Sifat Keterawetan dan Keawetan Kayu Durian, Limus, dan Duku terhadap Rayap Kayu Kering, Rayap Tanah, dan Jamur Pelapuk.

(1)

SIFAT KETERAWETAN DAN KEAWETAN KAYU DURIAN,

LIMUS, DAN DUKU TERHADAP RAYAP KAYU KERING,

RAYAP TANAH, DAN JAMUR PELAPUK

ANA KURNIA

DEPARTEMEN HASIL HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

SIFAT KETERAWETAN DAN KEAWETAN KAYU DURIAN,

LIMUS, DAN DUKU TERHADAP RAYAP KAYU KERING,

RAYAP TANAH, DAN JAMUR PELAPUK

ANA KURNIA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada

Departemen Hasil Hutan

DEPARTEMEN HASIL HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(3)

Preservative Treatability and Durability of Durian, Limus, and Duku Woods to Dry Wood Termites, Subterranean

Termites, and Decay Fungi

Ana Kurnia1, Trisna Priadi2, and Arinana3

INTRODUCTION : Generally, durability and preservative treatability of woods from community forests are unknown. Biodeterioration threat in Indonesia, as a tropical country is high enough. Therefore the protection of woods (e.g preservation) is required. Woods from community forests are hoped as substitute materials for commercial woods from natural forests for constructions and furniture. The objectives of this research were, firstly to know durian, limus, and duku woods durability from dry wood termites, subterranean termites and decay fungi; secondly, to know woods treatability with Diffusol CB preservative in cold soaking method and hot cold soaking method; thirdly, to know Diffusol CB preservative effication to termites.

METHOD : In wood durability test to dry wood termites, subterranean termites and decay fungi, the analyses based on termites mortality and wood weight loss. That was the same as in the efficacy test of Diffusol CB. In Diffusol CB treatability of the three woods, retention and penetration of preservative were determined in cold soaking method and hot cold soaking method preservations.

RESULT : The result showed that the difference of wood species did not have significant effect to termite mortality and weight loss in wood durability test to dry wood termites. However it had significant effect to wood weight loss in subterranean termites test. In durability test to decay fungi, the weight loss of limus wood was higher than that at durian and duku woods. Generally, duku wood had higher durability than limus and durian woods. In cold soaking preservation, the highest retention value was 2.35 kg/m3 in limus wood and

the lowest was 1.45 kg/m3 in duku wood. In hot cold soaking method, the highest retention

value was 4.15 kg/m3 in duku wood, while the lowest retention value was 3.71 kg/m3 in

durian wood. Boron penetration was higher than copper penetration in all the tested woods, with the two penetration methods. In cold soaking method, preservative penetration in the three kind of woods were not much different. However boron penetration in limus wood was relatively higher than in other woods. In hot cold soaking method, boron and copper penetratiaon increased significantly. Boron penetration in duku wood was increased up to 11 mm. It was supposed than leaching of gum occurred in hot cold soaking of duku wood, so boron penetrated more deeply.

KEYWORDS : preservative treatability, durability, termites, decay fungi, community wood.

1. Student of Forest Products Department, Faculty of Forestry IPB 2. Faculty member, Faculty of Forestry IPB

3. Faculty member, Faculty of Forestry IPB

(Advisor) E/THH


(4)

RINGKASAN

ANA KURNIA. E24051757. Sifat Keterawetan dan Keawetan Kayu Durian, Limus, dan Duku terhadap Rayap Kayu Kering, Rayap Tanah, dan Jamur Pelapuk. Dibimbing oleh TRISNA PRIADI dan ARINANA.

Kayu dari hutan rakyat umumnya belum diketahui sifat-sifatnya terutama keawetan dan keterawetannya. Ancaman biodeteorasi di Indonesia sebagai daerah tropis cukup tinggi, sehingga sangat diperlukan tindakan perlindungan berupa pengawetan untuk mencegah hal tersebut. Kayu dari hutan rakyat diharapkan dapat menjadi bahan substitusi kayu dari hutan alam baik untuk kebutuhan komponen bangunan maupun bahan baku industri. Tujuan penelitian ini adalah pertama, untuk mengetahui keawetan kayu durian, limus, dan duku terhadap rayap kayu kering, rayap tanah, jamur pelapuk; kedua untuk mengetahui keterawetan kayu dengan bahan pengawet Diffusol CB dengan metode rendaman dingin dan rendaman panas dingin; dan ketiga untuk mengetahui efektifitas pengawetan dengan Diffusol CB terhadap rayap kayu kering dan rayap tanah.

Dalam penelitian ini dilakukan uji keawetan kayu durian, limus, dan duku, keterawetannya, dan efikasi pengawet Diffusol CB. Dalam pengujian keawetan kayu durian, limus, dan duku terhadap rayap kayu kering, rayap tanah, dan jamur pelapuk serta uji efikasi Diffusol CB yang dianalisis adalah mortalitas rayap dan penurunan berat contoh uji kayu. Keterawetan setiap jenis kayu dinilai dari besarnya retensi dan penetrasi yang dicapai bahan pengawet pada contoh uji kayu dalam dua metode pengawetan yaitu metode rendaman dingin dan rendaman panas dingin.

Dari hasil penelitian keawetan kayu terhadap rayap kayu kering, perbedaan ketiga jenis kayu yang digunakan tidak memiliki pengaruh yang nyata terhadap mortalitas rayap dan penurunan berat kayu. Pada rayap tanah, perbedaan jenis kayu durian, limus, dan duku tidak berpengaruh nyata terhadap mortalitas rayap namun berpengaruh nyata terhadap penurunan berat kayu. Sedangkan pada pengujian terhadap jamur pelapuk, kayu limus nyata lebih besar penurunan beratnya dibanding kayu durian dan kayu duku. Secara umum, kayu duku memiliki tingkat keawetan kayu yang lebih tinggi daripada kayu durian dan limus.

Pada metode rendaman dingin nilai retensi tertinggi pada kayu limus sebesar 2.35 kg/m3 dan retensi terendah pada kayu duku yaitu sebesar 1.45 kg/m3. Sedangkan pada metode rendaman panas dingin, retensi tertinggi pada kayu duku sebesar 4.15 kg/m3, dan terendah pada kayu durian sebesar 3.71 kg/m3. Penetrasi boron memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan nilai penetrasi tembaga. Nilai tertinggi ini terjadi untuk kedua metode pengawetan dan semua jenis kayu. Pada metode rendaman dingin, nilai penetrasi boron maupun tembaga diantara ketiga jenis kayu relatif tidak banyak berbeda. Namun demikian, penetrasi pada kayu limus relatif lebih tinggi daripada dua jenis yang lain. Pada metode rendaman panas dingin, penetrasi boron maupun tembaga mengalami peningkatan dibanding pada rendaman dingin. Perbandingan penetrasi pengawetan diantara jenis kayu relatif kecil kecuali penetrasi dalam kayu duku meningkat hingga 11 mm. Hal ini terjadi karena diduga pada kayu duku pada saat rendaman panas dingin terjadi pencucian getah sehingga senyawa boron yang masuk relatif lebih dalam.


(5)

Berdasarkan hasil uji efikasi, dapat disimpulkan bahwa pada konsentrasi 2.5% bahan pengawet cukup efektif mengendalikan rayap kayu kering dan rayap tanah. Peningkatan konsentrasi pengawet diatas 2.5% hingga 7.5% tidak meningkatkan efektifitas pengawetan secara nyata.


(6)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Sifat Keterawetan dan Keawetan Kayu Durian, Limus, dan Duku terhadap Rayap Kayu Kering, Rayap Tanah, dan Jamur Pelapuk adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, September 2009

Ana Kurnia NRP E24051757


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian berjudul Sifat Keterawetan dan Keawetan Kayu Durian, Limus, dan Duku terhadap Rayap Kayu Kering, Rayap Tanah, dan Jamur Pelapuk. Shalawat serta salam penulis haturkan kepada Baginda Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umat manusia ke era penuh dengan kemajuan dan ilmu pengetahuan. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan karya tulis ini, sehingga penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk karya tulis ini. Penulis berharap karya tulis ini dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada masyarakat sehingga dapat lebih bijak dalam pemanfaatan hasil hutan. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih.

Bogor, September 2009 Penulis


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Ana Kurnia, dilahirkan pada tanggal 4 April 1986 di Sampang, Madura. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan Bapak Husnol Yakin dan Ibu Zainah. Pendidikan formal penulis dimulai sejak taman kanak-kanak di TK Aisyiah Bustanul Atfal Sampang dan lulus pada tahun 1993. Kemudian melanjutkan ke SD Rongtengah 1 Sampang dan lulus pada tahun 1999. Pada tahun 2002, penulis menyelesaikan pendidikan sekolah menengah pertama di SLTP Negeri 1 Sampang. Pada tahun 2005, penulis menyelesaikan pendidikan sekolah menengah umum di SMU Negeri 1 Sampang. Pada tahun yang sama penulis juga diterima menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) di Fakultas Kehutanan, Departemen Hasil Hutan.

Selama menjalani studi di IPB penulis aktif di organisasi kemahasiswaan yaitu, Organisasi Mahasiswa Madura (GASISMA) (2005-sekarang), Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) bidang seni paduan suara Agriaswara IPB (2005-2006), International Forestry Student Association (IFSA) (2006-2007), Himpunan Mahasiswa Hasil Hutan (HIMASILTAN) (2006-2007), Paduan suara Fahutan (2006-2007), dan penyiar AGRI FM radio komunitas IPB (2007-2008). Selain itu, penulis juga pernah melakukan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan di BKPH Sancang dan BKPH Kamojang, Praktek Pengelolaan Hutan di Hutan Pendidikan Gunung Walat tahun 2008, serta Praktek Kerja Lapang di Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2009.

Sebagai pemenuhan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi dengan judul Sifat Keterawetan dan Keawetan Kayu Durian, Limus, dan Duku terhadap Rayap Kayu Kering, Rayap Tanah, dan Jamur Pelapuk yang dibimbing oleh Bapak Ir. Trisna Priadi, M. Eng. Sc. dan Ibu Arinana, S.Hut. M. Si.


(9)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada:

1. Bapak (Husnol Yakin), Ibu (Zainah), dan adik-adikku tercinta (Lailatul Amalia dan Rizal Ainol Yakin) serta keluarga besar penulis atas semua kasih

sayang, semangat, kesabaran, dan do’anya selama ini.

2. Ir. Trisna Priadi, M. Eng. Sc. selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan arahan, masukan, dan nasihat yang sangat berarti bagi penulis.

3. Arinana, S.Hut. M. Si. selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini.

4. Keluarga besar Laboratorium Peningkatan Mutu Departemen Hasil Hutan IPB terima kasih atas bantuannya.

5. Keluarga besar Laboratorium Pathologi Hutan Departemen Silvikultur IPB yang telah memberikan nasihat dan bantuan selama penelitian.

6. Keluarga besar Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) IPB yang telah membantu kelancaran dalam penelitian penulis. 7. Teman-teman THH’42 atas kebersamaan yang kita jalin dan rangkaian

kenangan yang tak terlupakan.

