Status gizi dewasa berdasarkan indikator Lingkar Perut LP

32 Tabel 3.15 Prevalensi Obesitas Sentral pada Penduduk Umur 15 Tahun ke Atas menurut KabupatenKota di Provinsi Jawa Barat, Riskesdas 2007 KabupatenKota Obesitas Sentral LP;L90, P80 Kab.Bogor 16,2 Kab.Sukabumi 13,5 Kab.Cianjur 12,3 Kab.Bandung 21,0 Kab.Garut 13,5 Kab.Tasikmalaya 16,6 Kab.Ciamis 15,4 Kab.Kuningan 18,9 Kab.Cirebon 16,9 Kab.Majalengka 19,2 Kab.Sumedang 15,5 Kab.Indramayu 21,5 Kab.Subang 18,3 Kab.Purwakarta 19,5 Kab.Karawang 20,8 Kab.Bekasi 23,2 Kota Bogor 24,6 Kota Sukabumi 25,1 Kota Bandung 22,0 Kota Cirebon 27,5 Kota Bekasi 47,1 Kota Depok 25,4 Kota Cimahi 25,0 Kota Tasikmalaya 20,0 Kota Banjar 21,0 JAWA BARAT 20,3 Catatan: LP= lingkar perut ; L =Laki-laki ; P = Perempuan Prevalensi obesitas sentral secara umum di Provinsi Jawa Barat sebesar 20,3, lebih tinggi daripada angka nasional 18,8 Bila dilihat per-KabupatenKota, maka prevalensi tertinggi di Kota Bekasi sebesar 47,1 dan terendah di Kabupaten Cianjur yaitu 12,3. 33 Tabel 3.16 Prevalensi Obesitas Sentral pada Penduduk Umur 15 Tahun ke Atas menurut Karakteristik Responden dan KabupatenKota di Provinsi Jawa Barat, Riskesdas 2007 Karakteristik Responden Obesitas Sentral LP;L90, P82 Kelompok Umur 15-24 Tahun 9,2 25-34 Tahun 18,7 35-44 Tahun 25,5 45-54 Tahun 27,8 55-64 Tahun 25,4 65-74 Tahun 20,0 75+ Tahun 16,2 Jenis Kelamin Laki-Laki 9,2 Perempuan 30,4 Pendidikan Tidak Sekolah 20,4 Tidak Tamat SD 20,2 Tamat SD 19,2 Tamat SMP 17,8 Tamat SMA 21,8 Tamat PT 30,2 Pekerjaan Tidak Kerja 15,0 Sekolah 10,0 Ibu Rumah Tangga 35,0 Pegawai 22,9 Wiraswasta 19,7 PetaniNelayanBuruh 8,2 Lainnya 20,5 Klasifikasi Daerah Perkotaan 24,5 Perdesaan 15,3 Tingkat pengeluaran perkapita Kuintil-1 15,6 Kuintil-2 17,6 Kuintil-3 18,9 Kuintil-4 21,3 Kuintil-5 26,5 IMT = indeks massa tubuh LP= lingkar perut Menurut kelompok umur, prevalensi obesitas sentral cenderung meningkat sampai kelompok umur 45-54 tahun 27,8 untuk selanjutnya berangsur menurun. Prevalensi obesitas sentral pada perempuan 30,4 jauh lebih tinggi dibandingkan laki-laki 9,2.Berdasarkan tingkat pendidikan terlihat prevalensi tertinggi pada kategori pendidikan tamat perguruan tinggi yaitu sebesar 30,2. Untuk tingkat pendidikan yang lebih rendah prevalensinya bervariasi antara 17,8-21,8. Berdasarkan pekerjaan, maka prevalensi tertinggi obese sentral terjadi pada ibu rumah tangga selanjutnya pada pegawai. Prevalensi 34 di daerah perkotaan 24,5 lebih tinggi dibandingkan di pedesaan 15,3. Semakin meningkat tingkat pengeluaran rumah tangga per kapita per bulan prevalensi obesitas sentral juga cenderung makin tinggi. Tabel 3.17 menyajikan gambaran masalah gizi pada WUS yang diukur dengan LILA. Untuk menggambarkan adanya risiko kurang enegi kronis KEK dalam kaitannya dengan kesehatan reproduksi pada WUS digunakan ambang batas nilai rerata LILA dikurangi 1 SD, yang sudah disesuaikan dengan umur age adjusted. Tabel 3.18 menunjukkan prevalensi resiko KEK tertinggi di Provinsi Jawa