunisasi selalu lebih tinggi antara 7,2–13,7 % di daerah perkotaan di bandingkan daerah perdesaan. Makin tinggi tingkat pendidikan makin tinggi tingkat pengeluaran per kapita perbulan, makin tinggi cakupan tiap jenis imunisasi. Perbedaan cakupan imunisasi anak menurut pendidikan antara kepala keluarga yang tidak sekolah dan dengan pendidikan perguruan tinggi antara 17,1 – 25,4 % (Riskesdas, 2007).


(25)

Menurut Helmi (2008), dalam penelitiannya menyebutkan ada hubungan antara faktor internal (pengetahuan, tingkat pendidikan) dan faktor eksternal (peran tenaga kesehatan) dengan perilaku ibu dalam pemberian imunisasi Hepatitis B sedangkan faktor internal (kepercayaan) dan faktor eksternal (pendapatan) secara statistik tidak terdapat adanya hubungan.

Berdasarkan penelitian Simbolon (2010), menyebutkan bahwa variabel pendidikan, pengetahuan dan kepercayaan terhadap penolong persalinan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pemberian imunisasi Hepatitis B, sedangkan variabel pekerjaan, pendapatan, jumlah anak dan kepercayaan tidak berpengaruh terhadap pemberian imunisasi Hepatitis B.

Tiga faktor yang mempengaruhi kepatuhan ibu mengimunisasikan anaknya yaitu perilaku ibu dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan selama kehamilan (ANC), akses ke pelayanan kesehatan dan tingkat pendidikan ibu (Sofie, 2004). Studi Siswandoyo dan Putro (2003), juga menyatakan adanya peran lingkungan sosial terhadap pelaksanaan imunisasi yaitu adanya hubungan bermakna antara pelayanan petugas kesehatan dengan kelengkapan status imunisasi hepatitis B.

Menurut Muhammad (2009), adat di kalangan masyarakat Aceh sangat berperan dalam sebuah keluarga di rumah tangga, adat Aceh membedakan tugas laki-laki dan perempuan. Sudah menjadi tradisi yang turun temurun bahwa tugas perempuan adalah memasak, mencuci, menjaga anak, mencari kayu bakar dan sebagainya. Bahkan di beberapa daerah pedalaman laki-laki lebih di prioritaskan


(26)

untuk mendapatkan pendidikan, alasannya setinggi apapun sekolah untuk anak perempuan akhirnya dia harus ke dapur juga.

Pendapat Amiruddin (2008), adat budaya sesungguhnya merupakan ketentuan yang diambil dari perbuatan manusia yaitu kebiasaan-kebiasaan yang dialami dan dianut oleh masyarakat itu sendiri. Sedangkan menurut Iswantara (2004), aturan atau ketentuan yang mengatur tingkah laku manusia dalam masyarakat disebut norma, sedangkan adat istiadat adalah norma yang tidak tertulis namun sangat kuat mengikat sehingga anggota-anggota masyarakat yang melanggar adat istiadat akan mendapat sanksi keras yang secara langsung dikenakan kepada pelanggaran adat tersebut.

Penelitian Hartati (2007), mengemukakan bahwa faktor norma masyarakat berpengaruh terhadap perolehan imunisasi campak di Wilayah Kerja Puskesmas Kutabaro Kecamatan Kutabaro Kabupaten Aceh Besar. Gunawan (2009), melakukan penelitian di Kabupaten Langkat menyimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan pemberian imunisasi pada bayi dimana ibu dengan pengetahuan baik memiliki peluang 4,5 kali untuk memberikan imunisasi kepada anaknya, dan tidak ditemukannya hubungan yang bermakna antara pelayanan petugas dan dukungan keluarga dengan pemberian imunisasi Hepatitis pada anak.

Dalam pelaksanaan program imunisasi, keberhasilannya tergantung pada faktor pelayanan kesehatan, masyarakat umum dan faktor ibu sendiri. Seorang anak di imunisasi atau tidak, dipengaruhi beberapa faktor dari ibu antara lain tingkat pendidikan ibu, tingkat pengetahuan ibu mengenai imunisasi, bekerja tidaknya seorang ibu, dan jumlah anak yang dimiliki (Abbas, 2005).


(27)

Menurut penelitian Ali (2002), didapatkan bahwa usia ibu berhubungan dengan pengetahuan dan perilaku mereka terhadap imunisasi. Penelitian ini menunjukkan hasil yang hampir sama dengan penelitian Lubis (1990), yaitu dijumpai hubungan bermakna antara pengetahuan, sikap, dan perilaku ibu tentang imunisasi dengan usia ibu.

Pelaksanaan imunisasi menjadi kurang efektif bila banyak bayi yang tidak diimunisasi. Beberapa faktor penghambat pelaksanaan imunisasi menurut WHO (2000) antara lain adalah (1) Pengetahuan ibu, (2) Lingkungan dan logistik, (3) Urutan anak dalam keluarga, (4) Sosial ekonomi, (5) Mobilitas keluarga, (6) Ketidak stabilan politik, (7) Sikap petugas kesehatan, (8) Pembiayaan dan (9) Pertimbangan hukum. WHO melalui program The Expanded Program on Immunization (EPI) merekomendasikan pemberian vaksinasi terhadap 7 jenis antigen penyakit sebagai imunisasi rutin di Negara berkembang, yaitu Bacillus Chalmette Guerin (BCG), Diphtheria pertussis tetanus (DPT), Polio, Campak dan Hepatitis B.

Menurut Green yang dikutip oleh Notoatmodjo (2010), perilaku seseorang dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yakni faktor perilaku (behavior causes) dan faktor di luar perilaku (non-behavior causes). Perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan ditentukan oleh pengetahuan, kepercayaan, tradisi dan sebagainya dari orang atau masyarakat yang bersangkutan. Di samping itu, ketersediaan fasilitas, perilaku para petugas kesehatan terhadap kesehatan juga akan mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku, misalnya seorang ibu yang tidak mau


(28)

mengimunisasikan anaknya di posyandu dapat disebabkan karena ibu tersebut tidak atau belum mengetahui manfaat imunisasi bagi anaknya.

Menurut Riskesdas (2013), persentase imunisasi dasar lengkap di perkotaan lebih tinggi (64,5%) dari pada pedesaan (53,7%) dan terdapat (11,7%) anak umur 12-23 bulan di pedesaan yang tidak diberikan imunisasi sama sekali. Terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan kuintil indeks kepemilikan rumah tangga, semakin tinggi pula cakupan imunisasi dasar lengkapnya. Menurut pendidikan kepala rumah tangga, cakupan imunisasi dasar lengkap anak umur 12-23 bulan tertinggi pada kelompok perguruan tinggi (72,5%) dan terendah pada kelompok tidak tamat SD (49,0%). Menurut pekerjaan, terlihat kecenderungan peningkatan cakupan imunisasi lengkap anak umur 12-23 bulan pada kepala keluarga yang bekerja sebagai pegawai maupun wiraswasta.

Berdasarkan Kementerian Kesehatan Indonesia (2013), cakupan imunisasi Hepatitis B 0-7 hari di Indonesia sebesar 86,8% (Depkes RI, 2013). Sedangkan data di Provinsi Aceh (2012) pencapaian desa (UCI) adalah 64%. Pencapaian ini masih sangat rendah dari target yang ingin dicapai (80%). Oleh karena itu sosialisasi imunisasi diseluruh desa perlu dilakukan bagi masyarakat terutama keluarga yang mempunyai bayi dan balita, agar permasalahan kesakitan dan kematian pada balita dapat dikurangi. (Profil Kesehatan Prov. Aceh. 2013).

Berdasarkan hasil laporan imunisasi rutin bayi di Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen tahun 2012 pencapain imunisasi HB0 adalah 79,4%. Sedangkan di wilayah


(29)

kerja Puskesmas Kecamatan Kuala, imunisasi HB0 hanya mendapat 58%, dari target UCI 80% (Puskesmas Kuala 2013).