8. Teman-teman kosan putri White House (WH) atas bantuan dan semangat yang telah diberikan.

9. Semua pihak yang telah membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... ii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 1

1.3 Manfaat ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kayu dari Hutan Rakyat ... 3

2.2 Masalah Biodeteriorasi ... 5

2.3 Keawetan Kayu…. ... 9

2.4 Pengawetan Kayu ... 11

2.5 Efikasi Bahan Pengawet ... 14

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat ... 16

3.2 Bahan dan Alat ... 16

3.3 Metode ... 17

3.4 Analisis Data ... 23

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengujian Keawetan Kayu ... 25

4.2 Pengujian Keterawetan Kayu ... 32

4.3 Pengujian Efikasi Bahan Pengawet ... 38

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 45

5.2 Saran… ... 45

DAFTAR PUSTAKA ... 46


(11)

DAFTAR TABEL

No Halaman

1. Kelas ketahanan kayu terhadap jamur ... 10

2. Klasifikasi keawetan kayu Indonesia ... 10

3. Jenis, komposisi bahan aktif, formulasi, dan bentuk bahan pengawet. ... 12

4. Persyaratan retensi dan penetrasi bahan pengawet ... 13

5. Klasifikasi keterawetan kayu ... 14

6. Klasifikasi ketahanan kayu terhadap rayap kayu kering ... 15

7. Klasifikasi ketahanan kayu terhadap rayap tanah ... 15

8. Formulasi Diffusol CB ... 19

9. Analisis ragam mortalitas rayap kayu kering pada uji keawetan ... 26

10. Analisis ragam penurunan berat kayu oleh rayap kayu kering pada uji keawetan ... 27

11. Analisis ragam mortalitas rayap tanah pada uji keawetan... 29

12. Analisis ragam penurunan berat kayu oleh rayap tanah pada uji keawetan ... 30

13. Uji Duncan penurunan berat kayu oleh rayap tanah pada uji keawetan ... 30

14. Analisis ragam penurunan berat kayu oleh jamur pelapuk pada uji keawetan ... 31

15. Uji Duncan penurunan berat kayu oleh jamur pelapuk pada uji keawetan ... 31

16. Analisis ragam retensi bahan pengawet ... 34

17. Uji Duncan interaksi metode dan jenis kayu terhadap retensi ... 35

18. Analisis ragam penetrasi boron ... 36

19. Uji Duncan interaksi metode dan jenis kayu terhadap penetrasi boron ... 37

20. Analisis ragam penetrasi tembaga... 38

21. Analisis ragam mortalitas rayap kayu kering pada uji efikasi ... 39

22. Uji Duncan konsentrasi terhadap mortalitas rayap kayu kering pada uji efikasi ... 39


(12)

23. Analisis ragam penurunan berat kayu oleh rayap kayu kering

pada uji efikasi ... 40 24. Uji Duncan konsentrasi terhadap penurunan berat kayu oleh

rayap kayu kering pada uji efikasi ... 41 25. Analisis ragam mortalitas rayap tanah pada uji efikasi ... 42 26. Analisis ragam penurunan berat kayu terhadap rayap tanah

pada uji efikasi ... 43 27. Uji Duncan konsentrasi terhadap penurunan berat kayu oleh


(13)

DAFTAR GAMBAR

No Halaman

1. Prajurit Cryptotermes cynocephalus ... 6

2. Rayap pekerja dan rayap prajurit ... 8

3. Pengambilan contoh uji untuk uji penetrasi. ... 21

4. Penampang contoh uji yang telah diberikan larutan pereaksi ... 22

5. Nilai mortalitas rayap kayu kering pada uji keawetan ... 26

6. Nilai penurunan berat kayu oleh rayap kayu kering pada uji keawetan... 27

7. Nilai mortalitas rayap tanah pada uji keawetan ... 28

8. Nilai penurunan berat kayu oleh rayap tanah pada uji keawetan ... 29

9. Nilai penurunan berat kayu oleh jamur pelapuk pada uji keawetan ... 31

10. Nilai retensi bahan pengawet ... 33

11. Nilai penetrasi boron dan tembaga... 36

12. Nilai mortalitas rayap kayu kering pada uji efikasi ... 39

13. Nilai penurunan berat kayu oleh rayap kayu kering pada uji efikasi ... 40

14. Nilai mortalitas rayap tanah pada uji efikasi ... 42


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman

1. Perhitungan persentase mortalitas dan penurunan berat kayu terhadap

rayap kayu kering pada uji keawetan ... 50 2. Perhitungan persentase mortalitas dan penurunan berat kayu

rayap tanah pada uji keawetan. ... 51 3. Perhitungan persentase penurunan berat kayu terhadap jamur pelapuk

pada uji keawetan ... 52 4. Kadar air contoh uji untuk pengujian keterawetan ... 53 5. Retensi dan penetrasi bahan pengawet ... 54 6. Perhitungan persentase mortalitas dan penurunan berat kayu terhadap

rayap kayu kering pada uji efikasi. ... 55 7. Perhitungan persentase mortalitas dan penurunan berat kayu terhadap


(15)

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Potensi hutan rakyat sangatlah besar baik dari segi populasi pohon maupun masyarakat yang mengusahakannya yang ternyata mampu menyediakan bahan baku industri kehutanan. Pada periode 2005-2009 pemerintah menargetkan pembangunan hutan rakyat seluas 2 juta hektar. Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktorat Jendral Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (2006), luas hutan rakyat di Indonesia sampai dengan April 2006 tercatat 1.272.505,61 ha (Winarno & Waluyo 2008).

Umumnya, kayu-kayu yang berasal dari hutan rakyat didominasi oleh kayu yang mempunyai keterawetan rendah dan lebih inferior dibandingkan kayu-kayu komersial dari hutan alam. Hal ini menyebabkan kayu-kayu tersebut sangat rentan terhadap serangan organisme perusak kayu sehingga masa pakai (life service) kayu tersebut pendek. Dari sekitar 4000 jenis kayu Indonesia sebagian besar (80-85%) berkelas awet rendah (III, IV, dan V) dan hanya sedikit yang berkelas awet tinggi. Padahal nilai suatu jenis kayu untuk keperluan bangunan perumahan dan

furniture sangat ditentukan oleh keawetannya.

Kasus perusakan kayu oleh organisme perusak tidak hanya menimbulkan masalah secara teknis namun juga secara ekonomis. Selain itu kerusakan kayu oleh organisme perusak mengakibatkan komponen bangunan harus diganti. Dengan kata lain laju konsumsi kayu dan kebutuhan kayu akan semakin meningkat yang berakibat pada laju penebangan hutan yang semakin tinggi dari tahun ke tahun. Hal inilah yang mendorong upaya untuk melakukan pengawetan kayu, diantaranya dengan mengisi kayu dengan bahan beracun sehingga kayu tidak diserang organisme perusak.

1.2 Tujuan

1. Mengetahui keawetan kayu durian, limus, dan duku terhadap rayap kayu kering, rayap tanah, dan jamur pelapuk.

2. Mengetahui keterawetan kayu dengan bahan pengawet Diffusol CB dengan metode rendaman dingin dan metode rendaman panas dingin.


(16)

3. Mengetahui efektifitas pengawetan dengan Diffusol CB terhadap rayap kayu kering dan rayap tanah.

1.3 Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam penggunaan jenis kayu rakyat sebagai bahan substitusi kayu komersial yang sesuai dengan sifat kayu dan penggunaannya, baik untuk penggunaan di dalam maupun di luar ruangan.


(17)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kayu dari Hutan Rakyat

Hutan rakyat adalah hutan-hutan yang dibangun dan dikelola oleh rakyat dan umumnya berada di atas tanah milik atau tanah adat, meskipun ada pula yang berada di atas tanah negara atau kawasan hutan negara. Kayu yang berasal dari hutan rakyat pada umumnya berumur muda, berdiameter kecil (< 25 cm), dan bermutu rendah. Karena pasokan kayu dari hutan alam semakin menurun, maka pemakai kayu cenderung memilih kayu rakyat. Kayu dari hutan rakyat pada dasarnya digunakan untuk berbagai keperluan baik untuk pertukangan maupun bahan bangunan. Namun, dalam pemakaiannya harus didukung oleh teknologi yang dapat memperbaiki sifat-sifat kayu, seperti pola penggergajian, pengeringan, pengawetan, dan teknologi pengolahan lainnya (Abdurachman & Hadjib 2006).

2.1.1 Durian (Durio zibethinus Murr.)

Nama botanis durian adalah Durio spp famili Bombacaceaea (terutama D.

carinatus Mast., D. Oxleyanus Griff., D. Zibethinus Murr.). Nama daerahnya

adalah duren, deureuyan, andurian, duriat, duriang, derian, duiang, duhuian, tuleno, turene. Sedangkan nama lain : durian (Philipina, Sabah, Inggris, Amerika Serikat, Perancis, Spanyol, Italia, Belanda, Jerman). Penyebaran kayu durian ini di seluruh Indonesia.

Menurut Mandang & Pandit (1997), ciri anatomi kayu durian adalah pembuluh atau pori baur, soliter dan berganda radial yang terdiri atas 2-3 pori, umumnya berukuran agak besar, frekuensinya sangat jarang atau jarang, kadang-kadang ada endapan berwarna putih, bidang perforasi sederhana. Parenkima terutama bertipe apotrakea baur, berupa garis-garis tangensial pendek diantara jari-jari atau ada yang bentuk jala. Jari-jari sangat sempit sampai lebar, letaknya jarang sampai agak jarang, ukurannya pendek sampai agak pendek.

Ciri umum dari kayu ini adalah kayu teras berwarna coklat merah jika masih segar, lambat laun menjadi coklat kelabu atau coklat semu-semu lembayung. Kayu gubal berwarna putih dan dapat dibedakan dengan jelas dari kayu teras, tebal sampai 5 cm. Teksturnya agak kasar dan merata dengan arah


(18)

serat lurus atau berpadu. Permukaan kayu agak licin dan mengkilap. Kesan raba agak licin sampai licin, kekerasan agak lunak sampai agak keras.

Menurut Oey Djoen Seng (1990), sifat kayu durian termasuk kelas kuat II-III dengan berat jenis 0.57. Kayunya mudah digergaji meskipun permukaanya cenderung untuk berbulu, selain itu mudah dikupas untuk dibuat finir. Kayu durian cepat menjadi kering tanpa cacat, tetapi papan yang tipis cenderung untuk menjadi cekung. Sedangkan kegunaan kayu ini adalah sebagai bangunan dibawah atap, rangka pintu dan jendela, perabot rumah tangga sederhana (termasuk lemari), lantai, dinding, sekat ruangan, kayu lapis, peti, sandal kayu, peti jenazah, dan bangunan kapal.

2.1.2 Limus (Mangifera foetida Lour.)

Nama botanis kayu limus adalah Mangifera foetida Loureiro (sin. M.

horsfieldii). Nama daerah : bacang, pakel, limus (Sunda.); asam hambawang

(Kalimantan Selatan); bakumpai (Kalimantan Tengah); mancong (Aceh); lemus (Batak); mbacang (Minangkabau); pakel (Jawa); mangga papa (Timor); paukasi (Alor); taipa bacang (Makasar); pao daeko cani (Bugis); pata (Ambon); batin laka (Buru). Nama lain : macang, pahu (Malaysia.); ma chai, mamut (Thailand); xoài hoi (Vietnam); horse mango (Inggris); la mot (Myanmar). Penyebaran kayu ini di Jawa, Semenanjung Malaya, Sumatra, Borneo, wilayah Indocina dan Tenasserim selatan di Burma juga Filipina.

