Kepulauan Seribu adalah 4.90 tahun, artinya waktu yang dibutuhkan untuk pengembalian modal investasi yang telah dikeluarkan adalah 4.90 tahun.
Payback Period dari usaha unit penangkapan bubu di Kepulauan Seribu adalah 2.53 tahun, artinya dalam waktu 2.53 tahun modal investasi yang telah
dikeluarkan dapat tertutupi. Waktu yang dibutuhkan usaha unit penangkapan muroami dalam pengembalian modal investasi lebih lama dari usaha unit
penangkapan bubu, hal ini dikarenakan oleh nilai RC unit penangkapan bubu lebih besar dibandingkan dengan nilai RC unit penangkapan muroami yaitu 1.46
dan 1.09, disamping itu nilai investasi pada usaha penangkapan muroami lebih besar dibandingkan dengan investasi usaha penangkapan bubu Lampiran 13
dan 14. 3 Return on investmen ROI
Return on investmen ROI menunjukkan besarnya perbandingan keuntungan yang diperoleh dengan investasi yang ditanamamkan Rangkuti F
2001. Perhitungan ROI usaha unit penangkapan muroami di Kepulauan Seribu adalah 20.41 dan pada usaha unit penangkapan bubu adalah 39.50. Nilai ini
menunjukkan bahwa setiap rupiah yang ditanamkan sebagai modal investasi usaha unit penangkapan muroami dapat memberikan keuntungan sebesar
Rp0.2041, sedangkan pada unit usaha penangkapan bubu setiap rupiah yang diinvestasikan memberikan keuntungan sebesar Rp0.395. Selengkapnya
mengenai perhitungan ROI dapat dilihat pada Lampiran 13 dan 14.
5.4.2 Analisis kriteria investasi
Analisis kriteria investasi digunakan untuk membuat keputusan suatu kegiatan bisa atau tidak untuk dijalankan serta menilai dan mengevaluasi
kegiatan tersebut. Perhitungan analisis kriteria investasi tersebut menggunakan beberapa asumsi dasar untuk membatasi permasalahan yang ada. Asumsi yang
digunakan adalah sebagai berikut: 1 Analisis yang dilakukan merupakan usaha baru yang akan dikembangkan
terhadap unit usaha yang ada dengan umur kegiatan ditentukan 8 tahun, karena umur teknis untuk investasi kapal baru adalah 8 tahun. Investasi
yang telah dihitung dengan penyesuaian IHK yang berlaku di Kabupaten Kepulauan Seribu untuk komoditas ikan segar, sehingga menunjukkan nilai
saat penelitian;
2 Tahun pertama proyek dimulai tahun 2007 dengan penilaian investasi dinilai pada tahun tersebut, penggantian investasi berikutnya menggunakan
barang baru dan harga baru; 3
Sumber modal yang digunakan adalah modal sendiri; 4
Populasi ikan menyebar merata di seluruh daerah penangkapan; 5
Hasil tangkapan yang masuk ke dalam perhitungan hanya ikan ekor kuning; 6 Jumlah trip unit penangkapan muroami jumlah dalam setahun 258 trip dan
jumlah trip unit penangkapan bubu dalam setahun 135 trip. 7 Kapal atau perahu dan mesin yang digunakan untuk operasi penangkapan
muroami dan bubu memiliki ukuran relatif sama dengan teknologi penangkapan yang berbeda.