Hasil survei (Agustus 2014) di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Kuala Kabupaten Bireuen, pada saat pelayanan posyandu dilaksanakan baik itu untuk pemberian imunisasi maupun penyuluhan, masih sedikit ibu-ibu yang melibatkan diri, berkontribusi dan bertanggung jawab dalam kegiatan tersebut, sehingga program yang dilaksanakan menjadi kurang berarti terhadap upaya pencegahan penyakit menular di masyarakat. Keadaan ini diperkuat dengan wawancara peneliti (Agustus, 2014) dengan petugas imunisasi dari puskesmas, yang menyatakan bahwa sebagian ibu-ibu masih ada yang tidak mau anaknya diberikan suntikan imunisasi dikarenakan berbagai alasan diantaranya adalah : (a) kesibukan rumah tangga, (b) takut anaknya demam, (c) masih ada yang meragukan antara halal dan haramnya vaksin tersebut, (d) Jauhnya jarak rumah dan posyandu.

Selanjutnya hasil wawancara secara langsung dengan petugas imunisasi didapat keterangan bahwa rendahnya pencapaian imunisasi HB0 untuk Kabupaten Bireuen khususnya di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Kuala, diduga disebabkan oleh pengaruh pengetahuan, sikap dan norma serta pelayanan imunisasi (peran petugas kesehatan, sarana prasarana, jadwal imunisasi dan akses).

Berdasarkan uraian diatas terlihat ada beberapa masalah yang mempengaruhi ibu tidak memberikan imunisasi HB0 pada anaknya, maka peneliti bermaksud mengkaji hubungan antara umur, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, sikap, norma, penolong persalinan, tempat persalinan, pelayanan petugas kesehatan dan dukungan


(30)

keluarga dengan tindakan ibu untuk mengimunisasikan HB0 pada bayi di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Kuala Kabupaten Bireuen Tahun 2014.

1.2 Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang yang dikemukakan di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah “Rendahnya cakupan imunisasi HB0 pada bayi di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Kuala Kabupaten Bireuen Tahun 2014”.

1.3 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan tindakan ibu untuk mengimunisasikan HB0 pada bayi di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Kuala Kabupaten Bireuen Tahun 2014.

1.4 Hipotesis Penelitian

Hipotesis pada penelitian ini adalah ada hubungan antara variabel yang meliputi umur, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, sikap, norma, penolong persalinan, tempat persalinan, pelayanan petugas kesehatan dan dukungan keluarga terhadap tindakan ibu untuk mengimunisasikan HB0 pada bayi.


(31)

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah :

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dan masukan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen dalam meningkatkan kinerja petugas imunisasi khususnya HB0, mengenai sejauh mana hubungan umur, pendidikan, pekerjaan, sikap, norma, penolong persalinan, tempat persalinan, pelayanan petugas kesehatan dan dukungan keluarga terhadap tindakan ibu untuk mengimunisasikan HB0 pada bayi, sehingga dapat mengambil suatu kebijakan dengan membuat program yang sesuai untuk meningkatkan cakupan imunisasi.

2. Dapat digunakan sebagai masukan dalam menyusun perencanaan pelayanan kesehatan pencegahan dan penanggulangan penyakit menular terutama upaya menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit Hepatitis B.

3. Menjadi masukan dalam pengembangan pengetahuan dan rujukan penelitian selanjutnya.


(32)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Perilaku 2.1.1 Perilaku

Dari segi biologis, perilaku adalah kegiatan atau aktivitas organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. Oleh sebab itu dari sudut pandang biologis semua makhluk hidup mulai dari tumbuh-tumbuhan, binatang sampai dengan manusia itu berperilaku karena mereka mempunyai aktivitas masing-masing. Sehingga yang dimaksud dengan perilaku manusia pada hakekatnya adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain : berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2003).

Notoatmodjo (2003), yang mengutip pendapat Skiner seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Oleh karena itu perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespons, maka teori Skiner ini disebut teori “S-O-R” atau Stimulus-Organisme-Respons.

Dilihat dari bentuk respons terhadap stimulus, maka perilaku dapat dibedakan


(33)

1. Perilaku tertutup (covert behaviour)

Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup (covert). Respons atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan/kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain. Oleh sebab itu disebut covert behaviour atau unobservable behaviour, misalnya seorang ibu hamil tahu pentingnya periksa kehamilan, seorang pemuda tahu bahwa HIV /AIDS dapat menular melalui hubungan seks, dan sebagainya (Notoatmodjo, 2003).

2. Perilaku terbuka (overt behaviour)

Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respons terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek (practice), yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain. Oleh sebab itu disebut overt behaviour, tindakan nyata atau praktek. Misal, seorang ibu memeriksakan kehamilannya atau membawa anaknya ke puskesmas untuk di imunisasi (Notoatmodjo, 2003).

2.1.2 Perilaku Kesehatan

Berdasarkan batasan perilaku Skiner, maka perilaku kesehatan adalah suatu respons seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, minuman serta lingkungan. Dari batasan ini, perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok : 1. Perilaku Pemeliharaan Kesehatan (health maintance)


(34)

Perilaku pemeliharaan kesehatan adalah perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bilamana sakit. Oleh sebab itu perilaku pemeliharaan kesehatan ini terdiri dari tiga aspek :

a. Perilaku pencegahan penyakit, dan penyembuhan penyakit bila sakit, serta pemulihan kesehatan bilamana telah sembuh dari penyakit.

b. Perilaku peningkatan kesehatan, apabila seseorang dalam keadaan sehat. Perlu dijelaskan di sini, bahwa kesehatan itu sangat dinamis dan relative, maka dari itu orang yang sehatpun perlu diupayakan supaya mencapai tingkat kesehatan yang seoptimal mungkin.

c. Perilaku gizi (makanan) dan minuman. Makanan dan minuman dapat memelihara dan meningkatkan kesehatan seseorang, tetapi sebaliknya makanan dan minuman juga dapat menjadi penyebab menurunnya kesehatan seseorang, bahkan dapat mendatangkan penyakit. Hal ini sangat tergantung pada perilaku orang terhadap makanan dan minuman tersebut (Notoatmodjo, 2003).

2. Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas pelayanan kesehatan, atau sering disebut perilaku pencarian pengobatan (health seeking behaviour).

Perilaku ini adalah menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat menderita dan atau kecelakaan. Tindakan atau perilaku ini dimulai dari mengobati sendiri (self treatment) sampai mencari pengobatan ke luar negeri (Notoatmodjo, 2003).


(35)

Perilaku kesehatan lingkungan adalah bagaimana seseorang merespons lingkungan, baik lingkungan fisik maupun sosial budaya, dan sebagainya, sehingga lingkungan tersebut tidak memengaruhi kesehatannya. Dengan perkataan lain, bagaimana seseorang mengelola lingkungannya sehingga tidak mengganggu kesehatannya sendiri, keluarga, atau masyarakatnya. Misalnya bagaimana mengelola pembuangan tinja, air minum, tempat pembuangan sampah dan sebagainya (Notoatmodjo, 2003).

Seorang ahli lain Becker dalam Notoatmodjo (2003) membuat klasifikasi lain tentang perilaku kesehatan yaitu :

a. Perilaku hidup sehat (healthy behaviour)

Adalah perilaku-perilaku yang berkaitan dengan upaya atau kegiatan seseorang untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya.

b. Perilaku sakit (illness behaviour)

Perilaku sakit ini mencakup respons seseorang terhadap sakit dan penyakit, persepsinya terhadap sakit, pengetahuan tentang : penyebab, dan gejala penyakit, pengobatan penyakit, dan sebagainya.

c. Perilaku peran sakit (the sick role behaviour)

Dari segi sosiologi, orang sakit (pasien) mempunyai peran, yang mencakup hak-hak orang sakit (right) dan kewajiban sebagai orang sakit (obligation). Hak dan kewajiban ini harus diketahui oleh orang sakit sendiri maupun orang lain (terutama keluarganya), yang selanjutnya disebut perilaku peran orang sakit (the sick role).


