SANKSI ATAS PELANGGARAN NORMATATANAN SOSIAL
kehendaknya kepada orang lain. Adapun yang dimaksud dengan sanksi adalah akibat sesuatu perbuatan
atau suatu reaksi dari pihak lain manusia atau organisasi sosial atas sesuatu perbuatan. E. Utrecht, 1961: 18.
Umumnya yang dianggap merupakan perbedaan yang menonjol antara tatanan hukum dan tatanan masyarakat lainnya ialah sanksinya. Sanksi
terhadap pelanggaran tatanan hukum dapat dipaksakan, dapat dilaksanakan di luar kemauan yang bersangkutan dan bersifat memaksa, yang datangnya dari
pihak pemerintah overheid yang bertugas mempertahankan tata tertib dalam masyarakat. Misalnya dalam norma hukum: “Setiap perbuatan melanggar
hukum yang menimbulkan kerugian pada orang lain, wajib mengganti kerugian pada pihak yang dirugikan”. Hal itu dapat dipaksakan karena yang
menderita kerugian dapat menggugat oraili;_, yang menimbulkan kerugian tersebut. Setelah dijatuhkan putusan dapat diminta pelaksanaan keputusan
tersebut dengan mengadakan penyitaan terhadap harta kekayaan orang yang menimbulkan kerugian itu. Lalu harta sitaan itu dilelangdijual sebagai
pemenuhan tuntutan ganti kerugian tersebut. Penjualan dan penyitaan di luar kemauan yang bersangkutan, tetapi merupakan sanksi dari norma hukum.
Begitu juga jika ada orang melakukan pencurian sehingga dijatuhi hukuman penjara maka is dapat dipaksakan di luar kemauannya untuk dimasukan ke
dalam penjara. Dalam pelanggaran tatanan keagamaan, kebiasaan yang belum
diresepsi dalam hukum reaksi dari pihak pemerintah jarang sekali ada, kecuali pelanggaran tersebut membahayakan kepentingan umum. Dalam hal
pelanggaran tatanan kesusilaan, reaksi dari pemerintah pada umumnya tidak ada sama sekali, namun pelanggaran terhadap tatanan ini akan mendapat
teguran, ataupun celaan dari masyarakat. Sanksi dari masyarakat tersebut, kadang kala dirasakan lebih berat daripada sanksi hukum yang dijatuhkan oleh
pemerintah. Walaupun sanksi tatanan hukum bersifat memaksa tidak berarti bahwa
sanksi atas pelanggaran terhadap tatanan masyarakat lainnya sama sekali tidak
memaksa. Karena sanksi masyarakat meskipun bersifat teguran, ataupun celaan dirasakan juga sebagai tekanan atau paksaan sehingga orang akan
merasa tidak senang untuk melanggarnya.
Kesadaran atau ketaatan orang kepada tatanan hukum bukanlah semata-mata hanya didasarkan pada sanksi yang bersifat memaksa, melainkan
juga karena didorong alasan keagamaan dan kesusilaan.
Tidak setiap kaidah hukum disertai dengan sanksi. Kaidah tanpa sanksi disebut leximperfecta. Ketentuan yang tercantum dalam Pasal 298 BW
Burgerlijk Wetboek: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata misalnya, seorang anak berapa pun umumya wajib menghormati dan menyegani orang
tuanya, merupakan leximperfecta undang-undang peraturan yang tidak ada sanksinya. Ketentuan itu tidak ada sanksinya. Sudikno Martokusumo. 1986:
19.
Di samping itu juga ada kaidah hukum yang tidak dapat dipaksakan sanksi hukumnya secara paksa, misalnya perikatan yang timbul karena
perjudian, yang dalam pembayaran pertaruhan perjudian itu telah secara sukarela dipenuhi tidak dapat dilakukan penuntutan kembali. Perikatan yang
sedemikian disebut natuur lijke verbintenis atau perikatan alamiah vide Pasal 1359 BW.
Sebagaimana yang telah dikemukakan bahwa pelaksanaan sanksi hukum adalah monopoli hak penguasa ataupun pemerintah overheid yang
bertugas mempertahankan tata tertib masyarakat. Perorangan tidak diperkenankan melaksanakan sanksi untuk menegakkan hukum. Misalnya kita
tidak boleh memukuli seorang pencuri yang tertangkap, menyita barang- barang orang yang terutang kepada kita ataupun menyandera orang untuk
melunasi utangnya dan lain-lain. Tindakan seperti itu adalah tindakan menghakimi sendiri atau main hakim sendiri eigenrichting.
Tindakan main hakim sendiri tidak lain merupakan tindakan untuk melaksanakan hak atau mempertahankan hak persetujuan pihak lain yang
berkepentingan. Tindakan main hakim sendiri dilarang atau tidak dibenarkan oleh hukum yang pada umumnya merupakan tindakan pidana. Oleh karena itu,
setiap pelanggar norma atau tatanan hukum harus diselesaikan melalui perantara hakim dan berdasarkan hukum.
Meskipun pada setiap pelanggaran norma hukum pada dasarnya dikenakan sanksi hukum tetapi juga ada dalam norma-norma hukum tertentu
yang tidak dikenakan sanksi. Hal itu merupakan pengecualian hukum yakni dalam hal-hal tertentu seseorang dapat dikecualikan dari hukuman dengan
alasan-alasan tertentu walaupun perbuatannya telah melanggar hukum. Misalnya orang yang sempurna akal atau sakit hembah akal, orang yang
melakukan perbuatan dalam keadaan terpaksa overniacht, dalam keadaan damrat noodtoestand, pembelaan diri secara darurat noodweer, membela
diri melampaui batas noodweer aces, melaksanakan perintah undang-undang wettelijkvoorschrift dan imelaksanakan perintah yang sah bevoegdgezag.
Perbuatan-perbuatan yang tersebut pada hakikatnya merupakan pelanggaran norma hukum, tetapi tidak dikenakan sanksi. Hal itu
dimungkinkan karena adanya alasan pembenaran rechtvaardigings grid dan perbuatan-perbuatan tersebut pada hakikatnya merupakan iv:.ana-2aran norma
hukum, tetapi tidak dikenakan sanksi atau tidak hi hukuman karena pelaku pelanggaran dibebaskan dari kesalahan schulduitsluitings gronden.
Secara terperinci tentang perbuatan-perbuatan yang melanggar EL.:17- 7-.a hukum tertentu yang dikenakan sanksi atau yang dapat alikan dari
hukuman sebagaimana tersebut di atas lebih lanjutan di bawah ini.