8 Harga ikan hasil tangkapan merupakan harga yang diperoleh dari hasil wawancara dengan nelayan setempat dan harga ikan per satuan hasil
tangkapan adalah konstan; 9
Discount factor pada tahun 2007 didasarkan pada tingkat suku bunga 16 per tahun yang berlaku pada Bank DKI Jakarta Cabang Kepulauan Seribu;
10 Biaya perawatan kapal, mesin dan alat tangkap meningkat 5 per tahun proyek, hal ini dikarenakan kapal, mesin dan alat tangkap merupakan
barang yang sudah terpakai. 11 Kebutuhan solar dan minyak tanah meningkat 5 per tahun proyek. Hal ini
disebabkan oleh umur teknis semakin, tua sehingga kebutuhan bahan bakar semakin bertambah; dan
12 Kebutuhan oli meningkat 5 per tahun proyek, hal ini disebabkan oleh umur teknis mesin semakin tua, sehingga kebutuhan bahan bakar semakin
bertambah. Analisis kriteria investasi usaha unit penangkapan muroami dan bubu di
Kepulauan Seribu terdiri dari Net Present Value NPV, Net Benefit Cost Ratio Net BC dan Internal Rate of Return IRR dapat dilihat pada Tabel 26 dan 27.
Perhitungan cash flow unit penangkapan muroami dan bubu dapat dilihat pada Lampiran 17 dan 18.
Berdasarkan Tabel 26 perhitungan dengan analisis finansial usaha unit penangkapan muroami nilai NPV yang diperoleh sebesar Rp8,980,639.29
dengan discount factor pada tingkat suku bunga 16 per tahun, nilai ini menunjukkan bahwa selama tahun kegiatan usaha unit penangkapan muroami
akan memperoleh keuntungan sebesar Rp8,980,639.29 apabila dilihat dari
sekarang, sehingga usaha tersebut layak untuk dilanjutkan. Net BC yang diperoleh sebesar 1.06 merupakan perbandingan net benefit positif dengan net
benefit negative selama tahun proyek. Nilai tersebut menunjukkan bahwa setiap satu rupiah cost yang dikeluarkan selama umur proyek akan memberikan nilai
manfaat benefit sebesar Rp1.06 pada tingkat suku bunga 16 per tahun. Tabel 26 Nilai Net Present Value NPV, Net Benefit Cost Ratio Net BC dan
Internal Rate of Return IRR usaha unit penangkapan muroami selama tahun proyek, tahun 2007
No Keterangan Nilai
1 Net Present Value NPV dalam Rupiah
8,980,639.29 2
Net Benefit Cost Ratio Net BC 1.06 3
Internal Rate of Return IRR 18
Sumber: Diolah dari data primer 2007
Internal rate of return yang diperoleh dari hasil analisis kelayakan usaha penangkapan muroami sebesar 18 per tahun. Hal ini berarti bahwa keuntungan
internal atau benefit internal yang diperoleh dari usaha ini sebagai akibat investasi yang ditanamkan selama umur proyek adalah 18 per tahun. Nilai IRR
tersebut lebih besar dari tingkat suku bunga yang berlaku, yaitu 16, artinya usaha unit penangkapan muroami dapat diteruskan. Dari perolehan nilai hasil
analisis kriteria investasi tersebut diperoleh nilai NPV 0, Net BC 1 dan IRR tingkat suku bunga bank yang berlaku, sehingga usaha penangkapan muroami
ini layak untuk dikembangkan. Tabel 27 perhitungan analisis finansial untuk usaha unit penangkapan
bubu diperoleh nilai NPV sebesar Rp2,544,075.31 dengan discount factor pada tingkat suku bunga 16 per tahun, nilai ini menunjukkan bahwa nilai keuntungan
yang diperoleh pada akhir tahun proyek usaha unit penangkapan bubu adalah sebesar Rp2,544,075.31 dilihat pada saat sekarang, sehingga usaha ini juga
layak untuk dilanjutkan. Keuntungan yang diperoleh cukup sebanding dengan yang diperoleh dari usaha unit penangkapan muroami, dimana bubu beroperasi