(36)

2.1.3 Domain Perilaku

Meskipun perilaku adalah bentuk respons atau reaksi terhadap stimulus atau rangsangan dari luar organisme (orang) namun dalam memberikan respons sangat tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan. Hal ini berarti bahwa meskipun stimulusnya sama bagi beberapa orang namun respons tiap-tiap orang berbeda. Faktor-faktor yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda disebabkan determinan perilaku. Determinan perilaku ini dapat dibedakan menjadi dua, yakni :

1. Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan, yang bersikap given atau bawaan, misalnya : tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya.

2. Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Faktor lingkungan ini sering merupakan faktor yang dominan yang mewarnai perilaku seseorang (Smet, 1994).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku manusia sangatlah kompleks, dan mempunyai bentangan yang sangat luas. Benyamin Bloom, seorang ahli psikologi pendidikan membagi perilaku manusia itu ke dalam tiga domain, ranah atau kawasan yakni : a) kognitif (cognitive), b) afektif (affective), c) psikomotor (psychomotor). Dalam perkembangannya, teori Bloom ini dimodifikasi untuk pengukuran hasil pendidikan kesehatan yaitu pengetahuan (knowledge), sikap (attitude) dan tindakan (practice ) (Notoatmodjo, 2003).


(37)

2.1.4 Determinan Perilaku

Faktor penentu atau determinan perilaku manusia sulit untuk dibatasi karena perilaku merupakan resultansi dari berbagai faktor, baik internal maupun eksternal (lingkungan). Secara lebih terperinci perilaku manusia sebenarnya merupakan refleksi dari berbagai gejala kejiwaan, seperti pengetahuan, keinginan, kehendak, minat, motivasi, persepsi, sikap dan sebagainya (Notoatmodjo, 2003).

Beberapa teori yang telah dicoba untuk mengungkapkan determinan perilaku dari analisis faktor-faktor yang memengaruhi perilaku khususnya perilaku yang berhubungan dengan kesehatan, antara lain teori Lawrence Green dan WHO.

1. Teori Lawrence Green

Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor pokok, yakni faktor perilaku dan faktor di luar perilaku. Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari tiga faktor.

a. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan sebagainya.

b. Faktor-faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan, misalnya puskesmas, obat-obatan, alat-alat kontrasepsi, jamban, dan sebagainya.

c. Faktor-faktor pendorong (reinforcing factors) yang terwujud dalam sikap dan perilaku pertugas kesehatan, atau petugas yang lain, yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.


(38)

Dapat disimpulkan bahwa perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi, dan sebagainya dari orang atau masyarakat yang bersangkutan. Ketersediaan fasilitas, sikap, dan perilaku para petugas kesehatan terhadap kesehatan juga akan mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku. Seseorang yang tidak mau mengimunisasikan anaknya di posyandu dapat disebabkan karena orang tersebut tidak atau belum mengetahui manfaat imunisasi bagi anaknya (predisposing factors), tetapi barangkali juga karena rumahnya jauh dengan posyandu atau puskesmas tempat mengimunisasikan anaknya (enabling factors). Sebab lain mungkin karena para petugas kesehatan atau tokoh masyarakat lain di sekitarnya tidak pernah mengimunisasikan anaknya (reinforcing factors).

2. Teori WHO

Tim kerja dari WHO menganalisa bahwa yang menyebabkan seseorang itu berperilaku tertentu adalah karena adanya empat alasan pokok yaitu, pemikiran dan perasaan seseorang, adanya orang lain yang dijadikan referensi, dan sumber-sumber atau fasilitas-fasilitas yang dapat mendukung perilaku, dan kebudayaan masyarakat. Pemikiran dan perasaan, yakni dalam bentuk pengetahuan, persepsi, sikap, kepercayaan, dan penilaian-penilaian seseorang terhadap objek (kesehatan) (Notoadmodjo, 2003).


(39)

2.1.5 Perubahan Perilaku

Bentuk perubahan perilaku sangat bervariasi, sesuai dengan konsep yang digunakan oleh para ahli dalam pemahamannya terhadap perilaku (Notoatmodjo, 2003).

1. Perubahan Alamiah (Natural Change)

Perilaku manusia selalu berubah. Sebagian perubahan itu disebabkan karena kejadian alamiah. Apabila dalam masyarakat sekitar terjadi suatu perubahan lingkungan fisik atau sosial budaya dan ekonomi, maka anggota-anggota masyarakat di dalamnya juga mengalami perubahan (Notoadmodjo, 2003).

2. Perubahan Terencana (Planned Change)

Perubahan perilaku ini terjadi karena memang direncanakan sendiri oleh subjek. Misalnya, pak Anwar adalah perokok berat., karena pada suatu saat ia terserang batuk-batuk yang sangat mengganggu, maka ia memutuskan untuk mengurangi rokok sedikit demi sedikit, dan akhirnya ia berhenti merokok sama sekali (Notoadmodjo, 2003).

3. Tindakan untuk Berubah

Apabila terjadi suatu inovasi atau program-program pembangunan di dalam masyarakat, maka yang sering terjadi adalah sebagian orang sangat cepat untuk menerima inovasi tersebut (berubah perilakunya), dan sebagian orang lagi sangat lambat untuk menerima inovasi atau perubahan tersebut. Hal ini


(40)

disebabkan setiap orang mempunyai tindakan untuk berubah (readliness to change) yang berbeda-beda (Notoadmodjo, 2003).

2.2 Faktor yang Berhubungan dengan Tindakan Ibu untuk Mengimunisasikan HB0 Pada Bayi

Green dalam buku Notoatmodjo (2003), menganalisis perilaku manusia daritingkatan kesehatan. Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor pokok yakni faktor perilaku (behavior causer) dan faktor dari luar perilaku (non behavior causer). Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor yaitu :

1. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya.

2. Faktor-faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan misalnya Puskesmas, obat-obatan, alat-alat kontrasepsi, jamban, jarak ke sarana pelayanan kesehatan dan sebagainya.

3. Faktor-faktor pendorong (reinforcing factors), yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas yang lain, dukungan keluarga dan tokoh masyarakat yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.

Disimpulkan bahwa perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi dan sebagainya dari orang atau masyarakat yang bersangkutan. Disamping itu ketersediaan fasilitas, jarak ke sarana pelayanan kesehatan, sikap dan perilaku petugas kesehatan serta dukungan


(41)

keluarga terhadap kesehatan juga akan mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku.

Keberhasilan pemberian imunisasi kepada bayi memerlukan kerjasama dan dukungan dari semua pihak terutama kesadaran ibu-ibu yang mempunyai bayi untuk membawa bayinya ke fasilitas pelayanan imunisasi, seperti Posyandu, Rumah Sakit, Klinik Bersalin, Praktek Dokter atau Bidan.

Adapun faktor-faktor yang berhubungan dengan tindakan ibu untuk mengimunisasikan HB0 pada bayi adalah sebagai berikut :

2.2.1 Usia

Usia adalah lamanya seseorang hidup dihitung dari tahun lahirnya sampai dengan ulang tahunnya yang terakhir. Usia merupakan konsep yang masih abstrak bahkan cenderung menimbulkan variasi dalam pengukurannya. Seseorang mungkin menghitung umur dengan tepat tahun dan kelahirannya, sementara yang lain menghitungnya dalam ukuran tahun saja (Zaluchu, 2008).

Ibu yang berusia lebih muda dan baru memiliki anak biasanya cenderung untuk memberikan perhatian yang lebih akan kesehatan anaknya, termasuk pemberian imunisasi (Reza, 2006). Merujuk hal tersebut, diketahui bahwa usia yang paling aman seorang ibu untuk melahirkan anak adalah 20 sampai 30 tahun (Saputra, 2009). Penelitian Wardhana (2001) disebutkan bahwa ibu yang berusia ≥30 tahun cenderung untuk tidak melakukan imunisasi lengkap dibandingkan dengan ibu yang berusia <30 tahun cenderung untuk melakukan imunisasi lengkap 2,03 kali 18 dibandingkan dengan usia ibu ≥30 tahun. Namun secara statistik hubunga n antara


(42)

usia ibu dan status kelengkapan imunisasi tidak bermakna (p-value=0,16). Lienda (2009) dalam penelitiannya hasil uji statistik p-value=0,109 bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara usia ibu dengan kelengkapan imunisasi dasar.

