41
Dalam pembagian berdasarkan stratifikasi hutan, diketahui bahwa Monyet ekor panjang memiliki sebaran vertikal yang lebih luas jika dibandingkan
mamalia besar lainnya. Monyet ekor panjang memanfaatkan setiap strata hutan yang telah dibagi hal ini disebabkan karena kebiasaan Monyet ekor panjang untuk
tidak memilih sumberdaya pakan tertentu. Mamalia besar yang memanfaatkan strata A yaitu Monyet ekor panjang,
Owa ungko, Lutung budeng dan Lutung simpai. Santoso 1996 menyatakan bahwa pola aktivitas monyet ekor panjang di Pulau Tinjil yang banyak aktif pada
tajuk pohon mengindikasikan bahwa ketersediaan sumberdaya pakannya sedang berlimpah pada stratifikasi atas. Lutung budeng dan Simpai lebih banyak
memanfaatkan strata A dibanding jenis mamalia lainnya karena kebutuhan pakan akan daun muda atau pucuk daun. Seperti halnya pernyataan Santoso 1996,
Lutung budeng juga lebih banyak memanfaatkan strata hutan A disebabkan kebutuhannya akan daun muda yang terdapat di tajuk pohon teratas.
Berdasarkan data pengamatan, rata-rata primata memanfaatkan pohon pada strata A dan strata B. Hal ini disebabkan karena pada ketinggian ini tersedia
sumber pakan yang dibutuhkan oleh jenis-jenis primata seperti buah, daun, dan serangga. Selain itu, jenis-jenis primata dapat melakukan pergerakan yang lebih
mudah dari strata B untuk berpindah ke strata A atau strata C. Jenis mamalia besar selain ordo primata, merupakan jenis-jenis yang
mendiami strata E atau lantai hutan. Jenis-jenis yang teramati memanfaatkan strata E adalah Babi hutan, Pelanduk, Kancil, Rusa sambar, Tapir, Beruang madu,
Pelanduk, Kancil, Tapir dan Rusa sambar memanfaatkan lantai hutan dalam memenuhi kebutuhannya akan rumput dan daun sebagai sumber pakan, sedangkan
Babi hutan dan Beruang madu memerlukan biota-biota dalam tanah ataupun rumput. Alikodra 2002 menyatakan bahwa variasi jenis-jenis satwaliar di lantai
hutan ditentukan oleh komposisi jenis tumbuhan, kerapatan dan letak tempatnya.
5.6. Pengaruh Kebun Kelapa Sawit terhadap Keanekaragaman Jenis
Mamalia Besar
Satwaliar menempati habitat sesuai dangan lingkungan yang diperlukan untuk mendukung kehidupannya. Habitat yang sesuai bagi satu jenis belum tentu
42
sesuai untuk jenis lainnya, karena setiap jenis satwaliar menghendaki kondisi habitat yang berbeda-beda. Habitat yang baik adalah habitat yang mampu
mendukung segala kebutuhan satwaliar, seperti makanan, air, dan tempat berlindung. Daya dukung habitat di tiap-tiap lokasi penelitian kurang baik, hal ini
dapat dilihat dengan keanekaragaman vegetasi. Untuk mengetahui pengaruh kebun kelapa sawit terhadap jenis mamalia
yang ditemukan, maka digunakanlah analisis dengan metode regresi linear sederhana yaitu mengetahui hubungan antara jarak kebun kelapa sawit di tempat
pengamatan dengan keanekaragaman mamalia di tempat pengamatan. Hasil analisis diperoleh persamaan regresi linear sederhana sebagai berikut:
y = 0,443 + 0,000098 x Dengan y merupakan keanekaragaman mamalia dan x merupakan jarak
tempat pengamatan dengan perkebunan kelapa sawit. Persamaan regresi tersebut memperlihatkan bahwa apabila jarak tempat pengamatan dengan kebun kelapa
sawit bertambah sejauh 1 m, maka keanekaragaman jenis mamalia di tempat pengamatan tersebut bertambah sebesar 0,000098 kalinya. Apabila jarak tempat
pengamatan dengan perkebunan kelapa sawit bernilai 0, maka keanekaragaman jenis mamalia besar di tempat pengamatan tersebut adalah sebesar 0,443.
Hasil analisis regresi linear memperlihatkan tidak terdapat hubungan yang nyata antara jarak tempat pengamatan perkebunan kelapa sawit dengan
keanekaragaman mamalia di tempat pengamatan tersebut. Menurut Alikodra 2002 habitat yang sesuai bagi satu jenis satwaliar belum tentu sesuai untuk jenis
lainnya. Hal ini disebabkan bahwa setiap jenis satwaliar menghendaki kondisi yang berbeda-beda. Kartono et al. 2003 menambahkan bahwa kerusakan habitat
dapat menyebabkan penurunan kekayaan jenis dan penurunan tersebut akan lebih terlihat jelas pada habitat terisolasi berukuran kecil.
Hubungan antara jarak tempat pengamatan kebun kelapa sawit dengan keanekaragaman mamalia di tempat pengamatan ditunjukkan pada Gambar 11.
43
Gambar 11 Hubungan jarak pengamatan dengan keanekaragaman. Berdasarkan Gambar 11 terlihat pada jalur pengamatan VI yang berjarak
6671,93 m dari kebun kelapa sawit memiliki keanekaragaman mamalia terbesar yaitu sebesar 1,46. Faktor yang dapat mempengaruhinya adalah kawasan hutan
lebih jauh dengan pemukiman masyarakat. Intensitas masyarakat pada jalur ini lebih rendah sehingga menyebabkan kondisi hutan lebih baik.
Keanekaragaman mamalia terkecil terdapat pada jalur IV yang berjarak 4396,78 m dari kebun kelapa sawit. Faktor yang menyebabkan keanekaragaman
di Jalur IV lebih kecil yaitu 0,56, karena pada jalur ini merupakan jalur yang memiliki gangguan yang tinggi sehingga sedikit ditemukannya mamalia besar.
Selain itu intensitas masyarakat yang tinggi pada saat pengamatan seperti penebangan hutan dan perburuan satwaliar juga menyebabkan rendahnya
keanekargaman pada jalur ini. Folke et al. 1996 menyatakan bahwa dalam pendekatan perlindungan terhadap keanekargaman hayati memasukan manusia
sebagai salah satu implikasi. Jalur II merupakan jalur pengamatan terdekat dengan kebun kelapa sawit,
yaitu sejauh 3143,43 m dengan keanekaragaman mamalia di daerah tersebut sebesar 0,8. Faktor yang mempengaruhi rendahnya keanekaragaman selain jarak
yang relatif dekat dengan kebun kelapa sawit adalah rendahnya keanekargaman jenis tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai pakan akibat banyaknya gangguan
yang terjadi pada jalur ini seperti adanya bekas kebakaran hutan, penebangan hutan dan perburuan satwaliar.
44
5.7. Ancaman terhadap Kelestarian Jenis Mamalia