dua hari sekali dan muroami dengan sistem one day fishing. Net BC yang diperoleh sebesar 1.05 merupakan perbandingan net benefit positif dengan net
benefit negative selama tahun proyek. Nilai tersebut menunjukkan bahwa setiap satu rupiah biaya cost yang dikeluarkan selama umur proyek akan memberikan
nilai manfaat benefit sebesar Rp1.05 pada tingkat suku bunga 16 per tahun. Internal rate of return yang diperoleh dari analisis kelayakan usaha
penangkapan bubu sebesar 19 per tahun, ini menunjukkan bahwa adanya penambahan internal nilai investasi yang ditanamkan untuk usaha unit bubu
akan bertambah sebesar 19 setiap tahunnya selama umur proyek. Nilai IRR tersebut lebih besar dari tingkat suku bunga yang berlaku, yaitu 16 artinya
usaha penangkapan bubu juga dapat diteruskan. Tabel 27 Nilai Net Present Value NPV, Net Benefit Cost Ratio Net BC dan
Internal Rate of Return IRR usaha unit penangkapan bubu selama tahun proyek, tahun 2007
No Keterangan Nilai
1 Net Present Value NPV dalam Rupiah
2,544,075.31 2
Net Benefit Cost Ratio Net BC 1.05 3
Internal Rate of Return IRR 19
Sumber: Diolah dari data primer 2007
Berdasarkan analisis kriteria usaha dan analisis kriteria investasi usaha unit penangkapan bubu dan muroami layak untuk dilaksanakan. Hal ini dapat
dilihat beberapa kriteria usaha dan kriteria investasi, dimana Payback Period dari bubu 2.53 tahun dan muroami 4.90 tahun dan pada nilai IRR pada setiap alat
tangkapan bubu 19, sedangkan muroami 18. 5.4.3 Analisis sensitivitas
Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat pengaruh apa yang akan terjadi akibat perubahan harga input atau bahan baku yang akan berdampak
pada nilai output diakhir perhitungan. Dalam penelitian ini faktor yang dianalisis adalah perubahan harga solar dan minyak tanah sebagai komponen variabel
terbesar yaitu untuk solar sekitar 25.8 - 42.0 dan untuk minyak tanah 1.3- 1.6 dari total biaya variabel. Metode yang digunakan adalah switching value.
Komponen tersebut merupakan komponen variabel utama yang dianggap peka dalam proses penangkapan muroami dan bubu.
Berdasarkan metode tersebut diperoleh nilai untuk kenaikan harga solar dan minyak tanah sebesar 2.5 pada muroami dan pada bubu sebesar 4.3
yang menyebabkan usaha penangkapan menjadi tidak layak untuk dijalankan. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa apabila terjadi perubahan harga
solar dan minyak tanah, maka nilai kriteria investasi juga akan mengalami perubahan. Nilai kriteria investasi setelah dilakukan analisis sensitivitas pada
usaha penangkapan muroami dan bubu dapat dilihat pada Tabel 28 dan 29 dan untuk perhitungan secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 19 dan 20.
Berdasarkan Tabel 28 dapat dilihat perhitungan analisis sensitivitas terhadap kenaikan harga solar dan minyak tanah sebesar 2.5 dari harga solar
Rp5,125.00 menjadi Rp5,253.13 pada unit penangkapan muroami menunjukkan
bahwa nilai NPV yang diperoleh adalah negatif. Hal ini menunjukkan usaha penangkapan muroami di Kepulauan Seribu tidak layak untuk dijalankan dan
dikembangkan. Net BC yang dihasilkan dalam analisis kurang dari 1, yaitu 0.998. Berarti usaha ini tidak memberi manfaat bersih, sehingga tidak layak
untuk dilanjutkan. Nilai IRR yang dihasilkan sama atau dibawah tingkat suku bunga yang berlaku, yaitu 16 berarti usaha ini mengalami kerugian.
