ALASAN PENGECUALIAN HUKUMAN NILAI, MORALITAS DAN HUKUM

dibebaskan dari kesalahan atau alasan-alasan yang menghilangkan kesalahan schttlduitsluitings granden. ad.1. Karena Alasan Pembenaran atau Menghapus Anasir Melawan Hukum a. Keadaan Darurat Noodtoestand Keadaan darurat merupakan pertentangan antara kepentingan hukum conflict van rechtsbelangen atau suatu pertentangan antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum conflict van rechtsbelang en rechtsplicht dan pertentangan antara kewajiban hukum conflict van rechtsplichten. Suatu contoh dalam keadaan darurat, dalam hal pertentangan antara kepentingan hukum adalah suatu keadaan ketika dua orang yang terapung di tengah laut berpegangan sebilah papan kayu untuk mempertahankan hidup masing-masing dengan berusaha menyingkirkan. lawannya. Kalau kedua-duanya tetap berpegangan papan kayu tersebut maka kedua-duanya akan mati tenggelam. Yang berhasil hidup mencapai daratan meskipun menyebabkan matinya yang lain tidak akan dihukum. Di tengah laut itu tidak sempat minta pengadilan. la terdesak oleh keadaan. Keadaan tertentu itu membenarkan perbuatannya. Contoh mengenai keadaan darurat dalam hal pertentangan antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum, misalnya seorang petugas pemadam kebakaran hendak menolong seseorang yang tersekap dalam rumah yang terbakar dengan merusakkan pintu dari rumah tersebut karena pintu rumah itu tidak dapat lagi dibuka secara normal. Perbuatan petugas kebakaran itu pada hakikatnya merupakan pengrusakan tapi keadaan memaksa petugas kebakaran itu berbuat demikian untuk menjamin kepentingan hukum atas orang tersekap dalam rumah yang sedang terbakar itu sehingga melanggar kewajiban hukum kewajiban untuk tidak merusak pintu rumah yang sedang terbakar tersebut. Petugas kebakaran tersebut insaf akan keadaan bahaya bagi diri orang yang sedang tersekap atau terkurung dalam rumah yang sedang terbakar itu, dengan memilih menjamin kepentingan hukum clari orang tersebut, dan oleh karena itu petugas kebakaran melanggar suatu peraturan hukum atau kewajiban hukumnya untuk tidak merusak rumah yang terbakar itu. Perbuatan petugas pemadam kebakaran itu dikecualikan dari hukum atau tidak dapat dihukum. Contoh dalam keadaan darurat dalam hal pertentangan antara kewajiban hukum, misalnya seseorang yang telah dipanggil untuk menjadi saksi dalam suatu perkara di Pengadilan Negeri Medan. Pada hari dan waktu yang sama ia juga dipanggil untuk memberikan keterangan sebagai saksi di Pengadilan Negeri Binjai. Jika ia memilih panggilan Pengadilan Negeri Medan dan tidak memenuhi panggilan Pengadilan Negeri Binjai, ia tidak dapat dihukum karena tidak memenuhi panggilan Pengadilan Negeri Binjai tersebut. Perlu diingat bahwa dalam dua kewajiban hukum pada waktu yang sama seseorang dapat memilih salah satu dari kewajiban hukum tersebut. b. Penzbelaan Dini Secara Darurat Noodweer Pembelaan secara darurat merupakan salah satu alasan untuk dikecualikan dari hukuman atau dibebaskan dari hukuman sebagaimana yang disebut dalam Pasal 49 ayat 1 KUHP. “Barangsiapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan, karena ada serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum, terhadap diri sendiri maupun orang lain, terhadap kehormatan kesusilaan eerbaarheid atau harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana.” Di sini orang terpaksa membela diri secara mati-matian karena dalam keadaan terdesak. Contoh pembelaan terpaksa ialah: seseorang yang tepergok seorang pencuri di pekarangannya pada tengah malam terpaksa berkelahi dan membela diri mati-matian yang akhirnya mengakibatkan matinya pencuri. Si “pembunuh” pencuri tidak dapat dihukum. Ia dibenarkan membela dirinya mati- matian, meskipun menyebabkan matinya pencuri. Unsur-unsur atas elemen yang harus dipenuhi dalam Pasal 49 ayat 1 KUHP, menurut E. Utrecht di dalam bukunya Hukum Pidana I ialah sebagai berikut. 