Aspek Finansial .1 Analisis usaha Kesimpulan

berat ikan ekor kuning pada saat penelitian yang ditangkap dengan muroami dan bubu ukuran panjang ikan ekor kuning kebanyakan belum memiliki ukuran optimal yang dapat ditangkap, karena umumnya masih dalam mencapai tahap dewasa. Berdasarkan sampel ikan ekor kuning pada saat penelitian pada alat tangkap muroami sebanyak 92 dan alat tangkap bubu 17 yang belum optimal untuk ditangkap, hal ini lah salah satunya yang akan menyebabkan sumberdaya ikan ekor kuning terdergradasi. Gambar 41 Grafik koefisien degradasi, degradasi standard dan koefisien depresiasi hasil standarisasi ke alat tangkap muroami, tahun 1997-2006 Gambar 42 Grafik koefisien degradasi, degradasi standard dan koefisien depresiasi hasil standarisasi ke alat tangkap bubu, tahun 1997-2006 5.4 Aspek Finansial 5.4.1 Analisis usaha Analisis usaha unit penangkapan muroami dan bubu di Kepulauan Seribu dilakukan untuk mengetahui keadaan usaha perikanan tersebut. Pada analisis suatu usaha harus diketahui biaya-biaya yang dikeluarkan dan nilai produksi 0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1.0 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 L de g, deg s td L d e pr e s ia s i Tahun L deg deg std L dep 0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 L d e

g, de

g st d L de pr es ia s i Tahun L deg deg std L dep yang diperoleh meliputi biaya investasi muroami dan bubu, biaya usaha muroami dan bubu, penerimaan usaha muroami dan bubu, keuntungan usaha penangkapan muroami dan bubu serta kriteria analisis usaha. 5.4.1.1 Biaya investasi muroami dan bubu Biaya investasi adalah pengeluaran yang dilakukan pada kegiatan dan saat tertentu untuk memperoleh manfaat beberapa kemudian. Pengeluaran biaya investasi umumnya dilakukan satu kali dan baru menghasilkan manfaat beberapa tahun kemudian Kuntjoro 1988. Biaya investasi yang dibutuhkan untuk satu unit usaha perikanan Muroami kira-kira Rp163,258,79.00 sedangkan untuk satu unit usaha perikanan Bubu kira-kira sebesar Rp49,752,24.00. Rincian biayanya dapat dilihat pada Tabel 22 dan 23. Tabel 22 Rincian nilai rata-rata investasi usaha perikanan muroami, tahun 2007 No Uraian Investasi Biaya Rp Persentase 1 Kapal u.t 8 tahun 56,318,850.00 34.50 2 Mesin Kapal u.t 6 tahun 15,380,645.00 9.42 3 Alat Tangkap u.t 5 tahun 68,504,800.00 41.96 4 Alat bantu: Compresor, selang, morfish dan masker u.t 5 tahun 23,054,500.00 14.12 Total Investasi 163,258,795.00 100.00 Sumber: Diolah dari data primer 2007 Berdasarkan Tabel 22 biaya investasi rata-rata yang dikeluarkan unit usaha perikanan muroami antara lain, yaitu satu unit kapal Rp56,318,850.00 satu unit mesin Rp15,380645.00, satu set alat tangkap muroami Rp68,504,800.00 dan alat bantu terdiri dari satu unit mesin compressor, selang, morfish, masker dan pemberat kira-kira sebesar Rp23,054,500.00 termasuk alat masak. Biaya investasi terbesar pembelian satu set alat tangkap muroami sekitar 41.96 dari total investasi, sedangkan investasi terendah digunakan untuk untuk pembelian mesin kapal yaitu sekitar 9.42 dari total investasi. Berdasarkan Tabel 23 biaya investasi rata-rata yang dikeluarkan unit usaha penangkapan bubu antara lain satu unit kapal Rp39,522,000.00, satu unit mesin berkisar Rp7,894,440.00, alat tangkap bubu 10 buah kira-kira sebesar Rp2,061,000.00 dan alat bantu seperti tali, pemberat dan bambu membutuhkan kira-kira Rp274,800.00. Pada unit usaha penangkapan menggunakan bubu biaya investasi terbesar digunakan untuk pembelian satu buah kapal sebesar 79.44 dari total investasi, sedangkan untuk biaya investasi terkecil dikeluarkan untuk pembelian alat bantu sekitar 0.55 dari total investasi. Tabel 23. Rincian nilai rata-rata investasi usaha perikanan bubu tahun 2007 No Uraian Investasi Biaya Rp Persentase 1 Kapal u.t 8 tahun 39,522,000.00 79.44 2 Mesin Kapal u.t 6 tahun 7,894,440.00 15.87 3 Alat Tangkap 10 Rp150000 u.t 1 tahun 2,061,000.00 4.14 4 Alat bantu Tali, pemberat dan bambu u.t 3 274,800.00 0.55 Total Investasi 49,752,240.00 100.00 Sumber: Diolah dari data primer 2007 5.4.1.2 Biaya usaha muroami dan bubu Komponen biaya usaha merupakan suatu komponen pengeluaran yang harus dikeluarkan dari usaha penangkapan, umumnya dihitung dalam satu tahun. Biaya produksi adalah nilai dari semua faktor produksi yang digunakan, baik dalam bentuk benda maupun jasa selama proses produksi berlangsung. Biaya ini terbagi menjadi dua, yaitu biaya tetap fixed cost dan biaya variabel variable cost Soekartawi 1995. Biaya tetap fixed cost didefinisikan sebagai biaya yang relatif tetap jumlahnya, dan terus dikeluarkan walau pun produksi yang diperoleh banyak atau sedikit. Jadi besarnya biaya tetap ini tidak tergantung pada besar kecilnya produksi yang diperoleh Soekartawi 1995. Biaya tersebut harus tetap dikeluarkan sekali pun operasi penangkapan tidak dilakukan. Komponen biaya tetap dalam usaha unit penangkapan muroami dan unit penangkapan bubu meliputi