Waldoeher (1997) dalam Reza (2006), mengatakan bahwa status imunisasi semakin baik seiring dengan peningkatan usia ibu. Penelitian Rahma Dewi (1994), memperoleh hasil bahwa 58,3% kelengkapan status imunisasi anak terdapat pada ibu yang berusia 20-29 tahun. Sedangkan proporsi yang hampir sama pada usia ibu 15-19 tahun sebesar 48,4% dan usia ibu 30 tahun lebih sebesar 48,5%. Reza (2006), ada hubungan bermakna secara statistik yang ditunjukkan oleh nilai p-value=0,000. Ibu yang berusia ≥30 tahun 2,78 kali lebih besar st atus imunisasi dasar anaknya untuk tidak lengkap dibandingkan dengan ibu yang berusia <30 tahun.

Dombkowski (2004), menyebutkan ketepatan usia pemberian imunisasi dipengaruhi oleh pengasuhan oleh orang tua tunggal, jumlah anggota keluarga, pendidikan orang tua, tidak adanya asuransi kesehatan dan kepemilikan telepon. Besarnya anggota keluarga diukur dengan jumlah anak dalam keluarga. Makin banyak jumlah anak makin besar kemungkinan ketidaktepatan pemberian imunisasi pada anak. Keluarga yang mempunyai banyak anak menyebabkan perhatian ibu akan terpecah, sementara sumber daya dan waktu ibu terbatas sehingga perawatan untuk setiap anak tidak dapat maksimal.

2.2.2 Pendidikan

Peran seorang ibu pada program imunisasi sangatlah penting, karena pada umumnya tanggung jawab untuk mengasuh anak diberikan pada orang tua khususnya


(43)

ibu. Oleh karena itu, pendidikan seorang ibu sangatlah penting dalam mendidik seorang anak. Karena tingkat pendidikan ibu sangat menentukan kemudahan dalam menerima setiap pembaharuan. Makin tinggi tingkat pendidikan ibu, maka akan semakin cepat tanggap dengan perubahan kondisi lingkungan, dengan demikian lebih cepat menyesuaikan diri dan selanjutnya akan mengikuti perubahan itu (Notoatmodjo, 2003).

Dengan pendidikan yang tinggi seseorang cenderung akan banyak pula mendapatkan informasi, baik dari orang lain, media massa, dan semakin banyak informasi yang didapatkannya maka semakin banyak pula pengetahuan yang diperolehnya.

Konsep dasar pendidikan adalah suatu proses belajar yang berarti di dalam pendidikan itu terjadi proses pertumbuhan, perkembangan, atau perubahan ke arah yang lebih dewasa, lebih baik, dan lebih matang pada diri individu, kelompok atau masyarakat, yang berarti bahwa pendidikan adalah proses membuat seseorang, kelompok atau masyarakat meningkatkan kualitas sumber dayanya.

2.2.3 Pekerjaan

Status pekerjaan ibu berkaitan dengan kesempatan dalam mengimunisasai anaknya. Seorang ibu yang tidak bekerja akan mempunyai kesempatan untuk mengimunisasikan anaknya dibanding dengan ibu yang bekerja. Pada ibu-ibu yang bekerja diluar rumah sering kali tidak mempunyai kesempatan untuk datang ke pelayanan imunisasi karena mungkin saat dilakukan pelayanan imunisasi ibu masih


(44)

bekerja ditempat kerjanya. Sering juga ibu yang terlalu sibuk dengan urusan pekerjaannya lupa akan jadwal imunisasi anaknya (Notoatmodjo, 2003).

Menurut Ibrahim (1994), tidak terdapat hubungan antara status kerja ibu dengan status imunisasi campak. Begitupun dengan yang dikemukakan oleh Agus (2000), yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara status pekerjaan dengan perilaku ibu dalam mengimunisasikan campak anaknya. Tetapi jenis pekerjaan justru lebih berperan dibandingkan dengan status kerja ibu. Menurut Streatfield (1990) dalam Ibrahim (1994), dimana pegawai negeri sebagai tenaga profesional, status imunisasi anaknya lebih tinggi bila dibandingkan jenis pekerjaan lain.

2.2.4 Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yaitu: indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmojo, 2003).

Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan. a. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk tingkat ini adalah mengingat (recall) seluruh bahan yang dipelajari atau yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur orang tahu tentang


(45)

apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyarankan dan sebagainya.

b. Paham (Comprehension)

Paham diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang paham terhadap obyek atau materi dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan dan meramalkan terhadap obyek yang dipelajari.

c. Aplikasi (Aplication)

Aplikasi diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi realita (sebenarnya).

d. Analisis (Analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk mempertahankan materi atau suatu obyek kedalam komponen-komponen, tetapi masih didalam struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis dapat dilihat dari kata kerja, seperti menggambarkan, membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan sebagainya.

e. Sintesis (Synthesis)

Sintesis menunjuk kepada kemampuan meningkatkan atau menghubungkan bagian-bagian dalam bentuk keseluruhan yang baru, dengan kata lain sintesis adalah kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi yang ada.


(46)

Sebagai contoh dapat menyusun, merencanakan, meringkaskan, menyesuaikan dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.

f. Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau obyek penilaian-penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria yang telah ada (Notoatmodjo, 2003).

Menurut Martin dalam Kusrini (2006), pengetahuan merupakan kemampuan untuk membentuk mental yang menggambarkan obyek dengan tepat dan mempresentasikannya dalam aksi yang dilakukan terhadap obyek. Pengetahuan adalah berbagai gejala yang ditemui dan diperoleh menusia melalui pengamatan inderawi. Pengetahuan muncul ketika seseorang menggunakan indera atau akal budinya untuk mengenali benda atau kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya. Atau dengan pengertian lain bahwa pengetahuan adalah informasi atau maklumat yang diketahui atau disadari oleh seseorang.

Menurut Mariaty (2003), seorang ibu akan membawa bayinya untuk diimunisasi bila seorang ibu mengerti apa manfaat imunisasi tersebut bagi bayinya, pemahaman dan pengetahuan seorang ibu terhadap kelengkapan imunisasi dasar terhadap bayi akan memberikan pengaruh terhadap imunisasi bayinya.


(47)

2.2.5 Sikap

Menurut Allport sikap merupakan seebagai suatu kecenderungan potensial untuk bereaksi apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya respon. Dan menurut Newcomb dalam Notoatmodjo (2005), sikap merupakan kesiapan atau tindakan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Faktor penentu bentuk perilaku sangat banyak antara lain pengalaman individu, motivasi dan sikap individu ikut memegang peranan penting dalam menentukan bagaimana reaksi seseorang terhadap lingkungan atau stimulus lingkungan.

Tim ahli WHO (1984) dalam Notoatmodjo (2005), menyebutkan bahwa sikap merupakan bentuk dari pikiran dan perasaan yang dapat mempengaruhi seseorang untuk berperilaku.

Menurut Agus (2000), yang menyatakan bahwa sikap ibu mempunyai hubungan yang kuat dengan perilaku ibu dalam mengimunisasikan campak anaknya, ibu yang mempunyai sikapnya tidak baik terhadap imunisasi campak mempunyai resiko 9,92 kali untuk tidak memberikan imunisasi anaknya.

Hasil penelitian yang dilakukan Agus sesuai dengan teori diatas yang menyatakan sikap mempengaruhi seseorang berperilaku dan memegang peranan penting menentukan perilaku. Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan.


(48)

Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas serta dukungan dari pihak lain seperti suami, orang tua, mertua. (Notoatmodjo, 2005) 2.2.6 Norma

Norma adalah suatu aturan khusus atau seperangkat peraturan tentang apa yang harus dan apa yang tidak harus dilakukan oleh manusia. Norma mengungkapkan bagaimana manusia seharusnya berperilaku atau bertindak. Norma yang berkembang di masyarakat mempunyai beberapa hal yang terkait dengan kehamilan maupun dengan pemilihan tenaga penolong persalinan. Adanya hubungan aspek norma dengan tindakan dalam memilih tenaga penolong persalinan akan dilihat dalam penelitian ini.