1 Adanya suatu serangan. 2 Serangan diadakan sekonyong-konyong ogenblikklijk, atau suatu ancaman yang kelak akan dilakukan onmiddellijk dreigende aanranding. 3 Serangan itu melawan hukum wederrechtelijk. 4 Serangan itu dilakukan terhadap diri sendiri, diri orang lain, hor- mat diri orang lain, harta benda sendiri, atau harta benda orang lain. 5 Pembelaan terhadap serangan itu perlu diadakan noodzakelijk, yakni pembelaan itu bersifat darurat. 6 Alat yang dipakai untuk membela atau cara membela harus setimpal. E. Utrecht, 1958: 364. c. Melaksanakan Perintah Undang-Undang Wettelijk Voorschrift Dalam Pasal 50 KUHP ditentukan: “Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang tidak dipidana”. Melaksanakan ketentuan undang-undang tidak hanya terbatas pada melakukan perbuatan yang diperintahkan oleh undang- undang saja tetapi meliputi juga perbuatan yang dilakukan atas wewenang yang diberikan oleh undang-undang. Perbuatan menjalankan peraturan perundang-undangan itu hams merupakan suatu perbuatan menjalankan peraturan perundang-undangan guna kepentingan pribadi tidak dapat dibenarkan. Di sini diletakkan suatu prinsip apa yang telah diharuskan atau diperintahkan oleh suatu undang-undang yang lain. Yang dimaksud dengan undang-undang di sini ialah semua peraturan yang dibuat oleh suatu badan pemerintahan yang diberi kekuasaan untuk membuat undang-undang. Jadi termasuk pula misalnya peraturan pemerintah dan peraturan-peraturan pemerintah daerah seperti provinsi, kabupaten, dan kota praja. Menjalankan undang-undang artinya tidak hanya terbatas pada melakukan perbuatan yang diperintahkan oleh undang-undang, tetapi lebih luas lagi, ialah meliputi pula perbuatan-perbuatan yang dilakukan atas wewenang yang diberikan oleh suatu undang-undang. Sebagai contoh: pada pengosongan suatu rumah, petugas juru sita dapat meletakkannya di jalan umum. Sekalipun ada larangan pemerintah daerah untuk meletakkan barang-barang di jalan umum, namun petugas juru sita tersebut tidak dapat dihukum. Contoh lain misalnya: seorang polisi mengawal seorang tahanan, yang sangat berbahaya karena telah berulang kali melakukan pembunuhan, dari penjara ke gedung Pengadilan Negeri. Dalam perjalanan tahanan tersebut melarikan diri. Polisi pengawal telah beberapa kali menembak ke atas sebagai peringatan dan penjahat tidak mau menyerah sampai akhirnya polisi menembak mati tahanan itu. Penembakan itu mengakibatkan matinya tahanan tersebut. Walaupun ketentuan hukum tidak membenarkan polisi untuk menembak mati seorang tahanan, namun dalam hal ini tindakan polisi tersebut dapat dibenarkan. d. Melaksanakan Perintah Jabatan yang Salt Bevoegdgezag Dalam Pasal 51 ayat 1 KUHP kitab undang-undang hukum pidana ditentukan: “Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melakukan perintah jabatan, perintah yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana”. Syarat pertama yang disebutkan pada pasal itu ialah bahwa orang yang berwenang melakukan perbuatan adalah atas suatu perintah jabatan. Antara pemberi perintah dengan orang yang diperintah harus ada perhubungan yang bersifat kepegawaian negeri, bukan pegawai partikulir. Tidak perlu bahwa yang diberi perintah itu harus orang bawahan dari yang memerintah. Mungkin lama pangkatnya, tetapi yang perlu ialah bahwa