biaya penyusutan kapal, biaya penyusutan mesin, biaya penyusutan alat tangkap, biaya penyusutan alat bantu, biaya perawatan kapal, biaya perawatan mesin, biaya perawatan alat tangkap dan biaya perawatan alat bantu. Biaya variabel didefinisikan sebagai biaya yang besar kecilnya dipengaruhi oleh produksi yang diperoleh Soekartawi 1995. Berbeda dengan biaya tetap, biaya variabel tidak harus dikeluarkan jika operasi penangkapan tidak dilakukan. Komponen biaya tidak tetap dalam usaha unit penangkapan muroami dan unit penangkapan bubu terdiri atas solar, minyak tanah,oli, es, komsumsi dan upah ABK. Secara rinci biaya usaha unit penangkapan muroami dan Bubu dapat dilihat pada Tabel 24 dan 25. Berdasarkan Tabel 24 dapat diketahui bahwa total biaya dalam usaha penangkapan muroami di Kepulauan Seribu Tahun 2007 sebesar Rp351,435,740.00 per tahun, dengan biaya tetap sebesar Rp39,223,490.08 per tahun dan biaya tidak tetap atau biaya variabel yaitu sebesar Rp312,212,250.00 per tahun. Biaya tetap terbesar dikeluarkan akibat dari penyusutan alat tangkap sebesar Rp13,700,960.00 per tahun yaitu 34.93 dari total biaya tetap. Biaya terkecil digunakan untuk biaya perawatan alat bantu penangkapan sebesar Rp625,000.00 per tahun atau 1.59 dari total biaya tetap. Biaya tidak tetap terbesar digunakan untuk upah ABK, yaitu rata-rata sebesar Rp153,510,000.00 per tahun atau 49.17 dari total biaya variabel. Upah ABK ini tergantung dari hasil tangkapan yang didapat pada setiap trip penangkapan yang dilakukan. Biaya variabel terkecil dikeluarkan untuk biaya pembelian minyak tanah yaitu sebesar Rp4,966,500.00 per tahun atau 1.59 dari total biaya variabel yang digunakan. Tabel 24 Biaya usaha unit penangkapan muroami di Kepulauan Seribu, tahun 2007 No Uraian Biaya Rp Persentase I. Biaya Tetap fixed cost 1 Penyusutan kapal 7,039,856.25 17.95 2 Penyusutan mesin 2,563,440.83 6.54 3 Penyusutan alat tangkap 13,700,960.00 34.93 4 Penyusutan alat bantu 4,610,900.00 11.76 5 Perawatan kapal 3 kali dalam 1 tahun 5,833,333.00 14.87 6 Perawatan Mesin 3 kali dalam 1 tahun 3,750,000.00 9.56 7 Perawatan alat tangkap 3 kali dalam 1 tahun 1,100,000.00 2.80 8 Perawatan Alat bantu 625,000.00 1.59 Total Biaya Tetap fixed cost 39,223,490.08 100.00 II. BiayaTidak Tetap variable cost 1 Solar 61 lt x 258 trip x Rp 5125 80,657,250.00 25.83 2 Minyak tanah 5.5 lt x 258 trip x Rp 3500 4,966,500.00 1.59 3 Oli 3.5 lt x 258 trip x Rp 12.500 11,287,500.00 3.62 4 Es 4 balok x 258 trip x Rp 17.375 17,931,000.00 5.74 5 Komsumsi 17 org x 258 trip x Rp 10000 43,860,000.00 14.05 6 Upah ABK 17 org x 258 trip x Rp 35000 153,510,000.00 49.17 Total BiayaTidak Tetap variable cost 312,212,250.00 100.00 Total Biaya 351,435,740.08 Sumber: Diolah dari data primer 2007 Tabel 25 Biaya usaha unit penangkapan bubu di Kepulauan Seribu, tahun 2007 No Uraian Biaya Rp Persentase I. Biaya Tetap fixed cost 1 Penyusutan kapal 4,940,250.00 45.50 2 Penyusutan mesin 1,315,740.00 12.12 3 Penyusutan alat tangkap 2,061,000.00 18.98 4 Penyusutan alat bantu 91,600.00 0.84 5 Perawatan kapal 2 kali dalam 1 tahun 1,000,000.00 9.21 6 Perawatan Mesin 4 kali dalam 1 tahun 600,000.00 5.53 7 Perawatan alat tangkap 3 kali dalam 1 tahun 750,000.00 6.91 8 Perawatan Alat bantu 100,000.00 0.92 Total Biaya Tetap fixed cost 10,858,590.00 100.00

II. BiayaTidak Tetap variable cost

1 Solar 20 lt x 135 trip x Rp 5000 13,500,000.00 42.02 2 Minyak tanah 1 lt x 135 trip x Rp 3000 405,000.00 1.26 3 Oli 1 lt x 135 trip x Rp 15000 2,025,000.00 6.30 4 Es 1 balok x 135 trip x Rp 20000 2,700,000.00 8.40 5 Komsumsi 4 org x 135trip x Rp 5000 2,700,000.00 8.40 6 Upah ABK 4org x 135 trip x Rp 20000 10,800,000.00 33.61 Total BiayaTidak Tetap variable cost 32,130,000.00 100.00 Total Biaya 42,988,590.00 Sumber: Diolah dari data primer 2007 5.4.1.3 Penerimaan usaha muroami dan bubu Penerimaan yang dihasilkan dari unit penangkapan muroami dan bubu merupakan hasil perkalian antara jumlah produksi total dengan jumlah trip dan harga satuan produksi yang berlaku. Penerimaan yang diperoleh usaha unit penangkapan muroami rata-rata sebesar Rp384,751,272.00 dengan rata-rata 285 trip per tahun. Hasil tangkapan yang diperoleh adalah rata-rata sebesar 220 kg per trip dengan harga rata-rata sebesar Rp8,378.00 per trip. Penerimaan yang diperoleh usaha unit penangkapan bubu rata-rata setiap tahunnya sebesar Rp62,640,000.00 dengan 135 trip per tahun dan hasil tangkapan yang diperoleh sebanyak 50 kg harga rata-rata sebesar Rp8,000.00. Penerimaan usaha unit penangkapan muroami dan bubu ini sangat tergantung dari hasil tangkapan pada setiap tripnya. Berdasarkan wawancara dengan nelayan ikan ekor kuning tidak ada musim penangkapan, banyak sedikit hasil tangkapan tergantung dari kondisi cuaca pada saat operasi penangkapan seperti kondisi angin kencang, sehingga tidak mendukung operasi penangkapan serta adanya kerusakan mesin apabila terjadi. Analisis usaha penangkapan muroami dan bubu dapat dilihat pada Lampiran 13 dan 14. 