Barat ditemukan di Kabupaten Cirebon 20,7 dan selanjutnya di Kabupaten Sukabumi 17,1. Prevalensi terendah didapatkan di Kota Depok yaitu 8,1. Tabel 3.17. Nilai Rerata LILA Wanita Umur 15-45 tahun, Riskesdas 2007 Umur Tahun Nilai Rerata LILA Rerata cm Standar Deviasi SD 15 23,8 2,62 16 24,2 2,57 17 24,4 2,53 18 24,6 2,62 19 24,7 2,60 20 24,9 2,72 21 25,0 2,78 22 25,1 2,80 23 25,4 2,92 24 25,6 2,94 25 25,8 2,98 26 25,9 2,98 27 26,1 3,04 28 26,3 3,10 29 26,4 3,14 30 26,6 3,17 31 26,7 3,17 32 26,8 3,16 33 26,9 3,23 34 27,0 3,24 35 27,0 3,22 36 27,1 3,29 37 27,2 3,33 38 27,2 3,31 39 27,2 3,37 40 27,2 3,35 41 27,3 3,32 42 27,4 3,37 43 27,3 3,35 44 27,4 3,32 45 27,2 3,41 Tabel 3.18 Prevalensi Risiko KEK Penduduk Wanita Umur 15-45 Tahun Menurut KabupatenKota di Provinsi Jawa Barat, Riskesdas 2007 35 KabupatenKota Risiko KEK Kab.Bogor 10,7 Kab.Sukabumi 17,1 Kab.Cianjur 12,5 Kab.Bandung 11,9 Kab.Garut 10,3 Kab.Tasikmalaya 9,8 Kab.Ciamis 13,9 Kab.Kuningan 14,5 Kab.Cirebon 20,7 Kab.Majalengka 8,5 Kab.Sumedang 15,7 Kab.Indramayu 11,6 Kab.Subang 10,2 Kab.Purwakarta 13,7 Kab.Karawang 9,3 Kab.Bekasi 8,7 Kota Bogor 10,2 Kota Sukabumi 9,9 Kota Bandung 11,3 Kota Cirebon 15,9 Kota Bekasi 11,7 Kota Depok 8,1 Kota Cimahi 15,8 Kota Tasikmalaya 13,1 Kota Banjar 13,1 JAWA BARAT 12,0

3.2.4. Konsumsi Energi Dan Protein

Prevalensi rumah tangga dengan masalah konsumsi ‖energi rendah‖ dan ‖protein rendah‖ dari data Riskesdas 2007 diperoleh berdasarkan jawaban responden untuk makanan yang di konsumsi anggota rumah tangga ART dalam waktu 1 x 24 jam yang lalu. Responden adalah ibu rumah tangga atau anggota rumah tangga lain yang biasanya menyiapkan makanan di rumah tangga RT tersebut. Rumah tangga dengan konsumsi ‖energi rendah‖ adalah bila RT dengan konsumsi energi di bawah rerata konsumsi energi nasional dari data Riskesdas 2007. Sedangkan RT dengan konsumsi ‖protein rendah‖ adalah bila RT dengan konsumsi protein di bawah rerata konsumsi energi nasional dari data Riskesdas 2007. Data konsumsi Riskesdas 2007 diperoleh berdasarkan jawaban responden untuk makanan yang di konsumsi anggota rumah tangga ART dalam waktu 1 x 24 jam yang lalu. Responden adalah ibu rumah tangga atau anggota rumah tangga lain yang biasanya menyiapkan makanan di rumah tangga tersebut. Penetapan rumah tangga RT defisit energi berdasarkan angka rerata konsumsi energi per kapita per hari dari data Riskesdas 2007. Selanjutnya dalam penulisan disajikan angka rerata konsumsi energi dan protein per kapita per hari yang diperoleh dari data konsumsi rumah tangga dibagi jumlah anggota rumah tangga yang telah distandarisasi menurut umur dan jenis kelamin, serta sudah dikoreksi 36 dengan tamu yang ikut makan . Tabel 3.20. adalah informasi prevalensi RT yang konsumsi energi dan protein dibawah angka rerata nasional dari data Riskesdas 2007 menurut provinsi; Tabel 3.22 informasi tentang prevalensi RT yang konsumsi energi dan protein dibawah angka rerata nasional dari data Riskesdas 2007 menurut klasifikasi