Konsep norma tentang dukun bayi pada beberapa penelitian terdahulu menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda dengan bidan atau tenaga kesehatan lainnya. Sehingga dalam pelaksanaan pelayanan pertolongan persalinan di tengah masyarakat menunjukkan adanya keseimbangan antara bidan dan dukun bayi.

Menurut pendapat Yosefina, dkk (2003), norma mengacu pada kepercayaan simbolis penting untuk masyarakat terutama yang tinggal di daerah pedesaan atau daerah terpencil. Hal ini disebabkan karena:

1. Simbol dasar dari kehamilan bersumber dari adat dan norma asli. 2. Konsep norma dan nilai mempengaruhi perlakuan.

3. Masyarakat dapat mengetahui sistem kedokteran moderen dalam konteks kepercayaan simbolis.


(49)

4. Mungkin masyarakat tidak memakai sistem pengobatan moderen karena tidak cocok dengan norma masyarakat asli.

Kondisi daerah sangat berpengaruh terhadap keteguhan untuk memelihara norma dan nilai, suatu daerah yang tidak banyak mendapatkan sentuhan pola hidup modern yang dapat merubah pola dan pandangan hidup masyarakat senantiasa terpelihara dengan baik. Sebaliknya daerah yang banyak menerima perubahan yang dibawa oleh pendatang dapat menyebabkan perubahan norma dalam masyarakat.

Perubahan pandangan tentang norma dapat mencakup berbagai aspek kehidupan. Termasuk perubahan pandangan tentang tenaga penolong persalinan, yang selama ini sebagian besar masih ditolong oleh dukun bayi, akan mengalami perubahan dengan ditempatkannya bidan sebagai tenaga kesehatan di daerah pedesaan.

Menurut Sumaryoto (2003), faktor non medis terbukti merupakan faktor dominan yang memberikan konstribusi terhadap kematian ibu karena hamil, melahirkan dan nifas. Apalagi saat ini belum semua masyarakat siap melaksanakan perubahan perilaku, pengaruh sosial budaya yang bias gender dan masih kurangnya informasi serta kemampuan menerima dan menyerap informasi.

2.2.7 Penolong Persalinan

Persalinan adalah serangkaian kejadian yang berakhir dengan pengeluaran bayi yang cukup bulan atau hampir cukup bulan disusul dengan pengeluaran plasenta dan selaput janin dari ibu. Pertolongan persalinan merupakan salah satu bagian dari pelayanan antenatal care. Manuaba (2001), peningkatan pelayanan antenatal,


(50)

penerimaan gerakan keluarga berencana, melaksanakan persalinan bersih dan aman dan meningkatkan pelayanan obstetri essensial dan darurat yang merupakan pelayanan kesehatan primer.

Darwizar (2002), tidak jarang ibu hamil yang kritis meninggal sesampai di rumah sakit atau sarana pelayanan kesehatan lainnya, dan tidak jarang juga sering terjadi kematian akibat pertolongan persalinan yang tidak ditangani oleh tenaga yang ahli dan berlatar belakang kesehatan seperti dukun bayi.

2.2.8 Tempat Persalinan

Menurut Notoatmodjo (2007), sarana pelayanan kesehatan bagi masyarakat terdiri dari rumah sakit, puskesmas, pustu, poliklinik, posyandu, polindes, praktek dokter/bidan swasta, dan sebagainya. Untuk berperilaku sehat, masyarakat memerlukan sarana dan prasarana pendukung, misalnya perilaku pemberian imunisasi pada bayi. Ibu yang mau memberikan imunisasi pada bayi tidak hanya karena ia tahu dan sadar manfaat pemberian imunisasi melainkan ibu tersebut dengan mudah dapat memperoleh tempat pemberian imunisasi pada bayinya.

Jarak adalah seberapa jauh lintasan yang di tempuh responden menuju tempat pelayanan kesehatan yang meliputi rumah sakit, puskesmas, posyandu, dan lainnya. Seseorang yang tidak mau mengimunisasi anaknya di tempat pelayanan kesehatan dapat disebabkan karena orang tersebut tidak tahu atau belum tahu manfaat imunisasi bagi anak, tetapi barang kali juga karena rumahnya terlalu jauh dengan pelayanan kesehatan tempat mengimunisasi anaknya (Notoatmodjo, 2003).


(51)

Menurut Endang (1999), terdapat hubungan yang bermakna antara penggunaan sarana dengan perilaku pemberian imunisasi. Hal ini sejalan dengan Anderson dalam Ridwan (1994), yang menyatakan bahwa makin banyak sarana kesehatan dan tenaga kesehatan di suatu daerah makin kecil jarak jarak jangkauan masyarakat terhadap suatu pelayanan kesehatan, makin sedikit pula ongkos dan waktu yang diperlukan sehingga pemanfaatan pelayanan kesehatan dapat meningkat. 2.2.9 Pelayanan Petugas Kesehatan

Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam kesehatan serta memiliki pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan (Kemenkes RI, 2005).

Dukungan petugas kesehatan (petugas imunisasi) merupakan dukungan sosial dalam bentuk dukungan informatif, di mana perasaan subjek bahwa lingkungan (petugas imunisasi) memberikan keterangan yang cukup jelas mengenai hal-hal yang diketahui. Petugas kesehatan akan mendukung perilaku ibu untuk melakukan upaya kesehatan (mengimunisasikan anaknya) melalui keterampilan komunikasi dan ada kecenderungan bahwa upaya-upaya petugas kesehatan memperkuat ibu dengan memberikan pujian, dorongan dan diskusi atau dengan menjadi sumber informasi yang dapat dipercaya (Graeff, 1996).

Petugas kesehatan yang berperan memberikan dukungan informatif kepada ibu tentang imunisasi dianjur kan mengikuti tata cara pemberian sebagai berikut : a. Memberitahu secara rinci risiko imunisasi dan risiko apabila tidak diimunisasi.


(52)

b. Memeriksa kembali persiapan pelayanan secepatnya bila terjadi reaksi ikutan yang tidak diharapakan.

c. Membaca dengan teliti informasi prosuk vaksin yang akan diberikan dan dapatkan persetujuan orang tua.

d. Meninjau kembali apakah ada kontra indikasi.

e. Memeriksa identitas klien dan berikan antipiretik bila perlu.

f. Memeriksa jenis dan keadaan vaksin serta yakinkan penyimpanannya baik.

g. Menyakinkan vaksin yang akan diberikan sesuai jadwal dan bila perlu tawarkan juga vaksin lain untuk mengejar imunisasi yang tertinggal.

h. Memberikan vaksin dengan teknik yang benar.

i. Setelah pemberian vaksin, menjelaskan apa yang harus dialakukan apabila ada reaksi ikutan, membuat laporan imunisasi kepada instansi terkait, memeriksa status imunisasi keluarga dan bila perlu menawarkan vaksinasi untuk mengekar ketinggalan (Muslihatun, 2010).

2.2.10 Dukungan Keluarga

Menurut Sarwono (2003), dukungan keluarga adalah bantuan yang bermanfaat secara emosional dan memberikan pengaruh positif yang berupa informasi, bantuan instrumental, emosi, maupun penilaian yang diberikan oleh anggota keluarga yang terdiri dari suami, orang tua, mertua, maupun saudara lainnya.

Duval (1972, dalam Ali, 2006), menyatakan bahwa keluarga adalah sekumpulan orang yang dihubungkan oleh ikatan perkawinan, adaptasi dan kelahiran yang bertujuan menciptakan dan mempertahankan budaya yang umum, meningkatkan


(53)

perkembangan fisik, mental dan emosional serta sosial individu yang ada didalamnya, dilihat dari interaksi yang reguler dan ditandai dengan adanya ketergantungan dan hubungan untuk mencapai tujuan umum.