5.4.1.4 Keuntungan usaha penangkapan muroami dan bubu Keuntungan usaha yang diperoleh dari unit penangkapan muroami dan bubu di Kepulauan Seribu merupakan hasil selisih antara total penerimaan dan total biaya. Total penerimaan ditentukan oleh nilai penjualan hasil tangkapan ikan, sedangkan total biaya ditentukan oleh biaya produksi, baik biaya tetap dan biaya variabel yang dikeluarkan untuk operasi usaha unit penangkapan muroami dan bubu. Pendapatan yang diperoleh juragan dan nelayan melalui sistem bagi hasil, pemilik mendapat bagian 60 dan nelayan mendapat bagian 40 dari setiap kali penjualan hasil tangkapan setelah dikurangi dengan biaya operasional. Berdasarkan hasil analisis data yang diperoleh, besar penerimaan dari usaha unit penangkapan muroami pada tahun 2007 adalah Rp384,751,272.00 per tahun. Total biaya yang dikeluarkan sebesar Rp351,435,740.00 per tahun, terdiri dari biaya tetap Rp39,223,490.00 per tahun dan biaya tidak tetap Rp312,212,250.00 per tahun. Keuntungan yang diperoleh usaha unit penangkapan muroami di Kepulauan Seribu tahun 2007 rata-rata sebesar Rp33,315,532.00 per tahun. Besar penerimaan dari usaha unit penangkapan bubu pada tahun 2007 adalah Rp62,640,000.00 per tahun. Total biaya yang dikeluarkan pada setiap tahunnya kira-kira sebesar Rp42,988,590.00 dengan biaya tetap Rp10,858,590.00 per tahun dan biaya tidak tetap sebesar Rp42,988,590.00 per tahun. Dari uraian tersebut, maka usaha unit penangkapan bubu di Kepulauan Seribu selama tahun 2007 memperoleh keuntungan sebesar Rp19,651,410.00 per tahun. Rincian analisis usaha unit penangkapan muroami dan bubu dapat dilihat pada Lampiran 13 dan 14. 5.4.1.5 Kriteria analisis usaha 1 Rasio imbang penerimaan dan biaya RC Setiap pelaku usaha selalu mengharapkan keuntungan dari kegiatan usaha yang dilakukan, begitupun dengan nelayan. Rasio imbang penerimaan dan biaya digunakan untuk mengetahui seberapa besar biaya yang digunakan dalam kegiatan usaha sehingga dapat memberikan sejumlah keuntungan dari penerimaan yang diperoleh. Analisis RC merupakan perbandingan antara nilai penerimaan per tahun dengan biaya yang telah dikeluarkan setiap tahun. Analisis RC juga dapat digunakan untuk menilai efisiensi biaya yang telah dikeluarkan Djamin 1984. Penerimaan yang diperoleh dari usaha unit penangkapan muroami pada tahun 2007 adalah Rp384,751,272.00 per tahun dan total biaya yang dikeluarkan sebesar Rp351,435,740.00 per tahun. Berdasarkan perhitungan dari uraian tersebut, didapat nilai RC sebesar 1.09. Hal ini menunjukkan bahwa dari setiap satu rupiah yang dikeluarkan dalam usaha unit penangkapan muroami akan menghasilkan penerimaan sebesar Rp 1.09 atau keuntungan yang akan diterima adalah sebesar Rp 0.09 Lampiran 13. Penerimaan yang diperoleh dari usaha unit penangkapan bubu pada tahun 2007, yaitu sebesar Rp62,640,000.00 per tahun dan total biaya yang dikeluarkan sebesar Rp42,988,590.00 per tahun. Berdasarkan perhitungan dari uraian tersebut, diperoleh nilai RC sebesar 1.46, artinya bahwa dari setiap rupiah biaya yang dikeluarkan dalam usaha unit penangkapan bubu akan menghasilkan penerimaan sebesar Rp1.46 atau keuntungan yang akan diterima adalah sebesar Rp0.46 Lampiran 14. 2 Payback Period PP Analisis ini digunakan untuk mengetahui berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menutupi modal investasi dalam hitungan tahun atau bulan, jika seluruh pendapatan usaha yang dihasilkan digunakan untuk menutupi modal investasi Umar 2003. Payback Period dari usaha unit penangkapan muroami di Kepulauan Seribu adalah 4.90 tahun, artinya waktu yang dibutuhkan untuk pengembalian modal investasi yang telah dikeluarkan adalah 4.90 tahun. Payback Period dari usaha unit penangkapan bubu di Kepulauan Seribu adalah 2.53 tahun, artinya dalam waktu 2.53 tahun modal investasi yang telah dikeluarkan dapat tertutupi. Waktu yang dibutuhkan usaha unit penangkapan muroami dalam pengembalian modal investasi lebih lama dari usaha unit penangkapan bubu, hal ini dikarenakan oleh nilai RC unit penangkapan bubu lebih besar dibandingkan dengan nilai RC unit penangkapan muroami yaitu 1.46 dan 1.09, disamping itu nilai investasi pada usaha penangkapan muroami lebih besar dibandingkan dengan investasi usaha penangkapan bubu Lampiran 13 dan 14. 3 Return on investmen ROI Return on investmen ROI menunjukkan besarnya perbandingan keuntungan yang diperoleh dengan investasi yang ditanamamkan Rangkuti F 2001. Perhitungan ROI usaha unit penangkapan muroami di Kepulauan Seribu adalah 20.41 dan pada usaha unit penangkapan bubu adalah 39.50. Nilai ini menunjukkan bahwa setiap rupiah yang ditanamkan sebagai modal investasi usaha unit penangkapan muroami dapat memberikan keuntungan sebesar Rp0.2041, sedangkan pada unit usaha penangkapan bubu setiap rupiah yang diinvestasikan memberikan keuntungan sebesar Rp0.395. Selengkapnya mengenai perhitungan ROI dapat dilihat pada Lampiran 13 dan 14.