desa kotadesa dan kuintil pengeluaran RT. Rata-rata konsumsi per kapita per hari penduduk Indonesia adalah 1735,1 kkal untuk energi dan 55,5 gram untuk protein. Rata-rata konsumsi penduduk Jawa Barat lebih rendah dibandingkan angka nasional yaitu 1636,7 kkal untuk energi dan 53,8 gram untuk protein. Wilayah dengan angka konsumsi energi terendah adalah Kota Bekasi 1416,2 kkal dan dengan angka konsumsi energi tertinggi adala Kabupaten Kuningan 1981,2 kkal. Kabupaten dengan konsumsi protein terendah adalah Majalengka 46,5 gram dan dengan konsumsi protein tertinggi adalah Kuningan 65,7 gram Tabel 3.19 Konsumsi Energi dan Protein Per Kapita per Hari Menurut KabupatenKota Di Provinsi Jawa Barat, Riskesdas 2007 Energi Protein KabupatenKota Rata-rata SD Rata-rata SD Kab. Bogor 1594.3 583.8 51.8 22.4 Kab. Sukabumi 1611.9 622.8 54.1 23.8 Kab. Cianjur 1718.5 644.3 52.1 23.3 Kab. Bandung 1613.6 570.6 56.2 25.5 Kab. Garut 1712.2 671.8 51.7 25.5 Kab. Tasikmalaya 1299.8 533.4 38.4 20.9 Kab. Ciamis 1646.5 602.4 48.4 23.0 Kab. Kuningan 1981.2 736.2 65.7 28.3 Kab. Cirebon 1522.5 544.5 53.0 24.2 Kab. Majalengka 1519.6 582.1 46.5 19.8 Kab. Sumedang 1807.8 687.6 61.0 28.1 Kab. Indramayu 1802.4 486.2 56.3 19.5 Kab. Subang 1842.9 557.7 55.2 19.6 Kab. Purwakarta 1491.2 616.1 57.6 26.6 Kab. Karawang 1799.9 651.8 58.9 24.2 Kab. Bekasi 1516.6 528.1 48.1 20.5 Kota Bogor 1674.2 609.4 58.6 26.0 Kota Sukabumi 1610.8 583.4 54.6 23.7 Kota Bandung 1687.2 648.4 61.2 26.6 Kota Cirebon 1604.7 579.2 52.1 23.5 Kota Bekasi 1416.3 485.0 51.5 21.7 Kota Depok 1553.6 651.2 57.5 26.4 Kota Cimahi 1623.4 614.9 55.4 23.6 Kota Tasikmalaya 1836.2 656.8 60.0 28.1 Kota Banjar 1811.5 638.2 55.3 24.4 Jawa Barat 1636.7 615.7 53.8 24.3 Data pada tabel 3.20 menunjukkan bahwa prevalensi RT dengan konsumsi energi dan protein dibawah rerata nasional masing-masing sebesar 63,1 dan 61,1. Persentase tertinggi untuk rerata konsumsi energi adalah di Kota Bekasi, 78,5 sedangkan untuk 37 protein di Kabupaten Majalengka 74,5. Sebaliknya prevalensi terendah untuk energi dan protein adalah di Kabupaten Kuningan 42,5 dan 42,8. Tabel 3.20. Persentase RT dengan Konsumsi Energi dan Protein Lebih Rendah dari Rerata Nasional Menurut KabupatenKota Di Provinsi Jawa Barat, Riskesdas 2007 KabupatenKota Persentase RT Energi Protein Kab. Bogor 65.9 64.8 Kab. Sukabumi 65.0 61.1 Kab. Cianjur 59.2 63.3 Kab. Bandung 65.4 56.9 Kab. Garut 59.4 65.5 Kab. Tasikmalaya 85.1 84.3 Kab. Ciamis 64.6 70.3 Kab. Kuningan 42.5 42.8 Kab. Cirebon 70.4 62.6 Kab. Majalengka 72.3 74.5 Kab. Sumedang 52.7 51.2 Kab. Indramayu 48.6 52.7 Kab. Subang 47.1 59.8 Kab. Purwakarta 67.2 53.5 Kab. Karawang 52.4 50.7 Kab. Bekasi 71.2 72.2 Kota Bogor 61.9 53.2 Kota Sukabumi 63.4 57.8 Kota Bandung 58.3 49.5 Kota Cirebon 64.4 64.4 Kota Bekasi 78.5 66.4 Kota Depok 67.3 54.6 Kota Cimahi 64.8 56.5 Kota Tasikmalaya 49.0 52.2 Kota Banjar 51.3 57.8 Jawa Barat 63.1 61.1 Catatan: Berdasarkan angka rerata konsumsi energi 1735,5 kkal dan Protein 55,5 gram dari