Ciri umum kayu limus adalah pohon besar berbatang lurus, dapat mencapai 30-35 m. Kulit kayunya coklat sampai coklat kelabu tua, memecah beralur dangkal. Kayu limus tidak begitu baik kualitasnya, namun terkadang dimanfaatkan dalam konstruksi ringan di dalam rumah. Bila dilukai (semua bagian tanaman) mengeluarkan getah bening kelabu keputihan, yang lama-lama menjadi kemerahan dan menghitam. Getah ini tajam, gatal dan dapat melukai kulit (terutama selaput lendir). Kayu limus mempunyai berat jenis 0.73 (Oey Djoen Seng 1990).


(19)

2.1.3 Duku (Lansium domesticum Jack.)

Nama botanis kayu duku adalah Lansium spp famili Meliaceae. Nama daerahnya adalah duku komering, duku metesih dan duku condet. Kayu duku berasal dari Asia Tenggara bagian Barat, Semenanjung Thailand di sebelah Barat sampai Kalimantan di sebelah Timur.

Ciri umum kayu ini adalah kayunya yang berwarna coklat muda keras dan tahan lama, digunakan untuk tiang rumah, gagang perabotan dan sebagainya. Kulit kayu berwarna kelabu berbintik-bintik gelap dan jingga, mengandung getah kental berwarna susu yang lengket (resin). Sifat kayu duku mempunyai berat jenis kayu duku 0.85 dengan kelas kuat II (Oey Djoen Seng 1990).

2.2 Masalah Biodeteriorasi

Biodeteriorasi hasil hutan (kayu) adalah semua proses dan akibat yang menyebabkan menurunnya kualitas dan kuantitas hasil hutan yang diakibatkan oleh faktor-faktor biologis perusak kayu seperti serangga, jamur, dan binatang laut. Faktor-faktor biologis tersebut dapat merombak komponen utama pembentuk kayu seperti lignin dan selulosa serta menurunkan kekuatan kayu. Kerusakan yang diakibatkan oleh binatang laut penggerek kayu lebih hebat dibandingkan dengan kayu yang dipasang di tempat lain. Jamur pelapuk kayu ada yang langsung memakan komponen kayu, melapukkan kayu, dan mengubah susunan kimia kayu (Tarumingkeng 2007).

2.2.1 Rayap

Menurut Tarumingkeng (2007), di seluruh dunia jenis-jenis rayap yang telah dikenal ada sekitar 2000 spesies (sekitar 120 spesies merupakan hama), sedangkan di negara kita dari kurang lebih 200 spesies yang dikenal baru sekitar 20 spesies yang diketahui berperan sebagai hama perusak kayu serta hama hutan/pertanian. Terdapat tiga famili rayap perusak kayu, yaitu famili Kalotermitidae, Rhinotermitidae dan Termitidae. Kalotermitidae diwakili oleh

Neotermes tectonae (hama pohon jati) dan Cryptotermes spp. (rayap kayu kering);

Rhinotermitidae oleh Coptotermes spp dan Schedorhinotermes, sedangkan Termitidae oleh Macrotermes spp., Odontotermes spp. dan Microtermes spp.


(20)

2.2.1.1 Rayap kayu kering (Cryptotermes cynocephalus)

Menurut Batubara (2006), rayap kayu kering adalah rayap yang dapat memasuki kayu yang terbuka di atas tanah secara langsung dari udara. Dinamakan rayap kayu kering karena jenis rayap ini masih mampu hidup dalam kayu berkadar air relatif rendah sekitar 5-6%. Rayap kayu kering mempunyai kepala berwarna coklat gelap kemerah-merahan dengan antena 11 segmen. Segmen kedua lebih panjang dari segmen lainnya. Panjang kepala dengan mandibel 0.87-0.92 mm. Panjang mandibel 0.50-0.57 mm. Panjang labrum 0.10-1.11 mm dan lebarnya 0.16-0.17 mm (Nandika et al. 2003).

Rayap ini termasuk famili Kalotermitidae dan biasa menyerang kayu-kayu yang kering, kayu yang tidak lapuk termasuk kayu struktur bangunan, perabot rumah tangga, dan tempat penyimpanan kayu. Kalotermitidae diwakili oleh

Neotermes tectonae (hama pohon jati) dan Cryptotermes spp. (rayap kayu kering).

Sumber : Arsip PSIH IPB

Gambar 1 Prajurit Cryptotermes cynocephalus.

Koloni rayap kayu kering berkembang sangat lambat dan maksimum anggota koloni berjumlah sangat sedikit. Jumlah anggota koloni yang berumur 4 tahunan kurang dari 1000 ekor, sedangkan koloni yang sudah tua berumur 10-15 tahun anggotanya kira-kira berjumlah 3000 ekor. Untuk hidupnya tidak memerlukan tempat yang lembab dan tidak pernah masuk ke dalam tanah.

Cara penyerangan rayap kayu kering tidak mudah dideteksi sebab hidupnya terisolir di dalam kayu yang berfungsi sebagai sarangnya. Tanda serangan rayap ini adalah terdapatnya butiran-butiran kecil halus, kecoklatan dengan ujung yang bulat di sekitar kayu yang terserang. Sering terlihat secara kasat mata bahwa kayu terlihat masih utuh dan mulus, namun apabila


(21)

ditekan/diketuk permukaannya maka kayu akan pecah sebab telah keropos di dalamnya. Adanya serangan dapat dikenali dari struktur kayu yang menjadi tidak rata dan meninggalkan kotoran berbentuk butiran-butiran kecil (Yusuf & Utomo 2006).

2.2.1.2 Rayap tanah (Coptotermes curvignathus)

Rayap tanah merupakan rayap yang masuk ke dalam kayu melalui tanah atau lorong-lorong pelindung yang dibagunnya. Untuk hidupnya diperlukan kelembapan tertentu secara tetap, oleh karena itu untuk mendapatkan persediaan air, rayap ini selalu berhubungan dengan tanah dan sarangnya juga ada di dalam tanah. Kepala rayap tanah berwarna kuning, antena, labrum, dan pronotum kuning pucat. Antena terdiri dari 15 segmen, segmen kedua dan keempat sama panjangnya. Mandibel berbentuk seperti arit dan melengkung di ujungnya, batas antar sebelah dalam dari mandibel sama sekali rata. Panjang kepala dengan mandibel 2.46-2.66 mm, panjang kepala tanpa mandibel 1.56-1.68 mm. Lebar kepala 1.40-1.44 mm dengan lebar pronotum 1.00-1.03 mm dan panjangnya 0.56 mm. Panjang badan 5.5-6.0 mm. Bagian abdomen ditutupi dengan rambut yang menyerupai duri. Abdomen berwarna putih kekuning-kuningan (Nandika et al.

2003).

Ada 2 famili rayap tanah di Indonesia, yaitu Rhinotermitidae dan

Termitidae. Contoh jenis Rhinotermitidae adalah Coptotermes spp dan

Schedorhinotermes, sedangkan contoh jenis Termitidae adalah Macrotermes spp.,

Odontotermes spp. dan Microtermes spp.

Menurut Tarumingkeng (2001), rayap tanah merupakan serangga sosial yang hanya dapat hidup jika berada dalam koloninya. Karena di dalam koloninya terdapat bahan-bahan dan proses-proses yang dapat menjamin kelanjutan hidupnya. Rayap tanah hanya dapat mencapai makanannya (bangunan atau kayu) dengan menambah panjang terowongan-terowongan kembara, yaitu jalur-jalur sempit yang berasal dari pusat sarang ke arah kembara di mana makanannya berada, yang hanya dapat dilalui sekaligus oleh sekitar 3-4 ekor rayap. Terowongan kembara ini ditutupnya dengan bahan-bahan tanah sehingga pada galibnya liang-liang kembara tetap merupakan bagian dari sarang koloninya.


(22)

Dengan adanya liang-liang tertutup ini maka praktis seluruh ruangan dari sarang rayap termasuk liang-liang kembara merupakan lingkungan yang sangat lembab yang menjamin kehidupan rayap tanah.

Sumber : Buku Hama Pemukiman Indonesia

Gambar 2 Rayap pekerja dan rayap prajurit.

Rayap tanah sangat ganas dan dapat menyerang obyek-obyek berjarak sampai 200 meter dari sarangnya. Untuk mencapai kayu sasarannya mereka bahkan dapat menembus tembok yang tebalnya beberapa cm, dengan bantuan enzim yang dikeluarkan dari mulutnya. Jenis rayap ini biasanya menyerang kayu yang berhubungan dengan tanah, misalnya bantalan rel kereta api atau tiang listrik. Meskipun demikian rayap ini juga menyerang kayu yang tidak berhubungan dengan tanah melalui terowongan yang dibuat dari dalam tanah (Tarumingkeng 2001).

2.2.2 Jamur Pelapuk

Jamur pelapuk kayu merupakan penyebab utama kerusakan kayu. Jamur ini merusak dinding sel kayu sehingga mengubah sifat fisik dan sifat kimia kayu. Akibat serangan jamur ini dapat mencapai titik kondisi yang disebut decay (kayu busuk) (Duljapar 1996).

Jamur pelapuk pada umumnya berasal dari kelas Basidiomycetes yang mempunyai kemampuan untuk merombak selulosa dan lignin yang menjadi komponen utama dinding sel kayu, sehingga kekuatan kayu menjadi berkurang. Beberapa jenis jamur hanya merombak selulosa, sehingga warna kayu berubah coklat dan disebut brown rot. Jenis lainnya merombak selulosa dan lignin, sehingga warna kayu menjadi putih pucat dan disebut white rot. Sifat mekanis


(23)

kayu seperti keteguhan pukul, keteguhan lentur, keteguhan tekan, kekerasan dan elastisitas akan berkurang bila terserang jamur pelapuk kayu. Pada umumnya jamur brown rot lebih cepat menurunkan kekuatan kayu daripada white rot. Jamur pelapuk banyak menyerang kayu bangunan, sebagai contoh diantaranya adalah

Schizophyllum commune Fr, Pycnoporus sanguineus (Fr). Karst dan Dacryopinax

spatularia (Schw) Mart (Martawijaya dan Supriana (1976) dalam Nurul 2005).

2.2.2.1 Schizophyllum commune

S. commune merupakan jamur yang paling sering diteliti, yang paling

banyak, dan tersebar luas. Jamur ini termasuk dalam kelas Basidiomycetes, family Schizophyllaceae yang sebagian besar dapat ditemukan pada kayu daun lebar. S.

commune hidup pada iklim sedang atau tropis (Schmidt 2006).

S. commune mempunyai tubuh buah seperti insang pada bagian bawahnya.

Tubuh buahnya sangat kecil dan tidak punya batang (Kuo 2003). Fungsi insang tersebut adalah untuk memproduksi basidiospora pada permukaannya. Tidak seperti jamur lain, miseliumnya hanya memproduksi satu kumpulan tubuh buah per tahun yang dapat mengering dan mendapatkan air kembali dan tetap berfungsi (Volk 2000).

2.3 Keawetan Kayu

Keawetan kayu merupakan daya tahan suatu jenis kayu tertentu terhadap berbagai faktor perusak kayu biologis yaitu jamur, serangga, dan binatang-binatang laut. Keawetan alami kayu terutama dipengaruhi oleh kadar ekstraktifnya meskipun tidak semua zat ekstraktif beracun bagi organisme perusak kayu. Umumnya semakin tinggi kandungan ekstraktif dalam kayu, maka keawetan alami kayu cenderung meningkat (Wistara et al. 2002).