5.4.2 Analisis kriteria investasi

Analisis kriteria investasi digunakan untuk membuat keputusan suatu kegiatan bisa atau tidak untuk dijalankan serta menilai dan mengevaluasi kegiatan tersebut. Perhitungan analisis kriteria investasi tersebut menggunakan beberapa asumsi dasar untuk membatasi permasalahan yang ada. Asumsi yang digunakan adalah sebagai berikut: 1 Analisis yang dilakukan merupakan usaha baru yang akan dikembangkan terhadap unit usaha yang ada dengan umur kegiatan ditentukan 8 tahun, karena umur teknis untuk investasi kapal baru adalah 8 tahun. Investasi yang telah dihitung dengan penyesuaian IHK yang berlaku di Kabupaten Kepulauan Seribu untuk komoditas ikan segar, sehingga menunjukkan nilai saat penelitian; 2 Tahun pertama proyek dimulai tahun 2007 dengan penilaian investasi dinilai pada tahun tersebut, penggantian investasi berikutnya menggunakan barang baru dan harga baru; 3 Sumber modal yang digunakan adalah modal sendiri; 4 Populasi ikan menyebar merata di seluruh daerah penangkapan; 5 Hasil tangkapan yang masuk ke dalam perhitungan hanya ikan ekor kuning; 6 Jumlah trip unit penangkapan muroami jumlah dalam setahun 258 trip dan jumlah trip unit penangkapan bubu dalam setahun 135 trip. 7 Kapal atau perahu dan mesin yang digunakan untuk operasi penangkapan muroami dan bubu memiliki ukuran relatif sama dengan teknologi penangkapan yang berbeda. 8 Harga ikan hasil tangkapan merupakan harga yang diperoleh dari hasil wawancara dengan nelayan setempat dan harga ikan per satuan hasil tangkapan adalah konstan; 9 Discount factor pada tahun 2007 didasarkan pada tingkat suku bunga 16 per tahun yang berlaku pada Bank DKI Jakarta Cabang Kepulauan Seribu; 10 Biaya perawatan kapal, mesin dan alat tangkap meningkat 5 per tahun proyek, hal ini dikarenakan kapal, mesin dan alat tangkap merupakan barang yang sudah terpakai. 11 Kebutuhan solar dan minyak tanah meningkat 5 per tahun proyek. Hal ini disebabkan oleh umur teknis semakin, tua sehingga kebutuhan bahan bakar semakin bertambah; dan 12 Kebutuhan oli meningkat 5 per tahun proyek, hal ini disebabkan oleh umur teknis mesin semakin tua, sehingga kebutuhan bahan bakar semakin bertambah. Analisis kriteria investasi usaha unit penangkapan muroami dan bubu di Kepulauan Seribu terdiri dari Net Present Value NPV, Net Benefit Cost Ratio Net BC dan Internal Rate of Return IRR dapat dilihat pada Tabel 26 dan 27. Perhitungan cash flow unit penangkapan muroami dan bubu dapat dilihat pada Lampiran 17 dan 18. Berdasarkan Tabel 26 perhitungan dengan analisis finansial usaha unit penangkapan muroami nilai NPV yang diperoleh sebesar Rp8,980,639.29 dengan discount factor pada tingkat suku bunga 16 per tahun, nilai ini menunjukkan bahwa selama tahun kegiatan usaha unit penangkapan muroami akan memperoleh keuntungan sebesar Rp8,980,639.29 apabila dilihat dari sekarang, sehingga usaha tersebut layak untuk dilanjutkan. Net BC yang diperoleh sebesar 1.06 merupakan perbandingan net benefit positif dengan net benefit negative selama tahun proyek. Nilai tersebut menunjukkan bahwa setiap satu rupiah cost yang dikeluarkan selama umur proyek akan memberikan nilai manfaat benefit sebesar Rp1.06 pada tingkat suku bunga 16 per tahun. Tabel 26 Nilai Net Present Value NPV, Net Benefit Cost Ratio Net BC dan Internal Rate of Return IRR usaha unit penangkapan muroami selama tahun proyek, tahun 2007 No Keterangan Nilai 1 Net Present Value NPV dalam Rupiah 8,980,639.29 2 Net Benefit Cost Ratio Net BC 1.06 3 Internal Rate of Return IRR 18 Sumber: Diolah dari data primer 2007 Internal rate of return yang diperoleh dari hasil analisis kelayakan usaha penangkapan muroami sebesar 18 per tahun. Hal ini berarti bahwa keuntungan internal atau benefit internal yang diperoleh dari usaha ini sebagai akibat investasi yang ditanamkan selama umur proyek adalah 18 per tahun. Nilai IRR tersebut lebih besar dari tingkat suku bunga yang berlaku, yaitu 16, artinya usaha unit penangkapan muroami dapat diteruskan. Dari perolehan nilai hasil analisis kriteria investasi tersebut diperoleh nilai NPV 0, Net BC 1 dan IRR tingkat suku bunga bank yang berlaku, sehingga usaha penangkapan muroami ini layak untuk dikembangkan. Tabel 27 perhitungan analisis finansial untuk usaha unit penangkapan bubu diperoleh nilai NPV sebesar Rp2,544,075.31 dengan discount factor pada tingkat suku bunga 16 per tahun, nilai ini menunjukkan bahwa nilai keuntungan yang diperoleh pada akhir tahun proyek usaha unit penangkapan bubu adalah sebesar Rp2,544,075.31 dilihat pada saat sekarang, sehingga usaha ini juga layak untuk dilanjutkan. Keuntungan yang diperoleh cukup sebanding dengan yang diperoleh dari usaha unit penangkapan muroami, dimana bubu beroperasi dua hari sekali dan muroami dengan sistem one day fishing. Net BC yang diperoleh sebesar 1.05 merupakan perbandingan net benefit positif dengan net benefit negative selama tahun proyek. Nilai tersebut menunjukkan bahwa setiap satu rupiah biaya cost yang dikeluarkan selama umur proyek akan memberikan nilai manfaat benefit sebesar Rp1.05 pada tingkat suku bunga 16 per tahun. Internal rate of return yang diperoleh dari analisis kelayakan usaha penangkapan bubu sebesar 19 per tahun, ini menunjukkan bahwa adanya penambahan internal nilai investasi yang ditanamkan untuk usaha unit bubu akan bertambah sebesar 19 setiap tahunnya selama umur proyek. Nilai IRR