data Riskesdas 2007 Tabel 3.21 menunjukkan bahwa persentase RT di perkotaan dengan konsumsi ―energi rendah‖ lebih tinggi dari RT di perdesaan, sebaliknya persentase RT di perdesaan dengan konsumsi ―protein rendah‖ lebih tinggi dari RT di perkotaan. Persentase RT dengan konsumsi ―energi rendah‖ dan ― protein rendah‖ menurut tingkat pengeluaran RT per kapita menunjukkan pola yang spesifik, yaitu semakin tinggi tingkat pengeluaran RT per kapita, semakin rendah persentase RT dengan konsumsi ―energi rendah‖ dan ―protein rendah‖. 38 Tabel 3.21 Persentase RT dengan Konsumsi Energi dan Protein Lebih Rendah dari Rerata Nasional Menurut Karakteristik Responden dan KabupatenKota Di Provinsi Jawa Barat, Riskesdas 2007 Karakteristik Responden Persentase RT Energi Protein Klasifikasi desa Kota 65,3 58,9 Desa 60,8 63,3 Pengeluaran RT per bulan per kapita Kuintil – 1 70,2 71,9 Kuintil – 2 64,4 65,8 Kuintil – 3 63,3 61,6 Kuintil – 4 61,1 58,0 Kuintil – 5 56,1 47,8 Catatan: Berdasarkan angka rerata konsumsi energi 1735,5 kkal dan Protein 55,5 gram dari data Riskesdas 2007

3.2.5. Konsumsi Garam Beriodium

Informasi mengenai konsumsi garam beriodium pada Riskesdas 2007 diperoleh dari hasil isian pada kuesioner Blok II No 7 yang diisi dari hasi tes cepat garam iodium. Tes cepat dilakukan oleh petugas pengumpul data dengan mengunakan kit tes cepat garam ditetesi larutan tes pada garam yang digunakan di rumah-tangga. Rumah tangga dinyatakan mempunyai ―garam cukup iodium ≥30 ppm KIO 3 ‖ bila hasil tes cepat garam berwarna biruungu tua; mempunyai ―garam tidak cukup iodium ≤30 ppm KIO 3 ‖ bila hasil tes cepat garam berwarna biruungu muda; dan dinyatakan mempunyai ―garam tidak ada iodium‖ bila hasil tes cepat garam di rumah-tangga tidak berwarna. Disamping itu, secara nasional juga dikumpulkan sampel garam dari 30 kabupatenkota yang dkonsumsi oleh rumah tangga untuk dilakukan pengecekan kadar iodiumnya dengan metode titrasi. Bersamaan dengan sampel garam rumah tangga tersebut, dikumpulkan urin dari anak usia 6-12 tahun untuk dilakukan pengecekan kadar iodium dalam urin. Pada penulisan laporan ini yang disajikan adalah hasil tes cepat, dan hasil pemeriksaan kadar iodium dalam garam melalui titrasi serta hasil pemeriksaan urin. Dari hasil tes cepat yang disajikan hanya yang mempunyai garam cukup iodium 30 ppm KIO 3 . Tabel 3.22 memperlihatkan persentase rumah tangga yang mempunyai garam cukup iodium 30 ppm KIO 3 menurut kabupatenkota. Secara umum di Provinsi Jawa Barat baru sebanyak 58,6 rumah tangga mempunyai garam cukup iodium. Pencapaian ini masih jauh dari target nasional 2010 maupun target ICCIDDUNICEFWHO Universal Salt Iodization USI atau ―garam beriodium untuk semua‖ yaitu minimal 90 rumah-tangga menggunakan garam cukup iodium. Baru satu daerah yaitu Kota Bandung dengan pencapaian 90 rumah tangga. Tabel 3.23 memperlihatkan persentase rumah-tangga mempunyai garam cukup iodium menurut karakteristik responden. Dilihat dari tingkat pendidikan, tampaknya tidak