Berdasarkan dari hasil perhitungan tersebut, maka usaha penangkapan muroami tidak layak untuk dikembangkan apabila terdapat kenaikan harga solar dan
minyak tanah sebesar 2.5. Tabel 28 Perbandingan nilai kriteria investasi akibat kenaikan harga solar dan
minyak tanah sebesar 2.5 pada muroami, tahun 2007
No Kriteria
Investasi Sebelum kenaikan
harga solar dan minyak tanah
Sesudah kenaikan harga solar dan
minyak tanah 2.5 Perubahan
1 NPV Rp
8,980,639.29 -317,224.23
9,297,863.52 2 Net
BC 1.06
0.998 0.057
3 IRR 18
16 2
Sumber: Diolah dari data primer 2007
Hasil perbandingan sebelum dan sesudah perubahan harga minyak tanah menyebabkan nilai NPV, Net BC dan IRR ikut berubah. Perubahan nilai
NPV sebesar Rp9,297,863.52 dari Rp8,980,639.29 setelah mengalami kenaikan solar dan minyak tanah menjadi Rp317,224.23, menunjukkan bahwa net benefit
yang akan diperoleh pada akhir tahun proyek yang dihitung berdasarkan nilai saat ini mengalami penurunan sebesar Rp9,297,863.52. Net BC sebesar 0.057
menunjukkan bahwa manfaat bersih dalam usaha ini berkurang sebesar Rp0.057 dari biaya yang dikeluarkan oleh nelayan muroami. Nilai IRR menjadi 16
menyebabkan keuntungan yang diperoleh dari usaha penangkapan muroami tersebut berkurang sebesar 2 dari investasi yang ditanamkan nelayan setelah
terjadinya kenaikan harga solar dan minyak tanah. Tabel 29 Perbandingan nilai kriteria investasi akibat kenaikan harga solar dan
minyak tanah sebesar 4.3 pada bubu, tahun 2007
No Kriteria
Investasi Sebelum kenaikan
harga solar dan minyak tanah
Sesudah kenaikan harga solar dan
minyak tanah 4.3 Perubahan
1 NPV Rp
2,544,075.31 -53,022.84
2,597,098.15 2 Net
BC 1.047
0.999 0.05
3 IRR 19
16 4
Sumber: Diolah dari data primer 2007
Berdasarkan Tabel 29 perbandingan nilai kriteria investasi akibat kenaikan harga solar dan minyak tanah sebesar 4,3 pada unit penangkapan
bubu. Harga solar sebelum terjadi kenaikan sebesar Rp5,000.00 menjadi Rp5,215.00 dan harga minyak tanah semula Rp3,000.00 menjadi Rp3,129.00,
hal ini menyebabkan nilai NPV negatif. Berarti usaha penangkapan bubu di Kepulauan Seribu juga tidak layak untuk dijalankan dan dikembangkan. Net BC
yang dihasilkan dalam analisis kurang dari 1, yaitu 0,999. Berarti usaha ini tidak memberi manfaat bersih, sehingga akan mengalami kerugian. Nilai IRR yang
dihasilkan, yaitu 16 sama atau dibawah tingkat suku bunga yang berlaku. berarti usaha ini mengalami kerugian. Dari keseluruhan hasil perhitungan
tersebut, maka usaha penangkapan bubu tidak layak untuk dikembangkan apabila terdapat kenaikan harga solar dan minyak tanah 4.3.
Hasil perbandingan sebelum dan sesudah kenaikan harga solar dan minyak tanah 4.3 menyebabkan nilai NPV, Net BC dan IRR mengalami
perubahan. Nilai NPV berkurang sebesar Rp2,597,098.15 dari Rp2,544,075.31 menjadi Rp53,022.84 setelah kenaikan harga solar dan minyak tanah,
menunjukkan bahwa net benefit yang akan diperoleh pada akhir tahun proyek yang dihitung berdasarkan nilai saat ini mengalami penurunan sebesar
Rp2,597,098.15. Net BC berkurang sebesar 0.05 yang menunjukkan bahwa manfaat bersih dalam usaha ini berkurang sebesar Rp0.05 dari biaya yang
dikeluarkan oleh nelayan muroami. Nilai IRR yang berkurang sebesar 4 menyebabkan keuntungan yang diperoleh dari usaha penangkapan bubu
tersebut menurun sebesar 4 dari investasi yang ditanamkan nelayan setelah terjadi kenaikan harga solar dan minyak tanah.