antara yang diperintah dan yang memberi perintah ada kewajiban untuk menaati perintah itu. Syarat kedua ialah bahwa perintah harus diberikan oleh kuasa yang berhak untuk memberikan perintah itu. Jika kuasa tidak berhak untuk itu maka orang yang menjalankan perintah tali tetap dapat dihukum atas perbuatan yang dilakukannya, kecuali orang itu dengan iktikad baik mengira bahwa perintah itu sah dan diberikan oleh kuasa yang berhak untuk itu. R. Soesilo, 1976: 57. Menghilangkan nyawa orang dilarang oleh undang-undang dan diancam dengan hukuman. Akan tetapi kalau ada seorang prajurit dalam suatu operasi militer atas perintah komandannya untuk menembak mati seseorang maka prajurit tersebut wajib menaati perintah komandannya itu. Jika pada saat itu prajurit tersebut menembak mati seseorang maka ia tidak dapat dihukum, karena prajurit itu melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa yang berhak untuk itu. ad.2. Karena Alasan Pelaku Pelanggaran Dibebaskan dari Kesalahan atau Menghilangkan Kesalahan a. Tidak Matnpu Bertanggung Jawab Ontoerekeningsvat-baarheid Dengan adanya perbuatan yang bersifat melawan hukum, belum cukup alasan untuk menjatuhkan hukuman terhadap orang yang telah melakukan perbuatan itu. Di samping perbuatani kelakuan yang melawan hukum itu, harus juga ada seorang pembuat tindak pidana dadaer yang mampu bertanggung jawab atas perbuatankelakuannya. Tidak adanya kemampuan untuk bertanggung jawab pada diri seseorang yang telah melakukan perbuatan melawan hukum tersebut merupakan suatu alasan untuk menghapus hukuman. Tidak mampu bertanggung jawab ontoerekeningsvatbaarheid dapat dilihat dalam dua hal yaitu sebagai berikut: 1 Dalam hal pembuat tidak diberi kemerdekaan memilih antara perbuatan atau tidak berbuat apa yang oleh undang-undang di- larang atau diperintah, dengan kata lain: dalam hal perbuatan yang dipaksa. 2 Dalam hal pembuat ada di dalam suatu keadaan tertentu sehingga ia tidak dapat menginsafi bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum dan ia tidak mengerti akibat perbuatannya itu nafsu patalogislpathologischedrift, gila, pikiran tersesat, dan sebagainya. Kedua hal tersebut yang diterima oleh Memorie van Toelichting dalam melihat tentang ada tidaknya alasan bertanggung jawab ontoerekeningsvatbaarheid. E. Utrecht, 1958: 291. Dalam Pasal 44 KUHP ditentukan bahwa: Ayat 1 : Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam pertumbuhannya gebrekkige ontuikkeling atau terganggu karena penyakit ziekelijke storing, tidak dipidana. Ayat 2 : Jika ternyata bahwa perbuatan tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam pertumbuhannya atau terganggu karena penyakit maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan. Ayat 3 : Ketentuan tersebut dalam ayat 2 hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri. Dalam Pasal 44 sebagai sebab tidak dapat dihukumnya terdakwa berhubung perbuatannya tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena alasan berikut. a Jiwanya cacat. Yang dimaksud dengan perkataan jiwa ialah pikiran, kekuatan pikiran, daya pikiran, kecerdasan pikiran. Teks bahasa Belandanya mengatakan: verstandelijke vermogens. Kalau teks KUHP negeri Belanda memakai kata: geets vermogens yang berarti kekuatan atau daya jiwa. Siapakah yang dianggap sebagai kurang sempurna jiwanya misalnya idiot, imbicil, buta, tuli, dan bisu mulai lahir. Orang-orang semacam itu sebenarnya tidak sakit, akan tetapi hanya cacat mulai lahir. Dan karena cacatcacatnya mulai lahir, sehingga pikirannya tetap sebagai kanakkanak. b Sakit berubah akalnya. Ziekelijke storing der verstandelijke