Secara tradisional keluarga dikelompokkan menjadi dua, yaitu:

a. Keluarga inti (nuclear family) adalah keluarga yang hanya terdiri ayah, ibu dan anak yang diperoleh dari keturunannya atau adopsi atau keduanya.

b. Keluarga besar (extended family) adalah keluarga inti ditambah anggota keluarga lain yang masih mempunyai hubungan darah (kakek-nenek, paman-bibi) (Suprajitno, 2004).

Sarafino (1994) dalam Suprajitno (2004), mengklasifikasikan dukungan ke dalam empat bentuk yang terdiri dari:

1. Dukungan emosional, yaitu perasaan subjek bahwa lingkungan memperhatikan dan memahami kondisi emosional. Orang yang menerima dukungan sosial semacam ini merasa tentram, aman damai yang ditujukan dengan sikap tenang dan berbahagia. Sumber dukungan ini paling sering dan umum adalah diperoleh dari pasangan hidup atau anggota keluarga, teman dekat, dan sanak saudara yang akrab dan memiliki hubungan harmonis.

2. Dukungan penilaian, yaitu perasaan subjek bahwa dirinya diakui oleh lingkungan mampu berguna bagi orang lain dan dihargai usaha-usahanya. Sumber dukungan ini dapat bersumber dari keluarga, masyarakat atau instansi (lembaga) tempat penderita pernah bekerja.


(54)

3. Dukungan instrumental, yaitu perasaan subjek bahwa lingkungan sekitarnya memberikan fasilitas-fasilitas yang diperlukan, seperti alat-alat atau uang yang dapat meringankan penderitanya. Dukungan seperti ini umumnya berasal dari keluarga.

4. Dukungan Informatif, yaitu perasaan subjek bahwa lingkungan memberikan keterangan yang cukup jelas mengenai hal-hal yang harus diketahuinya. Dukungan informatif ini dapat diperoleh dari dokter, perawat dan juga tenaga kesehatan lainnya.

2.3 Tindakan Ibu

Setelah seseorang mengetahui stimulus atau objek kesehatan kemudian mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui, proses selanjutnya diharapkan ia akan melaksanakan atau mempraktekkan apa yang diketahui atau disikapinya (dinilai baik). Inilah yang disebut praktek (practice) begitu juga dengan tindakan (practice) kesehatan seperti mengimunisasikan anaknya (Notoatmodjo, 2003).

Suatu sikap belum tentu otomatis terwujud dalam suatu tindakan atau peran serta. Untuk mewujudkan suatu sikap menjadi suatu perbuatan nyata atau peran serta diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan antara lain adalah fasilitas. Sikap ibu yang positif terhadap imunisasi harus mendapat konfirmasi dari suaminya dan ada fasilitas imunisasi yang mudah dicapai agar ibu tersebut mengimunisasikan anaknya. Di samping faktor fasilitas, juga diperlukan faktor


(55)

dukungan dari pihak lain, misalnya dari suami atau istri, orangtua atau mertua dan lain-lain (Notoatmodjo, 2003).

1. Persepsi (perception)

Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktek tingkat pertama.

2. Respons terpimpin (guided response)

Dapat melakukan sesuatu dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh adalah indikator praktek tingkat dua.

3. Mekanisme (mechanism)

Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan maka ia sudah mencapai praktek tingkat tiga. Misalnya seorang ibu yang mengimunisasikan anaknya pada umur-umur tertentu tanpa menunggu ajakan atau perintah.

2.4 Konsep Imunisasi 2.4.1 Definisi Imunisasi

Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen yang serupa tidak terjadi penyakit. Imunisasi dasar adalah pemberian imunisasi awal bayi pada


(56)

usia 0-12 bulan untuk mencapai kadar kekebalan di atas ambang perlindungan (Ranuh, 2008).

Imunisasi menurut IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak terpajan pada antigen serupa, tidak terjadi penyakit. Imunisasi dilakukan dengan memberikan vaksin yang merupakan kuman penyakit yang telah dibuat lemah kepada seseorang agar tubuh dapat membuat antibodi sendiri terhadap kuman penyakit yang sama (WHO, 2002 dan IDAI, 2008).

Imunisasi adalah upaya yang dilakukan dengan sengaja memberikan kekebalan (imunitas) pada bayi atau anak sehingga terhindar dari penyakit. Pentingnya imunisasi didasarkan pada pemikiran bahwa pencegahan penyakit merupakan upaya terpenting dalam pemeliharaan kesehatan anak (Supartini, 2004).

Imunisasi bertujuan untuk memberikan kekebalan terhadap tubuh anak. Caranya dengan pemberian vaksin. Vaksin ini berasal dari bibit penyakit tertentu yang dapat menimbulkan penyakit, tetapi penyakit ini terlebih dahulu dilemahkan/dimatikan sehingga tidak berbahaya lagi terhadap kelangsungan hidup manusia (Riyadi.s & Sukarmin, 2009).

2.4.2 Jenis Imunisasi

Imunisasi sebagai salah satu cara untuk menjadikan kebal pada bayi dan anak dari berbagai penyakit, diharapkan anak atau bayi tetap tumbuh dalam keadaan sehat. Imunisasi dibagi menjadi dua yaitu imunisasi aktif dan imunisasi pasif.


(57)

Merupakan pemberian zat sebagai antigen yang diharapkan akan terjadi suatu proses infeksi buatan sehingga tubuh mengalami reaksi imunologi spesifikyang akan menghasilkan respons seluler dan humoral serta dihasilkannya sel memori, seehingga apabila benar-benar terjadi infeksi maka tubuh secara cepat dapat merespons.

Dalam imunisasi aktif terdapat empat macam kandungan dalam setiap vaksinnya. 1) Antigen merupakan bagian dari vaksin yang berfungsi sebagai zat atau mikroba

guna terjadinya semacam infeksi buatan dapat berupa polisakarida, toksoid atau virus dilemahkan atau bakteri dimatikan.

2) Pelarut dapat berupa air steril atau juga berupa cairan kultur jaringan.

3) Preservatif, stabiliser, antibiotika yang berguna untuk menghindari tumbuhnya mikroba dan sekaligus untuk stabilisasi antigen.

4) Adjuvan yang terdiri dari garam alumanium yang berfungsi untuk meningkatkan imonugenitas antigen.

b. Imunisasi Pasif

Merupakan pemberian zat (imunoglobulin) yaitu suatu zat yang dihasilkan melalui suatu proses infeksi yang dapat bersal dari plasma manusia atau binatang yang digunakan untuk mengatasi mikroba yang diduga sudah masuk ke dalam tubuh yang sudah terinfeksi (Hidayat, 2005).

2.4.3 Tujuan Imunisasi

Tujuan imunisasi adalah untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang dan menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok masyarakat 8


(58)

(populasi) atau bahkan menghilangkan penyakit tertentu dari dunia seperti pada imunisasi cacar variola. Keadaan yang terakhir ini lebih mungkin terjadi pada jenis penyakit yang hanya dapat ditularkan melalui manusia, seperti penyakit difteria (Matondang, C.S, & Siregar, S.P, 2008).

Tujuan imunisasi untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seeorang dan menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok masyarakat atau populasi atau bahkan menghilngkan penyakit tertentu dari dunia seperti pada imunisasi cacar variola. Keadaan yang terakhir lebih mungkin terjadi pada jenis penyakit yang hanya dapat ditularkan melalui manusia, seperti misalnya penyakit difteria.

Program imunisasi bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Pada saat ini penyakit-penyakit tersebut adalah difteri, tetanus, batuk rejan (pertusis), campak (measles), polio, dan tuberculosis. (Notoatmodjo, 2007).

2.4.4 Manfaat Imunisasi

Manfaat imunisasi tidak hanya dirasakan oleh pemerintah dengan menurunnya angka kesakitan dan kematian akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, tetapi juga dirasakan oleh :

1. Untuk Anak

Mencegah penderitaan yang disebabkan oleh penyakit, dan kemungkinan cacat atau kematian.


