Perlawanan di Sukamanah Perlawanan Rakyat Indonesia Terhadap Tentara Jepang

97 munculnya perlawanan rakyat. K.H. Zainal Mustafa dapat ditangkap dan dipenjara di Cipinang Jakarta. Namun tanggal 25 Oktober 1944, ia bersama pengikutnya dibunuh tentara Jepang.

b. Perlawanan di Aceh

Pada tanggal 10 November 1942 di daerah Cot Plieng, Lhok Seumawe, Aceh terjadi perlawanan rakyat menentang pasukan Jepang. Perlawanan ini dipimpin Teungku Abdul Jalil. Namun, ketika Teungku Abdul Jalil bersama pengikutnya sedang bersembahyang, dibunuh oleh tentara Jepang.

c. Perlawanan PETA di Blitar

Pada tanggal 14 Februari 1945, Shodanco Supriyadi memimpin pemberontakan PETA di Blitar, sedang Shodanco Muradi sebagai komandan pertempuran. Pemberontakan bergerak keseluruh penjuru kota Blitar dan menuju ke pos-pos pasukan Jepang di luar kota. Akhirnya pemberontakan tersebut dapat diredam. Para pemberontak ditangkap ataupun dibujuk untuk kembali ke Blitar dengan kemauan sendiri. Namun pasukan Jepang telah meng-gunakan taktik tipu daya. Kolonel Katagiri komandan Batalyon dari Malang membujuk kepada Shodanco Muradi dan anak buahnya untuk menyerah dan akan diampuni oleh pemerintah militer Jepang. Perundingan antara Muradi dan Katagiri didaerah Ngancar, Blitar pada tanggal 21 Februari 1945. Ternyata pemerintah militer Jepang ingkar janji karena para pemberontak PETA, tetap diajukan di meja perundingan. Sidang pengadilan militer Jepang pada tanggal 13 – 16 April 1945 yang dipimpin Kolonel Yamamoto dengan jaksa penuntut Letnan Kolonel Tanaka akhirnya menjatuhkan hukuman mati kepada Shodanco Muradi dan kawan-kawannya. Sementara itu Shodanco Supriyadi dinyatakan hilang. Ada dugaan Supriyadi tertangkap dan dibunuh. 98

6. Pembentukan BPUPKI

Pada tahun 1943, perang pasifik mulai berbalik arah. Tentara Jepang yang pada awalnya mampu dengan mudah mengalahkan tentara Sekutu, sekarang bersifat defensik. Tentara Sekutu bergerak ofensif untuk merebut kembali wilayah-wilayahnya di Asia – Pasifik. Pemerintah Jepang dan penguasa militer di Tokyo akhirnya meninjau kembali sikap mereka terhadap kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 16 Juni 1943 dalam sidang ke 82 Parlemen Jepang di Tokyo Perdana Menteri Jenderal Hideki Tojo mengumumkan tentang pemberian kesempatan kepada bangsa Indonesia untuk berperan serta dalam politik dan pemerintahan. Pada tanggal 7 Juli 1943 Perdana Menteri Tojo berkunjung ke Jakarta dan berpidato di lapangan Ikada mengenai janji kemerdekaan Indonesia dari pemerintah Jepang. Untuk menindak lanjutinya pada tanggal 5 September 1943 dibentuklah “Chuo Sang-In” atau Dewan Pertimbangan Pusat. Kemudian dibentuk “Syu Sangi Kai” atau Dewan Pertimbangan Daerah untuk tiap-tiap karisidenan Syu. Pada bulan November 1943 di Tokyo diadakan konferensi Asia Timur Raya, maka negara-negara yang telah diberi kemerdekaan di undang seperti Thailand, Philipina, Burma dan pemerintah boneka Jepang di Cina. Sedang India diundang sebagai pengamat sedang Indonesia sama sekali tidak dilibatkan. Hanya, setelah konferensi Asia Timur Raya selesai, Sukarno, Moh. Hatta dan Ki Hajar Dewantara diundang ke Jepang dan bertemu dengan Kaisar Jepang dan Perdana Menteri Tojo. Namun dalam pertemuan tersebut, pemerintah Jepang tidak memberi isyarat tentang kemerdekaan bahkan permohonan untuk menggunakan bendera Nasional dan lagu kebangsaan “Indonesia Raya” juga ditolak. Pada bulan Agustus 1944, situasi pertahanan Jepang semakin buruk. Moral masyarakat dan tentara Jepang merosot serta produksi untuk keperluan perang menurun. Sebelumnya, pada bulan Juli 1944 kepulauan Saipan yang strategis dapat direbut Sekutu. Faktor-faktor tersebut yang menyebabkan kabinet Perdana Menteri Tojo jatuh pada tanggal 17 Juli 1944 dan diganti oleh Perdana Menteri Jenderal Kuniaki Koiso. Langkah yang ditempuh P.M Koiso untuk mempertahankan pengaruhnya pada rakyat di wilayah yang didudukinya ialah dengan cara memberi janji kemerdekaan.