6 PEMBAHASAN
Pemanfaatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan sustainable diperlukan suatu kebijakan dalam pengelolaannya, oleh karena itu dalam
pemanfaatan sumberdaya dilakukan secara optimal pada masa sekarang supaya generasi mendatang memperoleh nilai manfaat yang paling tidak sama dengan
kondisi sekarang dari sumberdaya tersebut. Hasil penelitian ini menujukkan bahwa tingkat alokasi optimal sumberdaya perikananan ikan ekor kuning di
Perairan Kepulauan Seribu disajikan pada Tabel 30 dan Tabel 31. Tabel 30 Alokasi optimal sumberdaya perikanan ikan ekor kuning di Kepulauan
Seribu dari hasil standarisasi ke alat tangkap muroami
Alokasi Optimal Satuan
Hasil Standarisasi ke Alat Tangkap Muroami Aktual
Optimal i=10 Optimal i=18
Yield Ton per tahun
798.9 531.73
529.14 Effort
Trip per tahun 690
486 505
Alat Tangkap Unit
184 130
135 Tangkapan Ton
per trip
1.16 1.09 1.05 Rente Total
Juta Rp per tahun
4,354.77 30,344.01 17,357.02 Rente per Unit
Tangkap Juta Rp per Unit
per Tahun 23.67 234.18 128.81
Tabel 30 menunjukkan bahwa berdasarkan tingkat discount rate sebesar 10 sampai dengan 18 produksi optimal untuk sumberdaya ikan ekor kuning
dari hasil standarisasi ke alat tangkap muroami sebanyak 531.73 sampai dengan 529.14 ton per tahun, dengan tingkat upaya 486 sampai dengan 505 trip per
tahun. Apabila jumlah effort optimal dikonversi kembali ke dalam jumlah unit alat tangkap muroami yang optimal pada tingkat discount rate 10 sampai dengan
18 adalah 130 unit sampai dengan 135 unit. Sementara pada kondisi aktual jumlah muroami sekarang sudah mencapai 184 unit, jadi di Perairan Kepulauan
Seribu telah kelebihan alat tangkap yang dioperasikan, sehingga pemanfaatan sumberdaya ikan ekor kuning telah terjadi overfishing baik secara biologi dan
ekonomi. Dengan demikian, untuk pengelolaan sumberdaya ikan ekor kuning secara lestari jumlah alat yang dianjurkan beroperasi di Perairan Kepulauan
Seribu sebanyak 130-135 unit alat tangkap setingkat muroami. Berdasarkan Tabel 31 pada tingkat discount rate 10 sampai dengan
18 produksi optimal dari hasil standarisasi ke alat tangkap bubu adalah sebanyak 8,336,259.03 sampai dengan 7,927,098.07 ton per tahun, dengan
tingkat upaya 4,973 sampai dengan 5,462 trip per tahun. Apabila jumlah effort
tersebut dikonversikan ke dalam jumlah unit alat tangkap bubu, maka jumlah unit alat tangkap bubu yang optimal adalah sebanyak 440 unit sampai dengan 484
unit. Jumlah tersebut jauh lebih rendah dari jumlah alat tangkap bubu pada kondisi aktual sekarang sebanyak 1,985 unit. Artinya bahwa untuk pemanfaatan
sumberdaya tersebut secara optimal yang akan memberikan nilai manfaat optimal jangka panjang, maka jumlah alat tangkap bubu perlu pengurangan
jumlah alat. Dengan demikian, untuk pengelolaan sumberdaya ikan ekor kuning secara lestari jumlah alat tangkap yang dianjurkan beroperasi di Perairan
Kepulauan Seribu sebanyak 440-484 unit alat tangkap setingkat bubu. Tabel 31 Alokasi optimal sumberdaya perikanan ikan ekor kuning di Kepulauan