(59)

2. Untuk Keluarga

Menghilangkan kecemasan dan psikologi pengobatan bila anak sakit. Mendorong pembentukan keluarga sejahtera apabila orang tua yakin bahwa anaknya akan menjalani masa kanak-kanak yang nyaman. Hal ini mendorong penyiapan keluarga yang terencana, agar sehat dan berkualitas.

3. Untuk Negara

Memperbaiki tingkat kesehatan, menciptakan bangsa yang kuat dan berakal untuk melanjutkan pembangunan negara. (Proverati 2010).

2.4.5 Hepatitis B

Hepatitis B didefinisikan sebagai suatu penyakit yang disebabkan oleh Virus Hepatitis B (VHB) dan ditandai dengan suatu peradangan yang terjadi pada organ tubuh seperti hati (Liver). Penyakit ini banyak dikenal sebagai penyakit kuning, padahal penguningan (kuku, mata, kulit) hanya salah satu gejala dari penyakit Hepatitis itu (Misnadiarly, 2007).

2.4.6 Cara Penularan

Ada dua macam cara penularan Hepatitis B, yaitu transmisi vertikal dan transmisi horisontal.

a. Transmisi vertikal

Penularan terjadi pada masa persalinan (Perinatal). VHB ditularkan dari ibu kepada bayinya yang disebut juga penularan Maternal Neonatal. Penularan cara ini terjadi akibat ibu yang sedang hamil terserang penyakit Hepatitis B akut atau ibu memang pengidap kronis Hepatitis B (Dalimartha, 2004).


(60)

b. Transmisi horisontal

Adalah penularan atau penyebaran VHB dalam masyarakat. Penularan terjadi akibat kontak erat dengan pengidap Hepatitis B atau penderita Hepatitis B akut. Misalnya pada orang yang tinggal serumah atau melakukan hubungan seksual dengan penderita Hepatitis B (Dalimartha, 2004).

Semua orang yang HbsAgnya positif potensial infeksius. Penularan terjadi melalui kontak perkutaneus atau parenteral dan melalui hubungan seksual. Penularan antar anak sering terjadi di negara endemis virus hepatitis B. Virus Hepatitis B dapat melekat dan bertahan dipermukaan suatu benda selama kurang lebih 1 minggu tanpa kehilangan daya tular. Daya tular pasien Virus Hepatitis B kronis sangat bervariasi, sangat infeksius bila HbsAg positif (IDAI, 2005).

Cara penularan paling utama di dunia ialah dari ibu kepada bayinya saat proses melahirkan. Kalau bayinya tidak divaksinasi saat lahir bayi akan menjadi carrier seumur hidup bahkan nantinya bisa menderita gagal hati dan kanker hati. Selain itu penularan juga dapat terjadi lewat darah ketika terjadi kontak dengan darah yang terinfeksi virus Hepatitis B (Misnadiarly, 2007).

2.4.7 Pencegahan Hepatitis B

Upaya pencegahan dapat dilakukan melalui program imunisasi. Imunisasi adalah upaya untuk mendapatkan kekebalan terhadap suatu penyakit dengan cara memasukkan kuman yang telah dilemahkan atau dimatikan kedalam tubuh yang


(61)

diharapkan dapat menghasilkan zat antibodi yang pada saatnya nanti digunakan untuk melawan kuman atau bibit penyakit yang menyerang tubuh (Hadinegoro, 2008). 1. Imunisasi Wajib

Imunisasi yang diwajibkan meliputi BCG (Bacille Calmette Guerin). Polio, Hepatitis B, DTP (Difteria, Tetanus, Pertusis) dan Campak.

2. Imunisasi yang Dianjurkan

Imunisasi yang dianjurkan diberikan kepada bayi/anak mengingat beban penyakit (Burden of disease) namun belum masuk ke dalam program imunisasi nasional sesuai prioritas. Imunisasi dianjurkan adalah HIb (Haemophillus Influenza tipe b), Pneumokokus, Influenza, MMR (Measles, Mumps, Rubella), Tifoid, Hepatitis A, Varisela, Rotavirus, dan HPV (Human Papilloma Virus) (Hadinegoro, 2008).

2.4.8 Imunisasi Hepatitis B

Imunisasi Hepatitis B pasif dilakukan dengan memberikan Hepatitis B Imunoglobulin (HBIg) yang akan memberikan perlindungan sampai 6 bulan. HBIg tidak selalu tersedia di kebanyakan negara berkembang, disamping itu harganya yang relatif mahal. Imunisasi aktif dilakukan dengan vaksinasi Hepatitis B. Dalam beberapa keadaan, misalnya bayi yang lahir dari ibu penderita Hepatitis B perlu beberapa keadaan, misalnya bayi yang lahir dari ibu penderita Hepatitis B perlu diberikan HBIg mendahului atau bersama-sama dengan vaksinasi Hepatitis B. HBIg yang merupakan antibodi terhadap VHB diberikan secara intra muskular dengan dosis 0,5 ml, selambat-lambatnya 24 jam setelah persalinan (Dalimartha, 2004).


(62)

Vaksinasi Hepatitis B harus diberikan 3 kali, dengan jarak vaksinasi kedua dan ketiga 5 bulan atau lebih. Efektifitas vaksinasi Hepatitis B sudah terbukti sebesar hampir 100% dan berlangsung seumur hidup. Booster atau vaksinasi ulang sebenarnya tidak diperlukan asalkan penerima vaksin adalah responden, artinya sudah terbentuk antibodi pada saat selesai vaksinasi. Untuk mengetahuinya maka disarankan untuk memeriksa kadar anti HbS, satu minggu setelah vaksinasi terakhir atau vaksinasi ke 3 ( Unggul, 2009).

Vaksin Hepatitis B (hepB) diberikan selambat-lambatnya 7 hari setelah persalinan. Untuk mendapatkan efektifitas yang lebih tinggi, sebaiknya HBIg dan vaksin Hepatitis B diberikan segera setelah persalinan (Dalimartha, 2004).

2.4.9 Program Imunisasi Hepatitis B

Pedoman nasional di Indonesia merekomendasikan agar seluruh bayi diberikan imunisasi Hepatitis B dalam waktu 12 jam setelah lahir, dilanjutkan pada bulan berikutnya. Program Imunisasi Hepatitis B (0-7 Hari) dimulai sejak Tahun 2005 dengan memberikan vaksin heptB-O monovalen (dalam kemasan uniject) saat lahir, pada Tahun 2006 dilanjutkan dengan vaksin kombinasi DTwP/heptB pada umur 2-3-4 bulan (Hadinegoro, 2008).

Tujuan vaksin HepB diberikan dalam kombinasi dengan DTwP (Difteria, Tetanus, Pertusis Whole cell) untuk mempermudah pemberian dan meningkatkan cakupan hepB-3 yang masih rendah (Hadinegoro, 2008). Pada umumnya bayi mendapatkan imunisasi Hepatitis B melalui puskesmas, rumah sakit, praktik dokter dan klinik (Dalimartha, 2004).