Menurut Tim ELSSPAT (1997), umur pohon memiliki hubungan yang positif dengan keawetan kayu. Jika pohon ditebang dalam umur yang tua, pada umumnya lebih awet daripada jika ditebang ketika muda karena semakin lama pohon tersebut hidup maka semakin banyak zat ekstraktif yang dibentuk. Berdasarkan penurunan berat kayu oleh jamur pelapuk, kayu dibagi ke dalam beberapa kelas awet. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1.


(24)

Tabel 1 Kelas ketahanan kayu terhadap jamur

Kelas Ketahanan Penurunan Berat (%)

I Sangat tahan < 1

II Tahan 1- 5

III Agak tahan 5 - 10

IV Tidak tahan 10 - 30

V Sangat tidak tahan > 30

Sumber : BSN 2005

Terdapat lima kelas awet kayu, mulai dari kelas awet I (yang paling awet) sampai kelas awet V (yang paling tidak awet). Kelas awet kayu didasarkan atas keawetan kayu teras karena bagaimanapun awetnya suatu jenis kayu, bagian gubalnya selalu mempunyai keawetan yang terendah (kelas awet V), hal ini disebabkan karena pada bagian kayu gubal tidak terbentuk zat-zat ekstraktif seperti phenol, tannin, alkaloide, saponine, chinon, dan damar. Zat-zat tersebut mempunyai daya racun terhadap organisme perusak kayu (Findlay & Martawijaya

dalam Padlinurjaji 1977).

Tabel 2 Klasifikasi keawetan kayu Indonesia (Oey Djoen Seng 1990)

Kondisi Kelas Kelas Kelas Kelas Kelas Tempat Awet I Awet II Awet III Awet IV Awet V • Selalu berhubungan 8 tahun 5 tahun 3 tahun Sangat Sangat

dengan tanah pendek pendek

• Hanya dipengaruhi 20 tahun 15 tahun 10 tahun Beberapa Sangat cuaca, tetapi dijaga tahun pendek supaya tidak terendam

air dan tidak terendam udara

• Di bawah atap, tidak Tidak Tidak Sangat Beberapa Pendek berhubungan dengan terbatas terbatas terbatas tahun

tanah lembab dan tidak kurang udara

• Seperti di atas tetapi Tidak Tidak Tidak 20 tahun 20 tahun dipelihara dengan baik terbatas terbatas terbatas

dan di cat teratur

• Serangan rayap tanah Tidak Jarang Cepat Sangat Sangat Cepat Cepat • Serangan bubuk Tidak Tidak Hampir Tidak Sangat


(25)

2.4 Pengawetan Kayu

Pengawetan kayu adalah proses memasukkan bahan kimia beracun atau bahan pengawet ke dalam kayu untuk memperpanjang masa pakai kayu. Pemberian bahan pengawet ke dalam kayu tidak awet diharapkan dapat memperpanjang usia pakai kayu, minimal sama dengan usia pakai kayu kelas awet I yang tidak diawetkan (Batubara 2006).

Menurut Dumanau (2001), bahan pengawet kayu adalah bahan-bahan kimia yang sangat beracun terhadap makhluk perusak kayu, antara lain arsen (As), tembaga (Cu), flour (F), krom (Cr), seng (Zn) dan lain-lain. Tidak semua bahan pengawet baik digunakan dalam pengawetan kayu. Dalam penggunaannya harus diperhatikan sifat-sifat bahan pengawet agar sesuai dengan tujuan pemakaian. Adapun syarat bahan pengawet yang baik adalah :

1. Bersifat racun terhadap makhluk perusak kayu. 2. Mudah masuk dan tinggal di dalam kayu.

3. Bersifat permanen, tidak mudah luntur dan menguap.

4. Bersifat toleran terhadap bahan-bahan lain misalnya logam, perekat, dan cat. 5. Tidak mempengaruhi kembang susut kayu.

6. Tidak merusak sifat-sifat kayu seperti sifat fisik, mekanik, dan kimia. 7. Tidak mudah terbakar atau mempertinggi bahaya kebakaran.

8. Tidak berbahaya bagi manusia dan hewan peliharaan. 9. Mudah dikerjakan, diangkut, mudah didapat, dan murah.

Menurut Tim ELSSPAT (1997), jenis bahan pengawet di Indonesia dibagi menjadi 4 golongan, yaitu:

1. Golongan CCA, misalnya : tanalith, kemira, celcure, dan osmose. 2. Golongan CCB, misalnya : wolmanit, diffusol, dan impralit.

3. Golongan CCF, misalnya : basilitip.

4. Golongan BFCA, misalnya : koppers.

Semua bahan pengawet tersebut memiliki persyaratan penembusan dan retensi yang berbeda-beda. Formulasi yang beredar di pasaran juga berbeda, ada yang berbentuk tepung, pasta, dan cairan. Berdasarkan SNI 03-5010.1-1999, jenis, komposisi bahan aktif, formulasi, dan bentuk bahan pengawet kayu untuk perumahan dan gedung dapat dilihat pada Tabel 3.


(26)

Tabel 3 Jenis, komposisi bahan aktif, formulasi, dan bentuk bahan pengawet No Jenis bahan Komposisi Formulasi bahan Bentuk

Pengawet Bahan aktif % aktif garam

1 CCB1 CuSO4.5H2O 33 95% Bubuk

K2Cr2O7 37

H3BO3 25

2 CCB2 CuSO4 34 97% Bubuk

K2Cr2O7 38

H3BO3 25

3 CCB3 CuSO4 28.6 100% Bubuk

Na2Cr2O7 43.9 H3BO3 27.5

4 CCB4 CuSO4.5H2O 32.4 90% Pasta

Na2Cr2O7.2H2O 36

H3BO3 21.6

5 CCF CuSiF6.4H2O 36.3 100% Bubuk

(NH4)2Cr2O7 63.7

Sumber : SNI 03-5010.1-1999

Efektifitas bahan pengawet tidak hanya ditentukan oleh daya racunnya saja, tetapi juga oleh metode pengawetan serta retensi dan penetrasinya ke dalam kayu. Ada beberapa cara untuk memasukkan bahan pengawet ke dalam kayu, salah satunya dengan :

1. Metode Rendaman Dingin

Menurut Dumanau (2001), keuntungan dan kerugian metode rendaman dingin dalam pengawetan adalah :

• Keuntungan :

a. Retensi dan penetrasi bahan pengawet lebih banyak dibanding metode pelaburan, penyemprotan, dan pencelupan.

b. Kayu dalam jumlah banyak dapat diawetkan bersama.

c. Larutan dapat digunakan berulang kali (dengan menambah konsentrasi bila berkurang).

• Kerugian :

a. Waktu lebih lama dibanding rendaman dingin. b. Peralatan mudah terkena karat.

c. Pada proses panas, apabila tidak hati-hati kayu dapat terbakar. d. Kayu basah agak sulit diawetkan.


(27)

2. Metode Rendaman Panas Dingin

Berdasarkan Nandika et al. (1996), untuk melaksanakan proses rendaman panas dan rendaman dingin ada beberapa cara yaitu :

1. Memindahkan kayu-kayu yang telah direndam di dalam bahan pengawet yang dipanaskan ke tangki lain dimana bahan pengawet relatif dingin.

2. Dengan mengeluarkan bahan pengawet panas dan segera diganti dengan bahan pengawet dingin.

3. Dengan menghentikan pemanasan dan membiarkan kayu serta bahan pengawet tadi menjadi dingin bersama-sama.

Untuk cara 1 dan 2, pemindahan harus dilakukan secara cepat supaya tidak dingin oleh udara. Dalam metode pengawetan ini sebaiknya digunakan bahan pengawet larut minyak, karena suhu sangat berpengaruh terhadap absorbsi dan penetrasi. Cara rendaman panas dan dingin lebih baik daripada cara rendaman panas atau rendaman dingin saja, karena retensi dan penetrasi bahan pengawet lebih dalam dan banyak masuk kedalam kayu (Dumanau 2001). Berdasarkan SNI 03-5010.1-1999, persyaratan retensi dan penetrasi bahan pengawet disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Persyaratan retensi dan penetrasi bahan pengawet

Jenis Bentuk/Formulasi Retensi (kg/m3) Penetrasi Di bawah atap Di luar atap (mm)

CCB1 Bahan aktif garam 8,0 11,0 5

Formulasi 8,4 11,6 5

CCB2 Bahan aktif garam 8,0 11,0 5

Formulasi 8,2 11,3 5

CCB3 Bahan aktif garam 8,0 11,0 5

Formulasi 8,0 11,0 5

CCB4 Bahan aktif garam 8,0 11,0 5

Formulasi 8,0 12,2 5

CCF Bahan aktif garam 6,0 8,6 5

Formulasi 6,0 8,6 5

Sumber : SNI 03-5010.1-1999

Menurut Batubara (2006), keterawetan kayu merupakan kemampuan kayu untuk ditembus oleh bahan pengawet sampai mencapai retensi dan penetrasi tertentu yang secara ekonomis menguntungkan dan efektif untuk mencegah faktor


(28)

perusak kayu. Keterawetan juga bisa diartikan mudah tidaknya suatu jenis kayu dimasuki bahan pengawet. Keterawetan kayu sangat bervariasi, kayu gubal mempunyai keterawetan yang lebih tinggi karena bagian ini sebelumnya berfungsi sebagai penyalur air dari akar ke daun. Sedangkan kayu teras mempunyai sifat keterawetan yang kurang baik karena terbentuknya tilosis serta deposit-deposit lainnya yang menutupi sel-sel kayu. Klasifikasi keterawetan yang digunakan untuk metode vakum tekan menurut IUFRO (Smith dan Tamblyn dalam

Martawijaya 1981) sebagai berikut :

Tabel 5 Klasifikasi keterawetan kayu

Kelas Keterawetan Penetrasi (%)

I Mudah > 90

II Sedang 50-90

III Sulit 10-50

IV Sangat sulit < 10

Berdasarkan tim ELSPPAT (1997) retensi bahan pengawet merupakan kemampuan kayu untuk menyerap bahan pengawet yang dinyatakan dalam kg/m3. Penetrasi adalah penembusan bahan pengawet yang masuk kedalam kayu. Penetrasi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu jenis kayu, struktur anatomi, konsentrasi bahan pengawet, proses pengawetan, dan lamanya proses. Penetrasi ini sangat berpengaruh terhadap masa pakai kayu (Hunt & Garrat 1986).

Menurut Nandika et. al. (1996), penetrasi dihitung berdasarkan rata-rata pengukuran pada beberapa bidang potongan kayu. Berdasarkan arah masuknya bahan pengawet, penetrasi ada 2 macam, yaitu penetrasi lateral dan penetrasi longitudinal. Pada satu bidang potongan tertentu, minimal harus dilakukan empat kali pengukuran.

2.5 Efikasi Bahan Pengawet

Untuk mengetahui efektifitas bahan pengawet yang masuk ke dalam kayu dan mengetahui tingkat toksisitas bahan pengawet terhadap organisme perusak kayu perlu dilakukan pengujian efikasi. Menurut Findlay (1962) dalam


(29)

persentase rayap yang mati terhadap jumlah total rayap yang ada dalam kayu yang telah diawetkan. Sedangkan batas racun dari bahan pengawet adalah batas minimal dari bahan pengawet yang akan melindungi kayu dari serangan larva-larva dari serangga pengebor kayu. Batas racun ini dinyatakan sebagai selang antara konsentrasi tertinggi dimana ditemukan serangga-serangga yang masih hidup dan konsentrasi terendah yang membunuh semua larva. Jenis-jenis yang berbeda sangat bervariasi di dalam kerentanannya terhadap racun. Berikut adalah klasifikasi ketahanan kayu terhadap rayap kayu kering dan rayap tanah.