Seribu dari hasil standarisasi ke alat tangkap bubu
Alokasi Optimal Satuan
Hasil Standarisasi ke Alat Tangkap Bubu Aktual Optimal
i=10 Optimal
i=18 Yield
Ton per tahun 798.90
8,336,259.03 7,927,098.07
Effort Trip
per tahun 22,411 4,973 5,462
Alat Tangkap Unit
1,985
440 484
Tangkapan Ton
per trip
0.04 1676.39 1451.31 Rente Total
Juta Rp per tahun
4,328.39 494,709,645.90 270,892,356.96 Rente per Unit
Tangkap Juta Rp per
Unit per Tahun 2.18 1,123,190.97 559,939.96
Rata-rata produksi aktual dari pemanfaatan sumberdaya perikanan ikan ekor kuning dari hasil standarisasi ke alat tangkap muroami sebanyak 798.9 ton
per tahun, dengan jumlah effort sebanyak 690 trip per tahun. Jumlah effort ini jauh lebih banyak dibandingkan dengan alokasi secara optimal, sehingga
menyebabkan total biaya akan lebih besar dalam pemanfaatan sumberdaya tersebut. Rata-rata produksi aktual dari hasil standarisasi ke alat tangkap bubu
sebanyak 798.90 ton per tahun, dengan jumlah effort sebayak 22,411 trip per tahun. Jumlah effort tersebut hampir empat kali lipat dari jumlah effort optimal
pada tingkat discount rate 10 yang diharapkan yaitu sebanyak 4,973 trip per tahun, sedangkan pada tingkat discount rate 18 jumlah effort tersebut hampir
tiga kali lipat dari jumlah effort optimal yang diharapkan sebanyak 5,462 trip per tahun. Kondisi ini juga akan menyebabkan total biaya yang harus dikeluarkan
jauh lebih besar yang pada akhirnya berimplikasi terhadap nilai rente yang diperoleh oleh masyarakat akan jadi berkurang.
Berdasarkan uraian di atas, maka pengelolaan sumberdaya ikan ekor kuning di Perairan Kepulauan Seribu di masa yang akan datang, sebaiknya tidak
lagi menambah unit alat tangkap muroami dan bubu. Bahkan ke depan untuk alat
tangkap muroami dan bubu dapat dilakukan upaya secara bertahap untuk mengurangi jumlah alat tangkap tersebut, guna memperoleh nilai tangkapan
yang optimal dengan rente yang diperoleh juga optimal. Apabila tidak hal ini akan menimbulkan dampak terhadap kelestarian sumberdaya ikan ekor kuning dalam
bentuk terjadinya overfishing, penurunan produktivitas terjadi degradasi yang cukup parah serta tingkat pendapatan nelayan sendiri.
Diharapkan kepada pemerintah daerah melalui dinas terkait, dapat membuat suatu kebijakan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya
ikan ekor kuning di Perairan Kepulauan Seribu secara optimal. Kebijakan yang diambil adalah tidak lagi memberi izin terhadap penambahan dan pengoperasian
alat tangkap yang sudah melebihi kondisi optimal. Tindakan ini dilakukan sebagai antisipasi mencegah terjadinya tekanan yang berlebihan terhadap daya dukung
di Perairan Kepulauan Seribu bagi penangkapan dengan alat tangkap muroami dan bubu.
Sejalan dengan adanya suatu kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya ikan ekor kuning di Kepulauan Seribu, maka hal yang sangat penting adalah
perlunya menerapkan sistem monitoring dan pendataan secara sistematis terhadap produksi ikan baik yang bernilai jual, konsumsi dan yang terbuang.
