Pemberontakan DI TII di Sulawesi Selatan

IPS SMPMTs Kelas IX 255 Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan ideologi Pancasila menghadapi berbagai tantangan besar sejak tahun 1959, ketika Demokrasi Terpimpin dilaksanakan. Pada waktu itu terjadi ketegangan sosial politik yang menjadi-jadi. Kondisi politik menjadi panas karena antarpartai politik saling mencurigai, antara partai politik dengan ABRI serta antara keduanya dengan Presiden. Mereka saling bersaing untuk saling berebut pengaruh atau mendominasi. Begitu pula pada masa Demokrasi Terpimpin kondisi ekonomi sangat memprihatinkan hingga muncul krisis ekonomi nasional. Prinsip Nasakom yang diterapkan waktu itu memberi peluang kepada PKI dan organisasi pendukungnya untuk memperluas pengaruhnya. Dalam memanfaatkan peluang tersebut PKI menyatakan sebagai partai pejuang bagi perbaikan nasib rakyat dengan janji-janji seperti kenaikan gaji atau upah, pembagian tanah dan sebagainya. Oleh karena itu PKI banyak mendapatkan pengaruh dari para petani, buruh kecil atau pegawai rendah sipil maupun militer, seniman, wartawan, guru, mahasiswa, dosen, intelektual, dan para perwira ABRI. Kondisi politik dan ekonomi yang semakin tegang berdampak pada sosial budaya masyarakat. PKI dan para pendukungnya yang semakin mendapat pengaruh sering mengancam dan melakukan tindak kekerasan lainnya. Hal ini seperti yang dialami oleh para pemuda yang tergabung dalam organisasi Pelajar Islam Indonesia PII. Ketika sedang melakukan pelatihan di Kanigoro Kediri Jawa Timur pada bulan Januari 1965, para pendukung PKI menyerbu peserta pelatihan. Tindakan serupa juga dilakukan terhadap umat Hindu di Bali yang sedang melakukan kegiatan keagamaan. Tindakan PKI ini akhirnya juga dibalas oleh para kelompok yang anti PKI sehingga masyarakat menjadi semakin resah karena seringkali terjadi pertikaian fisik. Pengaruh PKI yang sangat besar dalam bidang politik berdampak luas terhadap kebijakan pemerintah di semua bidang. Dalam bidang sosial budaya semua organisasi yang anti PKI dituduh sebagai anti pemerintah. Para seniman yang tergabung dalam kelompok Maniesto Kebudayaan Manikebu dibubarkan oleh pemerintah pada bulan Mei 1964. Badan Pendukung Sukarno BPS juga dibubarkan oleh pemerintah pada bulan Desember 1964 karena menentang PKI. C Keadaan Politik, Ekonomi, Sosial, dan Budaya Sebelum Terjadinya Peristiwa G 30 SPKI 256 IPS SMPMTs Kelas IX Tantangan yang dihadapi NKRI ketika Demokrasi Terpimpin dilaksanakan dan munculnya krisis ekonomi nasional merupakan peluang paham komunis untuk berkembang. Prinsip Nasakom yang dilaksanakan pada waktu itu memberi keempatan kepada PKI dan organisasi pendukungnya untuk memperluas pengaruhnya. Melihat kondisi ekonomi yang memprihatinkan serta kondisi sosial politik yang penuh dengan gejolak pada awal tahun 1960-an maka PKI berusaha menyusun kekuatan dan melakukan pemberontakan. Sebelum melakukan pemberontakan, PKI melakukan berbagai cara agar mendapat dukungan yang luas di antaranya sebagai berikut. 1 PKI menyatakan dirinya sebagai pejuang perbaikan nasib rakyat serta berjanji akan menaikkan gaji dan upah buruh, pembagian tanah dengan adil, dan sebagainya. 2 Pada akhir tahun 1963 PKI melakukan “Aksi Sepihak” terutama di Jawa, Bali, dan Sumatera Utara. 3 PKI juga mencari pendukung dari berbagai kalangan mulai dari para petani, buruh kecil, pegawai rendahan baik sipil maupun militer, seniman, wartawan, guru, mahasiswa, dosen, intelektual, dan para perwira ABRI. 4 Pengaruh PKI yang besar dalam bidang politik sehingga memengaruhi terhadap kebijakan pemerintah. Misalnya, semua organisasi yang anti komunis dituduh sebagai anti pemerintah. Manifesto Kebudayaan Manikebu, sebagai organisasi para seniman dibubarkan pemerintah pada bulan Mei 1964. Kebijakan politik luar negeri RI pada waktu itu lebih condong ke Blok Timur yakni dengan terbentuknya Poros Jakarta-Peking. 5 Memasuki tahun 1965 PKI melempar desas-desus adanya “Dewan Jenderal” dari dalam tubuh Angkatan Darat. Menurut PKI bahwa Dewan Jenderal ini akan mengambil alih kekuasaan secara paksa dengan bantuan Amerika Serikat. Tuduhan ini dibantah oleh Angkatan Darat, sebaliknya PKI yang akan melakukan perebutan kekuasaan. Puncak ketegangan politik terjadi secara nasional pada dini hari tanggal 30 September 1965 atau awal tanggal 1 Oktober 1965, yakni terjadinya penculikan dan pembunuhan terhadap para perwira Angkatan Darat. Penculikan ini dilakukan oleh sekelompok militer yang menamakan dirinya sebagai Gerakan 30 September. Aksi ini di bawah pimpinan Letnan Kolonel Untung, komandan Batalyon I Cakrabirawa. Para pimpinan TNI AD yang diculik dan dibunuh oleh kelompok G 30 S PKI tersebut adalah sebagai berikut. D Pemberontakan G 30 SPKI dan Cara Penumpasannya