tersebut lebih besar dari tingkat suku bunga yang berlaku, yaitu 16 artinya usaha penangkapan bubu juga dapat diteruskan. Tabel 27 Nilai Net Present Value NPV, Net Benefit Cost Ratio Net BC dan Internal Rate of Return IRR usaha unit penangkapan bubu selama tahun proyek, tahun 2007 No Keterangan Nilai 1 Net Present Value NPV dalam Rupiah 2,544,075.31 2 Net Benefit Cost Ratio Net BC 1.05 3 Internal Rate of Return IRR 19 Sumber: Diolah dari data primer 2007 Berdasarkan analisis kriteria usaha dan analisis kriteria investasi usaha unit penangkapan bubu dan muroami layak untuk dilaksanakan. Hal ini dapat dilihat beberapa kriteria usaha dan kriteria investasi, dimana Payback Period dari bubu 2.53 tahun dan muroami 4.90 tahun dan pada nilai IRR pada setiap alat tangkapan bubu 19, sedangkan muroami 18. 5.4.3 Analisis sensitivitas Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat pengaruh apa yang akan terjadi akibat perubahan harga input atau bahan baku yang akan berdampak pada nilai output diakhir perhitungan. Dalam penelitian ini faktor yang dianalisis adalah perubahan harga solar dan minyak tanah sebagai komponen variabel terbesar yaitu untuk solar sekitar 25.8 - 42.0 dan untuk minyak tanah 1.3- 1.6 dari total biaya variabel. Metode yang digunakan adalah switching value. Komponen tersebut merupakan komponen variabel utama yang dianggap peka dalam proses penangkapan muroami dan bubu. Berdasarkan metode tersebut diperoleh nilai untuk kenaikan harga solar dan minyak tanah sebesar 2.5 pada muroami dan pada bubu sebesar 4.3 yang menyebabkan usaha penangkapan menjadi tidak layak untuk dijalankan. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa apabila terjadi perubahan harga solar dan minyak tanah, maka nilai kriteria investasi juga akan mengalami perubahan. Nilai kriteria investasi setelah dilakukan analisis sensitivitas pada usaha penangkapan muroami dan bubu dapat dilihat pada Tabel 28 dan 29 dan untuk perhitungan secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 19 dan 20. Berdasarkan Tabel 28 dapat dilihat perhitungan analisis sensitivitas terhadap kenaikan harga solar dan minyak tanah sebesar 2.5 dari harga solar Rp5,125.00 menjadi Rp5,253.13 pada unit penangkapan muroami menunjukkan bahwa nilai NPV yang diperoleh adalah negatif. Hal ini menunjukkan usaha penangkapan muroami di Kepulauan Seribu tidak layak untuk dijalankan dan dikembangkan. Net BC yang dihasilkan dalam analisis kurang dari 1, yaitu 0.998. Berarti usaha ini tidak memberi manfaat bersih, sehingga tidak layak untuk dilanjutkan. Nilai IRR yang dihasilkan sama atau dibawah tingkat suku bunga yang berlaku, yaitu 16 berarti usaha ini mengalami kerugian. Berdasarkan dari hasil perhitungan tersebut, maka usaha penangkapan muroami tidak layak untuk dikembangkan apabila terdapat kenaikan harga solar dan minyak tanah sebesar 2.5. Tabel 28 Perbandingan nilai kriteria investasi akibat kenaikan harga solar dan minyak tanah sebesar 2.5 pada muroami, tahun 2007 No Kriteria Investasi Sebelum kenaikan harga solar dan minyak tanah Sesudah kenaikan harga solar dan minyak tanah 2.5 Perubahan 1 NPV Rp 8,980,639.29 -317,224.23 9,297,863.52 2 Net BC 1.06 0.998 0.057 3 IRR 18 16 2 Sumber: Diolah dari data primer 2007 Hasil perbandingan sebelum dan sesudah perubahan harga minyak tanah menyebabkan nilai NPV, Net BC dan IRR ikut berubah. Perubahan nilai NPV sebesar Rp9,297,863.52 dari Rp8,980,639.29 setelah mengalami kenaikan solar dan minyak tanah menjadi Rp317,224.23, menunjukkan bahwa net benefit yang akan diperoleh pada akhir tahun proyek yang dihitung berdasarkan nilai saat ini mengalami penurunan sebesar Rp9,297,863.52. Net BC sebesar 0.057 menunjukkan bahwa manfaat bersih dalam usaha ini berkurang sebesar Rp0.057 dari biaya yang dikeluarkan oleh nelayan muroami. Nilai IRR menjadi 16 menyebabkan keuntungan yang diperoleh dari usaha penangkapan muroami tersebut berkurang sebesar 2 dari investasi yang ditanamkan nelayan setelah terjadinya kenaikan harga solar dan minyak tanah. Tabel 29 Perbandingan nilai kriteria investasi akibat kenaikan harga solar dan minyak tanah sebesar 4.3 pada bubu, tahun 2007 No Kriteria Investasi Sebelum kenaikan harga solar dan minyak tanah Sesudah kenaikan harga solar dan minyak tanah 4.3 Perubahan 1 NPV Rp 2,544,075.31 -53,022.84 2,597,098.15 2 Net BC 1.047 0.999 0.05 3 IRR 19 16 4 Sumber: Diolah dari data primer 2007 Berdasarkan Tabel 29 perbandingan nilai kriteria investasi akibat kenaikan harga solar dan minyak tanah sebesar 4,3 pada unit penangkapan bubu. Harga solar sebelum terjadi kenaikan sebesar Rp5,000.00 menjadi Rp5,215.00 dan harga minyak tanah semula Rp3,000.00 menjadi Rp3,129.00, hal ini menyebabkan nilai NPV negatif. Berarti usaha penangkapan bubu di Kepulauan Seribu juga tidak layak untuk dijalankan dan dikembangkan. Net BC yang dihasilkan dalam analisis kurang dari 1, yaitu 0,999. Berarti usaha ini tidak memberi manfaat bersih, sehingga akan mengalami kerugian. Nilai IRR yang dihasilkan, yaitu 16 sama atau dibawah tingkat suku bunga yang berlaku. berarti usaha ini mengalami kerugian. Dari keseluruhan hasil perhitungan tersebut, maka usaha penangkapan bubu tidak layak untuk dikembangkan apabila terdapat kenaikan harga solar dan minyak tanah 4.3. Hasil perbandingan sebelum dan sesudah kenaikan harga solar dan minyak tanah 4.3 menyebabkan nilai NPV, Net BC dan IRR mengalami perubahan. Nilai NPV berkurang sebesar Rp2,597,098.15 dari Rp2,544,075.31 menjadi Rp53,022.84 setelah kenaikan harga solar dan minyak tanah, menunjukkan bahwa net benefit yang akan diperoleh pada akhir tahun proyek yang dihitung berdasarkan nilai saat ini mengalami penurunan sebesar Rp2,597,098.15. Net BC berkurang sebesar 0.05 yang menunjukkan bahwa manfaat bersih dalam usaha ini berkurang sebesar Rp0.05 dari biaya yang dikeluarkan oleh nelayan muroami. Nilai IRR yang berkurang sebesar 4 menyebabkan keuntungan yang diperoleh dari usaha penangkapan bubu tersebut menurun sebesar 4 dari investasi yang ditanamkan nelayan setelah terjadi kenaikan harga solar dan minyak tanah. 