Pemikiran dan aktivitas dakwah Habib abu bakar assegaf( pimpinan yayasan Tsaqofah islamiyah,bukit duri tebet,jakarta selatan )

(1)

12

BUKIT DURI, TEBET, JAKARTA SELATAN)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I.)

Oleh Wida Maulida NIM: 106051001899

JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1432 H./ 2011 M.


(2)

ABSTRAK

Wida Maulida (106051001899)

Pemikiran Dan Aktifitas Dakwah Habib Abu Bakar Assegaf (Pimpinan Yayasan Tsaqofah Islamiyah, BukitDuri, Tebet, Jakarta Selatan)

Dakwah merupakan usaha memindahkan umat dari situasi negatif ke situasi yang positif, seperti dari situasi kekufuran kepada keimanan, dari kemelaratan kepada kemakmuran, dari perpecahan kepada persatuan, dari kemaksiatan kepada ketaatan untuk mencapai keridhaan Allah SWT. Dakwah juga merupakan suatu aktifitas yang bersentuhan dengan manusia dan kemanusiaan. Oleh karena itu, dakwah membutuhkan seorang pengarah atau da‟i yang berwawasan luas dan memiliki pemahaman yang dalam akan perangkat yang dibutuhkan. Sukses atau tidaknya dakwah tersebut,

tergantung bagaimana cara da‟i menyampaikan dakwahnya.

Habib Abu Bakar Assegaf adalah seorang da‟i keturunan Arab yang mampu mengeksistensikan dirinya dalam bidang dakwah ini. Tidak hanya pandai berpidato diatas mimbar, sosok Habib Abu Bakar Assegaf yang sangat tawaddhu‟ ini juga sukses membangun kiprahnya yang berdedikasi dibidang dakwah. Kegigihan dan semangatnya dalam menegakkan dakwah Islam pantas dijadikan sebuah teladan.

Penulis membatasi masalah pada pemikiran dan aktifitas dakwah Habib Abu Bakar Assegaf dalam memerankan dakwah Islam di Indonesia, dari batasan tersebut merumuskan masalahnya sebagai berikut: Bagaimana pemikiran dakwah Habib Abu Bakar Assegaf? dan Apa saja aktivitas dakwah Habib Abu Bakar Assegaf ?

Metode yang digunakan ialah metode deskriptif analitik dengan mencoba memaparkan atau menggambarkan tentang pemikiran dan aktivitas dakwah Habib Abu Bakar Assegaf. Penelitian ini mengambil sumber data dari hasil penelitian kepustakaan

(library research), observasi dan wawancara.

Dakwah Habib Abu Bakar Assegaf adalah dakwah yang mengedepankan nilai-nilai ketauhidan (pemantapan keimanan) dan akhlak, yang kesemuanya dilakukan dengan melalui berbagai media serta metode sebagai wadah untuk menyampaikan pemikiran dakwahnya.


(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Assalamu‟alaikum, Wr, Wb

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya murni penulis sendiri tanpa ada duplikasi dan campur tangan karya orang lain, yang penulis ajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu (S1) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; 2. Adapun berbagai referensi dalam tulisan yang dikutip oleh penulis terhadap karya

orang lain telah dicantumkan dalam footnote dan daftar pustaka;

3. Jika dikemudian hari terbukti dan terjadi hal-hal yang merugikan pihak lain, bahwa karya ini bukan hasil karya murni penulis atau merupakan hasil duplikasi dari karya orang lain, maka penulis bersedia menerima sanksi akademis yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Wassalamu‟alaikum Wr. Wb

Ciputat, 30 Maret 2011

Wida Maulida 106051001899


(4)

KATA PENGANTAR

Tiada kata yang patut kita lantunkan selain puji syukur kehadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha Agung yang dengan limpahan anugerah dan nikmat yang tak terukur kepada kami selaku peneliti, sehingga dapat memulai dan menyelesaikan laporan penelitian ini. Shalawat teriring salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan baginda Nabi Besar Muhammad SWT . Amien

Peneliti menyadari adanya kekurangan dan kelemahan yang melekat pada diri peneliti, khususnya pada penyelesaian skripsi ini. Namun Alhamdulillah dengan keterbatasan dan kekurangan ini akhirnya peneliti bisa menyelesaikan penelitian ini. Hal ini tidak terwujud sendirinya melainkan karena dukungan dan bantuan dari banyak pihak baik moril maupun materi, sehingga banyak ucapan terimakasih peneliti ucapkan kepada:

1. Dr. H. Arief Subhan, MA .Selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Pembantu Dekan Bid. Akademik Drs. H. Wahidin Saputra, MA, Pembantu Dekan bid. Adm. Umum Drs. Mahmud Jalal MA, Pembantu Dekan Bid. Kemahasiswan Drs. Studi Rizal LK, MA;

2. Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Drs. Jumroni, M.SI yang telah memberikan sarana dan prasarana yang baik selama peneliti berada di kampus ini;


(5)

3. Bapak Prof. Dr. H.M. Yunan Yusuf selaku pembimbing yang telah meluangkan waktunya ditengah kesibukannya untuk membimbing peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini dengan baik;

4. Sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Ibu Hj. Umi Musyarofah, MA yang telah membantu peneliti selama masa kuliah untuk menyelesaikan nilai akademis di kampus tercinta ini;

5. Bapak, Ibu dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi sebagai penguji skripsi yang telah membimbing penulis merevisi skripsi dalam rangka penyempurnaan skripsi yang sesuai dengan konsep metodelogi dan pedoman penulisan skripsi

6. Seluruh Bapak, Ibu Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, khususnya Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam yang telah memberikan wawasan ke-ilmuan, mendidik dan mengarahkan peneliti selama peneliti berada pada masa kuliah;

7. Bapak, Ibu Pengawas Perpustakaan Utama, khususnya Perpustakaan Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang telah membantu peneliti dalam mencari referensi berupa buku-buku yang menunjang dalam skripsi ini;

8. Habib Abu Bakar Assegaf beserta Keluarga dan seluruh Pihak Yayasan Tsaqofah Islamiyah Bukit Duri Tebet, Jakarta Selatan yang telah membantu peneliti dalam menyediakan wadah bagi peneliti untuk melakukan penelitian ini; 9. Keluarga Tercinta, Ayahanda H. Djamaluddin, Ibunda Hj. Hindun, Umiy Maimunah dan Adik-adikku Saifullah, Mukhsein, Fathimah dan Zahrah, serta Tante-tanteku yang cantik Fauziah dan Nazilah Nuzulul Qur‟an yang telah


(6)

memberikan dukungan berupa materi serta do‟a yang tulus kepada peneliti

dalam menyelesaikan skripsi ini;

10.Sahabat-sahabat KPI D angkatan 2006 yang telah memberi dukungan dan ikatan persahabatan menjadi kekeluargaan selama peneliti berada dimasa kuliah, kebahagiaan serta keakraban yang tidak akan terlupakan;

11.Kepada saudari-saudariku Remaja Putri MT Arridho serta Keluarga besar team KKN RB 2009 khususnya Laskar MC (Muhasabah Cinta) yang telah

memberikan semangat, dorongan dan do‟a yang tulus kepada peneliti dalam

menyelesaikan skripsi ini;

12.Serta Pihak-pihak yang telah membantu peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu namun tidak mengurangi rasa hormat dan ucapan terimakasih kepada mereka semua.

Peneliti merasa perlu memberikan ucapan Jazakumulloh khoir khoirul Jaza‟ (semoga Allah membalas jasa-jasa kalian dengan semulia-mulia balas jasa) dan juga ucapan terimakasih yang sebanyak-banyaknya kepada mereka yang telah peneliti

sebutkan di atas, berkat dukungan, semangat, serta do‟a yang tulus kepada peneliti

dalam menyelesaikan skripsi ini. Tentu saja skripsi ini jauh dari nilai kesempurnaan, namun besar harapan peneliti bahwa skripsi ini dapat memberi manfaat khususnya bagi peneliti dan umumnya bagi pembaca. Amien.

Ciputat, 30 Maret 2011

Wida Maulida 106051001899


(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

LEMBAR PERNYATAAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

1.4 Metode Penelitian ... 6

1.5 Tinjauan Pustaka ... 8

1.6 Sistematika Penulisan ... 10

BAB II TINJAUAN TEORI 1.1 Pengertian Pemikiran ... 12

1.2 Pengertian Aktivitas ... 15

1.3 Dakwah Islam 1.3.1 Pengertian Dakwah ... 17

1.3.2 Tujuan Dakwah ... 19

1.3.3.Unsur-unsur Dakwah ... 24

1.3.4.Pengertian Habib ... 29

BAB III BIOGRAFI HABIB ABU BAKAR ASSEGAF DAN SEJARAH PERKEMBANGAN YAYASAN TSAQOFAH ISLAMIYAH 1.1 Latar Belakang Kehidupan dan Keluarga Habib Abu Bakar Assegaf ... 35

1.2 Gamabaran Umum Perkembangan yayasan Tsaqofah Islamiyah ... 40


(8)

BAB IV PEMIKIRAN DAN AKTIVITAS DAKWAH HABIB ABU BAKAR ASSEGAF

1.1.Pemikiran Dakwah Habib Abu Bakar Assegaf

1.1.1. Pengertian Dakwah ... 48

1.1.2. Da‟I ... 51

1.1.3. Mad‟u ... 55

1.1.4. Maudhu‟(Materi) Dakwah ... 57

1.1.4. Wasilah (Media) Dakwah ... 60

1.1.5. Thoriqoh (Metode) Dakwah ... 63

1.1.6. Atsar (Efek) Dakwah ... 65

1.2.Aktivitas Dakwah Habib Abu Bakar Assegaf ... 66

1.2.1. Bidang Pendidikan ... 67

1.2.2. Ceramah Agama ... 71

1.2.3. Bidang Kaderisasi ... 73

1.2.4. Bidang Sosial ... 76

BAB V PENUTUP 1.1.Kesimpulan ... 78

1.2.Saran ... 80

DAFTAR PUSTAKA Lampiran-lampiran


(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Islam masuk ke Indonesia pada tahun 30 H di zaman khalifah Utsman bin Affan.1 Kemudian dari hasil seminar masuknya islam ke Indonesia yang diselenggarakan dari tanggal 17-20 maret 1963 dikota Medan, dihasilkan beberapa keputusan, diantaranya bahwa masuknya Islam di Indonesia pertama kali pada abad pertama hijriah (antara abad VIII dan IX Masehi).2

Masuknya Islam ke Indonesia dengan berbagai cara, mulai dari cara berdagang, pernikahan dengan warga Indonesia dan dengan dakwah sendiri. Dalam ajaran Islam, dakwah merupakan suatu kewajiban yang dibebankan oleh agama kepada pemeluknya. Dakwah juga merupakan satu bagian yang pasti ada dalam kehidupan ummat beragama. Kewajiban dakwah didasarkan atas suatu ajaran bahwa Islam adalah agama risalah untuk ummat manusia seluruhnya. Sedangkan ummat Islam merupakan pelaksana amanat untuk menentukan risalah dengan dakwah, baik kepada ummat Islam itu sendiri maupun kepada ummat lainnya sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing.

Usaha untuk menyebarluaskan dan merealisasikan ajaran Islam di tengah-tengah kehidupan ummat adalah merupakan usaha dakwah yang dalam keadaan bagaimanapun

1

Al-habib Alwi bin Thohir Al-Hadad, Sejarah Masuknya Islam Di Timur Tengah, (Jakarta: Lentera, 2001) hlm.150

2

Dr. Muhammad Hasan Al-aydrus, Penyebaran Islam di Asia Tenggara, (Jakarta: lentera, 1996) hlm.53


(10)

dan dimanapun harus dilakukan oleh ummat Islam, baik kepada ummat yang sama maupun kepada umat yang lainnya, ataupun selaku perorangan maupun kolektif sesuai dengan kemampuan masing-masing. Sebagaimana firman Allah swt:

ﷲ۵ ۹ ݌ ݕ ݎ ݋ ۭ ۿ ݕܕ ݂ ݎ ݋ ݇۴ ݌ ܲ ݍ ݕ ݓ ݎ ۿ ݕ ܹ ݕ ܕ ۫ ݋ ݇۵ ۹ ݍ ݕ ܕ ݋ ۫ ۿ ܙ ۵ڰݏ݇ ݇ ۽ ܆ܕ ܏ ۴ ۻڰ݊ ۴ ܕ ݚ ܏ ݉ ۾ ݎ ݂ Artinya:

Kamu adalah sebaik-baik ummat, dilahirkan untuk (kemaslahatan) manusia, kamu mengajak kepada kebaikan, dan kamu mencegah dari kemungkaran serta kamu beriman kepada Allah swt (QS. Ali Imran: 110).