vermogens. Yang dapat masuk dalam pengertian ini misalnya: sakit gila, manie, histerie, epilepsi, melancholi, dan bermacam- macam penyakit jiwa lainnya. Orang yang terganggu pikirannya karena mabuk minuman keras pada umumnya tidak dipandang masuk golongan orang tersebut, kecuali jika dapat dibuktikan, bahwa mabuknya itu demikian rupa, sehingga ingatannya hilang sama sekali. Dalam prakteknya jika polisi menjumpai peristi.wa semacam itu ia tetap diwajibkan memeriksa perkaranya dan membuat proses verbal. Hakimlah yang berkuasa memutuskan tentang dapat tidaknya terdakwa dipertanggungjawabkan atas perbuatannya itu, meskipun ia dapat pula minta nasihat dari dokter penyakit jiwa psychiater. Jika hakim berpendapat bahwa orang itu tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya maka orang, itu tidak dijatuhi hukuman dibebaskan dari segala tuntutan pidana. Akan tempi sebagai tindakan mencegah bahayanya sebagai akibat yang ditimbulkannya, baik orangnya sendiri, maupun untuk keselamatan masyarakat, hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan dalam rumah sakit jiwa selama masa percobaan, maksimum satu tahun untuk dilindungi dan diperiksa. R. Soesilo, 1976: 52. Dalam menentukan ada tidaknya ontoerekeningsvatbaarheid atau tidak adanya kemampuan bertanggung jawab dari did pelaku kejahatan maka gangguan jiwa itu harus ada pada waktu pembuat melakukan perbuatannya. Hanya hakimlah yang dapat menentukan adanya keadaan demikian dengan terlebih dahulu mendengar keterangan para ahli atau dokter rumah sakit atau suatu lembaga yang, menyelidiki gangguan jiwa manusia. b. Berat Lawan atau Keadaan Terpaksa Overmacht Suatu perbuatan yang dilakukan dalam keadaan terpaksa atau berat lawan tidak dapat dikenakan sanksi. Sebaliknya pelaku kesalahan dibebaskan dad kesalahan schuldcluit sluitingsgrond. Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 48 KUHP: “Barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana.” Kata “daya paksa” harus diartikan, baik paksaan batin, maupun lahir, rohani, maupun jasmani. Daya paksa biasanya dimiliki oleh kekuasaan atau kekuatan. Kekuasaan sering disalahgunakan untuk berbagai kepentingan dengan memaksa seseorang melakukan berbagai macam perbuatan. Kekuasaan biasanya sulit untuk dilawan atau overheid. Mr. J.E. Jonkers membedakan kekuasaan menjadi tiga macam. 1 Kekuasaan bersifat absolut. Dalam hal ini orang tidak dapat berbuat lain. Ia mengalami suatu yang sama sekali tidak dapat mengelakkannya. Ia tidak mungkin memilih jalan lain. Si A dipegang tangannya oleh B yang lebih kuat dan dipaksa menulis tanda tangan palsu. Si X dihipnotis oleh Y untuk melakukan suatu peristiwa pidana dan sebagainya. Dalam peristiwa-peristiwa semacam itu dengan tidak ada ketentuan Pasal 48 mudah dimengerti pula bahwa orang yang kedua itu tidak dapat dihukum karena segala sesuatunya yang melakukan orang yang pertama. Orang pertama itulah yang berbuat dan dialah yang harus dihukum. 2 Kekuasaan bersifat relatif. Dalam hal ini kekuasaan atau kekuatan yang memaksa orang itu tidak mutlak, tidak penuh. Orang yang dipaksa itu masih ada kesempatan memilih untuk berbuat yang mana. Misalnya A yang ditodong oleh B dengan pistol, disuruh membakar rumah, jika A tidak lekas membakar rumah itu, pistol yang ditodongkan kepadanya akan ditembakkan. Dalam pikiran memang mungkin A menolak suruhan itu, sehingga ditembak mati. Tetapi jika ia menuruti perintah membakar rumah itu, meskipun ia berbuat sesuatu kejahatan toh tidak dihukum karena adanya paksaan tersebut. Bedanya kekuasaan bersifat absolut dan yang bersifat relatif itu ialah bahwa