Tabel 6 Klasifikasi ketahanan kayu terhadap rayap kayu kering

Kelas Ketahanan Penurunan Berat (%)

I Sangat tahan < 2.0

II Tahan 2.0 – 4.4

III Agak tahan 4.4 – 8.2

IV Tidak tahan 8.2 – 28.1

V Sangat tidak tahan > 28.1

Sumber : BSN 2005

Tabel 7 Klasifikasi ketahanan kayu terhadap rayap tanah

Kelas Ketahanan Penurunan Berat (%)

I Sangat tahan < 3.52

II Tahan 3.52 – 7.5

III Sedang 7.3 – 10.96

IV Buruk 10.96 – 18.94

V Sangat buruk 18.94 – 31.89


(30)

III.

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli 2008 - Maret 2009. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Peningkatan Mutu Kayu Departemen Hasil Hutan, Laboratorium Pathologi Hutan Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) serta Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) IPB.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bagian log 3 jenis kayu dari hutan rakyat, yaitu durian (Durio zibethinus Murr.), limus (Mangifera foetida

Lour.), dan duku (Lansium domesticum Jack). Untuk pengujian keawetan bagian kayu yang digunakan adalah bagian kayu teras, sedangkan untuk pengujian efikasi bahan pengawet digunakan bagian gubal kayu durian. Rayap yang digunakan dalam pengujian keawetan kayu dan uji efikasi bahan pengawet adalah rayap kayu kering (Cryptotermes cynocephalus) dan rayap tanah (Coptotermes curvignathus). Sedangkan jamur pelapuk yang digunakan pada pengujian keawetan kayu adalah

Schizophyllum commune. Adapun bahan pengawet yang digunakan adalah bahan

pengawet jenis CKB dengan merk dagang Diffusol CB. Bahan lain yang dibutuhkan adalah bahan pereaksi untuk pengujian penetrasi, pasir, kain kasa, sedotan, Potatose Dextrose Agar (PDA) untuk membiakkan jamur, kentang, dextrose, agar-agar bubuk, kapsul kloramfenikol, alkohol 70%, dan alumunium foil.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi, (a) peralatan pengawetan kayu yaitu bak rendam, gelas ukur, kompor, termometer, kaliper, (b) peralatan untuk pengujian rayap yaitu desikator, timbangan elektrik, oven, wadah kaca, botol selai, jarum suntik, (c) peralatan untuk pembiakan jamur yaitu laminar


(31)

3.3 Metode

Pengujian keawetan kayu dan uji efikasi bahan pengawet terhadap rayap kayu kering dan ratap tanah didasarkan pada Metode Standar Pengujian Efikasi Pestisida yang dikeluarkan oleh Komisi Pestisida Departemen Pertanian tahun 1995. Sedangkan pengujian keawetan kayu terhadap jamur pelapuk didasarkan pada BS EN 113 dalam Huang et. al (2004). Contoh uji yang digunakan dalam semua pengujian berasal dari satu log pada setiap jenis kayu. Log yang digunakan berukuran panjang 1,5-2 m dengan diameter 34-45 cm yang berasal dari daerah Cibereum Petir, Dramaga-Bogor.

Pengujian keawetan kayu dan uji efikasi terhadap rayap kayu kering dan rayap tanah dilaksanakan di Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) IPB. Pengujian keawetan terhadap jamur pelapuk di Bagian Pathologi Hutan Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB. Sedangkan pelaksanaan pengujian keterawetan kayu dilakukan di Laboratorium Peningkatan Mutu Kayu Departemen Hasil Hutan Fakultas kehutanan IPB.

3.3.1 Pengujian Keawetan Kayu

3.3.1.1 Rayap Kayu Kering dan Rayap Tanah

Untuk pengujian keawetan kayu menggunakan bagian teras dari kayu durian, limus, dan duku. Contoh uji untuk rayap kayu kering berukuran 2 cm x 5 cm x 0.5 cm. Contoh uji dioven pada suhu 103 ± 2 oC selama 2 hari untuk mengetahui berat awalnya. Setelah itu contoh uji tersebut dimasukkan ke dalam wadah kaca, kemudian diganjal pada 2 sisi dengan menggunakan sedotan plastik agar rayap tersebut tidak jatuh ke dasar wadah kaca. Kemudian rayap kayu kering yang sehat dan aktif sebanyak 50 ekor dimasukkan ke dalam kaca tersebut, lalu ditutup dengan kain kasa dan disimpan di tempat yang gelap selama 12 minggu.

Contoh uji untuk rayap tanah berukuran 2 cm x 2 cm x 0.5 cm. Sebelum diumpankan, contoh uji dioven terlebih dahulu. Setelah itu, contoh uji dimasukkan ke dalam botol pengujian yang telah berisi pasir sebanyak 30 gram. Selanjutnya 200 ekor rayap (terdiri dari 90% rayap pekerja dan 10% rayap prajurit) yang sehat dan aktif dimasukkan kedalam botol pengujian, kemudian ditutup dengan alumunium foil dan disimpan di tempat gelap selama 4 minggu.


(32)

Penilaian tingkat keawetan kayu pada rayap kayu kering dan rayap tanah dapat dilihat dari tingkat mortalitas rayap dan penurunan berat contoh uji kayu selama pengumpanan. Mortalitas rayap dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

Keterangan :

M = Mortalitas rayap (%)

N1 = Jumlah total rayap sebelum pengumpanan (ekor) N2 = Jumlah rayap yang mati setelah pengumpanan (ekor)

Sedangkan untuk uji penurunan berat dihitung dengan rumus :

Keterangan :

P = Penurunan berat (%)

W1 = Berat kayu kering tanur sebelum diumpankan (gram) W2 = Berat kayu kering tanur setelah diumpankan (gram)

3.3.1.2 Jamur Pelapuk

Contoh uji untuk jamur pelapuk berukuran 1 cm x 1 cm x 0.5 cm. Dalam pembiakan jamur, media yang digunakan adalah PDA (Potatose Dextrose Agar). Adapun proses untuk menghasilkan 1000 ml PDA adalah dengan merebus 200 gram kentang yang diiris berbentuk dadu sampai lunak. Kemudian diambil air rebusannya, ditambah 16 gram agar-agar bubuk, 20 gram dextrose, 1 kapsul kloramfenikol dan diaduk dengan pemanasan sampai merata.

Selanjutnya media PDA yang masih cair tersebut dimasukkan ke dalam botol-botol pengujian sebanyak 20-25 ml dan ditutup botolnya. Kemudian contoh uji yang sudah diketahui berat kering tanurnya dan media tersebut di autoklaf


(33)

mensterilkan media. Setelah itu didinginkan pada bidang datar sampai media di dalam botol padat.

Isolat jamur S. commune ditumbuhkan pada media PDA dalam cawan petri digunakan sebagai jamur uji. Alat-alat yang digunakan dalam inokulasi terlebih dahulu disterilkan dengan menggunakan oven pada suhu 170 oC selama 1 jam. Proses inokulasi jamur ke dalam botol uji dilakukan dalam laminar airflow dan diinkubasi pada suhu ruangan selama 12 minggu. Contoh uji kayu diumpankan pada jamur dalam botol uji. Setiap botol uji diisi dengan 3 contoh uji kayu dengan jenis berbeda. Jadi jumlah botol uji ada 5 buah sesuai ulangan pengujian. Keawetan kayu dari jamur pelapuk dapat dilihat berdasarkan penurunan berat contoh uji selama pengumpanan.

3.3.2 Pengujian Keterawetan Kayu 3.3.2.1 Metode Pengawetan Kayu

Bahan pengawet yang digunakan dalam penelitian ini adalah dari golongan CKB (Tembaga-Khrom-Boron) dengan merk dagang Diffusol CB yang diperoleh dari PT Agricon Bogor. Adapun formulasi Diffusol CB dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Formulasi Diffusol CB

No Chemical Name CAS No. Nominal Proportion (%) 1 Sodium Dichromate 10588-01-9 36.0

2 Copper Sulphate 7758-99-8 39.0 3 Boric Acid 10043-35-3 25.0

Sumber : Material Safety Data Sheet Diffusol CB 2004

Contoh uji yang digunakan dalam pengujian ini berukuran 5 cm x 5 cm x 30 cm. Jumlah seluruh contoh uji yang digunakan adalah sebanyak 5 ulangan x 3 jenis kayu x 2 perlakuan = 30 buah contoh uji. Contoh uji bebas cacat diambil dari bagian kayu gubal dan 10 sampel dari masing-masing jenis kayu. Sebelum digunakan, contoh uji kayu durian, limus, dan duku dikeringkan dengan fan (kipas) selama 30 hari sehingga mencapai kadar air sekitar 15%.

Pada metode rendaman dingin, contoh uji kayu direndam dalam bak pengawet yang telah diisi larutan Diffusol CB dengan konsentrasi 5%.


(34)

Perendaman contoh uji dalam bahan pengawet dilakukan selama 24 jam. Pada waktu merendam diusahakan seluruh contoh uji tenggelam. Contoh uji yang telah diawetkan selanjutnya dianginkan-anginkan pada suhu kamar sampai menjadi kering udara kembali.

Pada metode rendaman panas dingin, contoh uji kayu dimasukkan ke dalam tangki pengawetan. Antar kayu tersebut dipisahkan dengan ganjal. Tangki diisi dengan larutan pengawet dengan konsentrasi 5%, lalu dipanaskan pada suhu 50 oC selama 4 jam. Kemudian api dimatikan dan rendaman dingin berlangsung selama 20 jam.

3.3.2.2 Penentuan Retensi Bahan Pengawet

Untuk menghitung besarnya retensi hasil pengawetan, dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut :

a. Contoh uji yang telah diawetkan diangkat dari bak pengawetan.

b. Contoh-contoh uji diangin-anginkan sampai tidak ada tetesan larutan bahan pengawet.

c. Contoh uji segera ditimbang beratnya.

d. Sebelum dihitung retensinya contoh uji dihitung nilai absorbsi dengan rumus :

Keterangan :

A = Absorbsi (kg)

B1 = Berat contoh uji setelah pengawetan (kg) B0 = Berat contoh uji sebelum pengawetan (kg) e. Nilai retensi dihitung dengan rumus sebagai berikut :

Keterangan :

R = Retensi bahan pengawet (kg/m3) A = Absorbsi (kg)

V = Volume contoh uji kayu (m3)


(35)

3.3.2.3 Penentuan Penetrasi Bahan Pengawet

Pengukuran penetrasi dilakukan pada contoh uji berukuran 5 cm x 5 cm x 30 cm. Contoh uji dipotong masing-masing menjadi 2 bagian lalu dilakukan uji penetrasi boron dan tembaga. Berikut ini adalah cara pemotongan contoh uji untuk pengujian penetrasi setelah contoh uji diawetkan dengan metode rendaman dingin dan rendaman panas dingin.

30 cm

15 cm 15 cm

Gambar 3 Pengambilan contoh uji untuk uji penetrasi.