Secara tidak langsung ayat diatas memerintahkan kepada kita sebagai seorang muslim untuk berdakwah, yaitu dengan memberikan sebuah nasihat-nasihat atau fatwa-fatwa yang baik, yang menghindarkan manusia dari berbuat kemungkaran.

Amar ma‟ruf nahi mungkar adalah syarat mutlak bagi kesempurnaan dan keselamatan hidup bermasyarakat. Ini adalah kewajiban dari pembawaan fitrah manusia sebagai makhluk sosial dan kewajiban yang ditegaskan oleh risalah, kitabullah dan sunnah rasul.3

Mengenai pelopor dakwah Islam nusantara, terdapat beberapa teori yang dikemukakan oleh para ahli, sebagaimana dikatakan oleh Prof. Dr. Muhammad Alwi Shihab ”bahwa teori pertama, mengatakan pelopor dakwah Islam pertama dari Persia.

3


(11)

Teori kedua mengatakan bahwa, pelopor dakwah Islam pertama dari India. Teori ketiga, mengatakan bahwa pelopor dakwah Islam adalah dari Arab.”4

Namun Alwi Shihab, lebih lanjut menyimpulkan bahwa diatara ketiga teori diatas yang memiliki argumentasi paling kuat adalah teori ketiga, yang mengatakan bahwa pelopor dakwah Islam pertama di nusantara adalah dari Arab. Bukti yang memperkuat kesimpulan ini adalah tulisan orientalis mengenai keberadaan orang-orang Arab di wilayah nusantara. Diantaranya, Van Leur, yang Mengatakan bahwa terdapat berbagai indikasi yang mengesankan adanya perkampungan-perkampungan atau keluarga besar Arab dipantai barat Sumatra sejak tahun 674M.5

Mengenai “pembawa” Islam pertama dinusantara, Prof. Azyumardi Azra, mengemukakan “teori Arab” yang mengatakan bahwa penyebaran Islam di nusantara dibawa langsung dari Arabia, yang juga disepakati oleh sebagian ahli di Indonesia. Bahkan dalam seminar yang diselenggarakan pada tahun 1969 dan 1978, tentang kedatangan Islam ke Indonesia, mereka menyimpulkan bahwa: Islam datang dari Arabia, tidak dari India, tidak pada abad ke-12 atau ke-13, melainkan dalam abad pertama hijriah atau abad ke-7 masehi.6

Merupakan sebuah kenyataan bahwa Islam datang dengan cara damai, tanpa kampanye atau dukungan pemerintah. Dakwah Islam kemudian dilanjutkan oleh para da‟i keturunan Arab. Ahmad Syalabi mengatakan bahwa perkembangan Islam menjadi

4

Alwi Shihab, Islam Sufistik: Islam Pertama Dan Pengaruhnya Hingga Kini Di Indonesia, (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 8

5

Ibid, Alwi Shihab, hlm. 13

6

Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 2


(12)

jelas pada abad ketiga belas melalui para dai yang terkenal dengan gelar wali songo, kebanyakan dari mereka berasal dari keturunan Arab.

Masyarakat keturunan Arab di Indonesia tidak dapat disamakan dengan orang asing lain seperti, orang Cina dan Eropa. Orang-orang Arab bukan saja beragama Islam, akan tetapi mereka juga mempunyai faktor yang menyebabkan mereka dekat dengan orang Indonesia.7

Ketika terjadi proses asimilasi baik sosial maupun budaya antara masyarakat pribumi dengan masyarakat keturunan Arab, mulailah dibentuk sebuah kelembagaan yang pada intinya adalah menampung aspirasi masyarakat keturunan Arab.

Salah satu da‟i keturunan Arab yang mampu mengeksistensikan dirinya dalam bidang dakwah ini profilnya sudah tidak asing lagi di kalangan umat Islam di Jakarta. Karena beliau adalah salah satu putra seorang ulama besar, beliau juga seorang da‟i yang sangat disegani oleh para muridnya. Tidak hanya pandai berpidato diatas mimbar, sosok Habib Abu Bakar Assegaf juga sukses membangun kiprahnya yang berdedikasi dibidang dakwah. Selain itu, beliau juga sekarang menjabat sebagai pimpinan Yayasan Tsaqafah Islamiyah dijalan Perkutut Bukit Duri - Tebet, Jakarta Selatan. Oleh karena itu, tidak diragukan lagi banyak orang beranggapan bahwa beliau adalah salah satu da‟i yang sukses dalam dakwahnya.

Yayasan Tsaqofah Islamiyah juga merupakan salah satu dari beberapa lembaga penyiaran Islam tertua di Jakarta. Dalam bahasa lokal sering disebut sebagai pengajiannya orang Betawi. Karena, hanya memfokuskan diri sebagai majelis ta‟lim

7


(13)

umum yang menggunakan metode pengajaran kitab kuning, kitab-kitab salaf dan ceramah dari para pengajar. Selain itu juga sangat aktif membuat kegiatan-kegiatan dalam menyambut setiap perayaan hari-hari besar islam.

Mengingat dan melihat banyaknya aktifitas dakwah Habib Abu Bakar Assegaf sebagai pengasuh Yayasan Tsaqofah Islamiyah ini, maka penulis tertarik dan tergugah untuk mengadakan penelitian mengenai pemikiran dan aktifitas dakwah Habib Abu Bakar Assegaf sebagai pengasuh Yayasan Tsaqofah Islamiyah, Bukit Duri Tebet, Jakarta Selatan. Secara khusus, skripsi ini menitikberatkan pada penelitian yang berjudul ”Pemikiran dan Aktivitas Dakwah Habib Abu Bakar Assegaf”

B. PEMBATASAN DAN PERUMUSAN MASALAH

1. Pembatasan Masalah

Untuk mempermudah penulis dalam membuat skripsi ini, maka perlu adanya pembatasan masalah yang difokuskan pada kajian analisis mengenai pemikiran dan aktifitas dakwah Habib Abu bakar Assegaf.

2. Perumusan Masalah

Adapun masalah yang akan penulis bahas dalam skripri ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

a. Bagaimana pemikiran dakwah Habib Abu Bakar Assegaf ? b. Apa saja aktifitas dakwah Habib Abu Bakar Assegaf ?


(14)

1. Tujuan Penelitian

Tujuan yang diharapkan dari penulisan skripsi ini adalah:

a. Mengetahui bagaimana pemikiran dakwah Habib Abu Bakar Assegaf ? b. Mengetahui apa saja aktifitas dakwah Habib Abu Bakar Assegaf ?

2. Manfaat Penelitian

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi perkembangan keilmuan dakwah Islam, terutama tentang aktifitas dakwah Islam seorang da‟i yang sukses dan membawa peningkatan multiguna bagi ummat Islam. Sekaligus dapat menambah khazanah keilmuan dakwah Islam. Seperti aktifitas dakwah Islam Habib Abu Bakar Assegaf dengan pengalaman, pengetahuan dan motivasinya terhadap dakwah Islam.

D. METODE PENELITIAN

Sesuai dengan masalah yang hendak diteliti, maka metode yang penulis gunakan untuk penelitian ini adalah kualitatif yaitu suatu metode penelitian yang dihasilkan dari data-data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar dan merupakan penelitian ilmiah.8 Pembahasan penulisan ini menggunakan metode deskriptif analitik, yaitu dengan cara memperoleh data dengan menerangkan, memberi gambaran dan mengklasifikasikan serta menginterpretasikan data yang terkumpul secara apa adanya yang kemudian disimpulkan dengan metode berikut:

8

Lexy, J. Moelong, Metodolgi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1997), cet, ke-10, hlm. 3


(15)

1. Subjek dan Objek Penelitian

Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah Habib Abu Bakar Assegaf.

Sedangkan yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah pemikiran dan aktifitas dakwah Habib Abu Bakar Assegaf.

2. Tehnik Pengumpulan Data

a. Observasi adalah pengamatan dan pencatatan yang sistematis terhadap gejala-gejala yang diteliti.9 Yaitu dengan melakukan pengamatan secara langsung terhadap subjek penelitian. Adapun yang penulis lakukan adalah mengadakan penelitian secara langsung terhadap aktifitas pengajian dan objek yang akan diteliti, dalam hal ini bertempat di Yayasan Tsaqofah Islamiyah, Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan. Pada hari Senin tanggal 09 Agutus hingga hari Rabu tanggal 13 Oktober 2010. b. Wawancara, adalah teknik dalam upaya menghimpun data yang akurat untuk keperluan melaksanakan proses pemecahan masalah tertentu yang sesuai dengan data. Data yang diperoleh dengan teknik ini adalah dengan cara tanya jawab secara lisan dan bertatap muka langsung antara pewawancara dangan narasumber. Dalam hal ini, mengingat penulis meneliti tentang seorang tokoh, maka menggunakan tenik wawancara

9

Husni Usman dan Purnomo Setiadi Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: Bumi Aksara, 1998) cet ke.2, hlm. 54.


(16)

yang mendalam terhadap Habib Abu Bakar Assegaf, ustadzah Marwiyah sebagai alumni yang masih aktif mengajar di Yayasan Tsaqofah Islamiyah tersebut, Fauziah selaku murid atau santriwati dan Nur Laila Sari sebagai warga biasa atau jamaah biasa diluar lingkungan Yayasan Tsaqofah Islamiyah.

c. Dokumentasi adalah pengabadian tentang suatu pristiwa penting yang mengandung keterangan penjelasan serta pemikiran tentang fenomena yang masih aktual. Dilakukan untuk memperoleh data sekunder dengan membaca buku-buku, referensi dan literatur yang relevan dengan pokok permasalahan.

3. Penentuan Lokasi

Lokasi penelitian ini mengambil lokasi dikediaman Habib Abu Bakar Assegaf yang terletak persis bersampingan dengan Yayasan Tsaqofah Islamiyah tepatnya di Jl. Perkutut Bukit Duri – Tebet, Jakarta Selatan. Penelitian ini dilakukan mulai dari bulan Agustus hingga Oktober 2010.

4. Analisis Data

Setelah data terkumpul, analisa dilakukan dengan teknik triangulasi, yaitu menggabungkan ketiga hasil data sementara dari observasi, dokumentasi dan wawancara. Kemudian dikumpulkan untuk dibuat kesimpulan. Kemudian data-data tersebut diolah atau direvisi kembali dengan menggunakan metode


(17)

deskriptif analisis, yaitu tujuannya adalah untuk membuat gambaran dalam tulisan secara ilmiah dan sistematis, faktual dan akurat.10

E. TINJAUAN PUSTAKA

Penelitian sebelumnya adalah melihat buku, makalah, skripsi dan orang-orang terdahulu. Dan juga mempunyai judul dan pembahasan yang sama atau hampir sama dengan judul yang saya bahas. Maksud tinjauan pustaka ini adalah agar dapat diketahui bahwa apa yang penulis teliti sekarang tidak sama dengan penelitian skripsi-skripsi terdahulu. Namun demikian, setelah peneliti meneliti dengan baik diperpustakaan utama dan perpustakaan Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN ternyata tidak terdapat skripsi atau tulisan lain tentang aktivitas dan pemikiran dakwah habib Abu Bakar Assegaf. Dengan demikian, judul skripsi penulis ini adalah merupakan studi tokoh yang terdapat persamaan dan perbedaan dengan penelitian terdahulu seperti kajian tokoh seperti:

1. PEMIKIRAN DAN AKTIVITAS DAKWAH KH. SYUKRON MAKMUN yang mengatakan bahwa seorang yang menyampaikan dakwah sesuai dengan kadar akal fikir yang didakwahi atau istilah lain disebut dengan likulli maqom

maqul, disamping lewat ceramah dan lembaga-lembaga dimana beliau berada

selain itu beliau juga mempunyai pengaruh yang kuat didunia politik.

2. PEMIKIRAN DAN AKTIVITAS DAKWAH USTAD JEFRI AL-BUKHARI DIKALANGAN SELEBRITIS yang mengatakan bahwa, adanya suatu ide atau gagasan yang seseorang yang dilandasi oleh Al-Quran dan Al-hadist serta

10


(18)

bercermin kepada kepribadian Rasulullah saw untuk mengajak dan merubah manusia ke jalan Allah tanpa adanya paksaan.

3. PEMIKIRAN DAN AKTIVITAS DAKWAH KH. DASUKI ADNAN yang mempunyai konsep pemikiran berdasar pada pengalaman hidup beliau dimana kemandirian ekonomi umat dan perbaikan moral generasi bangsa adalah hal utama yang mendesak, baginya memperdayakan masyarakat merupakan salah satu tujuan dakwah yang penting untuk dicapai. Ceramah adalah aktivitas pertama dan utama dalam pandangannya.