6 PEMBAHASAN Pemanfaatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan sustainable diperlukan suatu kebijakan dalam pengelolaannya, oleh karena itu dalam pemanfaatan sumberdaya dilakukan secara optimal pada masa sekarang supaya generasi mendatang memperoleh nilai manfaat yang paling tidak sama dengan kondisi sekarang dari sumberdaya tersebut. Hasil penelitian ini menujukkan bahwa tingkat alokasi optimal sumberdaya perikananan ikan ekor kuning di Perairan Kepulauan Seribu disajikan pada Tabel 30 dan Tabel 31. Tabel 30 Alokasi optimal sumberdaya perikanan ikan ekor kuning di Kepulauan Seribu dari hasil standarisasi ke alat tangkap muroami Alokasi Optimal Satuan Hasil Standarisasi ke Alat Tangkap Muroami Aktual Optimal i=10 Optimal i=18 Yield Ton per tahun 798.9 531.73 529.14 Effort Trip per tahun 690 486 505 Alat Tangkap Unit 184 130 135 Tangkapan Ton per trip 1.16 1.09 1.05 Rente Total Juta Rp per tahun 4,354.77 30,344.01 17,357.02 Rente per Unit Tangkap Juta Rp per Unit per Tahun 23.67 234.18 128.81 Tabel 30 menunjukkan bahwa berdasarkan tingkat discount rate sebesar 10 sampai dengan 18 produksi optimal untuk sumberdaya ikan ekor kuning dari hasil standarisasi ke alat tangkap muroami sebanyak 531.73 sampai dengan 529.14 ton per tahun, dengan tingkat upaya 486 sampai dengan 505 trip per tahun. Apabila jumlah effort optimal dikonversi kembali ke dalam jumlah unit alat tangkap muroami yang optimal pada tingkat discount rate 10 sampai dengan 18 adalah 130 unit sampai dengan 135 unit. Sementara pada kondisi aktual jumlah muroami sekarang sudah mencapai 184 unit, jadi di Perairan Kepulauan Seribu telah kelebihan alat tangkap yang dioperasikan, sehingga pemanfaatan sumberdaya ikan ekor kuning telah terjadi overfishing baik secara biologi dan ekonomi. Dengan demikian, untuk pengelolaan sumberdaya ikan ekor kuning secara lestari jumlah alat yang dianjurkan beroperasi di Perairan Kepulauan Seribu sebanyak 130-135 unit alat tangkap setingkat muroami. Berdasarkan Tabel 31 pada tingkat discount rate 10 sampai dengan 18 produksi optimal dari hasil standarisasi ke alat tangkap bubu adalah sebanyak 8,336,259.03 sampai dengan 7,927,098.07 ton per tahun, dengan tingkat upaya 4,973 sampai dengan 5,462 trip per tahun. Apabila jumlah effort tersebut dikonversikan ke dalam jumlah unit alat tangkap bubu, maka jumlah unit alat tangkap bubu yang optimal adalah sebanyak 440 unit sampai dengan 484 unit. Jumlah tersebut jauh lebih rendah dari jumlah alat tangkap bubu pada kondisi aktual sekarang sebanyak 1,985 unit. Artinya bahwa untuk pemanfaatan sumberdaya tersebut secara optimal yang akan memberikan nilai manfaat optimal jangka panjang, maka jumlah alat tangkap bubu perlu pengurangan jumlah alat. Dengan demikian, untuk pengelolaan sumberdaya ikan ekor kuning secara lestari jumlah alat tangkap yang dianjurkan beroperasi di Perairan Kepulauan Seribu sebanyak 440-484 unit alat tangkap setingkat bubu. Tabel 31 Alokasi optimal sumberdaya perikanan ikan ekor kuning di Kepulauan Seribu dari hasil standarisasi ke alat tangkap bubu Alokasi Optimal Satuan Hasil Standarisasi ke Alat Tangkap Bubu Aktual Optimal i=10 Optimal i=18 Yield Ton per tahun 798.90 8,336,259.03 7,927,098.07 Effort Trip per tahun 22,411 4,973 5,462 Alat Tangkap Unit 1,985 440 484 Tangkapan Ton per trip 0.04 1676.39 1451.31 Rente Total Juta Rp per tahun 4,328.39 494,709,645.90 270,892,356.96 Rente per Unit Tangkap Juta Rp per Unit per Tahun 2.18 1,123,190.97 559,939.96 Rata-rata produksi aktual dari pemanfaatan sumberdaya perikanan ikan ekor kuning dari hasil standarisasi ke alat tangkap muroami sebanyak 798.9 ton per tahun, dengan jumlah effort sebanyak 690 trip per tahun. Jumlah effort ini jauh lebih banyak dibandingkan dengan alokasi secara optimal, sehingga menyebabkan total biaya akan lebih besar dalam pemanfaatan sumberdaya tersebut. Rata-rata produksi aktual dari hasil standarisasi ke alat tangkap bubu sebanyak 798.90 ton per tahun, dengan jumlah effort sebayak 22,411 trip per tahun. Jumlah effort tersebut hampir empat kali lipat dari jumlah effort optimal pada tingkat discount rate 10 yang diharapkan yaitu sebanyak 4,973 trip per tahun, sedangkan pada tingkat discount rate 18 jumlah effort tersebut hampir tiga kali lipat dari jumlah effort optimal yang diharapkan sebanyak 5,462 trip per tahun. Kondisi ini juga akan menyebabkan total biaya yang harus dikeluarkan jauh lebih besar yang pada akhirnya berimplikasi terhadap nilai rente yang diperoleh oleh masyarakat akan jadi berkurang. Berdasarkan uraian di atas, maka pengelolaan sumberdaya ikan ekor kuning di Perairan Kepulauan Seribu di masa yang akan datang, sebaiknya tidak lagi menambah unit alat