Pada uji penetrasi boron, permukaan bidang potong disemprot dengan larutan yang terdiri dari 2 gram ekstrak curcuma dalam 100 ml alkohol. Setelah permukaan bidang potong itu mengering, dilanjutkan dengan penyemprotan dengan larutan yang terdiri dari 80 ml alkohol dan 20 ml HCl yang dijenuhkan dengan asam salisilat. Adanya boron ditunjukkan oleh timbulnya warna merah jambu.

Sedangkan pada uji penetrasi tembaga, permukaan bidang potong mula-mula di semprot dengan larutan yang terdiri dari 1 bagian ammonia pekat dan 6 bagian air suling. Setelah mengering, permukaan bidang potong itu disemprot dengan larutan yang terdiri dari 5 gram asam rubianat, 900 ml alkohol dan 100 ml aseton. Setelah kering maka bagian yang ditembus tembaga menjadi biru gelap.

Dengan terbentuknya warna yang menandakan terdapatnya unsur boron dan tembaga, maka warna tersebut langsung ditandai dan digambar pada plastik transparan. Tanda batas yang telah dipindahkan selanjutnya diukur kedalamannya. Berikut ini adalah gambar penampang contoh uji yang telah dipotong menjadi 2 bagian dan telah disemprotkan larutan pereaksi boron atau tembaga.


(36)

x4

a

b

x1 x3

x2

Gambar 4 Penampang contoh uji yang telah diberikan larutan pereaksi.

Keterangan :

a = bagian yang ditembusi bahan pengawet b = bagian yang tidak ditembusi bahan pengawet x1 = penetrasi pada sisi 1

x2 = penetrasi pada sisi 2 x3 = penetrasi pada sisi 3 x4 = penetrasi pada sisi 4

Pada keempat sisi diukur penembusan bahan pengawet lalu nilai penetrasi (Z) dihitung dengan menggunakan rumus :

3.3.3 Pengujian Efikasi

Contoh uji yang digunakan untuk pengujian efikasi berasal dari bagian gubal kayu durian yang berukuran 2 cm x 5 cm x 0.5 cm untuk rayap kayu kering dan untuk rayap tanah 2 cm x 2 cm x 0.5 cm. Tahapan kerjanya sama seperti tahapan-tahapan pada pengujian keawetan kayu. Yang membedakan adalah adanya tindakan pengawetan terlebih dahulu pada contoh uji dengan tingkat konsentrasi bahan pengawet 1/4A, 1/2A, A, 1 1/4A, 1 1/2A (A adalah konsentrasi yang dianjurkan oleh pabrik bahan pengawet yaitu 5%) selama 60 menit.


(37)

3.4 Analisis Data

Rancangan percobaan yang digunakan dalam menganalisa uji keawetan kayu dan uji efikasi bahan pengawet pada penelitian ini adalah analisis faktorial dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL) satu faktor yakni jenis kayu (durian, limus, dan duku) pada pengujian keawetan kayu dan konsentrasi bahan pengawet (1.25%, 2.5%, 5%, 6.25%, 7.5%) pada uji efikasi. Setiap perlakuan terdiri dari lima kali ulangan. Model persamaan yang digunakan sebagai berikut :

Yij = µ + τi+ Єij Keterangan :

i = 1,2,…., t dan j = 1,2,…, r

Yij = Pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

µ = Rataan umum

τi = Pengaruh perlakuan ke-i (µi - µ)

Єij = Pengaruh acak pada perlakuan ke-i ulangan ke-j

Sedangkan analisis data untuk pengujian keterawetan kayu pada penelitian ini adalah analisis faktorial dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL) dua faktor yakni jenis kayu (durian, limus, duku) dan metode pengawetan yang digunakan (rendaman dingin dan rendaman panas dingin). Setiap perlakuan terdiri dari lima kali ulangan. Model persamaan yang digunakan sebagai berikut :

Yijk = µ + Ai + Bj + (AB)ij+ Єij Keterangan :

Yijk = Respon percobaan pada unit percobaan yang dikenai perlakuan ke-i

dan ulangan ke-j µ = Rata-rata umum

Ai = Pengaruh perlakuan ke-i

Bj = Pengaruh perlakuan ke-j

ABij = Pengaruh interaksi dari unit percobaan yang mendapatkan kombinasi

perlakuan ke-i dan perlakuan ke-j


(38)

Data yang diperoleh diolah dengan program MS Excel dan SAS 6.12. Untuk mengetahui pengaruh dari perlakuan-perlakuan yang digunakan, maka dilakukan analisis keragaman (ANOVA). Perlakuan yang dinyatakan berpengaruh terhadap respon dalam analisis ragam kemudian diuji lanjut dengan menggunakan uji DMRT (Duncan Multiple Range Test).


(39)

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keawetan kayu adalah daya tahan suatu jenis kayu tertentu terhadap organisme perusak kayu. Untuk menghasilkan kayu dengan keawetan yang tinggi maka dilakukan proses pengawetan. Salah satu faktor penting penentu penggunaan kayu dalam konstruksi adalah keawetan dari kayu tersebut.

4.1 Pengujian Keawetan Kayu

Setiap jenis kayu memiliki tingkat keawetan yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena adanya zat ekstraktif yang terkandung dalam kayu. Zat ekstraktif tersebut merupakan senyawa racun bagi organisme perusak kayu, sehingga perusak tersebut tidak dapat masuk atau tinggal di dalamnya dan merusak kayu.

4.1.1 Keawetan Kayu terhadap Rayap Kayu Kering (C. cynocephalus)

Di Indonesia hanya sedikit ditemukan jenis rayap kayu kering dimana yang umum ditemukan adalah C. cynocephalus. Adanya serangan rayap seringkali baru diketahui setelah kayu yang diserang menjadi keropos tanpa adanya pecahan pada permukaannya. Serangan rayap ini dapat dikenali dari adanya butiran-butiran kecil, lonjong, agak bertakik dan berwarna coklat muda. Penilaian pada pengujian keawetan kayu terhadap rayap kayu kering ini dapat dilihat dari tingkat mortalitas rayap dan penurunan berat kayu selama pengumpanan.

Gambar 5 menunjukkan persentase mortalitas rayap pada pengujian keawetan kayu terhadap serangan rayap kayu kering. Berdasarkan nilai rataan mortalitas rayap, jenis kayu duku mempunyai nilai mortalitas rayap yang terbesar yaitu 70%. Sedangkan kayu durian mempunyai nilai mortalitas yang terendah yaitu sebesar 61.3%.


(40)

Gambar 5 Nilai mortalitas rayap kayu kering pada uji keawetan.

Untuk mengetahui pengaruh antara jenis kayu yang digunakan terhadap besarnya persentase mortalitas rayap, dilakukan analisis ragam seperti Tabel 9. Hasil analisis ragam tersebut menunjukkan bahwa perbedaan jenis kayu yang digunakan tidak berpengaruh nyata terhadap mortalitas rayap karena nilai Pr > F lebih dari 0.05. Menurut Sumarni & Muslich (2007), kayu durian termasuk dalam kelas awet IV terhadap serangan rayap kayu kering namun pada pengujian ini nilai mortalitas rayap yang diperoleh cukup tinggi. Hal ini selain disebabkan oleh adanya kandungan ekstraktif yang bersifat toxic pada kayu juga disebabkan oleh perlakuan pemindahan rayap dari koloni ke media pengamatan yang menyebabkan terjadinya stress pada rayap karena terkena cahaya. Tetapi dari pengujian ini jelas bahwa keawetan ketiga jenis kayu terhadap rayap kayu kering tidak berbeda nyata.

Tabel 9 Analisis ragam mortalitas rayap kayu kering pada uji keawetan Sumber DB JK KT F Pr > F

Jenis Kayu * 2 123.55555556 61.77777778 0.14 0.8715 Keterangan : * = tidak nyata ; ** = nyata ; *** = sangat nyata

Gambar 6 menunjukkan persentase penurunan berat kayu pada pengujian keawetan kayu terhadap rayap kayu kering. Nilai penurunan berat terbesar dicapai oleh kayu durian sebesar 7.9%, sedangkan paling rendah pada kayu limus sebesar 4.7%. Untuk mengetahui pengaruh antara jenis kayu yang digunakan terhadap

61.3 68 70 56 58 60 62 64 66 68 70 72

Durian Limus Duku

M o rt a li ta s R a ya p (% ) Jenis Kayu


(41)

besarnya persentase penurunan berat kayu juga dilakukan analisis ragam seperti Tabel 10.

Gambar 6 Nilai penurunan berat kayu oleh rayap kayu kering pada uji keawetan.

Tabel 10 Analisis ragam penurunan berat kayu oleh rayap kayu kering pada uji keawetan

Sumber DB JK KT F Pr > F

Jenis Kayu* 2 18.74694156 9.37347078 1.17 0.3735 Keterangan : * = tidak nyata ; ** = nyata ; *** = sangat nyata

Tabel 10 menunjukkan bahwa jenis kayu tidak berpengaruh nyata terhadap penurunan berat kayu untuk keawetan oleh pengujian rayap kayu kering. Hal ini dapat dilihat dari nilai probability yang lebih besar dari 0.05.

Berdasarkan hasil penelitian, jika dilihat dari nilai rataan mortalitas rayap dan penurunan berat kayu dapat dikatakan bahwa keawetan kayu terendah dicapai oleh kayu durian dengan nilai mortalitas terendah yaitu 61.3% dan penurunan berat kayu tertinggi sebesar 7.9%. Jika dilihat dari analisis sidik ragam mortalitas rayap dan penurunan berat kayu, ketiga jenis kayu tersebut tidak berbeda nyata. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tingkat keawetan kayu durian, limus, dan duku terhadap rayap kayu kering tidak jauh berbeda. Berdasarkan klasifikasi kayu terhadap rayap kayu kering pada Tabel 6 menunjukkan bahwa kayu durian, limus, dan duku termasuk dalam kelas awet III yang artinya agak tahan terhadap rayap kayu kering. 7.9 4.7 5 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Durian Limus Duku

P e n u ru n a n B e ra t Ka yu (% ) Jenis Kayu


(42)

4.1.2 Keawetan Kayu Terhadap Rayap Tanah (C. curvignathus)

Rayap tanah memiliki daya serang paling tinggi, bahkan serangannya dapat mencapai lantai 26 gedung bertingkat. Rayap ini pertama kali di deskripsikan oleh Holmgren pada tahun 1913 dari spesimen yang diperolehnya dari Singapura. Deskripsi dilakukan pada kasta prajurit, karena kasta ini memiliki ciri khas yang mudah dibedakan bila dibandingkan dengan menggunakan kasta lain (Nandika et al. 2003).

Dalam pengujian ini, penilaian tingkat keawetan kayu dapat dilihat dari mortalitas rayap dan nilai penurunan berat pada kayu. Berdasarkan nilai rataan yang diperoleh dapat diketahui bahwa mortalitas rayap tertinggi pada kayu duku dengan nilai 89.8% dan nilai terendah pada kayu limus yaitu sebesar 72%.

Gambar 7 Nilai mortalitas rayap tanah pada uji keawetan.