4. PEMIKIRAN DAN AKTIVITAS DAKWAH KH. HELMI ABDUL MUBIN yang mengatakan bahwa, kesinambungan antara tugas pokok seorang da‟i untuk menyampaikan kebaikan terhadap mad‟u tentang ke-Islaman yang sesuai dengan Syar‟i. Sehingga apa yang dilakukan dapat dibenarkan untuk kemudian mendapat respon aktif dengan keinginan tersebut tidaklah mudah untuk melakukan perubahan kebaikan dibutuhkan waktu yang cukup lama.

5. PEMIKIRAN DAN KIPRAH DAKWAH ANDI MAPETTANG FATWA yang mengatakan bahwa, di era yang serba praktis ini seorang da‟i harus mampu menjawab tantangan perkembangan zaman. Jika dibiarkan, maka proses penyebaran agama Islam akan tertinggal jauh sehingga akan berdampak buruk dimana umat akan melupakannya atau bahkan dibelokkan oleh orang-orang yang tidak suka dengan perkembangan Islam.

F. SISTEMATIKA PENULISAN

Untuk memudahkan pembahasan dan penulisan ini, maka penulis membagi dalam lima bab dengan sistematika sebagai berikut:


(19)

Bab I : Pendahuluan, membahas tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metode penelitian serta sistematika penulisan.

Bab II : Landasan Teoritis, Membahas tentang pengertian pemikiran, pengertian aktifitas, pengertian dakwah, metode dan tujuan dakwah dan pengertian habib.

Bab III : Biografi, latar belakang keluarga dan kehidupan Habib Abu Bakar Assegaf, dakwah Habib Abu Bakar Assegaf, latar belakang pendidikan Habib Abu Bakar Assegaf, dan menjelaskan gambaran umum serta sejarah perkembangan Yayasan Tsaqofah Islamiyah.

Bab IV : Analisis tentang pemikiran dan aktifitas dakwah Habib Abu Bakar Assegaf.


(20)

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. PENGERTIAN PEMIKIRAN

Secara etimologi, pemikiran berasal dari kata pikir yang berarti proses, cara atau perbuatan memikir: yaitu menggunakan akal budi untuk memutuskan suatu persoalan dengan mempertimbangkan segala sesuatu yang bjaksana.11 Dr. Samsul Nizar berpendapat bahwa pemikiran adalah upaya cerdas (ijtihady) dari proses kerja akal dan kalbu untuk melihat fenomena dan berusaha mencari penyelesaian secara bijaksana.12

Dalam kamus umum bahasa Indonesia, kata “pikir” mempunyai arti (1) akalbudi, ingatan, angan-angan; dan (2) kata dalam hati, pendapat (pertimbangan). Sedangkan kata “berpikir” diartikan menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu; menimbang-nimbang dalam ingatan. “Memikirkan” artinya mencari daya upaya untuk menyelesaikan sesuatu dengan menggunakan akalbudi. “Pemikiran” adalah cara atau hasil pikir.

Karena kata “pikir” berasal dari bahasa Arab yaitu fikr, tentu akan lebih utama jika merujuk pada asal usul bahasanya.

Kata fikr terdiri dari huruf fa‟, kaf, dan ra‟, dari bentuk fi‟il: fakara – yufakiru, artinya “menggunakan akal untuk sesuatu yang diketahui, untuk mengungkap perkara

11

Anton M. Moeliyono, et. al. Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Bali Pustaka, 1998), hlm. 682-673.

12

Samsul Nizar, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama) 2001, hlm. 6.


(21)

yang tidak diketahui.” Dari kata fikr, lahir pula tafkir (dari kata fakara-yufakiru), yang artinya “memfungsikan akal dalam suatu masalah untuk mendapatkan pemecahannya”. (Al-Mu‟jam Al-Wasiityh)

Disiplin ilmu yang lebih intens dan membahas tentang berpikir adalah psikologi, karena erat hubungannya dengan daya-daya jiwa yang lain, seperti tanggapan, ingatan, pengertian, dan prasaan. Tanggapan memegang pranan penting dalam berpikir, meskipun merupakan syarat yang harus dalam berpikir, karena memberikan pengalaman-pengalaman dari pengamatan yang telah lampau. Pengertian, meskipun merupakan hasil berpikir dapat memberi bantuan yang besar dalam proses berpikir. Prasaan selalu menyertai pula, ia memberi keterangan dan ketekunan untuk memecahkan masalah atau persoalan.

M. Ngalim Purwanto berpendapat, dalam arti sempit, abstrak-abstrak. Dalam arti luas, berpikir adalah bergaul dengan abstraksi-abstraksi. Abstraksi dalam hal ini berarti anggapan lepasnya kualitas atau relasi dari benda-benda, kejadian-kejadian dan situasi-situasi yang mula-mula dihadapi sebagai kenyataan.13

Jhon Dewey dalam Human Nature and Conduction sebagaimana dikutip oleh Fuad Baali dan Ali Wardi berpendapat bahwa berpikir adalah salah satu bentuk perbuatan manusia dan seperti perbuatan manusia lainnya, pemikiran cenderung mengikuti aturan-aturan masyarakat.14

13

M. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 1994) hlm. 43

14

Fuad Baali dan Ali Wardi, Ibnu Khaldun and Islamic Thougt Styles A Social Perspective, (Boston, Massachusetts, tt), hlm. 11


(22)

G. H. Mead mengaitkan antara munculnya pikiran, akibat dari pemikiran dan proses pengambilan pranan orang lain. Menurutnya, ketika seseorang berpikir, ia sebenarnya berkomunikasi dengan “hal lain” atau “hal lain yang dilegalisir”. Berpikir sebenarnnya berasal dari cara hidup masyarakat dimana seseorang setuju atau tidak setuju terhadap argument yang diberikan lalu dikatakan masuk akal (rasional) atau tidak.15

Para ahli psikologi kontemporer sepakat bahwa proses berpikir pada taraf yang tinggi, pada umumnya melalui tahapan-tahapan berikut:

1. Timbulnya masalah (kesulitan yang harus dipecahkan)

2. Mencari dan mengumpulkan fakta-fakta yang dianggap ada sangkut pautnya dengan pemecahan masalah

3. Taraf pengolahan atau pencernaan, dalam tahap ini fakta diolah dan dicernakan 4. Taraf penemuan atau pemecahan, dalam tahap ini ditemukan cara pemecahan

masalah

5. Menilai, menyempurnakan dan mencocokan hasil pencernaan.16

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi proses pemikiran seseorang adalah17 : 1. Kemampuan seseorang dalam melihat dan memahami suatu permasalahan 2. Sesuatu yang sedang dialami dan situasi luar yang dihadapi

3. Pengalaman-pengalaman 4. Kecerdasan

15

G.H. Mead, Mind, Self And Society, (Chicago: University of Chicago Press, 1934), hlm. 152-164

16

M. Ngalim Purwanto, op.cit., hlm. 46

17


(23)

Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa pemikiran adalah suatu keaktifan pribadi manusia untuk menemukan pemahaman atau pengertian yang dikehendaki berdasarkan fenomena-fenomena yang terjadi serta berusaha mendapatkan memberikan solusinya secara bijaksana.

B. PENGERTIAN AKTIVITAS

Dalam kamus bahasa Indonesia, aktivitas dapat diartikan keaktifan. Kegiatan-kegiatan, kesibukan atau dapat juga berarti kerja atau salah satu kegiatan kerja yang dilaksanakan oleh setiap bagian dalam suatu organisasi atau lembaga.18

Sementara itu menurut Samuel Soetito,19 aktivitas bukan hanya sekedar kegiatan tapi lebih dari itu aktivitas dipandang sebagai usaha untuk mencapai atau memenuhi kebutuhan.

Pendapat Samoel Soetitoe diatas sejalan dengan pendapat Maslow dengan “Need Hierarchy Theory”-nya yang menyebutkan bahwa manusia dalam aktivitasnya termotivasi oleh sejumlah “basic need”. Kebutuhan dasar itu menurut Maslow ada lima peringkat, yaitu:

1. Kebutuhan Fisiologis 2. Kebutuhan keamanan

3. Kebutuhan terhadap rasa memiliki, dimiliki dan kasih sayang 4. Kebutuhan penghargaan

5. Kebutuhan mengaktualisasikan diri

18

Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), cet. ke-3, hlm. 17

19


(24)

Sedangkan menurut kamus besar Ilmu Pengetahuan, kata aktivitas berasal dari kata aktif, bertindak, yaitu bertindak pada diri setiap eksistensi atau makhluk yang membuat atau menghasilkan sesuatu dengan aktivitas menandai bahwa hubungan khusus manusia dengan dunia. Manusia bertindak sebagai objek, alam sebagai objek. Manusia mengalih wujudkan dan mengolah alam. Berkat aktivitas atau cara kerjanya, manusia mengangkat dirinya dari dunia dan kemudian secara bertahap mengembangkan proses historis cultural yang bersifat khas sesuai ciri dan kebutuhannya.

Ada dua jenis aktivitas: aktivitas internal dan aktivitas eksternal (eksternal, jika operasi manusia terhadap objek-objek menggunakan lengan, tangan, jari-jari dan kaki, maka pada internal menggunakan tindakan mental dalam bentuk gambaran-gambaran dinamis). Aktivitas internal merencanakan aktivitas eksternal.20

Terwujudnya dakwah bukan sekedar usaha peningkatan pemahaman keagamaan dalam tingkah laku dan pandangan hidup saja, tetapi juga menuju sasaran yang lebih luas. Apalagi pada masa sekarang ini, dakwah harus lebih berperan menuju pelaksanaan islam secara menyeluruh dalam berbagai aspek kehidupan.

Dalam hadist yang diriwayatkan oleh imam Muslim:

ݍ ݋ ܐ ݒ ݗ݇ ۴ ۵ܲ ܐ

ܡ ܿ ݎ ݛ ݢ ݑ ܳ ۹ڰۿ۴ ݍ ݋ ܕ ݕ ܇ ۴ ﻞ ܂ ݋ ܕ ܇ ݞ۴ ݍ ݋ ݍ ۵ ݃ ڜ

܇ ۴ ݍ ݋ ݔ

۵۳ ݚ ܞ ݉ ݒ ܕ )

ܕ ݔ ݈݇ܛ݋݇۴ ݐ۴ (

20

Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara, LPKN, 1997). Cet. ke-1, hlm. 25


(25)

Barangsiapa yang menunjukkan kebaikan maka baginya pahala seperti yang diperoleh orang yang telah mengikutinya dan tidak dikuangkan sedikitpun dari padanya (pengikutnya)”.21

Rumusan diatas menunjukkan sebuah kegiatan dakwah yang dilakukan para da‟i untuk menyeru kepada ajaran islam, hendaknya tidak dilakukan dengan cara kekerasan atau paksaan.

Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa aktivitas adalah suatu kegiatan seseorang atau kelompok untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Dalam hal ini agar dakwah habib dapat diterima oleh masyarakat.

C. Dakwah Islam

1. Pengertian Dakwah

Kata dakwah berasal dari bahasa Arab, yaitu dari fi‟il madhi da‟a-yad‟u -da‟watan, yang berarti menyeru, mengajak dan memanggil. Sedangkan dalam kamus umum bahasa Indonesia tertulis kata dakwah yang mempunyai arti penyiaran, propaganda.22

Sedangkan pengertian dakwah menurut istilah, mengandung beberapa arti yang beraneka ragam yang merupakan pendapat dari banyak ahli ilmu dakwah, hal ini tergantung pada sudut pandang mereka dalam memberikan pengertian kepada istilah tersebut, sehingga antara definisi menurut ahli yang satu dengan yang lainnya senantiasa terdapat berbagai perbedaan.