tangkap muroami dan bubu. Bahkan ke depan untuk alat tangkap muroami dan bubu dapat dilakukan upaya secara bertahap untuk mengurangi jumlah alat tangkap tersebut, guna memperoleh nilai tangkapan yang optimal dengan rente yang diperoleh juga optimal. Apabila tidak hal ini akan menimbulkan dampak terhadap kelestarian sumberdaya ikan ekor kuning dalam bentuk terjadinya overfishing, penurunan produktivitas terjadi degradasi yang cukup parah serta tingkat pendapatan nelayan sendiri. Diharapkan kepada pemerintah daerah melalui dinas terkait, dapat membuat suatu kebijakan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan ekor kuning di Perairan Kepulauan Seribu secara optimal. Kebijakan yang diambil adalah tidak lagi memberi izin terhadap penambahan dan pengoperasian alat tangkap yang sudah melebihi kondisi optimal. Tindakan ini dilakukan sebagai antisipasi mencegah terjadinya tekanan yang berlebihan terhadap daya dukung di Perairan Kepulauan Seribu bagi penangkapan dengan alat tangkap muroami dan bubu. Sejalan dengan adanya suatu kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya ikan ekor kuning di Kepulauan Seribu, maka hal yang sangat penting adalah perlunya menerapkan sistem monitoring dan pendataan secara sistematis terhadap produksi ikan baik yang bernilai jual, konsumsi dan yang terbuang. Berdasarkan kondisi di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak hasil tangkapan nelayan yang belum tercatat, terutama nelayan yang mendaratkan hasil tangkapannya di luar TPI. Hal ini sangat penting untuk dilakukan guna untuk memperoleh data yang akurat sebagai bahan dasar dalam membuat perencanaan pengelolaan sumberdaya perikanan ikan ekor kuning ke depan. Salah satu tujuan dari pengelolaan sumberdaya ikan ekor kuning adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dari para pelaku ekonomi yang memanfaatkan sumberdaya perikanan, terutama bagi para nelayan. Tingkat kesejahteraan akan terlihat dari tingkat produktivitas dan pendapatan yang diperoleh oleh para pelakunya. Diharapkan agar peningkatan kesejahteraan nelayan di Kepulauan Seribu tidak hanya dijadikan sebagai fungsi tujuan pengelolaan sumberdaya ikan ekor kuning, akan tetapi lebih ditekankan sebagai target pengelolaan perikanan yang ingin dicapai. Konsekuensinya adalah Pemerintah Derah melalui dinas teknis terkait dapat menentukan dan memilih pola pengelolaan sumberdaya ikan ekor kuning di Perairan Kepulauan Seribu. Pola pemanfaatan sumberdaya ikan ekor kuning tidak hanya untuk mendapatkan produksi yang tinggi, sehingga melakukan upaya ekstraksi yang berlebihan, akan tetapi adalah bagaimana pengelolaan sumberdaya ikan ekor kuning mampu memberikan nilai rente yang optimal bagi masyarakat. Ekstraksi sumberdaya ikan yang berlebihan hanya akan memberikan manfaat sesaat, dan untuk waktu jangka panjang masyarakat tidak akan memperoleh apa-apa dari sumberdaya tersebut. Hasil penelitian ini salah satu bentuk pilihan yang ditawarkan dalam pengelolaan sumberdaya ikan ekor kuning dengan pemanfaatan secara optimal dan berkelanjutan sustainable. Berdasarkan analisis finansial, usaha unit penangkapan muroami menghasilkan keuntungan lebih besar apabila dibandingkan dengan unit penangkapan bubu. Hal ini didasarkan pada biaya investasi masing-masing unit penangkapan bahwa investasi yang dikeluarkan unit penangkapan muroami jauh lebih besar dari unit penangkapan bubu. Besarnya keuntungan yang diperoleh unit penangkapan muroami disebabkan oleh besarnya kapasitas muroami dalam menghasilkan produksi berupa hasil tangkapan. Dilihat dari tingkat investasi yang ditanamkan serta biaya operasional yang dikeluarkan lebih besar, juga menghasilkan hasil tangkapan yang lebih besar. Hal ini menjadikan alat tangkap muroami lebih menguntungkan daripada alat tangkap bubu dan menghasilkan nilai NPV dan IRR yang lebih besar, sehingga layak untuk dikembangkan di kemudian hari. Dilihat dari analisis sensitivitas, usaha penangkapan ikan ekor kuning baik dengan muroami mau pun bubu sangat sensitive terhadap kenaikan harga BBM minyak tanah dan solar. Dengan demikian, perlu adanya kebijakan terhadap mekanisme harga BBM, apalagi pada saat sekarang tidak berlaku lagi minyak tanah bersubsidi, maka diperlukan alternatif bahan bakar lain seperti bio-diesel. Uraian hasil penelitian ini merupakan hasil analisis dinamis optimasi pemanfaatan sumberdaya ikan ekor kuning dari hasil standarisasi ke alat tangkap muroami dan dari hasil standarisasi ke alat tangkap bubu di Perairan Kepulauan Seribu. Serta analisis finansial dari alat tangkap muroami dan bubu. Nilai-nilai yang didapat dari hasil analisis dinamis optimasi ini merupakan nilai optimal yang didapat diperoleh oleh nelayan atau pelaku ekonomi yang memanfaatkan sumberdaya tersebut. Apabila hal ini diimplementasikan, maka nelayan akan memperoleh hasil yang optimal, yang pada akhirnya akan punya peluang untuk meningkatkan kesejahteraannya. Berdasarkan Tabel 29 dan 30, maka rekomendasi kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya ikan ekor kuning dari hasil standarisasi ke alat tangkap muroami dan hasil standarisasi ke alat tangkap bubu di Perairan Kepulauan Seribu, yang menjadi kajian adalah sebagai berikut: 1 Membuat kebijakan tentang pemanfaatan sumberdaya ikan ekor kuning di Perairan Kepulauan Seribu yang meliputi tingkat effort dan volume produksi optimal, dengan mengacu pada tingkat discount rate rendah 10, sehingga tercapai tingkat rente ekonomi yang maksimal dan lestari sebagaimana yang dihasilkan dalam penelitian ini. 2 Membuat dan menetapkan regulasi tentang pengurangan dan pembatasan alat tangkap restricition gear setara dengan jumlah alat tangkap muroami 130 sampai dengan 135 unit atau setara dengan jumlah alat tangkap bubu sebanyak 440 sampai dengan 484 unit. 3 Tetap melakukan kontrol dan pengawasan terhadap tingkat upaya penangkapan aktual dari hitungan upaya penangkapan di Perairan Kepulauan Seribu tidak melebihi tingkat produksi optimal dari sumberdaya ikan ekor kuning tersebut, yaitu masing-masing dari hasil standarisasi ke alat tangkap muroami sebanyak 505 trip per tahun dan dari hasil standarisasi ke alat tangkap bubu sebanyak 5,462 trip per tahun. 