ada pengaruh antara tingkat pendidikan dengan rumah tangga yang mempunyai garam cukup iodium. Kepala keluarga yang tidak bekerja atau ibu rumah tangga merupakan rumah tangga dengan persentase tinggi dibandingkan jenis pekerjaan lainnya baik sebagai PNS, swasta, petani dan lain-lain. Berdasarkan tempat tinggal, persentase rumah-tangga yang mempunyai garam cukup iodium di perkotaan lebih tinggi dibandingkan di perdesaan. Menurut tingkat pengeluaran rumah tangga per kapita per bulan tampak kecenderungan semakin tinggi persentase yang mempunyai garam cukup iodium sejalan dengan meningkatnya pengeluaran per kapita. 39 Tabel 3.22 Persentase Rumah-Tangga yang Mempunyai Garam Cukup Iodium Menurut KabupatenKota Provinsi Jawa Barat 1 , Riskesdas 2007. KabupatenKota Rumah-tangga mempunyai garam cukup iodium Kab.Bogor 55,6 Kab.Sukabumi 36,2 Kab.Cianjur 47,2 Kab.Bandung 67,3 Kab.Garut 46,5 Kab.Tasikmalaya 59,1 Kab.Ciamis 58,4 Kab.Kuningan 77,0 Kab.Cirebon 61,9 Kab.Majalengka 63,5 Kab.Sumedang 67,8 Kab.Indramayu 53,8 Kab.Subang 63,0 Kab.Purwakarta 50,9 Kab.Karawang 33,9 Kab.Bekasi 34,0 Kota Bogor 86,2 Kota Sukabumi 46,2 Kota Bandung 93,0 Kota Cirebon 79,8 Kota Bekasi 56,5 Kota Depok 71,2 Kota Cimahi 84,3 Kota Tasikmalaya 70,2 Kota Banjar 40,5 JAWA BARAT 58,6 40 Tabel 3.23 Persentase Rumah-Tangga Mempunyai Garam Cukup Iodium Menurut Karakteristik Responden di Provinsi Jawa Barat, Riskesdas 2007 Karakteristik Responden Rumah-tangga mempunyai garam cukup iodium Pendidikan Kepala Keluarga Tidak Sekolah 56,5 Tidak Tamat SD 59,1 Tamat SD 58,8 Tamat SMP 58,9 Tamat SLTA 58,4 SLTA+ 59,2 Pekerjaan Kepala Keluarga Tidak Bekerja 63,3 Ibu Rumahtangga 62,2 PNSPolri TNI 57,2 WiraswastaSwasta 57,7 Petani Buruh Nelayan 58,6 Lainnya 56,3 Tempat tinggal Perkotaan 70,4 Pedesaan 46,5 Tingkat pengeluaran perkapita Kuintil-1 48,4 Kuintil-2 53,0 Kuintil-3 58,7 Kuintil-4 62,9 Kuintil-5 70,2 3.3. KESEHATAN IBU DAN ANAK 3.3.1 Status Imunisasi Departemen Kesehatan melaksanakan Program Pengembangan Imunisasi PPI pada anak dalam upaya menurunkan kejadian penyakit pada anak. Program imunisasi untuk penyakit- penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi PD3I pada anak yang dicakup dalam PPI adalah satu kali imunisasi BCG, tiga kali imunisasi DPT, empat kali imunisasi polio, satu kali imunisasi campak dan tiga kali imunisasi Hepatitis B HB. Imunisasi BCG diberikan pada bayi umur kurang dari tiga bulan; imunisasi polio pada bayi baru lahir, dan tiga dosis berikutnya diberikan dengan jarak paling cepat empat minggu, imunisasi DPTHB pada bayi umur dua, tiga, empat bulan dengan interval minimal empat minggu, dan imunisasi campak paling dini umur sembilan bulan. Dalam Riskesdas, informasi tentang cakupan imunisasi ditanyakan pada ibu yang mempunyai balita umur 0 – 59 bulan. Informasi tentang imunisasi dikumpulkan dengan tiga cara yaitu : a. Wawancara kepada ibu balita atau anggota rumah-tangga yang mengetahui, b. Catatan dalam Kartu Menuju Sehat KMS, dan c. Catatan dalam Buku KIA. Bila salah satu dari ketiga sumber tersebut menyatakan bahwa anak sudah diimunisasi, disimpulkan bahwa anak tersebut sudah diimunisasi. 