21

Sholeh Muslim, (Indonesia: Dar Ihya al-kutub al-Arabiyah, tth) juz II, (Kitab Al-Ilmi, bab Man sanna sunnatan hasanatan), hlm. 446

22

WJS. Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Putaka, 1992), hlm. 983


(26)

Menurut KH. Isa Anshary, “dakwah adalah menyampaikan seruan Islam, mengajak dan memanggil umat manusia agar menerima dan mempercayai keyakinan dan pandangan hidup Islam”.23

Menurut Hamzah Yakub, dalam bukunya Publisistik Islam, memberikan pengertian dakwah dalam Islam adalah, “mengajak mad‟u dengan hikmah dan mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya”.24

Begitu pula, menurut Abdul Munir Mulkhan, dakwah adalah “pemanggilan umat manusia diseluruh dunia ke jalan Allah dengan penuh kebijaksanaan dan petunjuk-petunjuk yang baik dan berdiskusi dengan cara yang sebaik-baiknya. Oleh karena itu, sesuai dengan masa sekarang dakwah dapat pula diartikan sebagai “usaha menyerukan dan menyampaikan kepada perorangan dan seluruh ummat manusia didunia ini, yang meliputi amar ma‟ruf nahi munkar dengan pelbagai macam cara dan media yang diperbolehkan akhlak dan pembimbing pengalamannya dalam perikehidupan bermasyarakat dan perikehidupan bernegara”.25

Quraisy shihab mendefinisikan dakwah sebagai seruan atau ajakan kepada keinsyafan atau usaha mengubah situasi kearah yang lebih baik (dari yang awalnya berprilaku buruk sampai kepada kearah keadaan yang lebih baik) dan sempurna, baik terhadap pribadi maupun masyarakat. Dakwah seharusnya berperan dalam pelaksanaan ajaran islam secara lebih menyeluruh dalam berbagai aspek kehidupan”. Dakwah tidak terlepas pada tujuan untuk memperbaiki kondisi masyarakat agar sesuai dengan ajaran Islam, seperti yang diungkapkan oleh

23

Isa Anshary, Mujahid Dakwah Pembimbing Muballigh Islam, (Bandung: Diponegoro, 1979), hlm. 17

24

Hamzah Yakub, Pubisistik Islam, (Bandung: CV. Diponegoro), hlm. 13

25


(27)

Quraisy syihab bahwa, “dakwah adalah sebagai seruan atau ajakan kepada keinsyafan atau usaha mengubah situassi yang lebih baik dan sempurna, baik terhadap pribadi maupun masyarakat”.26

Muhammad Natsir dalam tulisannya yang berjudul fungsi dakwah dalam rangka perjuangan mendefinisikan pengertian dakwah sebagai berikut:

Usaha-usaha menyerukan dan menyampaikan kepada perorangan manusia seluruh umat konsep islam tentang pandangan dan tujuan hidup manusia didunia ini yang meliputi ma‟ruf dan nahi munkar, dengan berbagai macam media dan cara yang diperbolehkan dan membimbig pengalamannya dalam peri kehidupan perseorangan peri kehidupan berumah tangga (usrah), peri kemasyarakatan dan peri kehidupan bernegara.27

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli diatas, dapat dibuat sebuah kesimpulan bahwa dakwah adalah suatu usaha untuk menyeru, mengajak dan memanggil umat manusia dengan hikmah (kebujaksanaan), untuk mengubah pandangan hidup sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya.

2. Tujuan Dakwah

Dakwah adalah suatu aktivitas dan usaha pasti mempunyai tujuan yang hendak dicapai, sebab tanpa tujuan ini maka segala bentuk pengorbanan dalam rangka kegiatan dakwah itu menjadi sia-sia belaka. Oleh karena itu, tujuan dakwah harus jelas dan

26

Quraisy Shihab, Membumikan Al-qur‟an: fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan Masyarakat, (Bandung; Mizan 1998), cet. ke-17, hlm. 194

27

Abd Rasyid Shaleh, Manajemen Dakwah Islam, (Jakarta; Bulan Bintang, 1986), cet ke-2, hlm. 8


(28)

konkrit agar usaha dakwah apat diukir keberhasilanya. Tujuan dilaksanakan dakwah adalah mengajak umat manusia kepada jalan tuhan, jalan yang benar, yaitu islam. Disamping itu, dakwah juga bertujuan untuk mempengaruhi cara berpikir manusia, cara merasa, cara bersikap dan bertindak, agar manusia bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip islam.28 Sebagaimana Allah SWT berfirman:

ﷲ۴ ݕ ۥ ۴ٓݕ ܑܲݛ ݑ ݎ ܒ ۯ ۹ ۺ ܕ ܺ ܷ ݋ ݇۴ ݕ ۻڰݎ܇ ݇۴ ݗ݇ۮ ے

ݑ ۿٰ ٰݛ ۴ ۧ ݍڲݛ ۹ ݛ ݕ ے

݉ ݓڰ݇ ܳ ݇ ܙ۵ڰݏ݇ ݇

݌ ݕ ܕڰ݂ ܒ ۿ ݛ Artinya: “Dan Allah menyeru kepada jalan surge dan ampunan dengan izin-Nya

dan Dia menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar memperoleh

pelajaran”.(QS. Al-Baqarah: 221)

Firman Allah tersebut secara jelas mengajak umat manusia agar senantiasa beramal shaleh yang akan menyebabkan seseorang memasuki syurganya Allah. Disamping itu, Allah juga mengajak manusia menuju kepada ampunan-Nya, serta jangan menuruti hawa nafsu.29

a. Tujuan Dakwah Secara Umum

“Makarimal akhlak” yang membudaya dalam masyarakat adalah tujuan utama dakwah ini, pararel dengan misi besar nabi Muhammad Saw, yang diutus oleh Allah untuk menyempurnakan akhlak. Sebagaimana dengan akhlak yang mulia ini manusia akan tahu fungsinya sebagai manusia, yakni ”abdi” atau hamba Tuhan Yang Maha Esa, akhirnya berbakti kepada-Nya dan mengikuti

28

Rafiuddin dan Drs. Maman Djaliel, Prinsip dan Strategi Dakwah, (Bandung; Pustaka Setia, 1997), hlm. 32

29


(29)

segala perintah dan menjauhkan segala larangan-Nya. Kemudian mengakkan prinsip amar ma‟ruf nahi munkar, inilah esensi tujuan.30

Adapun menurut Didin Hafidudin dalam bukunya “Dakwah Aktual” menyatakan bahwa: “Tujuan dakwah secara umum adalah mengubah prilaku sasaran dakwah agar mau menerima ajaran islam dan mengamalkannya dalam tataran kenyataan kehidupan sehari-hari, sebaiknya yang berkaitan dengan masalah pribadi, keluarga, maupun social kemasyarakatan, agar terdapat kehidupan yang penuh dengan keberkahan samawi dan keberkahan ardhi (Al-„araf: 96) mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat serata bebas dari api neraka (QS. Al-Baqarah: 202-203).31

b. Tujuan Dakwah Secara Khusus

Tujuan khusus dakwah merupakan rumusan sebagai perincian daripada tujuan umum dakwah. Tujuan ini dimaksudkan agar dalam pelaksanaan seluruh aktivitas dakwah dapat diketahui secara jelas kemana arahnya.

Ataupun jenis kegiatan apa hendak dikerjakan, kepada siapa berdakwah dan dengan cara bagaimana dan sebagainya secara terperinci.

Adapun tujuan dakwah yaitu:

a. Mengajak manusia yang sudah memluk agama islam untuk selalu mengingatkan taqwanya kepada Allah SWT, artinya mereka diharapkan agar senantiasa meningkatkan kualitas ketaqwaannya.

30M. Syafa‟at Habib,

Buku Pedoman Dakwah, (Jakarta: Widijaya, 1982), hlm. 129

31


(30)

b. Membina mental agama islam bagi mualaf. Muallaf artinya orang yang baru masuk islam dan mereka masih dikhawatirkan keislaman dan keimanannya. c. Mengajak umat manusia yang belum beriman agar beriman kepada Allah

SWT (memeluk agama Islam) dengan penuh pengharapan.

d. Mendidik dan mengajar anak-anak agar tidak menyimpang dari fitrahnya.32 Dalam al-qur‟an telah diceritakan bahwa manusia sejak lahir telah membawa fitrahnya yakni beragama Islam (tauhid). Disebutkan dalam Al-Qur‟an surah Ar-Rum: 30 yang artinya:

۵ ܺݛݏ܊ ݍ ݛڲ ܑ݇ ݇ ݁ ݓ ܇ ݕ ݈ ܾ ۴ ݕ ۚ

۵ ݓ ݚ ݇ ܲ ܘ۵ڰݎ݇۴ ܕ ܩ ܺ ڝ ۿڰ݇ﭐ ﷲ۴ ۽ ܕ ܩ ܺ ۚ

ݢ ﷲﭐ ܽ ݇ ܎ ݇ ﻞ ݚ ܑ ۹ ۿ ۚ

ܓٰ ݇ ݀ ڰݍ ﮑٰ݇ ݕ ݈ڲݛ ܾ ݇ﭐ ݍ ݛ ڲܑ݇۴

ݔ ݊ ݇ ܳ ݛ ݢ ܙ ۵ڰݏ݇۴ ܕ܂ ݃ ۴ ݌

Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrahNya itu. Tidak ada perubahan fitrah Allah. Itulah agama yang lurus ttetapi

kebanyakan dari mereka tidak mengetahuinya”. (Ar-Rum: 30)

c. Tujuan Dakwah Dari Segi Objek

Jika dilihat dari segi objek, maka tujuan dakwah itu dapat dibagi menjadi empat macam:

a. Tujuan perorangan, yaitu terbentuknya pribadi muslim yang mempunyai iman yang kuat, berprilaku sesuai dengan hukum-hukum yang disariatkan oleh Allah SWT dan berakhlak mulia.

32


(31)

b. Tujuan untuk keluarga, yaitu terbentuknya keluarga bahagia penuh ketentraman dan kasih saying antar anggota keluarga.

c. Tujuan untuk masyarakat, yaitu untuk terbentukya masyarkat yang sejahtera yang penuh dengan nuansa keislaman.33 Adapun tujuan untuk masyarakat seperti dibawah ini:

1) Mengadakan koreksi terhadap situasi atau tindakan yang menyimpang dari ajaran agama

2) Mengusahakan kesehatan mental masyarakat yang sesuai dengan akhlak yang luhur

3) Mendorong kemampuan masyarakat untuk menjalankan syariat secara utuh dan tidak sepotong-potong

4) Menembus hati nurani seseorang untuk sarana membentuk masyarakat yang diridho‟i Allah SWT

5) Selalu terbuka untuk nasehat

6) Menjauhkan menusia dari segala bentuk frustasi dan kebekuan fikiran.

Dengan demikian, maka sekaligus dakwah sebagai bertujuan memproses masyarakat dan setiap individu tersebut yang membentuk sesuai dengan pola yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya.34

d. Tujuan Dakwah dari Segi Materi

33

Drs. Mansyur Amin, Dakwah Islam dan Pesan Moral, (Yogyakarta: al-Amin Press, 1997), hlm. 15-16

34


(32)

Disamping tujuan-tujuan tersebutdiatas, terdapat juga pembagian tujuan dakwah yang ditinjau dari segi sudut materi dakwah, yang menurut Dr. Quraisy Shihab, materi-materi dakwah yang dikemukakan Al-Qur‟an berkisar pada tiga masalah pokok: aqidah, akhlaq dan hukum.

1) Tujuan aqidah, yaitu tertanamnya suatu aqidah keyakinan yang mantap disetiap hati seseorang, sehingga keyakinan tentang ajaran-ajaran islam itu tidak lagi dicampuri dengan rasa keraguan. 2) Tujuan akhlaq, yaitu terbentuknya pribadi muslim yang berbudi

luhur dihiasi dengan sifat-sifat terpuji dan bersih dari sifat-sifat tercela.35

3) Tujuan hukum, yaitu kepatuhan setiap orang terhadap hukum-hukum yang telah disyariatkan dalam agama islam.

Semua tujuan diatas merupakan penunjang daripada tujuan akhir yang hendak dicapai dari sebuah proses dakwah islamiyah. Tujuan akhir dari upaya dakwah ini ialah

terwujudnya kebahagiaan dan kesejahteraan manusia lahir dan batin didunia dan

diakherat dalam naungan mardhotillah”.

c. Unsur-Unsur Dakwah

Dakwah dalam artian mengajak manusia baik perorangan ataupun kelompok kepada agama islam, sudah barang tentu memiliki komponen-komponen didalamnya yang satu dengan yang lainnya saling terkait.

35


(33)

Adapun unsur-unsur dakwah tersebut adalah: Da‟i, Mad‟u, Metode, Media dan Materi. Yang kesemuanya itu memiliki kedudukan masing-masing.