(63)

2.4.10 Jadwal Imunisasi HB0

Pada dasarnya jadwal imunisasi Hepatitis B sangat fleksibel sehingga tersedia berbagai pilihan untuk menyatukannya ke dalam program imunisasi terpadu. Namun demikian ada beberapa hal yang perlu diingat :

1. Minimal diberikan sebanyak 3 kali

2. Imunisasi pertama diberikan segera setelah lahir

3. Jadwal imunisasi dianjurkan adalah 0, 1, 6 bulan karena respons antibodi paling optimal (Hadinegoro, 2008).

Jadwal imunisasi Hepatitis B yaitu :

1. Imunisasi hepB-1 diberikan sedini mungkin (dalam waktu 12 jam) setelah lahir 2. Imunisasi hepB-2 diberikan setelah 1 bulan (4 minggu) dari imunisasi hepB-1 yaitu

saat bayi berumur 1 bulan. Untuk mendapat respons imun optimal, interval imunisasi hepB-2 dengan hepB-3 minimal 2 bulan, terbaik 5 bulan. Maka imunisasi hepB-3 diberikan pada umur 3-6 bulan (Hadinegoro, 2008). Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Jadwal Imunisasi Hepatitis B

Umur Bayi Imunisasi Kemasan

Saat Lahir HepB-0 Uniject (hepB-monovalen) 2 Bulan DTwP dan hepB-1 Kombinasi DTwP hepB-1 3 Bulan DTwP dan hepB-2 Kombinasi DTwP hepB-1 4 Bulan DTwP dan hepB-3 Kombinasi DTwP hepB-1 Sumber : Departemen Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2008

Pemberian imunisasi Hepatitis B Berdasarkan status HbsAg ibu pada saat melahirkan adalah :


(64)

1. Bayi yang lahir dari ibu yang tidak diketahui status HbsAg nya mendapatkan 5 mcg (0,5 ml) vaksin rekombinan atau 10 mcg (0,5 ml) vaksin asal plasma dalam waktu 12 jam setelah lahir. Dosis kedua diberikan pada umur 1-2 bulan dan dosis ketiga pada umur 6 bulan. Kalau kemudian diketahui ibu mengidap HbsAg positif maka segera berikan 0,5 ml HBIg (sebelum anak berusia satu minggu)

2. Bayi yang lahir dari ibu HbsAg positif mendapatkan 0,5 ml HBIg dalam waktu 12 jam setelah lahir dan 5 mcg (0,5 ml) vaksin rekombinan. Bila digunakan vaksin berasal dari plasma, diberikan 10 mcg (0,5 ml) intramuskular dan disuntikkan pada sisi yang berlainan. Dosis kedua diberikan pada umur 1-2 bulan dan dosis ketiga pada umur 6 bulan

3. Bayi yang lahir dari ibu dengan HbsAg negatif diberi dosis minimal 2,5 mcg (0,25 ml) vaksin rekombinan, sedangkan kalau digunakan vaksin berasal dari plasma, diberikan dosis 10 mcg (0,5 ml) intramuskular pada saat lahir sampai usia 2 bulan. Dosis kedua diberikan pada umur 1-4 bulan, sedangkan dosis ketiga pada umur 6-18 bulan


(65)

2.5 Landasan Teori

Menurut Notoadmodjo (2003), semua ahli kesehatan masyarakat dalam membicarakan status kesehatan mengacu kepada Blum, yang menyatakan bahwa ada 4 faktor yang mempengaruhi status kesehatan individu/masyarakat yaitu lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan keturunan. Dari hasil penelitiannya di Amerika Serikat sebagai salah satu negara yang sudah maju, Bloom menyimpulkan bahwa lingkungan mempunyai andil yang paling besar terhadap status kesehatan, kemudian berturut-turut disusul oleh perilaku mempunyai andil nomor dua, pelayanan kesehatan dan keturunan mempunyai andil yang paling kecil terhadap status kesehatan.

Sejalan dengan itu ada beberapa teori yang mengungkapkan determinan perilaku dari analisis faktor–faktor yang memengaruhi perilaku yang berhubungan dengan sehat, antara lain teori Lawrence Green (2005), teori Snenandu B.Kar (1983) dan teori WHO (1984).

Menurut Green dalam Notoadmojo (2007), kesehatan seseorang itu dipengaruhi oleh 2 faktor pokok yakni faktor perilaku (behavior causes) dan faktor di luar perilaku (non behavior causes). Selanjutnya perilaku ini di tentukan oleh 3 faktor utama yaitu ; faktor predisposisi (predisposing factors), faktor pemungkin (enabling factors) dan faktor penguat (reinforcing factors). Faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai– nilai, norma sosial dan sebagainya. Faktor pemungkin (enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan fisik, akses serta tersedia atau tidaknya fasilitas–fasilitas


(66)

atau sarana-sarana kesehatan, misalnya puskesmas, obat– obatan, alat kontrasepsi, jamban dan sebagainya. Faktor penguat (reinforcing factors), yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau masyarakat, yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.

Sebagai contoh model Green ini dapat digunakan untuk menganalisa program imunisasi khususnya di Provinsi Aceh. Seseorang yang tidak mau mengimunisasi anaknya di Puskesmas dapat disebabkan oleh karena orang tersebut tidak mau atau belum tahu manfaat imunisasi bagi anaknya/pengetahuan, sikap dan norma (Predisposing factors), atau barangkali karena rumahnya jauh dari Posyandu atau Puskesmas tempat mengimunisasi anaknya/akses ke pelayanan kesehatan (enabling factors), sebab lain mungkin karena para petugas kesehatan atau masyarakat disekitarnya tidak pernah mengimunisasi anaknya (reinforcing factors).

Berdasarkan teori tersebut dapat disimpulkan bahwa perilaku kesehatan seseorang atau masyarakat ditentukan oleh niat orang terhadap objek kesehatan, ada atau tidaknya dukungan dari masyarakat sekitarnya, ada tidaknya informasi kesehatan, kebebasan dari individu untuk mengambil keputusan/bertindak dan situasi yang memungkinkan ia berperilaku/bertindak atau tidak berperilaku/tidak bertindak (Notoatmodjo, 2007).

Adapun skema Teori Green (2005), dipaparkan dan dirangkum dalam suatu landasan teori berikut ini:


(67)

Sumber : Green, Health Promotion Planning, (1980). Faktor Predisposisi

Faktor Pemungkin

Faktor Penguat

• Sikap

• Pengetahuan • Kepercayaan • Nilai

• Tradisi

• Sosio Demografi

• Kemampuan sumberdaya • Ketersediaan sarana

• Keterjangkauan (jarak,biaya) • Kebijakan

• Dukungan dari keluarga, tetangga,tokoh masyarakat, provider kesehatan, guru,

teman sebaya, pembuat keputusan) • Insentif / reward

PERILAKU KESEHATAN


(68)

2.5 Kerangka Konsep

Berdasarkan landasan teori, maka peneliti merumuskan kerangka konsep penelitian sebagai berikut :

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.2. Kerangka Konsep Faktor Predisposisi

• Umur

• Pendidikan

• Pekerjaan

• Pengetahuan

• Sikap

• Norma

Faktor Pendukung • Penolong persalinan

• Tempat persalinan

Faktor Pendorong • Pelayanan Petugas

Kesehatan

• Dukungan Keluarga

Tindakan Ibu untuk Mengimunisasikan HB0


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KUNJUNGAN IBU NIFAS DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS JELBUK KABUPATEN JEMBER

1 16 67

FAKTOR – FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN PENYAKIT CAMPAK DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KECAMATAN Faktor – Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Penyakit Campak Di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Teras Kabupaten Boyolali.

0 1 18

FAKTOR – FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN PENYAKIT CAMPAK DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KECAMATAN Faktor – Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Penyakit Campak Di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Teras Kabupaten Boyolali.

0 0 14

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN FREKUENSI IBU DALAM MEMIJATKAN BAYI DI PUSKESMAS 1 Faktor-faktor yang berhubungan dengan frekuensi ibu dalam memijatkan bayi di Puskesmas 1 Kecamatan Kartasura Kabupaten Sukoharjo.

0 1 16

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Anemia Pada Ibu Hamil Di Wilayah Kerja Puskesmas Sukajaya Kota Sabang Tahun 2014

0 0 17

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Anemia Pada Ibu Hamil Di Wilayah Kerja Puskesmas Sukajaya Kota Sabang Tahun 2014

0 0 2

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Anemia Pada Ibu Hamil Di Wilayah Kerja Puskesmas Sukajaya Kota Sabang Tahun 2014

0 0 8

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Anemia Pada Ibu Hamil Di Wilayah Kerja Puskesmas Sukajaya Kota Sabang Tahun 2014

0 0 35

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Anemia Pada Ibu Hamil Di Wilayah Kerja Puskesmas Sukajaya Kota Sabang Tahun 2014

0 1 3

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Anemia Pada Ibu Hamil Di Wilayah Kerja Puskesmas Sukajaya Kota Sabang Tahun 2014

0 0 22