B. Penanganan Gangguan Usaha dan Kebakaran Lahan dan Kebun
Kasus Gangguan Usaha Perkebunan GUP terdiri dari 2 dua jenis yaitu kasus lahan dan kasus non lahan. Kasus lahan yang terjadi sampai dengan tahun 2009
sebanyak 508 kasus yang terdiri dari kasus lahan 426 kasus dan non lahan 82 kasus. Rata-rata kasus yang dapat ditangani setiap tahun sampai tahun 2009
sebanyak 129 kasus yang terdiri dari kasus lahan 108 kasus dan kasus non lahan 21 kasus. Jumlah kasus gangguan usaha perkebunan GUP yang terjadi dan
jumlah kasus yang dapat ditangani setiap tahun selama kurun waktu 2005-2009 dapat dilihat pada Tabel 18.
Tabel 18. Kasus Gangguan Usaha Perkebunan Tahun 2005-2009
No. Kasus Jumlah Kasus
Jumlah Kasus Yang Dapat Ditangani 2005 2006 2007 2008 2009 2005 2006
2007 2008 2009
Rerata 1. Lahan
535 518
417 524
426 116
94 100
48 184
108 2. Non
Lahan
111 80
58 72
82 38
18 23
16 12
21 Jumlah
646 598
475 596
508 154
112 123
64 196
129
Sumber : Direktorat Perlindungan Perkebunan, 2010.
Kasus GUP yang terjadi pada tahun berjalan sering muncul pada tahun berikutnya karena belum selesai penanganannya dan adanya penambahan kasus baru
sehingga kasus pada tahun berjalan dan tahun berikutnya tidak dapat dijumlahkan. Rendahnya jumlah kasus yang dapat ditangani disebabkan oleh berbagai faktor
multi dimensi karena sangat terkait dengan berbagai instansi seperti Kementerian Dalam Negeri, BPN Badan Pertanahan Nasional Pusat,
Kementerian Kehutanan, Kepolisian RI, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah KabupatenKota yang seringkali masing-masing instansi mempunyai persepsi
yang berbeda-beda terhadap setiap kasus. Peran Direktorat Jenderal Perkebunan dalam penanganan kasus GUP hanya sebatas melakukan fasilitasi karena
sebagaimana diatur dalam dengan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan bahwa perizinan usaha perkebunan merupakan wewenang Pemerintah
Provinsi dan KabupatenKota.
Kebakaran lahan dan kebun merupakan kejadian yang berulang setiap tahun karena kurangnya kesadaran masyarakat dan tingginya biaya untuk membuka
lahan tanpa bakar. Fakta menunjukkan bahwa luas areal perkebunan dan lahan masyarakat yang mengalami kebakaran dalam kurun waktu 2005-2009 masih
cukup tinggi. Data hotspot tidak identik dengan kejadian kebakaran. Hotspot dipantau oleh satelit berdasarkan suhu yang terdeteksi oleh satelit NOAA
National Oceanic and Atmospheric Administration dengan kriteria setiap obyek yang bersuhu 318ºKelvin atau setara dengan 45ºC dinyatakan sebagai hotspot.
Oleh karena itu diperlukan ground checkpemantauan lapangan untuk memastikan apakah hotspot yang terdeteksi merupakan kejadian kebakaran atau bukan.
Hasil pemantauan Hotspot dan kejadian kebakaran lahan setiap tahun dalam kurun waktu 2005-2009 disajikan pada Tabel 19 berikut.
Tabel 19. Pemantauan Hotspot dan Kebakaran Lahan Tahun 2005-2009
Tahun Hotspot Titik
Kebakaran Ha 2005
4.251 21.658
2006
33.805 14.385
2007 6.783
750
2008
9.237 6.211
2009
29.093 14.232
Sumber : Direktorat Perlindungan Perkebunan, 2010.
Dampak perubahan iklim pada umumnya mengakibatkan kebanjiran, kekeringan dan longsor. Hasil pemantauan dampak perubahan iklim selama 2005-2009
disajikan pada Tabel 20.
Tabel 20. Pemantauan Dampak Perubahan Iklim Tahun 2005-2009
Bencana Alam Kejadian per Tahun
2005 2006
2007 2008
2009 Kekeringan Ha
- 5.046,72
3.681 -
-
Banjir Ha -
4.120,113 4.492
777,6 2.693,4
Longsor Ha
- 14
- 118
-
Jumlah
- 9.180,93
8.173 895,6
2.693,4
Sumber : Direktorat Perlindungan Perkebunan, 2010.
1.2. Tugas Pokok dan Fungsi
Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Permentan Nomor 61PermentanOT.140102010 tanggal 14 Oktober 2010 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Kementerian Pertanian bahwa Direktorat Jenderal Perkebunan adalah unsur pelaksana pada Kementerian Pertanian yang dipimpin oleh Direktur
Jenderal yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Pertanian. Dalam melaksanakan tugas, Direktorat Jenderal Perkebunan menyelenggarakan
fungsi :
1. Perumusan kebijakan di bidang perbenihan, budidaya, perlindungan dan pascapanen perkebunan.
2. Pelaksanaan kebijakan di bidang perbenihan, budidaya, perlindungan dan pascapanen perkebunan.
3. Penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria di bidang perbenihan, budidaya, perlindungan dan pascapanen perkebunan.