1. Da‟i atau Pendakwah

Di Indonesia, para da‟i juga dikenal dengan sebutan lain seperti muballigh, ustadz, tuan guru dan sebagainya. Hal ini didasarkan atas tugas dan eksistensinya sama seperti da‟i. Padahal hakekatnya dakwah tiap-tiap sebutan itu memiliki kharisma dan keilmuan yang berbeda-beda dalam pemahaman masyarakat islam di Indonesia. Munculnya beberapa istilah diatas pada umumnya juga dikaitkan dengan kapasitas para da‟i itu sendiri. Hal itu tergantung dengan wacana keilmuan yang diperoleh serta latar belakang pendidikan dan pengalaman yang berbeda.36

2. Mad‟u

Manusia yang menjadi audiens yang akan diajak secara kaffah, mereka bersifat heterogen, dari sudut ideology misalnya atheis, animis, musyrik, munafik, bahkan ada juga muslim, tetapi fasik atau penyandang dosa dan maksiat. Dari sudut lain juga berbeda, baik intelektualitas, statussionalitas, kesehatan, pendidikan, dan seterusnya.37

3. Maddah (materi) dakwah

Maddah dakwah adalah isi pesan atau materi yang disampaikan da‟I kepada mad‟u. dalam hal ini sudah jelas bahwa yang menjadi maddah

36

Siti Muriah, Metodologi Dakwah Komtemporer, ( Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000), hlm. 24

37


(34)

dakwah adalah ajaran-ajaran islam itu sendiri. Dalam hal materi dakwah, Yususf Al-Qardhawy membagi pilar-pilar agama islam secara garis besar menjadi beberapa materi yang dapat diklasifikasikan menjadi empat hal pokok, yaitu: Materi Akidah, Ibadah, Akhlak, dan Hukum.38 Sedangkan menurut M. Munir dan Wahyu Illahi dalam bukunya Manajemen Dakwah membagi materi dakwah menjadi empat bagian, yaitu: akidah, syariah, mu‟amalah dan akhlak.39

4. Metode

Masalah yang didakwahkan dalam islam adalah masalah yan teramat agung dan mulia. Islam tidak memerintahkan pengikutnya dengan perkara-perkara kehidupan remeh, namun islam mewajibkan pemeluknya untuk mengabdikan hidupnya kepada Allah swt. Oleh sebab itu, metode merupakan hal yang penting bagi da‟i dalam menyampaikan pesan dakwahnya.40 Ketika membahas tentang media dakwah, maka pada umumnya merujuk pada surat An-Nahl: 125

Artinya: “Serulah manusia kepada jalan tuhan-mu dengan cara hkmah dan pelajaran yang baik dan berdiskusilah dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa

38

Yusuf Al-Qardhawy, Pengantar Kajian Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003), Cet Ke-6, hlm. 43

39

M. Munir, S.Ag, M.A dan Wahyu Illahi, S.Ag, M. A. Manajemen Dakwah, hlm. 24-31

40


(35)

yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui

orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q.S. Al-n-Nahl: 125)

Dalam ayat ini, metode dakwah ada tiga, yaitu: B al-Hikmah; Mu‟izhatil Hasanah; Mujadalah Billati hiya ahsan. Secara garis besar ada tiga pokok metode thariqoh dakwah, yaitu:

a. Bi al-Hikmah, yaitu berdakwah dengan memperhatikan situasi dan kondisi sasaran dakwah dengan menitikberatkan pada kemampuan mereka, sehingga didalam menjalankan ajaran-ajaran islam selanjutnya, mereka tidak lagi terpaksa ataupun keberatan. b. Mau‟izatil Hasanah, yaitu berdakwah dengan memberikan

nasihat-nasihat atau menyampaikan ajaran-ajaran islam dengan rasa kasih saying, sehingga nsihat dan ajaran Islam yang disampaikan itu dapat menyentuh hati mereka.

c. Mujadalah Billati Hiya Ahsan, yaitu berdakwah dengan cara bertukar pikiran dan membantah dengan cara sebaik-baiknya dengan tidak memberikan tekanan-tekanan yang memberatkan pada komunitas yang menjadi sasaran dakwah.

5. Media

Setelah da‟i menetapkan metode, mediapun sangat diperlukan untuk menunjang terlaksananya pesan dakwah. Penggunaan media yanag tepat akan mempengaruhi pula hasil yang akan dicapai.41

41


(36)

Islam adalah agama dakwah, yang artinya agama yang selalu mendorong pemeluknya untuk senantiasa aktif melakukan kegiatan dakwah. Kemajuan dan kemunduran ummat islam ini sangat berkaitan erat dengan dakwah yang dilakukannya. Maka dari itu, kita harus meletakkan bentuk-bentuk media dakwah sebagai berikut:

a. Dakwah dalam bentuk Bil Lisan

Dalam al-qur‟an menyebutkan bahwa dengan ahsana qaula (ucapan) dan perbuatan yang baik.

ﻞ ݋ ܲ ݕ ﷲ۴ ڝ݇ ۴ ۩ ܲ ܑ ݍڰ݋ڲڲ݋ ݢ ݕ ܾ ݍ ܚ ܋ ۴ ݍ ݋ ݕ ݍ ݛ ݊ ݇ ܛ ݊݇ ۴ ݌ ݊ ڝ ݏڰݏ ۴ ﻞ ۵ ܾ ݕ ۵ ܊ ٰ݇ܣ

ۤ ۽݇ܢܻ

: ۣ

Artinya: Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal sholeh dan berkata: “sesungguhnya aku orang-orang yang menyerahkan diri” (QS. Al-Fushilat: 33)

Dalam ayat tersebut, tidak hanya dakwah berdimensi ucapan atau lisan tetapi dengan perbuatan yang baik (uswah) seperti ucapan nabi Muhammad SAW.

Yang dimaksud dakwah bil lisan adalah memanggil, menyeru kejalan Allah untuk kebahagiaan dunia akherat dengan menggunakan bahasa menusia yang didakwahi (mad‟u), sesuai dengan perbuatan keadaan manusia.


(37)

Bahasa keadaan dalam konteks dakwah bil lisan atau bil hal adalah segala hal yang berhubungan dengan keadaan mad‟u baik fisiologis maupun psikologis.

b. Dakwah bil Qalam

Dakwah bil Qolam, adalah penyampaian informasi atau pesan dakwah melalui tulisan, dapat berupa buku, majalah, surat kabar, spanduk, kaligrafi, pamphlet, bulletin dakwah dan lain sebagainya.

c. Aktivitas dakwah dalam bentuk dakwah Bil Hal

Dakwah bil hal merupakan sebuah dakwah yakni metode dakwah dengan menggunakan kerja nyata.

Melihat proses kejiwaan manusia, maka sebagian kumpulan individu sudah pasti akan terkena pengaruh dari keteladanan dan taklid baik pengaruh positif maupun negative. Karena hal itu, harus memberikan pengaruh dan pengertian kepada masyarakat untuk selalu meneladani Rasulullah SAW, atau orang yang berbuat kebijakan.

Islam memerintahkan agar kita mengambil contoh dari ahlul khoir (orang-orang yang berpikir) ahli kebenaran dan mereka yang berkaidah yang lurus.42 Secara tegas islam menyuruh ummatnya untuk mengambil teladan Nabi Muhammad SAW.

42


(38)

۴ ܕ ݛ ܂ ݂ ﷲ۴ ܕ ݂ ܒ ݕ ۺ ܕ ܏ݜ ۴ ݈ ݕ ݛ݇ ۴ ݕ ﷲ۴ ݕ ܇ ܕ ݛ ݍ ۵ ݂ ݍ ݊ڲ݇ ۻ ݎ ܛ ܋ ۺ ݕ ܛ ۪ ﷲ۴ ﻞ ݕ ܛ ܕ ݙ ܺ ݉ ݂ ݇ ݌ ۵ ݂ ܑ ܾ ݇ ۤ ﺐ۴ܗ܋ݞ۴ : ۣ

Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada kaum sekalian pada diri Rasulullah, suri tauladan yang baik bagi orang-orang yang mengharapkan ridha Allah dan hari akhir serta berdzikir kepada Allah dengan dzikir yang banyak” (QS. Al-Ahzab: 21).

Sebagai seorang yang membawa misi menyampaikan ajaran islam kepada manusia, seorang juru dakwah berkewajiban meneladani Rasulullah dalam sikap yang baik (akhlaqul karimah), sekaligus berkewajiban memberikan teladan bagi mad‟unya.

D. Pengertian Habib

Secara bahasa, habaib itu adalah bentuk jama‟ dari kata habib. Menurut kamus bahasa Arab yang disusun oleh Maftuh Ahnan, kata habib memiliki arti yang tercinta.43 Sedangkan Ahmad Warson Munawwir dalam Al Munawwir kamus bahasa Arab-Indonesia, mengartikan “yang mencintai/dicintai (kekasih)”.44

M. Hasyim Assegaf dalam bukunya Derita Putra-Putri Nabi, studi historis

kafaah syarifah mengatakan “bersama dengan gelar sayyid yang biasa digunakan di

Malaysia dan di Indonesia, kita dapati juga gelar habib (habaib = kekasih). Kata sayyid memang digunakan masyarakat kepada keturunan Ali bin Abi Thalib r.a dan Fathimah binti Muhammad SAW.”45

Menurut Ibnu Mandzhur dalam kitab Lisanul Arab sebagaimana dikutip oleh Muhammad Abduh Yamani dalam buku yang telah

43

Maftuh Ahnan, Kamus Indonesia Arab – Arab Indonesia, (Gresik: CV Bintang Pelajar, tth), hlm. 310

44

Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir Kamus Bahasa Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Pondok Pesantren Al-Munawwir, 1984), hlm. 247

45

M. Hasyim Assegaf, Derita Putra-Putri Nabi, Studi Historis Kafaah Syarifah, (Bandung: PT. RemajaRosdakarya, 2000), cet. ke-1, hlm. 203.


(39)

diterjemahkan menjadi Ajarilah Anakmu Mencintai Keluarga Nabi Saw. Menulis bahasa dengan lafadz As-Sayyid digunakan untuk sebutan pemilik pekerjaan (majikan), pemilik barang, seorang bangsawan, orang yang mulia, orang yang dermawan, orang yang murah hati, orang yang memikul beban berat kaumnya, seorang suami, pemimpin dan pemuka”.46

Selanjutnya M. Hasyim Assegaf didalam bukunya yang sama mengatakan bahwa “sayyid” juga secara khusus digunakan bagi keturunan Ali dan keturunan Abu Thalib disekitar aktu yang sama dengan menggunakan gelar Syarif, yang menggambarkan Hasan dan Husein dan orangtua mereka sebagai sayyid/ sayyidah”.47 Lebih lanjut M. Hasyim Assegaf ia mengatakan di Hadramaut, gelar sayyid baru terbiasa di kalangan kaum „Alawiyyin sejak abad ke-19 (abad ke-14H). Sebelum itu, mereka bergelar Al-Habib (antara abad ke-17 dan ke-19). Dahulu, tokoh-tokoh mereka bergelar Syeikh (abad ke-11 hingga ke-17)”.48

Sedangkan Syarif dapat diartikan sebagai keturunan dari leluhur yang tersohor. Merupakan leluhur yang hebat merupakan syarat unutk diakui sebagai syarif. Menurut Syarif As-suyuthi (1445-1505) seperti dikutip oleh M. Hasyim Assegaf “Gelar Syarif digunakan di masa lebuh dini pada orang-orang yang termasuk Ahlul Bait, baik keturunan Hasan dan Husein maupun keturunan Ali bin Abi Thalib melalui putra-putra

46

Muhammad Abduh Yamani, Ajarilah Anakmu Mencintai Keluarga Nabi Saw, (Pasuruan: L‟Islam, 2002) cet. ke2, hlm. 25

47

M. Hasyim Assegaf, op. cit.,hlm . 202

48


(40)

Ali yang bukan anak Fathimah, seperti Muhammad Hanafiah, atau putra-putra Ja‟far, Aqil, dan Abbas bin Abi Thalib”.49

Sedangkan kata Habib itu sendiri sama dengan sebutan ahlul bait menurut Cyril Glasse adalah istilah untuk keturunan Nabi Muhammad Saw melalui putrinya Fathimah dengan keponakan sekaligus menantunya Ali bin Abi Thalib. Pasangan suami istri dikaruniai tiga orang anak laki-laki yaitu, Hasan, Husein dan Muhsein yang meninggal ketika masih bayi. Dari Hasan dan Husein lahir keturunan syarif atau sayid yang sangat dihormati ditengah masyarakat muslim. Sampai saat ini jumlah keturunan nabi mencapai puluhan ribu. Di beberapa negara muslim, misalnya di Mesir dibentuk petugas pendaftar keturunan Nabi.50

Sedangkan Imam Jalaludin As-Suyuthi di dalam bukunya yang berjudul 105 hadits keturunan Ahl Bait mengatakan “…pendapat ini sejalan dengan penafsiran Zayid ibn Arqam didalam hadistnya yang panjang, dan Ash-Shahabiy berkesimpulan demikian berdasarkan informasi para ulama serta tabi‟in”.51

Dalam kitab Jami‟u Al-Hadist terdapat sebuah hadist yang diriwayatkan oleh imam Thabrani yang berkaitan dengan Ahl Bait, yaitu:

