Etiket Dan Etika ETIKA

diikuti. Dan yang kita teliti di sini adalah bagaimana istilah ini pada kenyataannya dipakai dalam masyarakat, bukan bagaimana seharusnya dipakai menurut norma ilmu bahasa. Karena itu untuk maksud kita penjelasan dari edisi 1988 masih bisa dianggap paling tepat . bila kemungkinan-kemungkinan etis asa-asas dan nilai-nilai tentang yang dianggap baik dan buruk yang begitu saja diterima dalam suatu masyarakat-sering kali tanpa disadari-menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis. Etika di sini sama artinya dengan filsafat moral. Tentang kata moral sudah kita lihat bahwa etimologi nya sama dengan etika, sekalipun hahasa asalnya berbeda. Jika sekarang kita memandang arti kata moral, perlu kita simpulkan bahwa artinya sekurang-kurangnya arti yang relevan untuk kita, di samping arti lain yang tidak perlu disinggung di sini sama dengan etika menurut arti pertama tadi, yaitu nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Kita mengatakan, misalnya, bahwa perbuatan seseorang tidak bermoral. Dengan itu dimaksud bahwa kita menganggap perbuatan orang itu niclanggar nilai-nilai dan norma-norma etis yang berlaku dalam masyarakat. Atau kita mengatakan bahwa kelompok pemakai narkotika mempunyai moral yang bejat, artinya, mereka berpegang pada nilai dan norma yang tidak baik. Moralitas dari kata sifat Latin moralis mempunyai arti yang pada dasarnya sama dengan moral, hanya ada nada lebih abstrak. Kita berbicara tentang moralitas suatu perbuatan, artinya, segi moral suatu perbuatan atau baik buruknya. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan bai dan buruk