pada yang absolut dalam segala sesuatunya orang yang memaksa itu sendirilah yang berbuat semaunya, sedang pada yang relatif maka orang yang dipaksa itulah yang berbuat meskipun dalam paksaan kekuatan. Tidak semua kekuasaan yang memaksa dapat membebaskan orang dari hukuman. Yang dapat membebaskan itu hanya sesuatu kekuasaan, yang begitu besarnya sehingga oleh pendapat umum dapat dipandang sebagai tidak dapat dihindarkan, tidak dapat dilawan. Seorang yang disuruh orang lain untuk membakar rumah dengan ancaman dipukul tangan saja misalnya tidak dapat mengatakan dirinya dalam overmacht, karena ia bisa melawan atau menghindarkan pukulan itu. Jadi dalam hal ini apabila orang membakar rumah tersebut ia tetap dihukum. Jadi paksaan itu harus ditinjau dari banyak sudut, misalnya orang yang dipaksa itu lebih lemah daripada orang yang memaksa, apakah tidak ada jalan lain, apakah paksaan itu betul-betul seimbang apabila dituruti dan sebagainya. Hakimlah yang harus menguji dan memutuskan hal ini. Polisi hanya mengumpulkan bahan-bahan raja untuk diajukan pada hakim. 3 Yang berupa suatu keadaan darurat. Bedanya dengan kekuasaan yang bersifat relatif ialah bahwa pada keadaan darurat orang yang dipaksa itu sendirilah memilih peristiwa pidana manakah yang is lakukan, sedangkan pada kekuasaannya yang bersifat relatif orang itu tidak memilih dalam hal ini yang mengambil inisiatif adalah orang yang memaksa. R. Soesilo, 1976: 54. Mengenai contoh tentang keadaan darurat ini dapat dilihat pada uraian sebelumnya mengenai keadaan darurat noodtoestand. c. Pembelaan Diri dengan Melampaui Batas Noodweerexces Pembelaan diri dengan melampaui batas dapat dibenarkan berdasarkan suatu alasan yang diberi nama noodweerexces alasan tersebut dicantumkan dalam Pasal 49 ayat 2 KUHP, yang berbunyi: “Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak Oipidana”. Pembelaan diri dengan melampaui batas sama halnya dengan pembelaan diri secara darurat. Dalam hal ini harus ada serangan yang sekonyong-konyong dilakukan atau mengancam pada ketika itu juga serta batas-batas untuk keperluan pembelaan itu telah dilampaui. Anasir-anasir unsur-unsur noodweerexces sebagai berikut: 1 Melampaui batas pembelaan yang perlu. 2 Terbawa oleh suatu perasaan “sangat panas hati”. 3 Antara timbulnya perasaan “sangat panas hati” dan serangan yang dilakukan ada suatu hubungan kasual E. Utrecht, 1958: 373. Melampaui batas kemampuan yang perlu dapat disebabkan oleh kerasnya alat yang dipilih untuk membela diri. Misalnya yang menyerang menggunakan sepotong kayu kemudian dibalas kembali dengan mempergunakan sepotong besi. Yang diserang sebenarnya harus melarikan diri atau mengelakkan ancaman yang kelak akan dilakukan serangan tetapi juga is masih memilih membela diri. Pada diri yang diserang ditimbulkan suatu perasaan yang puas hati, naik darah, atau mata gelap disebabkan karena ketakutan, putus asa, dan rasa kebencian yang amat dalam. Misalnya seorang anggota polisi yang melihat istrinya diperkosa orang, dengan seketika mencabut pistolnya dan ditembakkan beberapa kali pada orang itu. Hal itu dapat dikatakan bahwa polisi tersebut telah melampaui pembelaan yang perlu karena biasanya dengan tidak perlu menembak beberapa kali, orang itu telah menghentikan perbuatannya dan melarikan diri. Andaikan hal itu dapat dibuktikan pembelaan melampaui batas yang perlu dilakukan oleh anggota polisi tersebut disebabkan oleh terguncang jiwanya ketika itu sehingga menimbulkan amarah yang amat sangat maka oleh sebab itu polisi tersebut tidak dapat dihukum atas perbuatannya atau dapat dikecualikan dari hukuman.