Untuk mengetahui pengaruh antara jenis kayu yang digunakan terhadap besarnya persentase mortalitas rayap, dilakukan analisis ragam pada Tabel 11. Berdasarkan tabel tersebut diketahui bahwa ketiga jenis kayu yang digunakan pada pengujian ini tidak berpengaruh nyata terhadap mortalitas rayap tanah. Hal ini dapat dilihat dari nilai Pr > F yang lebih besar dari 0.05. Terjadinya mortalitas rayap yang tinggi diduga karena adanya zat ekstraktif yang terkandung di dalam kayu karena contoh uji yang digunakan diambil dari bagian teras kayu dimana kandungan zat ekstraktifnya tinggi. Selain itu, karena pada saat pengumpanan, media pengamatan rayap tanah sempat mengalami kekeringan. Hal ini sesuai dengan pendapat Yusuf & Utomo (2006) yang mengatakan bahwa rayap

88.8 72 89.8 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Durian Limus Duku

M o rt a li ta s R a ya p (% ) Jenis Kayu


(43)

memerlukan tanah atau lingkungan yang lembab untuk hidupnya. Rayap mempunyai tubuh yang sangat lunak sehingga cepat sekali penurunan air apabila berada dalam lingkungan udara yang kering.

Tabel 11 Analisis ragam mortalitas rayap tanah pada uji keawetan

Sumber DB JK KT F Pr > F

Jenis Kayu * 2 1000.13333333 500.06666667 0.95 0.4139 Keterangan : * = tidak nyata ; ** = nyata ; *** = sangat nyata

Nilai mortalitas rayap berbanding terbalik dengan penurunan berat kayu. Semakin tinggi nilai mortalitas, maka semakin rendah nilai penurunan berat kayunya. Berdasarkan pengujian, nilai penurunan berat kayu tertinggi terjadi pada kayu limus dan terendah pada kayu duku yaitu masing-masing sebesar 18.3% dan 9.5%.

Gambar 8 Nilai penurunan berat kayu oleh rayap tanah pada uji keawetan.

Hasil analisis ragam penurunan berat kayu terhadap rayap tanah disajikan pada Tabel 12. Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa jenis kayu yang digunakan berpengaruh nyata terhadap serangan rayap tanah. Dari hasil rataan mortalitas rayap dan penurunan berat kayu dapat dikatakan bahwa keawetan kayu duku paling tinggi dan kayu limus paling rendah.

16.5 18.3 9.5 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20

Durian Limus Duku

P e n u ru n a n B e ra t Ka yu (% ) Jenis Kayu


(44)

Tabel 12 Analisis ragam penurunan berat kayu oleh rayap tanah pada uji keawetan

Sumber DB JK KT F Pr > F

Jenis Kayu** 2 214.39528053 107.19764027 3.82 0.0519 Keterangan : * = tidak nyata ; ** = nyata ; *** = sangat nyata

Berdasarkan uji lanjut Duncan pada Tabel 13, penurunan berat kayu limus dan kayu durian tidak berbeda nyata tetapi pada kayu limus berbeda nyata dengan kayu duku. Sehingga dapat disimpulkan bahwa keawetan kayu duku terhadap rayap tanah lebih tinggi dibanding kayu durian dan limus.

Tabel 13 Uji Duncanpenurunan berat kayu oleh rayap tanah pada uji keawetan Duncan Grouping Mean Jenis Kayu A 18.289 limus B A 16.468 durian B 9.515 duku

Berdasarkan klasifikasi kayu terhadap rayap tanah pada Tabel 7 dapat diketahui bahwa kayu durian dan limus termasuk dalam kelas awet IV yang berarti ketahanan kayunya buruk terhadap rayap tanah dan duku termasuk dalam kelas awet III yang artinya ketahanan kayunya sedang terhadap rayap tanah.

4.1.3 Keawetan Kayu terhadap Jamur Pelapuk (S. commune)

Parameter keawetan kayu terhadap jamur pelapuk dapat dilihat dari penurunan berat pada contoh uji. Dari pengujian dapat diketahui bahwa nilai penurunan berat paling tinggi pada kayu limus yaitu sebesar 3%. Nilai penurunan berat kayu durian 0.5%, sedangkan kayu duku -0.7%. Penurunan berat pada kayu duku bernilai negatif karena diduga ada hifa yang masuk kedalam contoh uji pada saat pengumpanan, sehingga nilai Berat Kering Tanur (BKT) akhir lebih besar daripada BKT awalnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Tambunan dan Nandika (1989), pada deteriorasi tingkat permulaan, hifa dapat tersebar ke seluruh kayu dalam segala arah, bertitik tolak dari tempat infeksinya lewat dari sel ke sel


(45)

melalui lubang yang dibuatnya di tempat-tempat pertemuan antara hifa itu dengan dinding sel kayu atau melewati lubang-lubang alami kayu (noktah).

Gambar 9 Nilai penurunan berat kayu oleh jamur pelapuk pada uji keawetan.

Untuk mengetahui pengaruh antara jenis kayu yang digunakan terhadap persentase penurunan berat kayu dilakukan analisis ragam yang disajikan pada Tabel 14. Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa jenis kayu berpengaruh sangat nyata terhadap serangan jamur pelapuk. Untuk itu dilakukan uji lanjut Duncan seperti pada Tabel 15.

Tabel 14 Analisis ragam penurunan berat kayu oleh jamur pelapuk pada uji keawetan

Sumber DB JK KT F Pr > F

Jenis Kayu*** 2 29.52995550 14.76497775 12.19 0.0027 Keterangan : * = tidak nyata ; ** = nyata ; *** = sangat nyata

Tabel 15 Uji Duncanpenurunan berat kayu oleh jamur pelapuk pada uji keawetan Duncan Grouping Mean Jenis Kayu A 3.0363 limus B 0.4915 durian B -0.7295 duku

0.5 3 -0.7 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5

Durian Limus Duku

P e n u ru n a n B e ra t Ka yu (% ) Jenis Kayu


(46)

Dari Tabel 15 rataan penurunan berat pada kayu limus nyata lebih tinggi dibanding kayu durian dan duku. Sedangkan kayu durian dan kayu duku memiliki nilai rata-rata penurunan berat yang tidak berbeda nyata. Berdasarkan pengujian terhadap jamur pelapuk, kayu durian dan duku termasuk kelas awet I karena penurunan beratnya kurang dari 1%, sehingga sangat tahan terhadap jamur. Sedangkan kayu limus termasuk kelas awet II yang berarti tahan terhadap jamur. Untuk mengetahui klasifikasi ketahanan kayu terhadap jamur dapat dilihat pada Tabel 1.

4.2Pengujian Keterawetan Kayu

Proses pengawetan adalah memberikan bahan kimia beracun ke dalam kayu agar kayu tersebut tidak terserang organisme perusak, sehingga dapat menjaga mutu kayu tetap baik dan berumur pakai lebih panjang. Dalam penelitian ini, contoh uji yang digunakan berukuran 5 cm x 5 cm x 30 cm dengan konsentrasi pengawet 5%. Pengawetan dilakukan dengan metode rendaman dingin dan rendaman panas dingin. Keberhasilan pengawetan kayu ditentukan oleh tinggi rendahnya retensi dan penetrasi dalam kayu. Retensi pengawetan dinyatakan dalam berat per volume (kg/m3), sedangkan penetrasi dinyatakan dalam satuan mm.

4.2.1 Retensi Bahan Pengawet

Setiap cara pengawetan yang digunakan bertujuan untuk memasukkan bahan pengawet sedalam dan sebanyak yang dipersyaratkan. Menurut Nandika et al. (1996), efektivitas pengawetan kayu tidak hanya ditentukan oleh sifat-sifat yang dimiliki oleh bahan pengawet, akan tetapi juga ditentukan oleh jumlah bahan pengawet yang masuk ke dalam kayu (retensi) dan kedalamannya (penetrasi).

Berdasarkan Gambar 10 dapat dilihat bahwa nilai retensi tertinggi pada metode rendaman dingin terjadi pada kayu limus sebesar 2.35 kg/m3.Sedangkan nilai terendah pada kayu duku yaitu sebesar 1.45 kg/m3. Pada metode rendaman panas dingin retensi tertinggi terjadi pada kayu duku sebesar 4.15 kg/m3 sedangkan terendah pada kayu durian sebesar 3.71 kg/m3.


(47)

Keterangan :

P1 : Metode rendaman dingin P2 : Metode rendaman panas dingin DR : Durian L : Limus DK : Duku

Gambar 10 Nilai retensi bahan pengawet.

Kayu duku pada metode rendaman dingin mengasilkan nilai terendah, sedangkan pada metode rendaman panas dingin, kayu duku mencapai retensi tertinggi dibandingkan kayu durian dan limus. Hal ini terjadi karena diduga pada kayu duku mengandung banyak getah yang pada saat rendaman dingin getah tersebut menghalangi bahan pengawet masuk ke dalam kayu. Sedangkan pada metode rendaman panas dingin diduga terjadi pencucian getah tersebut sehingga bahan pengawet yang masuk ke dalam kayu lebih banyak.

Berdasarkan data yang diperoleh, nilai retensi yang dicapai dalam penelitian ini belum memenuhi standar SNI 03-5010.1-1999 karena syarat retensi yaitu sebesar 8 kg/m3 untuk penggunaan di bawah atap dan 11 kg/m3 untuk penggunaan di luar atap. Sedangkan retensi yang dicapai dalam penelitian ini hanya berkisar 1.45-2.35 kg/m3 untuk metode rendaman dingin dan 3.71-4.15 kg/m3 untuk metode rendaman panas dingin.

Berdasarkan nilai retensi yang direkomendasikan oleh produsen bahan pengawet Diffusol CB yaitu dengan nilai retensi sebesar 5-8 kg/m3 juga tidak tercapai. Artinya kayu durian, limus, dan duku termasuk dalam kayu yang sulit diawetkan sehingga perlu adanya modifikasi pengawetan panas dingin dengan waktu pemanasan yang lebih dari 4 jam atau dengan vakum tekan. Seperti yang diungkapkan oleh Batubara (2006) bahwa sifat keterawetan kayu dapat digunakan untuk menduga cara pengawetan yang efisien terhadap suatu jenis kayu. Jenis

1.89 2.35 1.45 3.71 4.1 4.15 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5

P1DR P1L P1DK P2DR P2L P2DK

R e te n si (k g/m 3) Kode Sample


(48)

kayu yang mempunyai keterawetan tinggi dapat diawetkan dengan proses yang sederhana, sebaliknya kayu yang mempunyai sifat keterawetan rendah harus diawetkan dengan proses vakum tekan dan mungkin pula harus memakai pengukusan terlebih dahulu agar porinya terbuka sehingga bahan pengawet lebih mudah untuk masuk ke dalam kayu. Hasil analisis ragam retensi bahan pengawet disajikan pada Tabel 16.

Tabel 16 Analisis ragam retensi bahan pengawet

Sumber DB JK KT F Pr > F

Metode*** 1 32.63547000 32.63547000 195.72 0.0001 Jenis_kayu** 2 1.20712667 0.60356333 3.62 0.0423 MetodeoJenis_kayu** 2 1.40222000 0.70111000 4.20 0.0272 Keterangan : * = tidak nyata ; ** = nyata ; *** = sangat nyata

Hasil analisis ragam pada Tabel 16 menunjukkan bahwa metode pengawetan, jenis kayu dan interaksi antara keduanya memiliki pengaruh yang nyata terhadap retensi bahan pengawet. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi pengaruh bersama antara metode pengawetan dan jenis kayu terhadap retensi bahan pengawet. Dari hasil penelitian ini, pada umumnya metode pengawetan panas dingin 2 kali lebih tinggi nilai retensinya daripada metode rendaman dingin. Hal ini dapat dilihat dari nilai retensi pada kayu durian dan limus meningkat hampir 2 kali sedangkan pada kayu duku hampir 3 kali pada saat menggunakan metode rendaman panas dingin. Hal ini terjadi karena pada metode panas dingin dilakukan proses pemanasan terlebih dahulu, sehingga udara yang terdapat dalam sel-sel kayu memuai dan sebagian keluar dari kayu tersebut. Ketika larutan didinginkan, udara yang masih tertingggal di dalam kayu berkontraksi menghisap larutan masuk ke dalam kayu.