݌ ܲ ۴ ݑ ݏ ܲ ﷲ۴ ݙ ܦ ܕ ܑ ݛ ܳ ܛ ݙ ۹ ,

݈ڰ݇ ܛ ݕ ݑ ݛ ݇ ܲ ﷲ۴ ڰݗ݇ ܢ ڱݙ ۹ڰݏ݇۴ ﻞ ۵ ܾ :

۴ ݌ ݛ ܾ݇ڰ܂݇۴ ݉ ݃ ݚ ܺ ݀ ܕ ۵ۿ ݙڲݏ ,

ܔ ܏ݜ ۴ ݌ ݊ ܕ ۹ ݃ ۴ ۵ ݊ ݒ ܑ ܊ ۴ :

ﺐ ۵۾ ݃

ۧ۵ ݊ڰܛ݇۴ ݌ ݊ ܑ ݕ ܑ ݊ ݊ ۴

ܥ ܕ ݢ ۴ ݗ݇ ,

ݗ ۾ ܕ ۿ ܲ ݕ ۴

ݙ ۾ ݛ ۹ ﻞ ݒ ,

ܥ ݕ ܋ ݇۴ ڰݙ ݇ ܲ ۴ ܑ ܕ ݛ ڰݗ۾ ܋ ۵ܾܕ ۾ ܺ ݛ ݌ ݇ ۵ ݋ ݓڰݎ ۴ ݕ

) ݗݏ ۴ܕ۹ܫ݇۴ ݐ۴ݕܕ (

49

Ibid, hlm. 203

50

Cyril glasse (ed), “Ahl Bait”, Ensikopledi Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999), hlm. 14

51

Imam Jalaludin as-Suyuthi, 105 Hadist Keutamaan Ahl Bait (terj.), (Indonesia Hasyimi Press, 2001), hlm. 11


(41)

Artinya: “Dari abu Sa‟id r.a. Rasulullah sw bersabda: sesungguhnya aku meninggalkan kepada kalian dua perkara yang stu lebih besar dari yang lainnya: yaitu kitab yang diturunkan (dijulurkan) dari langit ke bumi dan anak keturunanku, ahlul baitku, sesungguhnya keduanya tidak akan berpisah sampai keduanya menjumpaiku kembali ditelaga syurga. (H.R. Thabrani)”52

Sedangkan diterangkan dalam kitab Riyaadusshaalihien mengenai untuk mencintai Ahli Bait.

݉ ݃ ۿ ݛ ۹ ﻞ ݒ ۴ ڲﺐ ܋ ݕ ݉ ݃ ݏ ݛ ܑ ڲﺐ ܋ ݕ ݉ ݃ڲݛ ۹ ݏ ڲﺐ ܋ ﻞ۵ ܣ ܎ ܁ ݣ ܂ ݗ݇ ܲ ݉ ݂ ܑ ݢ ݕ ۴ ۴ ݔ ݊ڲ݇ ܲ ݉ڰ݇ ܚ ݕ ݑ ݛ ݇ ܲ ﷲ۴ ڰݗ݇ ܣ ڱݙ ۹ڰݏ݇۴ ﻞ ۵ ܾ Artinya: “Bersabda Rasulullah saw, ajarkanlah anak-anak kamu, tiga perkara,

yaitu cinta kepada nabimu, cinta kepada agamamu dan cinta kepada ahl baitnya”.

Dalam kitab fathul mu‟in dikatakan:

݉ڰ݇ ܛ ݕ ݑ ݛ ݇ ܲ ﷲ۴ ڰݗ݇ ܢ ڱݙ ۹ڰݏ݇۴ ﻞ ۵ܾ :

ݍ ܛ ܊ ݕ ݍ ݛ ܛ ܊ ݕ ݙ ݇ ܳ ݇ ݍ ۹ڰ݇݇۴ ݗ ܺ ۴ ܔ ݓ ݏ ۻڰݏ ܇݇ ۴ݗ ܺ ڰ ݍ ۴

Artinya: Bersabda rasulullah saw: “ sesungguhnya dalam surga ada telaga susu yang diperuntukkan bagi syyidina Ali dan anaknya (Hasan dan Husein)

Dalam hadist lain yang diriwayatkan oleh Bukhari adalah :

݈ڰ݇ ܚ ݕ ݑ ݛ ݇ ܲ ﷲ۴ ڰݗ݇ ܢ ڱﯥ ۹ڰݏ݇۴ ﻞ۵ܾ :

۴ ݘ ܐ ݇ ݕ ܐڲݛ ܚ ۵ ݏ ﭐ

ܐ ݈ ܕ ܏ܺ ݢ ݕ

Artinya: Bersabda Rasulullah saw: “ Aku adalah pemimpin anak Adam dan

tidak membanggakan”.

Dalam kitab Berzanji dikatakan:

ۻڰݛ ݇ ݒ۵ ܇ ݇۴ ܈۵ܺ ܚ ݌ ݊ ﷲ۴ ݐܕݓ ܨ ﺐ ܚ ݏ ݌ ݊ ݑ ۹ ݉ ܕ ݃ ۪ ݕ Artinya: “Dan dimuliakan dengannya (Muhammad saw) atas keturunannya oleh

Allah dibersihkan dari segala keburukan sifat-sifat yang jahiliyyah”.

52

Abdur Rauf bin Muhammad al-Manawi, Jaami‟u Al-Hadist, (Beirut: Darul Fiqr, 1994), juz-10, hadist no: 1183/30208, hlm. 199


(42)

Sedangkan Muhammad Abduh Yamani dalam bukunya mengatakan “Ahli Bait adalah terdiri dari pangkal keturunan, cabang, nasab (hubungan darah) dan hubungan perkawinan. Sedangkan pangkal keturunan mereka yang bangsawan dan keluhuran mereka yang tinggi adalah penghulu makhluk seluruh alam semesta yaitu Rasulullah Saw”.53

Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa habib menurut penulis adalah suatu gelar yang diberikan kepada keturunan melalui putrinya Fathimah dan Ali binAbi Thalib, akan tetapi masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Jakarta lebih familiar dengan panggilan Habib daripada Sayyid.

53


(43)

BAB III

BIOGRAFI HABIB ABU BAKAR AS-SEGAF

GAMBARAN UMUM YAYASAN TSAQOFAH ISLAMIYAH, BUKIT DURI TEBET,

JAKARTA SELATAN

A. Latar Belakang Kehidupan Dan Keluarga Habib Abu Bakar As-Segaf

Habib Abu Bakar Assegaf yang akrab disapa dengan Wan Bakar merupakan seorang da‟i keturunan Arab sekaligus akademisi yang sekarang masih aktif mengajar di Yayasan Tsaqofah Islamiyah Bukit Duri Tebet, Jakarta Selatan. Beliau dilahirkan di Jakarta, tepatnya didaerah Tebet yaitu pada hari Senin, tanggal 19 juni 1961. Beliau merupakan anak bungsu dari dua puluh satu bersaudara, ayahnya adalah seorang ulama besar bernama Habib Abdurrahman Assegaf (almarhum) yang akrab disapa dengan Sayyidil Walid dan ibunya bernama Hajjah Barkah (almarhumah).54

Latar belakang keluarga Habib Abu Bakar Assegaf berasal dari keluarga yang agamis, yaitu dari keluarga yang taat beribadah dan mengajarkan anak-anaknya dengan baik. Terlebih keluarganya sangat tegas dalam hal beribadah dan menuntut ilmu terutama ilmu agama, supaya kelak anak-anaknya menjadi anak yang sholeh-sholehah dan baik dari segi akhlak, sifat maupun kepribadiannya.

54


(44)

Itulah sebabnya hampir kesemua anak Sayyidil Walid banyak yang meneruskan jejak beliau yakni menjadi ulama-ulama besar dan berani mendirikan beberapa Majelis Taklim yang sangat berpengaruh bagi masyarakat sekitar hingga saat ini. Beberapa Majelis Taklim yang mereka dirikan merupakan cabang-cabang dari Yayasan Tsaqofah Islamiyah, beberapa dari mereka diantaranya55:

1. Al-Habib Muhammad bin Abdurrahman Assegaf (pimpinan Majelis Taklim dan PONPES Al-Busyro di Ceger)

2. Al-Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf (pimpinan Majelis Taklim Al-Afaf Jakarta)

3. Al-Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf (pimpinan Majelis Taklim dan PONPES Al-Kifahi Tsaqofi Jakarta)

4. Al-Habib Alwy bin Abdurrahman Assegaf (pimpinan Majelis Taklim Zaadul Muslim Jakarta)

5. Al-Habib Abu Bakar bin Abdurrahman Assegaf (pimpinan Yayasan Tsaqofah Islamiyah Jakarta dan Majelis Taklim Al-Busyro Citayam Bogor)

Adapun kehidupan berumah tangga Habib Abu Bakar Assegaf dijalaninya bersama istri yang sangat mencintainya dengan penuh kasih sayang yaitu syarifah Hasinah yang akrab disapa dengan umi Nena. Sejak tahun 1987 ia telah setia menemani Wan Bakar hingga saat ini. Dari perkawinannya, beliau dianugerahkan tiga orang anak, yaitu dua orang putra yang bernama Hasan, Husein dan satu orang putri yang bernama Aminah.

55

Ustadzah Marwiyah, Staf Pengajar di Yayasan Tsaqofah Islamiyah, Wawancara Pribadi,


(45)

Sebagai seorang bapak, ia sangat memperhatikan pendidikan bagi ketiga anaknya, karena menurutnya didunia ini hanya ilmu yang bermanfaatlah yang akan menyelamatkan kita dunia dan akhirat kelak. Selain itu, sebagai seorang muslim, penting mempunyai sifat-sifat keutamaan, terutama sekali muslim yang mempunyai akhlak mulia, cakap (rohani dan jasmaninya)., percaya pada diri sendiri dan berguna bagi masyarakat.

Habib Abu Bakar Assegaf mengawali pendidikan formalnya dari bersekolah di SD II Bukit Duri Puteran, Jakarta Selatan selama enam tahun lalu beliau melanjutkan sekolahnya ketingkat SLTP yaitu di SMP 3 Manggarai, Jakarta Selatan. Setelah lulus dari tingkat SLTP kemudian beliau melanjutkan ketingkat SLTA. Beliau melanjutkan sekolahnya ke tingkat SLTA tepatnya di SMA 37 didaerah Kebon Baru, Tebet Jakarta Selatan.

Karena hausnya akan ilmu, setelah lulus dari tingkat SLTA, beliau melanjutkan pendidikannya kembali ketingkat Universitas. Beliau melanjutkan pendidikannya dengan kuliah di Universitas Jayabaya tepatnya di jalan Ahmad Yani daerah Jakarta Utara.

Sebelum menjalani pendidikan formal, beliau bersama kakak-kakaknya terlebih dahulu yang sudah aktif mengikuti pengajian-pengajian yang dipimpin oleh ayahnya sendiri. Dengan kata lain, beliau lebih banyak berguru ilmu-ilmu agama oleh ayahnya sendiri. Sehingga dalam menjalani pendidikan formal, beliau selingi atau lebih banyak mengisi waktu luangnya dengan mengikuti pengajian di majelis taklim bersama ayahnya dan kakak-kakaknya. Ketika beliau berusia 45 tahun ditinggal ayahnya tercinta


(46)

tepatnya pada tahun 2006. Setelah itu Yayasan Tsaqofah Islamiyah langsung dipimpin oleh beliau sampai sekarang.56

Habib Abu Bakar Assegaf dimasa mudanya adalah sosok yang paling berani menegakkan kebenaran. Ayahnya mengakui bahwa dirinya kelak akan menggantikan posisi menjadi khilafah Majelis, dan itu dibuktikan dengan kecerdasan hafalannya yang luar biasa, sebagai tokoh muda dilingkungan ulama saat itu.

Beliau mengawali karir dakwah sebagai seorang guru agama di Majelis Taklim Tsaqofah Islamiyah sejak usia dua puluh satu tahun. Selain itu juga dengan memberikan ceramah-ceramah agama dalam bentuk yang paling konvensional seperti pengajian-pengajian di Majelis Taklim, khuthbah dan beliau juga aktif berdakwah melalui dakwah

bil khitabah yaitu dengan menulis artikel yang dipublikasikan lewat Internet.

Kesemuanya ini merupakan porsi dakwah yang beliau lakukan sesuai dengan caranya sendiri.57

Baik buruknya nasib umat kelak, bergantung pada kondisi pemuda dan mahasiswa sekarang ini. Namun, potensi tinggallah potensi. Ibarat pedang yang sangat tajam; ketajamannya tidak menjadi penentu bermanfaat-tidaknya pedang tersebut. Orang yang menggenggam pedang itu-lah yang menentukannya. Pedang yang tajam terkadang digunakan untuk menumpas kebaikan dan mengibarkan kemaksiatan, jika dipegang oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Sebaliknya, jika berada di tangan orang yang bertanggung jawab, ketajaman pedang itu akan membawa manfaat.