4 Penetapan kuota atas produksi, sehingga dapat mengurangi tingkat upaya supaya tidak terjadi biological dan economical overfishing. 5 Dalam jangka pendek dapat melakukan schedule of fishing, sehingga jumlah effort dalam produksi sesuai dengan kondisi optimal, effort sebanyak 505 trip per tahun setara alat tangkap muroami dan sebanyak 5,462 trip per tahun setara alat tangkap bubu. 6 Pemerintah atau intansi terkait dapat mendorong dalam penggantian BBM minyak tanah dan solar dengan bahan bakar sejenis bio-diesel dengan harga yang lebih murah. Selain rekomendasi tersebut di atas, Pemerintah Kepulauan Seribu diharapkan juga mengacu pada kode etik pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab Code of Conduct for Responsible Fisheries, CCRF yang telah dicanangkan oleh badan dunia yang menangani pangan dan pertanian Food and agriculture Organization, FAO pada tahun 1995. Banyak hal penting yang perlu menjadi perhatian dan menjadi acuan dalam mengaplikasikan pengelolaan sumberdaya ikan yang bertanggung jawab di Perairan Kepulauan Seribu sebagaimana terkandung dalam butir-butir isi CCRF, antara lain: 1 Negara dan pengguna sumberdaya perikanan harus menjaga ekosistem perairan, dan hak menangkap ikan harus disertai dengan kewajiban menangkap ikan dengan cara yang bertanggung jawab. 2 Negara harus mencegah terjadinya tangkap lebih overfishing dan menjaga agar penangkapan sesuai dengan daya lingkungan carrying capacity 3 Kebijakan pengelolaan perikanan didasarkan pada adanya bukti ilmiah terbaik yang tersedia. Kebijakan terakhir sebagai pelengkap dan penyempurna dari kebijakan tersebut di atas adalah kebijakan human development, mengingat manusia adalah unsur utama dalam aktivitas pemanfaatan sumberdaya ikan. Kebijakan sehebat apapun atau sebagus apapun seringkali terlihat mentah di lapangan, tidak akan memberikan dampak apa-apa sebagaimana tujuan dari ditetapkannya kebijakan tersebut, jika tidak didukung sendiri oleh para pelaku utama dari kebijakan tersebut, baik pembuat kebijakan atau pun yang harus melaksanakan kebijakan. Kebijakan ini ditujukan bagi peningkatan kualitas dan profesionalitas para pemegang kebijakan dan pengelola perikanan, juga ditujukan kepada para nelayan dalam bentuk memberikan penyadaran, sosialisasi, pemahaman, rasa memiliki dan rasa tanggung jawab akan pentingnya pembangunan perikanan yang berkelanjutan. 7 KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh informasi tentang pola rezim pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan ekor kuning di Perairan Kepulauan Seribu, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1 Pemanfaatan sumberdaya ikan ekor kuning pada kondisi aktual lebih besar dibandingkan pada rezim pengelolaan MEY, Open Access dan MSY baik dari hasil standarisasi ke alat tangkap muroami dan hasil standarisasi ke alat tangkap bubu. Hal ini menunjukkan pemanfaatan sumberdaya ikan ekor kuning di Perairan Kepulauan Seribu telah terjadi overfishing baik secara biologi dan ekonomi. 2 Pada discount rate 10-18 untuk sumberdaya ikan ekor kuning dari hasil standarisasi ke alat tangkap muroami menghasilkan nilai optimal biomassa berkisar antara 604.05-631.23 ton. Produksi optimal ikan ekor kuning berkisar antara 529.14-531.73 ton, sementara upaya penangkapan effort optimal berkisar antara 486-505 trip dan rente optimal pemanfaatan sumberdaya ikan ekor kuning berkisar antara Rp17,357.02-Rp30,344.01 juta, maka jumlah alat tangkap yang rekomendasikan sebanyak 130-135 unit, sedangkan tingkat alokasi optimal dari hasil standarisasi ke alat tangkap bubu menghasilkan nilai biomassa berkisar antara 20,229,982.45- 23,367,432.46 ton. Produksi optimal ikan ekor kuning berkisar antara 7,927,098.07-8,336,259.03 ton, serta upaya penangkapan optimal ikan ekor kuning berkisar antara 5,098-5,462 trip dan rente optimal pemanfaatan sumberdaya ikan ekor kuning berkisar antara Rp270,892,356.96- Rp494,709,645.90 juta, maka jumlah alat tangkap yang direkomendasikan sebanyak 440-484 unit. 3 Tingkat keuntungan pada usaha unit penangkapan muroami adalah Rp384,751,272.00 per tahun dan nilai RC sebesar 1.09, pada usaha unit penangkapan bubu, keuntungan yang diperoleh, yaitu sebesar Rp62,640,000.00 per tahun, dan nilai RC sebesar 1.46. Berdasarkan kriteria investasi usaha unit penangkapan muroami diperoleh NPV sebesar Rp8,980,639.293., sedangkan unit penangkapan bubu diperoleh nilai NPV sebesar Rp2,544,075.314, sehingga kedua alat tangkap tersebut layak untuk dilaksanakan dan dikembangkan, tetapi sangat sensitive terhadap perubahan BBM minyak tanah dan solar.

6.2 Saran