(49)

Tabel 17 Uji Duncan interaksimetode dan jenis kayu terhadap retensi

Duncan Grouping Mean Interaksi A 4.1440 pd-duku A 4.0960 pd-limus A 3.7100 pd-durian B 2.3520 d-limus C B 1.8920 d-durian C 1.4480 d-duku

Berdasarkan hasil uji jarak Duncan (Tabel 17), pengujian menunjukkan bahwa metode rendaman dingin berbeda sangat nyata dengan metode rendaman panas dingin. Interaksi antara metode rendaman panas dingin dengan ketiga jenis kayu tidak berpengaruh nyata terhadap retensi bahan pengawet. Namun interaksi antara metode rendaman dingin dengan jenis kayu berpengaruh nyata terhadap retensi bahan pengawet. Hal ini disebabkan pada metode rendaman dingin tidak ada perlakuan panas sehingga masuknya bahan pengawet tergantung pada sifat fisis kayu (berat jenis).

4.2.2 Penetrasi

Penetrasi atau penembusan bahan pengawet ke dalam kayu merupakan salah satu kriteria keberhasilan tindakan pengawetan kayu. Jika penetrasi kayu semakin dalam, maka proses pengawetan dinilai baik. Berdasarkan Gambar 11 dapat diketahui bahwa penetrasi boron memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan nilai penetrasi tembaga. Hal ini menunjukkan bahwa penetrasi boron lebih dalam memasuki kayu daripada penetrasi tembaga. Nilai ini terjadi untuk kedua metode dan semua jenis kayu.

Pada metode rendaman dingin, nilai penetrasi boron dan tembaga diantara ketiga jenis kayu relatif tidak banyak berbeda. Namun demikian, penetrasi pada kayu limus relatif lebih tinggi daripada dua jenis yang lain. Pada metode rendaman panas dingin, penetrasi boron maupun tembaga mengalami peningkatan dibanding dengan rendaman dingin, tapi perbandingannya diantara jenis kayu relatif kecil. Penetrasi boron pada kayu duku meningkat hingga 11 mm. Hal ini terjadi diduga karena kayu duku mengalami pencucian getah pada saat rendaman panas dingin sehingga senyawa boron yang masuk relatif lebih dalam.


(50)

Keterangan :

P1 : Metode rendaman dingin P2 : Metode rendaman panas dingin DR : Durian L : Limus DK : Duku

Gambar 11 Nilai penetrasi boron dan tembaga.

Berdasarkan SNI 03-5010.1-1999, persyaratan penetrasi kayu yang akan digunakan untuk di bawah atap dan di luar atap yaitu sebesar 5 mm. Dari pengujian, kayu durian, limus, dan duku yang menggunakan metode pengawetan rendaman panas dingin memenuhi persyaratan tersebut baik untuk penetrasi boron maupun tembaga. Sedangkan pada metode rendaman dingin belum memenuhi persyaratan SNI untuk ketiga jenis kayu. Berdasarkan hasil analisis ragam pada Tabel 18 dapat diketahui bahwa interaksi antara metode dan jenis kayu yang digunakan berpengaruh nyata terhadap penetrasi boron.

Tabel 18 Analisis ragam penetrasi boron

Sumber DB JK KT F Pr >F

Metode*** 1 300.83333333 300.83333333 311.21 0.0001 Jenis_kayu ** 2 9.26666667 4.63333333 4.79 0.0177 Metode0Jenis_kayu** 2 10.86666667 5.43333333 5.62 0.0100 Keterangan : * = tidak nyata ; ** = nyata ; *** = sangat nyata

Berdasarkan uji lanjut Duncan (Tabel 19) dapat dilihat bahwa metode rendaman panas dingin nyata lebih dalam penetrasinya dibandingkan dengan metode rendaman dingin. Pada metode rendaman dingin, penetrasi boron dalam kayu durian, limus, dan duku tidak berbeda nyata. Sedangkan pada metode

2 3 3 8 8 11 0 1 0 8 7 8 0 2 4 6 8 10 12

P1DR P1L P1DK P2DR P2L P2DK

P e n e tra si (m m ) Kode Sample Boron Tembaga


(51)

rendaman panas dingin, penetrasi boron dalam kayu duku nyata lebih tinggi dibanding dalam kayu durian dan limus.

Tabel 19 Uji Duncan interaksimetode dan jenis kayu terhadap penetrasi boron Duncan Grouping Mean Interaksi A 10.6000 pd-duku B 8.2000 pd-durian B 8.2000 pd-limus C 3.0000 d-limus C 2.6000 d-duku C 2.4000 d-durian

Berdasarkan analisis ragam pada Tabel 20 dapat diketahui bahwa metode pengawetan berpengaruh sangat nyata terhadap penetrasi tembaga. Sedangkan jenis kayu dan interaksi antara metode dan jenis kayu tidak berpengaruh nyata. Metode rendaman panas dingin lebih dalam penetrasinya dibandingkan dengan metode rendaman dingin. Menurut Nandika et al. (1996), tujuan pemanasan pada metode rendaman panas dingin berfungsi untuk mengeluarkan udara dan uap air dari rongga sel kayu. Sedangkan pendinginan menyebabkan seolah-olah terjadi vakum dalam rongga sel kayu yang dengan sendirinya menarik larutan bahan pengawet masuk. Untuk mengatasi kevakuman ini, tekanan udara cenderung menekan bahan pengawet masuk kedalam kayu.

Penetrasi tembaga bernilai lebih kecil daripada penetrasi boron. Hal ini diduga karena daya fiksasi senyawa tembaga lebih cepat dibandingkan dengan daya fiksasi senyawa boron. Daya fiksasi merupakan kemampuan keterikatan senyawa bahan pengawet terhadap dinding sel kayu. Sehingga pada saat tembaga berfiksasi dengan sel-sel kayu dibagian permukaan, menjadi penghambat masuknya senyawa tembaga lainnya.


(1)

Berdasarkan hasil uji efikasi, dapat disimpulkan bahwa pada konsentrasi 2.5% bahan pengawet cukup efektif mengendalikan rayap kayu kering dan rayap tanah. Peningkatan konsentrasi pengawet diatas 2.5% hingga 7.5% tidak meningkatkan efektifitas pengawetan secara nyata.


(2)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Sifat Keterawetan dan Keawetan Kayu Durian, Limus, dan Duku terhadap Rayap Kayu Kering, Rayap Tanah, dan Jamur Pelapuk adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, September 2009

Ana Kurnia NRP E24051757


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian berjudul Sifat Keterawetan dan Keawetan Kayu Durian, Limus, dan Duku terhadap Rayap Kayu Kering, Rayap Tanah, dan Jamur Pelapuk. Shalawat serta salam penulis haturkan kepada Baginda Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umat manusia ke era penuh dengan kemajuan dan ilmu pengetahuan. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan karya tulis ini, sehingga penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk karya tulis ini. Penulis berharap karya tulis ini dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada masyarakat sehingga dapat lebih bijak dalam pemanfaatan hasil hutan. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih.

Bogor, September 2009 Penulis


(4)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Ana Kurnia, dilahirkan pada tanggal 4 April 1986 di Sampang, Madura. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan Bapak Husnol Yakin dan Ibu Zainah. Pendidikan formal penulis dimulai sejak taman kanak-kanak di TK Aisyiah Bustanul Atfal Sampang dan lulus pada tahun 1993. Kemudian melanjutkan ke SD Rongtengah 1 Sampang dan lulus pada tahun 1999. Pada tahun 2002, penulis menyelesaikan pendidikan sekolah menengah pertama di SLTP Negeri 1 Sampang. Pada tahun 2005, penulis menyelesaikan pendidikan sekolah menengah umum di SMU Negeri 1 Sampang. Pada tahun yang sama penulis juga diterima menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) di Fakultas Kehutanan, Departemen Hasil Hutan.

Selama menjalani studi di IPB penulis aktif di organisasi kemahasiswaan yaitu, Organisasi Mahasiswa Madura (GASISMA) (2005-sekarang), Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) bidang seni paduan suara Agriaswara IPB (2005-2006), International Forestry Student Association (IFSA) (2006-2007), Himpunan Mahasiswa Hasil Hutan (HIMASILTAN) (2006-2007), Paduan suara Fahutan (2006-2007), dan penyiar AGRI FM radio komunitas IPB (2007-2008). Selain itu, penulis juga pernah melakukan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan di BKPH Sancang dan BKPH Kamojang, Praktek Pengelolaan Hutan di Hutan Pendidikan Gunung Walat tahun 2008, serta Praktek Kerja Lapang di Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2009.

Sebagai pemenuhan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi dengan judul Sifat Keterawetan dan Keawetan Kayu Durian, Limus, dan Duku terhadap Rayap Kayu Kering, Rayap Tanah, dan Jamur Pelapuk yang dibimbing oleh Bapak Ir. Trisna Priadi, M. Eng. Sc. dan Ibu Arinana, S.Hut. M. Si.


(5)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada:

1. Bapak (Husnol Yakin), Ibu (Zainah), dan adik-adikku tercinta (Lailatul Amalia dan Rizal Ainol Yakin) serta keluarga besar penulis atas semua kasih sayang, semangat, kesabaran, dan do’anya selama ini.

2. Ir. Trisna Priadi, M. Eng. Sc. selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan arahan, masukan, dan nasihat yang sangat berarti bagi penulis.

3. Arinana, S.Hut. M. Si. selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini.

4. Keluarga besar Laboratorium Peningkatan Mutu Departemen Hasil Hutan IPB terima kasih atas bantuannya.

5. Keluarga besar Laboratorium Pathologi Hutan Departemen Silvikultur IPB yang telah memberikan nasihat dan bantuan selama penelitian.

6. Keluarga besar Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) IPB yang telah membantu kelancaran dalam penelitian penulis. 7. Teman-teman THH’42 atas kebersamaan yang kita jalin dan rangkaian

kenangan yang tak terlupakan.

8. Teman-teman kosan putri White House (WH) atas bantuan dan semangat yang telah diberikan.

9. Semua pihak yang telah membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung.


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... ii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 1

1.3 Manfaat ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kayu dari Hutan Rakyat ... 3

2.2 Masalah Biodeteriorasi ... 5

2.3 Keawetan Kayu…. ... 9

2.4 Pengawetan Kayu ... 11

2.5 Efikasi Bahan Pengawet ... 14

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat ... 16

3.2 Bahan dan Alat ... 16

3.3 Metode ... 17

3.4 Analisis Data ... 23

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengujian Keawetan Kayu ... 25

4.2 Pengujian Keterawetan Kayu ... 32

4.3 Pengujian Efikasi Bahan Pengawet ... 38

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 45

5.2 Saran… ... 45

DAFTAR PUSTAKA ... 46