PERADABAN INDONESIA DI TENGAH MODERNISASI DAN GLOBALISASI

G. PERADABAN INDONESIA DI TENGAH MODERNISASI DAN GLOBALISASI

Modernisasi dan globalisasi adalah fakta bahwa modernisasi merupakan suatu proses perubahan sosial social engineering yang berusaha mengubah masyarakat tradisonal menjadi masyarakat modern. Arus modernisasi dan globalisasi adalah sesuatu yang pasti terjadi dan sulit untuk dikendalikan, karena begitu cepatnya informasi yang masuk keseluruh belahan dunia, hal ini mebawa pengaruh bagi seluruh bangsa di dunia, termasuk di dalamnya bangsa Indonesia. Dengan mengambil model masyarakat Barat, meskipun para ilmuwan berusaha mengaburkan konsep modernisasi menjadi sekadar masalah spirit of inquiry gairah untuk menemukan sains dan teknologi, namun dengan pemikiran jernih al-fikr al-mustanir dapat tersingkap jelas bahwa modernisasi hakikatnya adalah proses sekularisasi. Dengan perkembangan arus informasi, teknologi, dan komunikasi yang sangatlah pesat, maka dunia menjadi kian sempit, bahkan dalam banyak hal, batas-batas negara sering menjadi kabur dan lebih dari itu, terkadang batas- batas tersebut mulai tidak relevan. Oleh karena itu, Indonesia dihadapkan pada dua hal yang tidak mudah, yakni melestarikan kebudayaan bangsa sekaligus membangun kebudayaan nasional yang modern. Destinasi atau tujuan akhir dari kedua hal tersebut adalah terciptanya suatu masyarakat yang tipikal Indonesia, yang tidak hanya mampu membangun dirinya sederajat dengan bangsa lain, tetapi juga tangguh dalam menghadapi tantangan kemerosotan lingkungan hidup dan moral serta tren global yang tidak jarang bertentangan dengan nilai-nilai luhur bangsa. Jika kita mampu membangun bangsa di tengah-tengah arus modernisasi dan globalisasi yang semakin kuat, maka kita akan sanggup dan berhasil menjadikan Indonesia sebagai sebuah negara maju yang bermartabat tinggi dan berjati diri kuat. Yang bisa menjawab harapan tersebut adalah peranan lembaga pendidikan yang diharapkan dapat menggali ilmu pengetahuan dan teknologi serta informasi tanpa menghilangkan jati diri bangsa Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Setiadi, Elly M. Dkk. 2010. Ilmu Sosial Budaya Dasar. Jakarta : Kencana Media Group. Schuon, F. 1997. Hakikat Manusia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Suleman, Munandar. 1995. Ilmu Budaya Dasar. Bandung : Eresco. Hawwa, Sa id. 1993. ‟ Agar Kita Tidak Dilindas Zaman. Cetakan Ketiga. Solo : Pustaka Mantiq. Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi : Suatu Pengantar. Jakarta : Rajawali Pers. Dubois, Brenda Miley, K.K. 1992. Social Work : An Empowering Profession. Boston : Allyn Bacon. Diamond, Larry. 2003. Demokrasi Berkembang. Yogyakarta : IRE Press. http:mustofasmp2.wordpress.com http:id.shvoong.com

BAB VI NILAI, MORALITAS DAN HUKUM

A. Pengertian Nilai

Tidak mudah untuk menjelaskan apa itu suatu nilai. Setidak-tidaknya dapat dikatakan bahwa nilai merupakan sesuatu yang menarik bagi kita, sesuatu yang kita cari, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang disukai dan diinginkan, singkatnya, sesuatu yang baik. Menurut perkataan bagus filsuf Jerman-Amerika, Hans Jonas, nilai adalah, the addressee of a yes, sesuatu yang ditujukan dengan “ya” kita. Memang, nilai adalah sesuatu yang kita iakan atau kita aminkan. Nilai selalu mempunyai konotasi positif. Sebaliknya, sesuatu yang kita jauhi, sesuatu yang membuat kita malarikan diri seperti penderitaan, penyakit, atau kematian adalah lawan dari nilai, adalah non-nilai atau beberapa filsuf yang menggunakan di sini istilah “nilai negatif”, sedangkan nilai dalam arti tadi mereka sebut “nilai positif. Dipandang dalam perspektif sejarah filsafat yang sudah panjang, “nilai” merupakan suatu tema filosofis yang berumur agak muda. Baru pada akhir abad ke- 19 tema ini mendapat kedudukan mantap dalam uraian-uraian filsafat akademis. Sekurang-kurangnya secara eksplisit. Tapi secara implisit nilai sudah lama memegang peranan dalam pembicaraan filsafat, sudah sejak Plato menempatkan ide “baik” paling atas dalam hierarki ide-ide. Dan sesudah Plato, kategori “baik” praktis tidak pernah lagi terlepas dari fokus perhatian filsafat, khususnya etika. Tapi baru kira-kira seabad yang lalu nilai mendapat tempat eksplisit dalam diskusi-diskusi filsafat dan malah timbul suatu cabang filsafat yang baru dengan nama “aksiologi” atau “teori nilai”. Salah satu cara yang sering digunakan untuk menjelaskan apa itu nilai adalah memperbandingkannya dengan fakta. Kita juga mencoba menempuh jalan ini. Jika kita berbicara tentang fakta, kita maksudkan sesuatu yang ada atau berlangsung begitu saja. Jika kita berbicara tentang nilai, kita maksudkan sesuatu yang berlaku, sesuatu yang memikat atau mengimbau kita. Fakta ditemui dalam konteks deskripsi semua unsurnya dapat dilukiskan satu demi satu dan uraian itu pada prinsipnya dapat diterima oleh semua orang. Nilai berperanan dalam suasana apresiasi atau penilaian dan akibatnya sering akan dinilai secara berbeda oleh