56

Habib Abu Bakar Assegaf, Wawancara Pribadi, (Jakarta: 12 Oktober 2010) 57

Ustadzah Marwiyah, Staf Pengajar di Yayasan Tsaqofah Islamiyah, Wawancara Pribadi, (Jakarta: 18 September 2010)


(47)

Demikian juga dengan potensi mahasiswa. Potensi yang begitu hebat itu bisa dipergunakan untuk menjunjung tinggi kebaikan, bisa juga untuk memperkokoh kejahatan dan kedurjanaan. Itulah sebabnya, begitu banyak contoh pemuda-mahasiswa yang berjasa menjadi pilar penentu kemajuan suatu peradaban, tetapi tidak sedikit di antara mereka yang mengakibatkan runtuhnya sendi-sendi peradaban, dan menghancurkan kemuliaan suatu tatanan kehidupan. Jadi, potensi yang dimiliki oleh pemuda-mahasiswa haruslah diarahkan untuk menyokong dan mempropagandakan nilai-nilai kebaikan. Seorang mahasiswa muslim tentunya akan berada di garis depan untuk membela, memperjuangkan, dan mendakwahkan nilai-nilai Islam. Seorang mahasiswa muslim tidak layak hanya berpangku tangan dan bermalas-malasan di tengah kemunduran umat yang sangat memprihatinkan ini. Seorang mahasiswa muslim jangan sampai menjadi penghalang kemajuan Islam dan perjuangan kaum muslimin. Na‟udzubillah. 58

Kefasihan dan kearifan yang kita lihat sekarang dalam kiprah dakwah Habib Abu Bakar Assegaf di Yayasan Tsaqofah Islamiyah ternyata adalah buah eksperimen dilapangan selama hidupnya. Berdekatan dengan para ulama dan Habaib yang juga merupakan kerabat dekat dari ayahnya selama puluhan tahun, membuat Wan Bakar selalu bersikap tawaddhu‟ tidak jarang dalam setiap kesempatan beliau memuji beberapa kakak-kakaknya dan seniornya yakni Ustadz Roi yang juga merupakan orang kepercayaan sekaligus murid dari Sayyidil Walid untuk turut mengajar di Madrasah.

Selain itu, beliau juga pernah mengikuti beberapa organisasi, diantaranya seperti organisasi pendaki gunung (CMC: Cleap Mountain Club), Organisasi Pengkajian

58


(48)

Perbandingan Paham Agama di Mesjid Sunda Kelapa pada tahun 1982. Adapun ketika beliau di SMA mengikuti Organisasi Himpunan Pelajar SMA se-Jakarta. Dakwah adalah suatu yang menurut Habib Abu Bakar mengandung sisi rohani sebagai misi yang suci, sehingga tidak boleh tercampuri oleh motivasi duniawiyah yang bersifat semu. Kegiatan beliau hingga saat ini lebih banyak disibukkan dengan berdakwah melalui mengajar dan mengisi tausiah-tausiah di Madrasah Tsaqofah Islamiyah dan dibeberapa Majelis Taklim wilayah Jakarta dan Bogor.59

B. Sejarah Perkembangan Yayasan Tsaqofah Islamiyah

Yayasan Tsaqofah Islamiyah didirikan oleh ayah dari Habib Abu Bakar Assegaf bernama Al-habib Abdurrahman Assegaf yang akrab disapa dengan Sayyidil Walid oleh para murid dan anak-anaknya. Ketika itu, beliau bertempat tinggal didaerah Bogor, tetapi sering pulang pergi ke Jakarta hanya untuk menuntut ilmu agama di Jami‟atul Khoir daerah Tanah Abang Jakarta. Kemudian, setiap selesai belajar di Jami‟atul Khoir beliau langsung berangkat lagi belajar mengikuti pengajian di Madrasah Muawwanatul Ikhwan, tepatnya didaerah Bukit Duri Tebet Jakarta Selatan.

Berkat keistiqomahannya dalam menuntut ilmu dan juga rasa ta‟dzimnya yang tinggi terhadap para guru yang mengajarkannya membuat beliau diberikan kepercayaan oleh para gurunya untuk mengajar sekaligus memimpin madrasah tersebut. Madrasah tersebut diwakafkan kepada sayyidil walid untuk meneruskan dakwah guru-gurunya didaerah itu.

59


(49)

Karena Sayyidil Walid bukanlah penduduk asli di Bukit Duri tersebut sedangkan beliau harus menjalankan amanah dari para gurunya, maka beliau memutuskan untuk menikahi putri dari seorang warga yang asli bertempat tinggal didaerah tersebut yaitu ummi Hajjah Barkah tepatnya ketika usia beliau 25 tahun, semua itu beliau lakukan agar terjalin hubugan silaturrahim yang akrab dengan warga sekitar hingga akhirnya tinggalah beliau menjalankan kehidupannya didaerah itu.60

Dengan adanya akulturasi budaya akan terbentuk suatu kekuatan sosial yang menjunjung tinggi rasa dan nilai solidaritas, baik solidaritas agama, suku, persamaan nasib dan lain-lain. Terlebih lagi didorong rasa kekuatan tersebut untuk indikasi dibidang lain. Seperti tergambar dalam Majelis Taklim Tsaqofah Islamiyah ini. Dengan adanya solidaritas agama dari keturunan Arab dan kaum pribumi terealisasi hal diatas. Terbukti dengan keinginan kuat dari pengurus Majelis Taklim bekerja sama dengan penduduk setempat dan jama‟ah untuk membangun kembali majelis taklim yang terfokus lagi terarah dengan tujuan yang baik.61

Setelah menikah dan tinggal didaerah tersebut, Sayyidil Walid memulai dakwahnya tepatnya pada tahun 1935 dengan mengganti nama madrasah tersebut yang tadinya benama Muawwanatul Ikhwan menjadi Tsaqofah Islamiyah yang artinya Kebudayaan Islam. Berarti, Madrasah Tsaqofah Islamiyah adalah sekolah Kebudayaan Islam.

Ketika dibawah asuhan Sayyidil Walid, ternyata banyak sekali masyarakat yang antusias untuk ikut mengaji baik tua maupun yang muda serta para orangtua yang tidak

60

Habib Abu Bakar Assegaf, Wawancara Pribadi, (Jakarta: 12 Oktober 2010)

61


(50)

mau ketinggalan mendaftarkan anak-anak mereka untuk mengaji berguru kepada Sayyidil Walid. Tidak hanya di wilayah Jakarta saja peminatnya akan tetapi diluar Jakarta pun sangat banyak.

Adapun pelajaran-pelajaran yang diajarkan Sayyidil Walid kepada para muridnya sangat banyak diantaranya mencakup tentang syariat-syariat Islam yang bersumber dari kita-kitab salaf karangan ulama-ulama terdahulu seperti Fiqh, Tauhid, Akhlak dan bahasa Arab beserta Nahwu dan Shorofnya.

Metode pengajaran yang digunakan Sayyidil Walid adalah memberikan hafalan-hafalan (mufrodat, doa-doa, muhadatsah) selain membaca kitab, dan berlatih bahasa Arab. Bagi murid yang sudah mahir dalam pelajaran bahasa Arab terutama sudah mantap pemahamannya dibidang Nahwu Shorof, mereka diwajibkan untuk belajar membaca dan memahami kitab kuning.

Tsaqofah Islamiyah mengalami masa-masa kejayaan dibawah asuhan Sayyidil Walid. Ini terbukti bahwa hampir sekitar 95% murid-murid termasuk anak-anaknya yang diajarkan oleh Sayyidil Walid semuanya menjadi guru agama bahkan membuka majelis-majelis taklim, pondok-pondok Pesantren sendiri didaerah rumahnya masing-masing serta ikut menjadi pengajar di Yayasan Tsaqofah hingga mereka berkeluarga.62

Semua itu bisa terjadi karena begitu sayangnya beliau kepada para muridnya, beliau tidak hanya mengajarkan ilmu saja kepada muridnya akan tetapi selalu rajin mendoakan murid-muridnya dalam setiap ibadahnya kepada Allah SWT. Beliau yakin sebagai seorang da‟i kita diwajibkan untuk menyampaikan, mengajarkan dan

62


(51)

mengingatkan apa yang benar dan salah dari ajaran-ajaran Islam. Adapun yang memberikan hidayah itu adalah mutlak haknya Allah SWT.

Hingga saat ini para pengajar di madrasah Tsaqofah Islamiyah mereka semua itu merupakan alumni madrasah tersebut. Para murid pun meyakini bahwa itulah keberkahan dari seorang guru yang sebenarnya yaitu mendapatkan ilmu yang bermanfaat bagi diri sendiri dan dapat mengajarkannya kepada orang lain. Dengan kata lain tujuan utama Sayyidil Walid berdakwah di Madrasah Tsaqofah ini ialah agar beliau berhasil mencetak kader-kader dakwah Islam kedepan.63

Yayasan Tsaqofah Islamiyah ini terdiri dari majelis taklim, madrasah serta kursus-kursus bahasa Arab. Majelis taklim ini terbagi menjadi Majelis taklim kaum bapak dan remaja putra yang diadakan setiap malam Selasa jam 19.00 – 21.00 WIB dan Majelis taklim kaum ibu dan remaja putri setiap hari Kamis jam 10.00 – 11.45 WIB. Adapun aktivitas di Madrasah diadakan setiap Senin- Sabtu akan tetapi setiap hari Jum‟at libur. Untuk kursus dibuka setiap Senin-Kamis jam 15.00-17.00 pada jam ini, peminatnya lebih banyak kaum perempuan dan dibanding pada jam 19.00-20.00 yang lebih banyak diikuti oleh kaum laki-laki.64

Lokasi Yayasan Tsaqofah Islamiyah ini terletak di Bukit Duri Puteran jalan Perkutut 783 RT 06/03 Tebet- Jakarta Selatan. Letak Madrasah ini sangat strategis karena berada tepat ditengah-tengah pemukiman penduduk sekitar kurang dari 800

63

Ustadzah Marwiyah, Staf Pengajar di Yayasan Tsaqofah Islamiyah, Wawancara Pribadi,

(Jakarta: 18 September 2010)

64

Ustadzah Marwiyah, Staf Pengajar di Yayasan Tsaqofah Islamiyah, Wawancara Pribadi, (Jakarta: 18 September 2010)


(52)

meter arah utara terdapat SMK As-Syafi‟iyah, pusat perbelanjaan yaitu Pasar Bukit Duri Puteran, dan Stasiun Kereta Api Manggarai.

Yayasan Tsaqofah Islamiyah ini terletak diatas tanah seluas 2.300 M2, dengan bangunan dua lantai berbentuk persegi panjang dan lebar 9 M, panjangnya hampir 30M, tinggi bangunannya kurang lebih 8 meter, terdiri dari tiga aula dilantai dasar dan tiga aula dilantai atas. Adapun dilantai dasar dilengkapi kantor, ruang pimpinan, ruang tamu, ruang dapur. Dihalaman depan Majelis Taklim dibuat tenda besar yang terbuat dari alumunium guna menampung jamaah dalam mengikuti pengajian di Majelis Taklim Tsaqofah Islamiyah yang berdatangan dari Jakarta dan sekitarnya.

Bukit duri, Tebet merupakan tempat beradanya Yayasan Tsaqofah ini dikategorikan sebagai daerah yang cukup potensial untuk tempat usaha, pemukiman dan dakwah. Warganya terdiri dari para pedagang, wiraswasta, pagawai negeri dan buruh. Tingkat kepadatan penduduk cukup tinggi, banyak rumah yang dijadikan sebagai tempat usaha seperti toko/kios, karena lahan yang semakin sempit. Daerah tersebut juga sangat potensial untuk usaha demi kelangsungan hidup penduduk sekitar.