Berdasarkan kondisi di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak hasil tangkapan nelayan yang belum tercatat, terutama nelayan yang mendaratkan
hasil tangkapannya di luar TPI. Hal ini sangat penting untuk dilakukan guna untuk memperoleh data yang akurat sebagai bahan dasar dalam membuat
perencanaan pengelolaan sumberdaya perikanan ikan ekor kuning ke depan. Salah satu tujuan dari pengelolaan sumberdaya ikan ekor kuning adalah
untuk meningkatkan kesejahteraan dari para pelaku ekonomi yang memanfaatkan sumberdaya perikanan, terutama bagi para nelayan. Tingkat
kesejahteraan akan terlihat dari tingkat produktivitas dan pendapatan yang diperoleh oleh para pelakunya. Diharapkan agar peningkatan kesejahteraan
nelayan di Kepulauan Seribu tidak hanya dijadikan sebagai fungsi tujuan pengelolaan sumberdaya ikan ekor kuning, akan tetapi lebih ditekankan sebagai
target pengelolaan perikanan yang ingin dicapai. Konsekuensinya adalah Pemerintah Derah melalui dinas teknis terkait dapat menentukan dan memilih
pola pengelolaan sumberdaya ikan ekor kuning di Perairan Kepulauan Seribu. Pola pemanfaatan sumberdaya ikan ekor kuning tidak hanya untuk mendapatkan
produksi yang tinggi, sehingga melakukan upaya ekstraksi yang berlebihan, akan
tetapi adalah bagaimana pengelolaan sumberdaya ikan ekor kuning mampu memberikan nilai rente yang optimal bagi masyarakat. Ekstraksi sumberdaya
ikan yang berlebihan hanya akan memberikan manfaat sesaat, dan untuk waktu jangka panjang masyarakat tidak akan memperoleh apa-apa dari sumberdaya
tersebut. Hasil penelitian ini salah satu bentuk pilihan yang ditawarkan dalam pengelolaan sumberdaya ikan ekor kuning dengan pemanfaatan secara optimal
dan berkelanjutan sustainable. Berdasarkan analisis finansial, usaha unit penangkapan muroami
menghasilkan keuntungan lebih besar apabila dibandingkan dengan unit penangkapan bubu. Hal ini didasarkan pada biaya investasi masing-masing unit
penangkapan bahwa investasi yang dikeluarkan unit penangkapan muroami jauh lebih besar dari unit penangkapan bubu. Besarnya keuntungan yang diperoleh
unit penangkapan muroami disebabkan oleh besarnya kapasitas muroami dalam menghasilkan produksi berupa hasil tangkapan.
Dilihat dari tingkat investasi yang ditanamkan serta biaya operasional yang dikeluarkan lebih besar, juga menghasilkan hasil tangkapan yang lebih
besar. Hal ini menjadikan alat tangkap muroami lebih menguntungkan daripada alat tangkap bubu dan menghasilkan nilai NPV dan IRR yang lebih besar,
sehingga layak untuk dikembangkan di kemudian hari. Dilihat dari analisis sensitivitas, usaha penangkapan ikan ekor kuning baik dengan muroami mau
pun bubu sangat sensitive terhadap kenaikan harga BBM minyak tanah dan solar. Dengan demikian, perlu adanya kebijakan terhadap mekanisme harga
BBM, apalagi pada saat sekarang tidak berlaku lagi minyak tanah bersubsidi, maka diperlukan alternatif bahan bakar lain seperti bio-diesel.
Uraian hasil penelitian ini merupakan hasil analisis dinamis optimasi pemanfaatan sumberdaya ikan ekor kuning dari hasil standarisasi ke alat
tangkap muroami dan dari hasil standarisasi ke alat tangkap bubu di Perairan Kepulauan Seribu. Serta analisis finansial dari alat tangkap muroami dan bubu.