BAB VI NILAI, MORALITAS DAN HUKUM

F. Pengertian Nilai

Tidak mudah untuk menjelaskan apa itu suatu nilai. Setidak-tidaknya dapat dikatakan bahwa nilai merupakan sesuatu yang menarik bagi kita, sesuatu yang kita cari, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang disukai dan diinginkan, singkatnya, sesuatu yang baik. Menurut perkataan bagus filsuf Jerman-Amerika, Hans Jonas, nilai adalah, the addressee of a yes, sesuatu yang ditujukan dengan “ya” kita. Memang, nilai adalah sesuatu yang kita iakan atau kita aminkan. Nilai selalu mempunyai konotasi positif. Sebaliknya, sesuatu yang kita jauhi, sesuatu yang membuat kita malarikan diri seperti penderitaan, penyakit, atau kematian adalah lawan dari nilai, adalah non-nilai atau beberapa filsuf yang menggunakan di sini istilah “nilai negatif”, sedangkan nilai dalam arti tadi mereka sebut “nilai positif. Dipandang dalam perspektif sejarah filsafat yang sudah panjang, “nilai” merupakan suatu tema filosofis yang berumur agak muda. Baru pada akhir abad ke- 19 tema ini mendapat kedudukan mantap dalam uraian-uraian filsafat akademis. Sekurang-kurangnya secara eksplisit. Tapi secara implisit nilai sudah lama memegang peranan dalam pembicaraan filsafat, sudah sejak Plato menempatkan ide “baik” paling atas dalam hierarki ide-ide. Dan sesudah Plato, kategori “baik” praktis tidak pernah lagi terlepas dari fokus perhatian filsafat, khususnya etika. Tapi baru kira-kira seabad yang lalu nilai mendapat tempat eksplisit dalam diskusi-diskusi filsafat dan malah timbul suatu cabang filsafat yang baru dengan nama “aksiologi” atau “teori nilai”. Salah satu cara yang sering digunakan untuk menjelaskan apa itu nilai adalah memperbandingkannya dengan fakta. Kita juga mencoba menempuh jalan ini. Jika kita berbicara tentang fakta, kita maksudkan sesuatu yang ada atau berlangsung begitu saja. Jika kita berbicara tentang nilai, kita maksudkan sesuatu yang berlaku, sesuatu yang memikat atau mengimbau kita. Fakta ditemui dalam konteks deskripsi semua unsurnya dapat dilukiskan satu demi satu dan uraian itu pada prinsipnya dapat diterima oleh semua orang. Nilai berperanan dalam suasana apresiasi atau penilaian dan akibatnya sering akan dinilai secara berbeda oleh pelbagai orang. Perbedaan antara fakta dan nilai ini kiranya dapat diilustrasikan dengan contoh berikut ini. Kita andaikan saja bahwa pada tahun sekian tanggal sekian di tempat tertentu ada gunung berapi meletus. Hal itu merupakan suatu fakta yang dapat dilukiskan secara obyektif. Kita bisa mengukur tingginya awan panas yang keluar dari kawah, kita bisa menentukan kekuatan gempa bumi yang menyertai letusan itu, kita bisa memastikan letusan-letusan sebelumnya beserta jangka waktu di antaranya, dan seterusnya. Tapi serentak juga letusan gunung itu bisa dilihat sebagai nilai atau justru disesalkan sebagai non-nilai, pokoknya, bisa menjadi obyek penilaian. Bagi wartawan foto yang hadir di tempat, letusan gunung itu merupakan