Pendirian sebuah Majelis Taklim khususnya Majelis Taklim Tsaqofah Islamiyah ketika itu disamping atas dasar amanah dari para guru Sayyidil Walid dan atas dasar kondisi masyarakat sekitarnya juga berdasarkan beberapa alasan. Seperti dikemukakan oleh pimpinan Yayasan Tsaqofah Islamiyah ini yaitu Habib Abu Bakar Assegaf sebagai berikut:65

a. Mencerdaskan ummat Islam yang ada disekitar

65


(53)

b. Mengajarkan keikhlasan dan keimanan lebih terhadap agamanya c. Kurangnya lembaga penyiaran Islam diwilayah Tebet waktu itu d. Mencetak kader-kader dakwah untuk Islam kedepan

Latar belakang kehidupan masyarakat Bukit Duri saat itu memang cukup memprihatinkan. Dimana situasi masyarakat masih awam dan menurunnya citra agama dalam pandangan masyarakat. Untuk lebih jelasnya dibawah ini terdapat beberapa penjelasan yang melatar belakangi pendiriannya:

a. Rendahnya kepedulian masyarakat sekitar terhadap syiar agama Islam b. Belum adanya guru (Ustadz atau Kiai) yang menjadi panutan

c. Masyarakat merindukan sosok seorang Habib/pengajar yang keturunan Arab d. Merosotnya dekadensi moral disekitar lingkungan tersebut

Majelis Taklim Tsaqofah Islamiyah ini pertama kali didirikan langsung dibina dan dipimpin olah Sayyidil Walid Alhabib Abdurrahman Assegaf sekaligus menjadi pengajar tetap di majelisnya hingga beliau wafat pada tahun 2006 lalu. Kepemimpinan pun digantikan oleh Habib Abu Bakar Assegaf hingga kini bersama para pengajar lainnya.

C. Peralihan Majelis Taklim menjadi Yayasan Tsaqofah Islamiyah

Madrasah Tsaqofah Islamiyah ini pertama kali didirikan langsung dibina dan dipimpin oleh Sayyidil Walid Alhabib Abdurrahman Assegaf sebagai pengajar tetap dimajelisnya. Kemudian seiring berjalannya waktu, estafet kepemimpinan diteruskan oleh anak pertama dari Sayyidil Walid yang bernama Habib Muhammad Assegaf.


(54)

Selang beberapa tahun dibawah pimpinan Habib Muhammad inilah Majelis taklim Tsaqofah Islamiyah ini dialihkan menjadi sebuah Yayasan tepatnya pada tahun 1970 hingga saat ini dibawah pimpinan Habib Abu Bakar Assegaf.66

Memang mayoritas jama‟ahnya yang menghadiri Majelis taklim ini berfaham Ahli sunnah waljama‟ah. Adapun pembahasan materi-materi pengajian yang terselenggara di Majelis taklim ini menggunakan kitab salaf. Dalam hal ini menggunakan kitab-kitab kuning karangan para ulama-ulama Salaf terdahulu seperti kitab tanqihul qaul yang berisi tentang nasehat-nasehat dan wasiat keimanan dari Ulama-ulama atau Habaib terdahulu yang menjalani kehidupan sesuai dengan tuntunan Islam. Khususnya mengenai keikhlasan niat, ketaqwaan, meluruskan aqidah dan amal, mensyukuri nikmat Allah SWT, amal ma‟ruf nahi munkar, adab membaca Al-Qur‟an serta berbakti kepada kedua orangtua, guru dan lain-lainnya yang dianggap perlu untuk dicontohkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Islam khususnya dan ummat Islam umumnya. Kitab lain yang dipakai dalam pengajian adalah: kitab

sifat duapuluh kitab ini menjelaskan tentang tauhid (keesaan Allah) dan akhlak berupa

nasihat-nasihat sebagai penguat keimanan manusia kepada tuhannya. Bagaimana sifat yang wajib, mustahil dan jaiz pada dzat Allah disertai dengan dalil-dalil nyata. Kemudian juga untuk meyakini datangnya pertologan-pertolongan Allah SWT kepada para hamba-Nya baik secara zhohir dan bathin. Agar manusia dapat mencapai derajat taqwa, ridha dunia dan akherat di sisi Allah SWT. KeKettiikkaa kkiittaa mmeemmoohhoonn kkeekkuuaattaann ddaann A

Allllaahh sswwtt mmeemmbbeerrii kkiittaa kkeessuulliittaann--kkeessuulliittaann uunnttuukk mmeemmbbuuaatt kkiittaa tteeggaarr..6677

66

Habib Abu Bakar Assegaf, Wawancara Pribadi, (Jakarta: 12 Oktober 2010) 67


(1)

tangan maka diubah dengan lisannya dan apabila tidak bisa juga dengan lisannya maka hendaklah mengubahnya dengan hati atau kita menyerahkannya pada Allah SWT yaitu dengan cara kita berdo‟a semoga orang yang berbuat kemungkaran tersebut mendapatkan pentunjuk dari Allah SWT dan tetap berada di jalan-Nya.

2. Dakwah Habib Abu Bakar Assegaf adalah dakwah yang mengedepankan nilai-nilai ketauhidan (pemantapan keimanan) dan akhlak yang kesemuanya dilakukan melalui berbagai media serta metode sebagai wadah untuk menyampaikan pemikiran dakwahnya. Karena adanya keuntungan ukhrawiyah dan mengajarkan kita hidup bertanggung jawab kepada pribadi, keluarga, agama dan bangsa.

3. Adapun aktivitas dakwah yang dilakukan Habib Abu Bakar Assegaf sebagai puncaknya menjadi pengasuh di Yayasan Tsaqofah Islamiyah mengadakan berbagai macam kegiatan, diantaranya: mengajar di Majelis Taklim/ Madrasah, Mesjid, dan juga mengadakan pengajian rutin harian dan bulanan. Secara keseluruhan penyelenggaraan kegiatan dakwah yang dilakukan Habib Abu Bakar Assegaf bertujuan meningkatkan pembinaan iman dan taqwa kepada semua umat islam dengan kebersamaan akhlak, mencetak para kader penerus perjuangan dakwah Rasulullah SAW serta mempererat ukhuwah Islamiyah kepada para jamaah. Dari keseluruhan bentuk-bentuk atau aktivitas dakwah yang dilakukan oleh Habib Abu Bakar Assegaf, semuanya menyangkup keadaan dua hal bentuk dakwah. Pertama dakwah bil-lisan dan yang kedua dakwah bil-hal. Akan tetapi lebih banyak menggunakan bentuk dakwah bil-lisan.


(2)

B. Saran

Seiring beberapa kesimpulan diatas, penulis mengajukan beberapa saran. Semoga saran ini dapat bermanfaat dalam pengembangan dakwah khususnya bagi Habib Abu Bakar Assegaf dan umumnya untuk kita semua, berkaitan dengan hal itu, penulis mengajukan beberapa saran, yaitu:

1. Bagi Habib Abu Bakar Assegaf agar tetap konsisten dalam menyebarkan ajaran Islam yang sangat mulia ini. Lebih bersemangat lagi dalam memberikan ilmu-ilmu agama baik berbentuk lisan maupun tulisan bagi para muridnya di Madrasah Tsaqofah ini maupun pada masyarakat umum. Serta tetap sabar dalam menerima setiap tantangan, halangan yang selalu datang menghadang dalam perjuangan dakwah ini.

2. Bagi mahasiswa Dakwah dan Komunikasi, alangkah baiknya jika memiliki pengetahuan luas mengenai permasalahan-permasalahan sosial masyarakat modern agar memiliki kecermatan dalam berdakwah. Dengan demikian harapan untuk lahirnya kader-kader juru dakwah yang memiliki kejelian dalam menentukan metode dan media, agar dakwah dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat.

3. Untuk para jamaah Yayasan Tsaqofah Islamiyah, jadilah muslim yang professional, dalam arti harus dapat menjaga identitas muslim sejati dimanapun anda berada, jangan pernah berputus asa dari rahmat Allah SWT, serta harus mempunyai keyakinan kuat untuk sukses didunia maupun diakherat dan senantiasa mengamalkan ilmu-ilmu yang telah diterima di Yayasan Tsaqofah Islamiyah ini.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Aceng, Press Relation: Kiat Berhubungan dengan Media Massa, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000)

Ahnan, Maftuh, Kamus Indonesia Arab – Arab Indonesia, (Gresik: CV Bintang Pelajar, tth)

Al-Aydrus, Muhammad Hasan, Dr., Penyebaran Islam di Asia Tenggara, (Jakarta: lentera, 1996)

Al-Hadad, Al-habib Alwi bin Thohir, Sejarah Masuknya Islam Di Timur Tengah, (Jakarta: Lentera, 2001)

Amin, Mansyur, Dakwah Islam dan Pesan Moral, (Yogyakarta: al-Amin Press, 1997)

Anshary, Isa, Mujahid Dakwah Pembimbing Muballigh Islam, (Bandung: Diponegoro, 1979)

Arifin, M., Psikologi Dakwah, Suatu Pengantar Studi, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), cet. k-11.

Assegaf, M. Hasyim, Derita Putra-Putri Nabi, Studi Historis Kafaah Syarifah, (Bandung: PT. RemajaRosdakarya, 2000), cet. ke-1

As-Suyuthi, Imam Jalaludin, 105 Hadist Keutamaan Ahl Bait (terj.), (Indonesia: Hasyimi Press, 2001)

Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Bandung: Mizan, 1999)


(4)

Baali, Fuad, dkk, Ibnu Khaldun and Islamic Thougt Styles A Social Perspective, (Boston, Massachusetts, tth)

Dagun, Save M., Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara, LPKN, 1997). Cet. ke-1

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), cet. ke-3

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi 3, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002)

Faizah, dkk, Psikologi Dakwah, (Jakarta, Prenada Media, 2006), cet. ke-1

Glasse (ed), Cryil “Ahl Bait”, Ensikopledi Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999) Habib M, Syafa‟at, Buku Pedoman Dakwah, (Jakarta: Widijaya, 1982)

Hafidudin, Didin, Dakwah Aktual, (Jakarta; Gema Insani Press, 1998)

Lexy, J. Moelong, Metodologi Penelitian kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1997), cet, ke-10

Al-Manawi, Abdur Rauf bin Muhammad, Jaami‟u Al-Hadist, (Beirut: Darul Fiqr, 1994), juz-10, hadist no: 1183/30208

Mansur, Musthafa Teladan di Medan Dakwah, (Solo: Era Intermedia, 2000) Mind, G.H. Mead, Self And Society, (Chicago: University of Chicago Press, 1934) Moeliyono, Anton M., et. al. Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Bali Pustaka, 1998)


(5)

Munawwir, Ahmad Warson, Al Munawwir Kamus Bahasa Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Pondok Pesantren Al-Munawwir, 1984)

Munir, M., dkk,. Manajemen Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2009)

Muriah, Siti, Metodologi Dakwah Komtemporer, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000) Nasution, M. Yunan, “Pokok-Pokok Dakwah” dalam Brosur Serial Media Dakwah,

(Jakarta: DDI), edisi 28, tth.

Nasuhi, Hamid, dkk, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi), (Jakarta: CeQDA 2007)

Natsir, M, Fiqhud Dakwah, (Jakarta: Media Dakwah, 2000)

Nizar, Samsul, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama) 2001

Nr, Deliar, Gerakan Modern Islam Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1980) Purwadarminta, WJS, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Putaka, 1992) Purwanto, M. Ngalim, Psikologi Pendidikan, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 1994) Qardhawi, Yusuf, Retorika Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2004), cet. ke-1 Rafiuddin, dkk, Prinsip dan Strategi Dakwah, (Bandung; Pustaka Setia, 1997)

Rahmat, Jalaludin, Retorika Modern, Sebuah Kerangka Teori dan Praktik Berpidato, (Bandung: Akademika, 1982)

Romli, Asep Syamsul M., Jurnalistik Dakwah Visi dan Misi Dakwah Bil Qalam, (Bandung: Rosdakarya, 2003)

Shaleh, Abdul Rasyid, Manajemen Dakwah Islam, (Jakarta; Bulan Bintang, 1986), cet ke-2

Shihab, Alwi, Islam Sufistik: Islam pertama dan pengaruhnya hingga kini diIndonesia, (Bandung: Mizan, 2001)


(6)

Shihab, Quraisy, Membumikan Al-qur‟an: fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan Masyarakat, (Bandung; Mizan 1998), cet. ke-17

Sholeh Muslim, Imam Muslim, (Indonesia: Dar Ihya al-kutub al-Arabiyah, tth) juz II, (kitab al-ilmi, bab Man sanna sunnatan hasanatan)

Shomad, A., Diktat Ilmu Dakwah, (Jakarta, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, 2004) Soetitoe, Samuel, Psikologi Pendidikan II, (Jakarta: FEUI, 1982),

Syukur, Asmuni, Dasar-Dasar Strategi Dakawah Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1983) Tim Penyusun P3B (DekDikBud), Kamus Besar Bahasa Indonesia” (Jakarta: Balai

Pustaka, 1988), Cet. ke-1,

Usman, Husni, dkk, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: Bumi Aksara, 1998) cet ke. 2

Usman bin Yahya, Al-Habib, Kitab Risalah Dua Ilmu, (Jakarta: Attahiriyah, tth) Yakub, Hamzah, Pubisistik Islam, (Bandung: CV. Diponegoro)

Yamani, Muhammad Abduh, Ajarilah Anakmu Mencintai Keluarga Nabi Saw, (Pasuruan: L‟Islam, 2002) cet. ke2.