2. Etiket Dan Etika

Dalam rangka menjernihkan istilah, harus kita simak lagi perbedaan antara etika dan etiket. Kerap kali dua istilah ini dicampuradukkan begitu saja, padahal perbedaan di antaranya sangat hakiki. 2 Stanley L. Jaki. “Decision -making in Business : Amoral?” dalam C. van Dam and L. N. Stallaert, Trends in Busine Ethics, Leiden Boston, Martinus Nijhoff, 1978, hlm. 1 -10 . Etika di sini berarti moral dan etiket berarti sopan santun tentu saja, di samping arti lain: secarik kertas yang ditempelkan pada botol atau kemasan barang . Jika kita melihat asal-usulnya, sebetulnya tidak ada hubungan antara dua istilah ini. Hal itu menjadi lebih jelas, jika kita membanding - kan bentuk kata dalam bahasa Inggris, yaitu ethics da n etiquette. Tetapi dipandang menurut artinya, dua istilah ini memang dekat satu sama lain. Di samping perbedaan, ada juga peramaan. Mari kita mulai dengan persamaan itu. Pertama, etika dan etiket menyangkut perilaku manusia. Istilah-istilah ini hanya kita pakai mengenai manusia. Hewan tidak mengenal etika maupun etiket. Kedua, baik etika maupun etiket mengatur perilaku manusia secara normatif, artinya, memberi norma bagi perilaku manusia dan dengan demikian rnenyatakan apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Justru karena sifat normatif ini kedua istilah tersebut mudah dicampuradukkan. Namun demikian, ada beberapa perbedaan sangat penting antara etika dan etiket. Di sini kita akan mempelajari sepintas empat macam perbedaan. Etiket menyangkut cara suatu perbuatan harus dilakukan manusia. Di antara beberapa cara yang mungkin, etiket menunjukkan cara yang tepat, artinya, cara yang di - harapkan serta ditentukan dalam suatu kalangan ter tentu. Misalnya, jika saya menyerahkan sesuatu kepada atasan, saya harus menyerahkannya dengan menggunakan tangan kanan. Dianggap melanggar etiket, bila orang menyerahkan sesuatu dengan tangan kiri. Tetapi etika tidak terbatas pada cara dilakukannya suatu perbuatan; etika memberi norma tentang perbuatan itu sendiri. Etika menyangkut masalah apakah suatu perbuatan boleh di - lakukan ya atau tidak. Mengambil barang milik orang lain tanpa izin, tidak pernah diperbolehkan. Jangan men curi merupakan suatu norma etika. Apakah orang men curi dengan tangan kanan atau tangan kiri di sini sama sekali tidak relevan. Norma etis tidak terbatas pada cara perbuatan dilakukan, melainkan menyangkut perbuatan itu sendiri. Etiket hanya berlaku dalam pergaulan. Bila tidak ada orang lain hadir atau tidak ada saksi mata, maka etiket tidak berlaku. Misalnya, ada banyak peraturan etiket yang mengatur cara kita makan. Dianggap melanggar etiket, bila kita makan sambil berbunyi atau dengan me letakkan kaki di atas meja, dan sebagainya. Tapi kalau saya makan sendiri, saya tidak melanggar etiket, bila makan dengan cara demikian. Sebaliknya, etika selalu berlaku, juga kalau tidak ada saksi mata. Etika tidak tergantung pada hadir tidaknya orang lain. Larangan untuk mencuri selalu btrlaku, entah ada orang lain, hadir atau tidak. Barang yang dipinjam selalu harus dikembalikan, juga jika pemiliknya sudah lupa. Etiket bersifat relatif. Yang dianggap tidak sopan dalam satu kebudayaan, bisa saja dianggap sopan dalam kebudayaan lain. Contoh yang jelas adalah makan dengan tangan atau tersendawa waktu makan. Lain halnya dengan etika. Etika jauh lebih absolut. Jangan mencuri, jangan berbohong, jangan membunuh merupakan prinsip-prinsip etika yang tidak bisa ditawar-tawar atau mudah diberi dispensasi. Memang benar, ada kesulitan cukup besar mengenai keabsolutan prinsip-prinsip etis yang akan dibicarakan lagi dalam buku ini. Tapi tidak bisa diragukan, relativitas etiket jauh lebih jelas dan jauh lebih mudah terjadi. Jika kita berbicara tentang etiket, kita hanya memandang manusia dari segi lahiriah saja, sedang etika menyangkut manusia dari segi dalam. Bisa saja orang tampil sebagai musang berbulu ayam: dari luar sangat sopan clan halus, tapi di dalam penuh kebusukan. Banyak penipu berhasil dengan maksud jahat mereka, justru karena penampilannya begitu halus dan menawan hati, sehingga mudah meyakinkan orang lain. Tidak merupakan kontradiksi, jika seseorang selalu berpegang pada etiket dan sekaligus bersikap munafik. Tapi orang yang etis sifatnya tidak mungkin bersikap munafik, sebab seandainya dia munafik, hal itu dengan sendirinya berarti ia tidak bersikap etis. Di sini memang ada kontradiksi. Orang yang bersikap etis adalah orang yang sungguh-sungguh baik. Sudah jelaslah kiranya bahwa perbedaan terakhir ini paling penting di antara empat perbedaan yang dibahas tadi. Setelah mempelajari perbedaan antara etika clan etiket ini, barangkali tidak sulit untuk disetujui bahwa konsekuensinya cukup besar, jika dua istilah ini dicampuradukkan tanpa berpikir lebih panjang. Bisa sampai fatal dari segi etis, bila orang menganggap etiket saja apa yang sebenarnya termasuk lingkup moral. Juga tentang istilah-istilah lain yang kita pakai dalam konteks ini haruslah jelas kita kita makudkan atau etiket. Misalnya, jika kita berbicara tentang suila, kesusilaan, tata krama, budi pekerti, kita mengambil itilah- istilah ini dari lingkup etika atau dari lingkup etiket Karena ketidakjelasan itu dalam buku ini kita tidak akan menggunakan kata seperti kesusilaan. Di sisi lain, istilah yang jelas termauk lingkup etika janganlah diperlakukan seolah-olah termasuk linkkup etiket. Menurut pendapat kami, hal itu dilakukan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi 1988 tentang kata moralitas yang dijelaskan sebagai sopan santun, segala sesuatu yang berhubungan dengan etiket atau adat sopan santun. Padahal, sesuai dengan pemakaian intemasional sudah menjadi kebiasaan umum memasukkan moralitas ke dalam lingkup etika, bukan lingkup etiket.

3. Teori-Teori Etiket