41 Selain untuk tiap-tiap jenis imunisasi, anak disebut sudah mendapat imunisasi lengkap bila sudah mendapatkan semua jenis imunisasi satu kali BCG, tiga kali DPT, tiga kali polio, tiga kali HB dan satu kali imunisasi campak. Oleh karena jadwal tiap jenis imunisasi berbeda, cakupan imunisasi yang dianalisis hanya pada anak usia 12 – 23 bulan. Cakupan imunisasi pada anak umur 12 – 23 bulan dapat dilihat pada empat tabel berikut. Tabel 3.24 menunjukkan tiap jenis imunisasi yaitu BCG, tiga kali polio, tiga kali DPT, tiga kali HB, dan campak menurut kabupatenkota dan karakteristik. Tabel 3.25 dan 3.26 adalah cakupan imunisasi lengkap pada anak, yang merupakan gabungan dari tiap jenis imunisasi yang didapatkan oleh seorang anak. Tidak semua balita dapat diketahui status imunisasi missing. Hal ini disebabkan karena beberapa alasan, yaitu ibu lupa anaknya sudah diimunisasi atau belum, ibu lupa berapa kali sudah diimunisasi, ibu tidak mengetahui secara pasti jenis imunisasi, catatan dalam KMS tidak lengkaptidak terisi, catatan dalam Buku KIA tidak lengkaptidak terisi, tidak dapat menunjukkan KMS Buku KIA karena hilang atau tidak disimpan oleh ibu, subyek yang ditanya tentang imunisasi bukan ibu balita, atau ketidakakuratan pewawancara saat proses wawancara dan pencatatan. Tabel 3.24 Persentase Anak Umur 12-23 Bulan yang Mendapatkan Imunisasi Dasar menurut KabupatenKota di Provinsi Jawa Barat, Riskesdas 2007 KabupatenKota Jenis Imunisasi BCG POLIO 3 DPT 3 HB 3 CAMPAK Kab.Bogor 84,1 60,8 53,7 52,9 75,9 Kab.Sukabumi 90,1 76,3 63,2 55,6 76,3 Kab.Cianjur 63,6 37,4 23,0 22,7 56,0 Kab.Bandung 96,1 66,4 58,6 54,7 87,5 Kab.Garut 74,8 64,7 54,1 52,0 85,5 Kab.Tasikmalaya 88,1 66,7 62,0 62,3 83,5 Kab.Ciamis 96,2 69,0 60,3 53,3 88,8 Kab.Kuningan 96,1 81,8 76,9 79,8 94,1 Kab.Cirebon 88,9 67,5 60,8 58,0 88,3 Kab.Majalengka 97,0 76,0 69,4 74,6 96,9 Kab.Sumedang 96,8 96,2 89,4 84,4 100,0 Kab.Indramayu 84,3 54,1 44,2 37,6 74,8 Kab.Subang 89,1 61,1 51,1 48,3 83,1 Kab.Purwakarta 71,0 53,7 31,2 30,6 72,0 Kab.Karawang 79,4 61,8 31,8 32,2 69,2 Kab.Bekasi 83,9 61,1 48,9 47,5 74,1 Kota Bogor 95,7 77,8 77,3 73,1 96,6 Kota Sukabumi 95,8 72,5 68,4 67,2 89,7 Kota Bandung 98,7 84,4 86,7 82,8 94,9 Kota Cirebon 96,4 81,3 79,3 74,1 92,9 Kota Bekasi 83,8 78,9 68,5 62,2 93,8 Kota Depok 93,9 77,3 66,1 66,9 93,2 Kota Cimahi 97,7 84,7 81,2 75,8 89,3 Kota Tasikmalaya 97,1 64,2 48,7 51,8 77,5 Kota Banjar 93,5 90,3 84,8 84,6 92,5 Jawa Barat 88,3 69,0 60,3 58,1 83,9 Secara keseluruhan, cakupan imunisasi yang tertinggi adalah imunisasi BCG 88,3 dan terendah adalah imunisasi DPT tiga kali 60,3. Sebanyak 25 kabupatenkota yang berada di wilayah Jawa Barat, 21 kabupatenkota telah mencapai cakupan imunisasi BCG sesuai target nasional, kecuali Kabupaten Cianjur 63,6, Kabupaten Garut 74,8, Kabupaten Purwakarta 71,0, dan Kabupaten Karawang 79,4.