Nilai-nilai yang didapat dari hasil analisis dinamis optimasi ini merupakan nilai optimal yang didapat diperoleh oleh nelayan atau pelaku ekonomi yang
memanfaatkan sumberdaya tersebut. Apabila hal ini diimplementasikan, maka nelayan akan memperoleh hasil yang optimal, yang pada akhirnya akan punya
peluang untuk meningkatkan kesejahteraannya. Berdasarkan Tabel 29 dan 30, maka rekomendasi kebijakan dalam
pengelolaan sumberdaya ikan ekor kuning dari hasil standarisasi ke alat tangkap
muroami dan hasil standarisasi ke alat tangkap bubu di Perairan Kepulauan Seribu, yang menjadi kajian adalah sebagai berikut:
1 Membuat kebijakan tentang pemanfaatan sumberdaya ikan ekor kuning di Perairan Kepulauan Seribu yang meliputi tingkat effort dan volume produksi
optimal, dengan mengacu pada tingkat discount rate rendah 10, sehingga tercapai tingkat rente ekonomi yang maksimal dan lestari sebagaimana yang
dihasilkan dalam penelitian ini. 2 Membuat dan menetapkan regulasi tentang pengurangan dan pembatasan
alat tangkap restricition gear setara dengan jumlah alat tangkap muroami 130 sampai dengan 135 unit atau setara dengan jumlah alat tangkap bubu
sebanyak 440 sampai dengan 484 unit. 3 Tetap melakukan kontrol dan pengawasan terhadap tingkat upaya
penangkapan aktual dari hitungan upaya penangkapan di Perairan Kepulauan Seribu tidak melebihi tingkat produksi optimal dari sumberdaya
ikan ekor kuning tersebut, yaitu masing-masing dari hasil standarisasi ke alat tangkap muroami sebanyak 505 trip per tahun dan dari hasil
standarisasi ke alat tangkap bubu sebanyak 5,462 trip per tahun. 4 Penetapan kuota atas produksi, sehingga dapat mengurangi tingkat upaya
supaya tidak terjadi biological dan economical overfishing. 5 Dalam jangka pendek dapat melakukan schedule of fishing, sehingga jumlah
effort dalam produksi sesuai dengan kondisi optimal, effort sebanyak 505 trip per tahun setara alat tangkap muroami dan sebanyak 5,462 trip per
tahun setara alat tangkap bubu. 6 Pemerintah atau intansi terkait dapat mendorong dalam penggantian BBM
minyak tanah dan solar dengan bahan bakar sejenis bio-diesel dengan harga yang lebih murah.
Selain rekomendasi tersebut di atas, Pemerintah Kepulauan Seribu diharapkan juga mengacu pada kode etik pengelolaan perikanan yang
bertanggung jawab Code of Conduct for Responsible Fisheries, CCRF yang telah dicanangkan oleh badan dunia yang menangani pangan dan pertanian
Food and agriculture Organization, FAO pada tahun 1995. Banyak hal penting yang perlu menjadi perhatian dan menjadi acuan dalam mengaplikasikan
pengelolaan sumberdaya ikan yang bertanggung jawab di Perairan Kepulauan Seribu sebagaimana terkandung dalam butir-butir isi CCRF, antara lain:
1 Negara dan pengguna sumberdaya perikanan harus menjaga ekosistem perairan, dan hak menangkap ikan harus disertai dengan kewajiban
menangkap ikan dengan cara yang bertanggung jawab. 2 Negara harus mencegah terjadinya tangkap lebih overfishing dan menjaga
agar penangkapan sesuai dengan daya lingkungan carrying capacity 3 Kebijakan pengelolaan perikanan didasarkan pada adanya bukti ilmiah
terbaik yang tersedia. Kebijakan terakhir sebagai pelengkap dan penyempurna dari kebijakan
tersebut di atas adalah kebijakan human development, mengingat manusia adalah unsur utama dalam aktivitas pemanfaatan sumberdaya ikan. Kebijakan
sehebat apapun atau sebagus apapun seringkali terlihat mentah di lapangan, tidak akan memberikan dampak apa-apa sebagaimana tujuan dari ditetapkannya
kebijakan tersebut, jika tidak didukung sendiri oleh para pelaku utama dari kebijakan tersebut, baik pembuat kebijakan atau pun yang harus melaksanakan
kebijakan. Kebijakan ini ditujukan bagi peningkatan kualitas dan profesionalitas para pemegang kebijakan dan pengelola perikanan, juga ditujukan kepada para
nelayan dalam bentuk memberikan penyadaran, sosialisasi, pemahaman, rasa memiliki dan rasa tanggung jawab akan pentingnya pembangunan perikanan
yang berkelanjutan.
7 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan