Perlindungan Hukum Terhadap Bank Sebagai Kreditor Pemegang Hak Tanggungan Dalam Penangguhan Eksekusi Jaminan Berkaitan Dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP BANK SEBAGAI

KREDITOR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN DALAM

PENANGGUHAN EKSEKUSI JAMINAN BERKAITAN

DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37

TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN

TESIS

Oleh

SARASWATI JAYA

087011111/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP BANK SEBAGAI

KREDITOR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN DALAM

PENANGGUHAN EKSEKUSI JAMINAN BERKAITAN

DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37

TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan

pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

SARASWATI JAYA

087011111/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Tesis : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP BANK SEBAGAI KREDITUR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN DALAM PENANGGUHAN EKSEKUSI JAMINAN BERKAITAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN

Nama Mahasiswa : Saraswati Jaya

Nomor Pokok : 087011111

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof.Dr.Muhammad Yamin, SH, MS, CN)

Pembimbing Pembimbing

(Prof. Dr. Runtung, SH, MHum) (Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof.Dr.Muhammad Yamin, SH,MS,CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 18 Agustus 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN

Anggota : 1. Prof. Dr. Runtung, SH, MHum

2. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum 3. Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS


(5)

ABSTRAK

Undang-Undang Hak Tanggungan adalah hak istimewa yang memberikan kedudukan yang diutamakan bagi pemegang hak tanggungan, meskipun debitur wanprestasi pemegang hak tanggungan tetap dapat mengeksekusi objek hak tanggungan berdasarkan kekuatan eksekutorial yang disebuut dengan parate eksekusi dan menjual objek hak tanggungan dihadapan masyarakat umum dan mengambil hasilnya untuk melunasi hutang debitor.

Kedudukan pemegang hak tanggungan tetap sebagai kreditur preferen meskipun debitur dinyatakan pailit, bank tetap dapat menjual objek hak tanggungan dihadapan umum dan tidak terpengaruh oleh keputusan paillit.

Penelitian ini bersifat analisis deksriptif yang dilakukan secara pendekatan yuridis normatif yaitu suatu pendekatan terhadap peraturan perundangan yang terkait dengan akibat hukum putusan pailit debitur terhadap kreditur pemegang hak tanggungan. Sumber data diperoleh melalui studi kepustakaan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa peraturan penangguhan eksekusi selama 90 (sembilan puluh) hari sejak keputusan pailit ditetapkan adalah tidak efektif terhadap bank, kreditur sebagai pemegang hak tanggungan mempunyai hak eksekusi yang sangat singkat untuk menjual objek hak tanggungan sejak debitor dinyatakan pailit.


(6)

ABSTRACT

Responsibilty rights is a special rights which provide a preferred position for a Responsibilty rights holder, however if the debtor wanpretation the Responsibilty rights of creditor can execute the Responsibilty rights object based on the executorial power which call parate execute n sold the object of the Responsibilty rights in public sale n take the payment to settled the debtor debt.

The position of Responsibilty rights holder is as a secured creditor even the debt is bankruptcy, the bank stil can sold the object in public sale and not influence with the bankruptcy statement.

This research is analytic descritive, which done by normative juridical approach, that is an approach to laws an regulation that concern the cause of laws on debtor bankrupt decision to creditor who hold responsibilty right. The source of data were acquired from bibliographical study

Result of the research show that regulation on adjournment (stay) until 90 days sice the the day of banckrupt is decided not effective for a bank.Creditor as a responsibility rights holder and the execution time is very short for a bank to sold the Responsibilty rights object who the debtor had been declared as a insolvent debtor


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini yang berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Bank Sebagai Kreditur Pemegang Hak Tanggungan Dalam Penangguhan Eksekusi Jaminan Berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004”

Pada kesempatan ini dengan tulus ikhlas penulis sampaikan ucapan terimakasih yang tak terhingga kepada yang amat terpelajar yaitu

1. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, yang merupakan ketua

Program Studi Magister Kenotariatan, Selaku Ketua Komisi Pembimbing.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, MHum, yang merupakan Dekan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara, Selaku Anggota Komisi Pembimbing.

3. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum yang merupakan anggota Komisi

Pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan arahan dalam memperluas wawasan penulis dari awal penyusunan proposal ini sampai penyelesaian tesis ini.

Demikian juga penulis sampaikan ucapan terimakasih yang tak terhingga kepada yang amat terpelajar Bapak Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS dan Bapak

Dr. Dedi Harianto, SH, MHum selaku dosen penguji yang telah berkenan

memberikan bimbingan, arahan serta masukan maupun saran terhadap penyempurnaan penulisan tesis ini.

Selanjutnya penulis juga mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat 1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), SpA(K) selaku

Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Para Guru Besar dan Staf Pengajar Program Studi Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Para pegawai /karyawan pada Program Studi Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(8)

5. Rekan-Rekan Mahasiswa pada Program Studi Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan yang terdapat dalam tesis ini baik dalam tata bahasa maupun ruang lingkup pembahasannya. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari semua pihak demi penyempurnaan tesis ini dan kiranya hasil penelitian tesis ini dapat bermanfaat bagi para akademisi dan praktisi hukum

Akhirnya seraya menyerahkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, penulis mengucapakan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini, Semoga Tuhan Yang Maha Esa melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua.

Medan, Agustus 2010 Penulis,


(9)

RIWAYAT HIDUP

Identitas Pribadi

Nama : Saraswati Jaya

Tempat/Tgl Lahir : Medan/ 05 April 1979

Orang Tua

Nama Ayah : Alm Nadesen Siva Yogam

Nama Ibu : Saroja

Pendidikan

1. SD : SD Swasta Mandala Tamat Tahun 1992

2. SMP : SMP Swasta Jenderal Sudirman Tamat 1995

3. SMU : SMU Swasta UISU Tamat 1998

4. S-1 : Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Medan Tamat 2003

5. S-2 : Magister Kenotariatan Fakultas Hukum


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI... vi

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 15

C. Tujuan Penelitian ... 16

D. Manfaat Penelitian ... 16

E. Keasliaan Penelitian ... 17

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 19

1. Kerangka Teori... 19

2. Konsepsi... 24

G. Metode Penelitian ... 27

BAB II EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN OLEH KREDITUR SEPARATIS DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KREDITUR ... 31

A. Pengertian Eksekusi ... 31

B. Bank sebagai Kreditur Separatis ... 32

C. Pengertian Pailit ... 34

D. Hak Kreditor Separatis Dalam Pelelangan Eksekusi Hak Tanggungan ... 47

E. Akibat Eksekusi Hak Tanggungan... 48

F. Perlindungan Hukum Kreditur Pemegang Hak Tanggungan 49 BAB III KEDUDUKAN KREDITUR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN DENGAN ADANYA LEMBAGA PENANGGUHAN EKSEKUSI... 55


(11)

A. Hak Tanggungan sebagai Jaminan Kredit Perbankan ... 55

B. Kedudukan Diutamakan Kreditor Pemegang Hak Tanggungan 56 1. Sifat-Sifat Dan Ciri-Ciri Hak Tanggungan ... 58

2. Subjek Hak Tanggungan ... 61

3. Objek Hak Tanggungan ... 64

4. Pendaftaran Hak Tanggungan ... 67

5. Sertipikat Hak Tanggungan... 69

6. Janji-Janji Dalam Hak Tanggungan ... 70

7. Hapusnya Hak Tanggungan ... 71

8. Beralihnya Hak Tanggungan... 72

C. Penangguhan Eksekusi... 74

BAB IV PELAKSANAAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN SETELAH DEBITOR INSOLVEN ... 84

A. Pengertian Insolven ... 84

B. Pelaksanaan Eksekusi ... 89

C. Dampak Eksekusi Bagi Kreditur Separatis ... 95

D. Analisa Kasus ... 101

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 105

A. Kesimpulan ... 105

B. Saran ... 106


(12)

ABSTRAK

Undang-Undang Hak Tanggungan adalah hak istimewa yang memberikan kedudukan yang diutamakan bagi pemegang hak tanggungan, meskipun debitur wanprestasi pemegang hak tanggungan tetap dapat mengeksekusi objek hak tanggungan berdasarkan kekuatan eksekutorial yang disebuut dengan parate eksekusi dan menjual objek hak tanggungan dihadapan masyarakat umum dan mengambil hasilnya untuk melunasi hutang debitor.

Kedudukan pemegang hak tanggungan tetap sebagai kreditur preferen meskipun debitur dinyatakan pailit, bank tetap dapat menjual objek hak tanggungan dihadapan umum dan tidak terpengaruh oleh keputusan paillit.

Penelitian ini bersifat analisis deksriptif yang dilakukan secara pendekatan yuridis normatif yaitu suatu pendekatan terhadap peraturan perundangan yang terkait dengan akibat hukum putusan pailit debitur terhadap kreditur pemegang hak tanggungan. Sumber data diperoleh melalui studi kepustakaan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa peraturan penangguhan eksekusi selama 90 (sembilan puluh) hari sejak keputusan pailit ditetapkan adalah tidak efektif terhadap bank, kreditur sebagai pemegang hak tanggungan mempunyai hak eksekusi yang sangat singkat untuk menjual objek hak tanggungan sejak debitor dinyatakan pailit.


(13)

ABSTRACT

Responsibilty rights is a special rights which provide a preferred position for a Responsibilty rights holder, however if the debtor wanpretation the Responsibilty rights of creditor can execute the Responsibilty rights object based on the executorial power which call parate execute n sold the object of the Responsibilty rights in public sale n take the payment to settled the debtor debt.

The position of Responsibilty rights holder is as a secured creditor even the debt is bankruptcy, the bank stil can sold the object in public sale and not influence with the bankruptcy statement.

This research is analytic descritive, which done by normative juridical approach, that is an approach to laws an regulation that concern the cause of laws on debtor bankrupt decision to creditor who hold responsibilty right. The source of data were acquired from bibliographical study

Result of the research show that regulation on adjournment (stay) until 90 days sice the the day of banckrupt is decided not effective for a bank.Creditor as a responsibility rights holder and the execution time is very short for a bank to sold the Responsibilty rights object who the debtor had been declared as a insolvent debtor


(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Untuk melakukan kegiatan usaha, dibutuhkan tersedianya dana dalam jumlah besar. Dana merupakan darah bagi suatu perusahaan dalam melakukan kegiatan bisnisnya. Seperti halnya manusia yang tidak mungkin hidup tanpa darah, perusahaan juga akan mati tanpa dana.1 Dana bisa diperoleh dari berbagai sumber. Tergantung dari sumber dana yang diperoleh oleh perusahaan. Suatu perusahaan dapat memperoleh dana berupa modal (equity) dan utang (loan). Dana yang berupa modal dapat berupa setoran modal pendiri dan penyertaan modal oleh investor yang dilakukan dengan cara menjadi kongsi atau mitra usaha perusahaan itu.2

Memperoleh dana modal itu dapat dilakukan baik dengan menjual saham di pasar modal atau dengan cara menjual saham langsung kepada pemodal.3 Namun pada umumnya sebagian besar dana diperoleh dari utang (pinjam-meminjam). Dalam menjalankan usaha, perusahaan selalu membutuhkan dana dalam jumlah besar dan biasanya jumlah dana yang dibutuhkan itu melebihi modal perusahaan tersebut, karena tidak mencukupi maka diperlukan penambahan dana. Dana yang berupa utang (loan) dapat diperoleh perusahaan tersebut dari perorangan ataupun badan hukum

1

Nieke Dewi Sulistiyani, Analisa Yuridis Mengenai Perlindungan Hukum Kreditor

Pemegang Hak Tanggungan Terhadap Penangguhan Eksekusi Jaminan Utang Berdasarkan Hukum Kepailitan Indonesia, Tesis, (Jakarta: SPS UI, 2006) hal. 1

2

Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis: Perseroan Terbatas, (Jakarta:

Rajawali Pers, 1999), hal. 3 (selanjutnya disebut Ahmad Yani 1)

3


(15)

seperti bank-bank dan lembaga-lembaga pembiayaan. Sumber-sumber pembiayaan yang memberikan utang (loan) kepada perusahaan tersebut disebut para kreditor dan perusahaan yang menerima pinjaman/utang tersebut merupakan debitor dan dana yang dipinjam atau fasilitas untuk memberikan pinjaman dana itu disebut kredit. Istilah kredit berasal dari bahasa romawi credere yang berarti percaya atau credo atau

creditum yang berarti saya percaya, jadi seseorang yang telah mendapatkan kredit dari bank berarti dia telah mendapatkan kepercayaan dari bank tersebut.4

Fasilitas kredit yang diberikan oleh bank kepada nasabah adalah penuh dengan resiko. Resiko yang umumnya terjadi adalah resiko kegagalan atau kemacetan dalam pelunasan. Tidak kembalinya pinjaman ini dari debitor sangat berpengaruh pada kesehatan bank, karena sumber dana bank berasal dari masyarakat yang disimpan pada bank itu sehingga resiko tersebut sangat berpengaruh atas kepercayaan masyarakat kepada bank yang sekaligus kepada keamanan dana masyarakat tersebut. Untuk melindungi bank dari kerugian, biasanya bank mempersyaratkan adanya jaminan bagi semua perikatan yang dibuat diantara debitor dan bank selaku kreditor. Pedoman pemberian kredit ini diatur dalam Surat Keputusan Bank Indonesia Nomor 23/69/KEP/DIR tanggal 28 Pebruari 1991 dengan Surat Edaran Nomor 23/6/UKU tanggal 28 Pebruari 1991 tentang Jaminan Pemberian Kredit yang telah diubah dengan Surat Keputusan Nomor 26/68/KEP/DIR tanggal 9 September 1993 sesuai dengan ketentuan tersebut maka bank sebelum memberikan kredit wajib melakukan

4

Djuhaendah Hasan, Lembaga Kebendaan Bagi Tanah Dan Benda Lain Yang Melekat Pada

Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 140


(16)

penelitian yang sungguh-sungguh mengenai kelayakan pemberian kredit tersebut untuk memperoleh keyakinan atas kesanggupan debitur untuk melunasi pinjaman/kreditnya sesuai dengan yang diperjanjikan dan bank hanya dapat memberikan kredit berdasarkan analisa yang mendalam dan mendapat jaminan kredit guna pengembalian hutang pokok dan pembayaran bunga sebagaimana diperjanjikan. Arti penting jaminan/agunan dalam setiap pemberian kredit adalah:5

1. Memberikan hak dan kekuasaan pada bank untuk mendapatkan pelunasan dari hasil penjualan barang jaminan tersebut apabila nasabah melakukan cidera janji yaitu tidak membayar kembali hutangnya pada waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian.

2. Menjamin agar para nasabah berperan serta dalam usaha untuk tidak meninggalkan usahanya atau proyeknya dengan merugikan diri sendiri atau perusahaannya, dapat dicegah atau sekurang-kurangnya kemungkinan untuk berbuat demikian diperkecil kejadiannya.

3. Memberi dorongan kepada debitur untuk memenuhi perjanjian kredit, khususnya mengenai pembayaran kembali dengan syarat syarat yang telah dijamin kepada bank.

Agar bank dapat melaksanakan hak dan kekuasaannya atas barang-barang jaminan maka pengikatan barang jaminan itu harus dilakukan menurut ketentuan hukum berlaku.6 Dalam melakukan suatu perbuatan hukum khususnya untuk melakukan suatu perjanjian, maka masing-masing pihak seharusnya mempunyai itikad baik dalam melaksanakan prestasinya dari perjanjian tersebut. Itikad baik ini harus sudah ada sebelum perjanjian dilakukan, kesepakatan para pihak sangat diperlukan sebelum perjanjian dilaksanakan. Untuk mengetahui adanya itikad baik pihak lain sangatlah sukar karena itikad baik ini terdapat dalam pribadi manusia itu

5

Thomas Suyatno, Dasar-Dasar Perkreditan, (Jakarta: Gramedia, 1991), hal. 84

6

Widjanarto, Hukum Dan Ketentuan Perbankan Di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Utama


(17)

sendiri oleh sebab itu pemberian kredit harus didasarkan pada pertimbangan yang dikenal dengan sebutan five C”S of credit analysis atau prinsip 5 C yang meliputi:7 1. Watak (Character)

2. Kemampuan (Capacity) 3. Modal (Capital)

4. Jaminan (Collateral)

5. Kondisi Ekonomi (Condition of Economy)

Pada prinsipnya konsep 5 C ini akan dapat memberikan informasi mengenai itikad baik dan kemampuan membayar debitur untuk melunasi kembali pinjaman berikut bunga dan beban lainnya.8 Apabila bank telah memperoleh keyakinan atas kemampuan debitor untuk mengembalikan utangnya, agunan dapat hanya berupa barang, proyek atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan yang lazim disebut dengan agunan pokok. Secara umum hukum di Indonesia memberikan perlindungan bagi para kreditor dengan menjadikan seluruh harta kekayaan debitor baik yang sudah ada maupun yang akan ada di kemudian hari sebagai jaminan pelunasan utang. Ketentuan tersebut dinyatakan secara tegas dalam Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur bahwa:

Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.9

7

Teguh Pujo Muljono, Manajemen Perkreditan Bagi Bank Komersial, (Yogyakarta: BPFE,

1993), hal. 11

8

Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Di Indonesia, (Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama, 2001), hal. 246 (selanjutnya disebut Rachmadi Usman 1)

9 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek)

diterjemahkan oleh R. Subekti dan R.Tjitrosudibio, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2001), Pasal 1131


(18)

Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ini memberikan ketentuan bahwa apabila debitor cedera janji tidak melunasi utang yang diperolehnya dari para kreditornya, maka hasil penjualan atas semua harta kekayaan debitor tanpa kecuali, merupakan sumber pelunasan bagi utangnya itu.10

Didalam Hukum perdata disamping hak menagih (vorderingsrecht), apabila debitor tidak memenuhi kewajiban membayar utangnya, maka kreditor mempunyai hak menagih kekayaan debitor sebesar piutang kepada debitur tersebut (verhaalstrecht).11 Dan pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa,

Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutamakan padanya. Pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.12

Berlakunya ketentuan dalam pasal 1131 dan 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan jaminan secara otomatis kepada setiap kreditor atas segala kekayaan dari seorang debitor. Namun demikian jaminan atas seluruh harta kekayaan baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari itu tetap saja tidak cukup untuk memberikan jaminan kepada para kreditor atas pelunasan utang-utang dari debitor, karena para kreditor mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pelunasan utang atau biasa disebut dengan hak konkuren.

10

Sri Soedewi Masjchoen S., Hukum Jaminan Di Indonesia, Pokok-Pokok Hukum Jaminan

Dan Jaminan Perorangan, (Yogyakarta: Liberty, 2001), hal. 37

11

Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: PT. Citra Aditya

Bakti, 2001), hal. 9 (selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman 1)

12 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek)

diterjemahkan oleh R. Subekti dan R.Tjitrosudibio, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2001), Pasal 1132


(19)

Dalam keadaan tertentu ada kalanya seorang kreditor menginginkan untuk tidak berkedudukan sama dengan kreditor-kreditor lainnya,13 karena kedudukan yang sama dengan kreditor-kreditor lain itu berarti mendapatkan hak yang berimbang dari kreditor-kreditor lain dari hasil penjualan harta kekayaan debitor, apabila debitor cedera janji sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Pasal 1136 Kitab Undang-Undang-Undang-Undang Hukum Perdata.

Apabila diperhatikan lebih lanjut, terdapat beberapa alasan yang mendasari kreditor untuk tidak berkedudukan sama dengan kreditor-kreditor lainnya. Kedudukan yang berimbang itu tidak memberikan kepastian akan terjaminnya pengembalian piutang kreditor. Kreditor yang bersangkutan tidak akan pernah tahu akan adanya kreditor-kreditor lain yang mungkin muncul dikemudian hari.14 Makin banyak kreditor dari debitor yang bersangkutan maka makin kecil pula kemungkinan terjaminnya pengembalian piutang yang bersangkutan apabila karena suatu hal debitor berada dalam keadaan insolvensi (tidak mampu membayar utang-utangnya).15

Undang–undang telah menyediakan perlindungan kepada para kreditor sebagaimana ditentukan di dalam pasal 1131 dan pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut, tetapi perlindungan tersebut belum tentu menarik bagi calon kreditor untuk memberikan utang kepada calon debitor. Tentu saja akan lebih menarik bagi calon kreditor apabila hukum menyediakan perlindungan yang lebih

13

Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan: Azas-Azas, Ketentuan-Ketentuan Pokok Dan

Masalah-Masalah Yang Dihadapi Perbankan, (Bandung: Alumni, 1999), hal. 9 (selanjutnya disebut Sutan Remy Sjahdeini 1)

14 Ibid

, hal. 10

15


(20)

baik daripada sekedar perlindungan berupa memperoleh pelunasan secara proporsional dari hasil penjualan harta debitor. Seorang kreditur menginginkan hak istimewa yaitu hak yang diberikan oleh undang-undang kepada kreditor sehingga tingkatan kreditor itu lebih tinggi daripada kreditor lainnya berdasarkan sifat piutang kreditor tersebut.16

Dalam hukum jaminan dikenal 2 (dua) jenis hak jaminan kredit yaitu hak-hak jaminan kredit perorangan (personal guarantly) yaitu jaminan seorang pihak ketiga yang bertindak untuk menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban debitur, termasuk dalam golongan ini adalah borg yaitu pihak ketiga yang menjamin bahwa hutang orang lain pasti dibayar17 dan hak-hak jaminan kredit kebendaan (persoonlijke en zakelijke zekerheid) yaitu jaminan yang dilakukan oleh kreditur dengan debiturnya ataupun antara kreditur dengan seseorang pihak ketiga yang menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban debitur. Jaminan harus tetap ideal karena jaminan mempunyai tugas untuk melancarkan dan mengamankan pemberian kredit yaitu mendapatkan hak dan kekuasaan untuk mendapatkan pelunasan dari barang-barang yang dijaminkan tersebut apabila debitur wanprestasi.18 Jaminan yang ideal tersebut terlihat dari:19 1. Dapat membantu perolehan kredit oleh pihak yang memerlukan pinjaman. 2. Tidak melemahkan potensi si penerima kredit untuk melakukan usahanya.

16

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) diterjemahkan oleh R.

Subekti dan R.Tjitrosudibio, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2001), Pasal 1134, pasal 1139 juncto 1149.

17

J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, (Bandung: PT. Citra Aditya

Bakti, 1991), hal. 167

18

Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan Di Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya

Bakti, 2003), hal. 397

19

Soebekti, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia,


(21)

3. Memberikan kepastian kepada kreditur bahwa jaminan itu mudah diuangkan untuk melunasi hutang si debitur.

Sebelum berlakunya Undang-Undang Hak Tanggungan, praktek jaminan yang sering digunakan pada perbankan Indonesia adalah jaminan kebendaan yang meliputi

hipotek, credietverband dan fiducia.20 Setelah berlakunya Undang Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, maka selain gadai, hipotik dan hak jaminan fidusia, hak tanggungan merupakan salah satu dari hak-hak jaminan.

Pengadaan hak-hak jaminan oleh undang-undang adalah untuk memberikan kedudukan bagi seorang kreditor tertentu untuk didahulukan dari kreditor-kreditor lain.21 Kedudukan ini berasal dari perjanjian jaminan yang dilaksanakan dalam dunia perbankan.

Kredit perbankan merupakan salah satu usaha bank konvensional yang telah banyak dimanfaatkan oleh anggota masyarakat yang memerlukan dana.22 Dalam praktek perbankan, pada umumnya pinjaman yang diberikan merupakan pinjaman yang diikat dengan jaminan. Pinjaman yang tidak disertai dengan jaminan biasanya diberikan kepada nasabah yang dianggap mempunyai resiko rendah. Dalam dunia perbankan apabila bank selaku kreditor sudah meminta jaminan atas kredit yang nilainya melebihi nilai kredit maka resiko yang menyertai pemberian suatu fasilitas

20

Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Jaminan Fidusia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

2000), hal. 91 (selanjutnya disebut Ahmad Yani 2)

21

Sutan Remy Sjahdeini 1, Op.cit., hal. 10

22

Mustafa Siregar, Pengantar Beberapa Pengertian Hukum Perbankan, (Medan: USU Press,


(22)

kredit dianggap telah terlindungi karena bank menganggap dirinya telah terjamin dengan baik. Dapat dikatakan bahwa kreditor menginginkan adanya jaminan dalam pemberian fasilitas kredit yang diberikannya, untuk menghilangkan atau setidak-tidaknya meminimalkan resiko yang dapat timbul sehubungan dengan pemberian fasilitas kredit tersebut.

Tidak tersedianya jaminan dari debitor akan dapat mengakibatkan tingginya bunga yang harus ditanggung oleh debitor bahkan kadang permohonan debitor tersebut tidak disetujui atau ditolak oleh karena itu setiap upaya melakukan ekspansi kredit tidak hanya memerlukan suatu sistem hukum untuk penagihan utang, tetapi juga memerlukan suatu ketentuan yang layak yang mengatur mengenai penjaminan. Penjaminan merupakan suatu bagian penting dalam pemberian fasilitas kredit sebagai upaya pembiayaan usaha.

Untuk mengatasi kemungkinan tersebut, diperlukan suatu cara yang memberikan jaminan lebih kepada kreditor. Jaminan tersebut diberikan dengan memberikan kedudukan bagi suatu kreditor untuk didahulukan dibanding kreditor lainnya atas piutang-piutangnya kepada debitor. Pemberian jaminan tersebut akan lebih memudahkan kreditor melakukan penagihan kepada debitor. Dengan telah terjadinya unifikasi dibidang hukum jaminan khususnya dengan tanah, maka pengikatan jaminan yang umumnya dipakai dalam praktek sekarang ini adalah jaminan dengan hak tanggungan.

Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 sejak 9 April 1996 maka hak tanggungan merupakan satu-satunya lembaga hak jaminan atas tanah.


(23)

Seorang pemegang hak tanggungan mempunyai hak yang disebut dengan hak preferen dan yang dimaksud dengan hak preferen adalah hak yang diberikan oleh hukum kepada kreditor pemegang hak tanggungan bahwa apabila debitor wanprestasi maka kreditor berhak menjual melalui pelelangan umum terhadap tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang bersangkutan sebagai perwujudan dari hak kreditor pemegang hak tanggungan untuk didahulukan dari para kreditor pemegang hak tanggungan lainnya.23 Dengan adanya hak preferen tersebut maka pemegang hak tanggungan tidak boleh dihalangi haknya untuk melakukan eksekusi atas hak tanggungannya atas harta kekayaan debitor yang dibebani dengan hak tanggungan itu.

Dalam hal debitor wanprestasi, kreditor pemegang hak tanggungan dapat menempuh upaya kepailitan sebagai salah satu jalan keluar penyelesaian utang. Dan menurut pasal 21 Undang-Undang Kepailitan, kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Pailit merupakan suatu keadaan dimana debitor tidak mampu melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para kreditornya. Keadaan tidak mampu membayar lazimnya disebabkan karena kesulitan kondisi keuangan (financial distress) dari usaha debitor yang telah mengalami kemunduran.24 Pada dasarnya Hukum Kepailitan dimaksudkan untuk memberikan

23

Nieke Dewi Sulistiyani, op.cit., hal. 7

24

M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma Dan Praktik Di Pengadilan,


(24)

azas keadilan baik untuk kreditor maupun debitor yaitu membagi-bagi hasil penjualan semua harta kekayaan debitor secara seimbang kepada semua kreditor.

Salah satu tujuan dari Hukum Kepailitan adalah melindungi para kreditor untuk memperoleh hak mereka yaitu semua harta kekayaan debitor yang digunakan dalam perjanjian pinjam-meminjam uang (utang) tersebut dapat berupa barang bergerak dan barang tidak bergerak baik yang telah ada maupun yang akan ada di kemudian hari yang menjadi sumber pelunasan hutang tersebut. Menurut H. Man. S. Sastrawidjaja, fungsi kepailitan adalah untuk memenuhi hak kreditor bersaing atau kreditor konkuren secara adil, sehingga tidak terjadi perbuatan-perbuatan yang secara hukum tidak dibenarkan.25

Tetapi sejauh ini perkembangan hukum di Indonesia ternyata belum dilengkapi dengan ketentuan-ketentuan yang mengantisipasi kesulitan pelaksanaan hukum yang sifatnya menyeluruh seperti adanya pertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum pada substansi Undang-Undang Kepailitan (UU Nomor 37 Tahun 2004) mengenai penangguhan hak eksekusi kreditor preferen yang tidak sejalan dengan hak separatis dari pemegang hak jaminan yang dalam hal ini adalah pemegang hak tanggungan.

Pertentangan tersebut dapat dilihat pada Undang Undang Kepailitan yaitu yang diatur dalam pasal 55 ayat 1 yang secara tegas menyatakan bahwa setiap kreditur separatis dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan

25

H. Man. S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran


(25)

tetapi pasal 56 ayat 1 menyatakan hak eksekusi kreditor ditangguhkan selama 90 hari. Hukum Kepailitan dalam hal ini telah mengenalkan suatu lembaga baru yaitu lembaga penangguhan pelaksanaan hak dari kreditor preferen yaitu kreditor yang didahulukan haknya, pemegang hak tanggungan, gadai, hipotik dan agunan atas hak kebendaan lainnya. Undang-Undang Kepailitan yang baru ini pada dasarnya tetap mengakui adanya hak-hak kreditor preferen tadi namun karena dalam undang-undang kepailitan ini terdapat pengaturan mengenai lembaga penangguhan sebagaimana yang diatur dalam pasal 56 Undang-Undang Kepailitan yaitu pelaksanaan hak kreditur separatis ditangguhkan selama 90 (sembilan puluh) hari sejak permohonan kepailitan didaftarkan di Pengadilan Niaga.26

Ketentuan tentang penangguhan eksekusi jaminan ini mulai diatur dari pasal 56 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Pasal 56 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyatakan:27

1. Hak eksekusi kreditor sebagaimana dimaksud dalam pasal 55 ayat 1 dan hak pihak ketiga untuk menuntut hartanya yang berada dalam penguasaan debitor pailit atau kuarator, ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan.

2. Penangguhan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak berlaku terhadap tagihan kreditor yang dijamin dengan uang tunai dan hak kreditor untuk memperjumpakan hutang.

3. Selama jangka waktu penangguhan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 kurator dapat menggunakan harta pailit berupa benda tidak bergerak maupun benda

26

Nieke Dewi Sulistiyani, Op.cit., hal. 9

27

Undang Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. UU Nomor 37 Tahun 2004, LN Tahun 2004 Nomor 131 TLN Republik Indonesia Nomor 4443, Pasal 56


(26)

bergerak atau menjual harta pailit yang berupa benda bergerak yang berada dalam penguasaan kurator dalam rangka kelangsungan usaha debitor dalam hal telah diberikan perlindiungan yang wajar (perlindungan yang perlu diberikan untuk melindungi kepentingan kreditor atau pihak ketiga yang haknya ditangguhkan) bagi kepentingan kreditor atau pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat 1.

Tujuan dari penangguhan ini bertujuan untuk:28

1. Untuk memperbesar kemungkinan tercapainya perdamaian 2. Untuk memperbesar kemungkinan mengoptimalkan harta pailit 3. Untuk memungkinkan kurator melaksanakan tugasnya secara optimal

Selama berlangsungnya jangka waktu penangguhan, segala tuntutan hukum untuk memperoleh pelunasan atas suatu piutang tidak dapat diajukan dalam sidang badan peradilan dan baik kreditor maupun pihak ketiga dimaksud dilarang mengeksekusi atau memohonkan sita atas benda yang menjadi agunan.29 Termasuk dalam pengecualian terhadap penangguhan dalam hal ini adalah hak kreditor yang timbul dari perjumpaan hutang (set off) yang merupakan bagian atau akibat dari mekanisme transaksi yang terjadi di bursa efek dan bursa perdagangan berjangka.30

Berdasarkan pasal 24 Undang-Undang Kepailitan. Kepailitan mengakibatkan debitor yang dinyatakan pailit kehilangan segala hak perdata untuk mengurus dan menguasai harta kekayaan yang telah dimasukkan dalam harta pailit. Pembekuan hak perdata ini berlaku sejak keputusan pernyataan pailit diucapkan.

28

Munir Fuady, Hukum Pailit Dakam Teori dan Praktek, edisi revisi disesuaikan dengan UU

Nomor 37 tahun 2004, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005), hal. 338 (selanjutnya disebut Munir Fuady 1)

29Ibid

30


(27)

Harta pailit yang dapat dijual oleh kurator terbatas pada barang persediaan

(inventory) dan atau benda bergerak (current assets), meskipun harta pailit tersebut dibebani dengan hak agunan atas kebendaan.31 Pasal 57 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyatakan:32

1. Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam pasal 56 ayat 1 berakhir demi hukum pada saat kepailitan diakhiri lebih cepat atau pada saat dimulainya keadaan insolvensi sebagaimana dimaksud dalam pasal 178 ayat 1 (Jika dalam rapat pencocokan piutang tidak ditawarkan rencana perdamaian, rencana perdamaian yang ditawarkan tidak diterima atau pengesahan perdamaian ditolak berdasarkan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, demi hukum harta pailit berada dalam keadaan insolvensi).

2. Kreditor atau pihak ketiga yang haknya ditangguhkan dapat mengajukan permohonan kepada kurator untuk mengangkat penangguhan atau mengubah syarat penangguhan tersebut.

3. Apabila kurator menolak permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 kreditor atau pihak ketiga dapat mengajukan permohonan tersebut kepada hakim pengawas.

4. Hakim pengawas dalam waktu paling lambat 1 (satu) hari setelah permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 diterima, wajib memerintah kurator untuk segera memanggil dengan surat tercatat atau melalui kurir, kreditor dan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat 2 untuk didengar pada sidang pemeriksaan atas permohonan tersebut.

5. Hakim pengawas wajib memberikan penetapan atas permohonan dalam waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 diajukan kepada hakim pengawas.

6. Dalam memutuskan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 hakim pengawas mempertimbangkan:

a. Lamanya jangka waktu penangguhan yang sudah berlangsung. b. Perlindungan kepentingan kreditor dan pihak ketiga dimaksud. c. Kemungkinan terjadinya perdamaian.

d. Dampak penangguhan tersebut atas kelangsungan usaha dan manajemen usaha debitor serta pemberesan harta pailit.

31Ibid

, hal. 339

32

Undang Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. UU Nomor 37 Tahun 2004, LN Tahun 2004 Nomor 131 TLN Republik Indonesia Nomor 4443, Pasal 57


(28)

Dengan adanya lembaga penangguhan pelaksanaan hak dari kreditor preferen dalam Undang-Undang Kepailitan selama 90 (sembilan puluh) hari maka objek jaminan debitor yang telah dibebani hak tanggungan untuk kepentingan kreditor berada dalam kondisi tidak boleh diganggu gugat. Hal ini dilakukan agar kurator bisa mengupayakan terjadinya perdamaian. Sehingga pada masa ini sungguhpun kreditor pemegang hak tanggungan sebagai kreditor terpisah yang secara umum memiliki hak preferen terhadap jaminan yang telah dibebankan hak tanggungan tidak bisa melaksanakan kewenangannya selaku kreditor preferen. Dalam hal ini Hukum Kepailitan telah mengaburkan konsep dan tujuan dari hukum jaminan. Disatu pihak mengakui hak dari kreditor separatis tetapi di pihak lain justru mengingkari hak separatis tersebut yaitu dengan tidak menempatkan benda-benda debitor pailit yang dibebani hak jaminan sebagai benda-benda di luar harta pailit maka hal ini dapat menimbulkan suatu masalah mengingat tingginya kedudukan kreditor pemegang hak tanggungan sebagaimana yang dikenal dalam hukum jaminan yang berlaku di Indonesia.

Oleh karena itu maka berdasarkan pemikiran diatas perlu dilakukan penelitian yang akan dituangkan dengan judul “ Perlindungan Hukum Terhadap Bank Sebagai Kreditor Pemegang Hak Tanggungan Dalam Penangguhan Eksekusi Jaminan Berkaitan Dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, maka permasalahan yang akan diteliti dibatasi sebagai berikut:


(29)

1. Bagaimanakah proses eksekusi hak tanggungan oleh bank sebagai kreditor separatis dan perlindungan hukum yang didapat oleh kreditur tersebut?

2. Bagaimanakah kedudukan kreditor pemegang hak tanggungan dengan adanya lembaga penangguhan eksekusi ?

3. Bila penangguhan eksekusi yang diakhiri oleh debitor insolven (tidak mampu membayar utang-utangnya), bagaimanakah hak eksekusi kreditor pemegang hak tanggungan dilaksanakan?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang merupakan tujuan dari tesis ini adalah untuk mendapatkan gambaran dan jawaban dari perumusan masalah, sehingga dapat memberikan penjelasan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis proses eksekusi hak tanggungan oleh bank sebagai kreditor separatis dan perlindungan hukum terhadap kreditur berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis kedudukan kreditor pemegang hak tanggungan dengan adanya lembaga penangguhan eksekusi.

3. Untuk mengetahui pelaksanaan hak eksekusi kreditor pemegang hak tanggungan terhadap debitor yang dinyatakan insolven (tidak mampu membayar utang-utangnya) setelah terjadinya penangguhan eksekusi.

D. Manfaat Penelitian


(30)

1. Secara akademis-teoritis, penulisan ini dapat dijadikan sebagai masukan bagi ilmu pengetahuan, khususnya mengenai perlindungan hukum terhadap kreditor pemegang hak tanggungan dalam penangguhan eksekusi jaminan.

2. Secara sosial-praktis adalah memberikan sumbangan pemikiran terhadap mahasiswa-mahasiswa atau praktisi-praktisi hukum dalam mengetahui tentang kepailitan yang dihubungkan dengan penangguhan eksekusi jaminan.

E. Keaslian Penelitian

Setelah melakukan penelusuran kepustakaan, maka diketahui belum ada tulisan yang mengangkat mengenai “Perlindungan Hukum Terhadap Kreditor Pemegang Hak Tanggungan Dalam Penangguhan Eksekusi Jaminan”. Penulisan ini dilakukan berdasarkan literatur-literatur yang berkaitan dengan lembaga hak tanggungan, hukum kepailitan dan lembaga-lembaga yang dibentuk pemerintah yang juga ditujukan untuk penyelesaian masalah utang piutang, memang ada penelitian sebelumnya dilakukan oleh :

1. Saudari Yenni, NIM: 067011107, Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Analisis Perlindungan Hukum Terhadap Kreditor Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, dan permasalahan yang diteliti adalah :

a. Apakah pengikatan hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah telah sesuai dengan prosedur yang berlaku?


(31)

b. Adakah perlindungan terhadap kreditor dalam hal kredit yang diberikan dijamin dengan hak tanggungan atas tanah, sehubungan dengan keberadaan Undang-Undang Hak Tanggungan?

c. Apakah eksekusi hak tanggungan atas tanah dapat dilakukan sesuai dengan undang-undang yaitu pelaksanaan eksekusi hak tanggungan apabila debitor wanprestasi?

2. Herlina Sihombing, NIM : 047011029, Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dengan judul “ Kedudukan Kreditor Separatis Ditinjau Dari Undang-Undang Kepailitan Dikaitkan Dengan Objek Hak Tanggungan”, dan permasalahan yang diteliti adalah:

a. Bagaimanakah pengaruh kepailitan terhadap objek hak tanggungan dalam praktek pelaksanaan eksekusi?

b. Bagaimanakah Undang-Undang Kepailitan memberikan jaminan kepastian hukum terhadap pelunasan piutang kreditor separatis yang dijamin dengan hak tanggungan dari debitor yang dinyatakan pailit?

3. Nieke Dewi Sulistiyani, Fakultas Hukum-Universitas Indonesia, 2006, Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Indonesia, dengan judul “Analisa Yuridis Mengenai Perlindungan Hukum Kreditor Pemegang Hak Tanggungan Tehadap Penangguhan Eksekusi Jaminan Utang Berdasarkan Hukum Kepailitan Indonesia”, dan permasalahan yang diteliti adalah:


(32)

a. Bagaimanakah kewenangan kreditor pemegang hak tanggungan pada proses penyelesaian utang piutang terhadap harta kepailitan dalam praktek di Pengadilan?.

b. Bagaimana pengaturan masalah penangguhan eksekusi kreditor pemegang hak tanggungan dan pelaksanaan eksekusi oleh kreditur pemegang hak tanggungan menurut Undang-undang Kepailitan?

c. Bagaimana perlindungan hukum terhadap kreditor separatis selama masa penangguhan eksekusi jaminan hutang?

Jika dihadapkan pada masalah yang diteliti sebelumnya sebagaimana disebutkan diatas dengan penelitian yang dilakukan ini adalah berbeda. Oleh karena itu, tulisan ini merupakan sebuah karya asli dan sesuai dengan azas-azas keilmuan yang jujur, rasional, objektif dan terbuka. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga tulisan ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Teori merupakan keseluruhan pernyataan yang saling berhubungan yang dikemukakan untuk menjelaskan tentang adanya sesuatu.33 Fungsi teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi. 34

33

J. J. H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, dialihbahasakan oleh Arief Sidharta,

(Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hal. 2

34

J.J.M. Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Azas-Azas, editor M.Hisyam, (Jakarta: FE


(33)

Suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak-benaran.

Menurut Bintaro Tjokromidjojo dan Mustafa Adidjoyo “teori diartikan sebagai ungkapan mengenai hubungan kausal yang logis diantara perubahan (variable) dalam bidang tertentu, sehingga dapat digunakan sebagai kerangka pikir (frame of thinking) dalam memahami serta menangani permasalahan yang timbul di dalam bidang tersebut.35 Sehingga kerangka teori merupakan kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori atau tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan pegangan teoritis.36

Dalam kepailitan seluruh harta benda debitor diperuntukkan melunasi utangnya kepada kreditor, maka harta kekayaan debitor, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang telah ada maupun yang akan ada dikemudian hari, menjadi agunan utangnya yang dapat dijual untuk sumber pelunasan utang itu.37 Dalam hal debitur wanprestasi atau gagal memenuhi kewajibannya, maka akan diadakan eksekusi terhadap asset-asset debitur yang dijadikan sebagai jaminan atau agunan.38 Dan harta benda itu harus dibagi diantara para kreditor menurut perbandingan tagihan mereka masing-masing.39 Pembagian harta kekayaan pailit itu dimaksudkan untuk

35

Bintaro Tjokromidjojo dan Mustafa Adidjoyo, Teori Dan Strategi Pembangunan Nasional,

(Jakarta: CV.Haji Masagung, 1998), hal. 13

36

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal. 80

37

Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan Memahami Faillissements Verordening juncto

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, (Jakarta: Grafiti, 2002), hal. 59 (selanjutnya disebut Sutan Remy Sjahdeini 2)

38

Zainal Asikin, Hukum Kepailitan Dan Penundaan Pembayaran Di Indonesia, (Jakarta:

RajaGrafindo Persada, 2002), hal. 26

39


(34)

menjamin kepentingan para kreditor juga mengatur mengenai cara menentukan eksistensi suatu utang debitor kepada kreditor, berapa jumlahnya yang pasti termasuk mengupayakan perdamaian yang dapat ditempuh oleh debitor kepada para kreditornya.40

Selain itu Undang-Undang Kepailitan lahir : 41

1. Untuk menghindari perebutan harta debitor apabila dalam waktu yang sama ada beberapa kreditor yang menagih piutangnya dari debitor;

2. Untuk menghindari adanya kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitor tanpa memperhatikan kepentingan debitor atau para kreditor lainnya;

3. Untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang kreditor dan debitor sendiri.

Dalam penelitian ini teori yang digunakan adalah a creditor’s bargain yang dikemukakan oleh Thomas H. Jakson. Tehnik dasar Thomas H. Jakson adalah menyaring hukum kepailitan melalui model a creditor’s bargain. Dalam model ini seseorang yang kehilangan kepemilikannya dalam kepailitan ditunjukkan untuk menyetujui lebih dulu adanya kerugian.42 Penangguhan eksekusi tidak merupakan pelanggaran terhadap Teori a creditor’s bargain tetapi penangguhan eksekusi merupakan tindak lanjut atas teori acreditor’s bargain yaitu antara kreditor separatis dan debitor sama-sama saling diuntungkan atas tindakan penangguhan eksekusi tersebut.43

40 Ibid

41

Penjelasan Undang Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. UU Nomor 37 Tahun 2004, LN Tahun 2004 Nomor 131 TLN Republik Indonesia Nomor 4443

42

Sunarmi, Tinjauan Kritis Terhadap Undang-Undang Kepailitan: Menuju Hukum

Kepailitan Yang Melindungi Kepentingan Kreditor dan Debitor, Disertasi, (Medan: SPS USU, 2005), hal. 340

43


(35)

Walaupun pembebasan debitur dapat menjadi penyebab motivasi dari sebagian besar kasus-kasus kepailitan, kebanyakan dari proses kepailitan faktanya terkait pada berapa besar pembagian piutang kepada kreditur yaitu antara lain: 44 1. Asset disusun sedemikian rupa sehingga mereka dapat dialokasikan diantara

pemegang klaim melawan debitur atau kekayaan debitor.

2. Tagihan ditentukan sedemikian sehingga peserta-peserta di dalam proses pembagian mungkin dipertemukan.

3. Peraturan menentukan siapa yang diprioritaskan, diantara penagih-penagih akan mendapatkan apa dan dalam kedudukan sebagai apa.

Ketiga pertimbangan yang telah diuraikan diatas memungkinkan bahwa kreditur tak terjamin pada umumnya akan setuju kepada sistem kolektif sebagai pengganti rencana pemulihan utang individu karena tidak ada kreditur tunggal.45 Teori a creditor’s bargain kemudian dikembangkan kembali oleh Thomas H. Jakson dan Robert E. Scott menjadi Teori Creditors Wealth Maximization yang menyatakan bahwa tujuan utama dari kepailitan adalah untuk memaksimalkan kesejahteraan kelompok secara bersama-sama. Keadaan Pailit adalah suatu cara melaksanakan suatu putusan tentang apa yang akan dilakukan terhadap harta debitor.

Menurut Thomas H. Jakson semua kreditor akan setuju untuk mendapatkan prioritas yang setara dalam kepailitan. Inilah yang disebut dengan tawar menawar kreditor. Masalah kepailitan selalu dihubungkan dengan kepentingan para kreditor, khususnya tentang tata cara dan hak kreditor untuk memperoleh kembali pembayaran piutangnya dari seorang debitor yang dinyatakan pailit. Hukum Kepailitan

44Ibid

, hal. 36

45


(36)

mengandung 2 (dua) unsur yaitu keadilan dan perlindungan yang seimbang antara debitor dan kreditor.

Dalam Hukum Kepailitan baik yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan maupun dalam literatur-literatur yang ada diperlukan pendekatan sistem, suatu sistem adalah kumpulan azas-azas yang terpadu yang merupakan landasan tertib hukum.46 Beberapa azas dalam hukum kepailitan yang penting dalam penulisan tesis ini antara lain:47

a. Azas Keseimbangan

Undang-Undang Kepailitan memberikan perlindungan yang seimbang bagi kreditor dan debitor. Di satu pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan tersebut oleh kreditor yang beritikad tidak baik.

b. Azas Kelangsungan Usaha

Dalam Undang-Undang Kepailitan terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan debitur yang prospektif tetap dilangsungkan. Undang-Undang Kepailitan tidak semata-mata bermuara pada kepailitan dan tindakan eksekusi atas harta kekayaan debitur, terdapat alternatif lain yaitu berupa pemberian kesempatan kepada perusahaan-perusahaan yang tidak membayar utangnya namun masih memiliki prospek usaha yang baik dan pengurusnya beritikad baik serta kooperatif untuk melunasi hutang-hutangnya, maka dapat diupayakan restrukturisasi atas utang-utangnya dan penyehatan kembali perusahaannya, sehingga kepailitan merupakan ultimum remidium.48

c. Azas Keadilan

Azas ini mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak kreditor yang mengusahakan pembayaran atas tagihannya tanpa memperhatikan kepentingan kreditor lainnya dan kepentingan debitor, misalnya dengan penagihan yang sewenang-wenang, bagaimana kelangsungan usaha debitor dan bagaimana pelunasan terhadap kreditor lain.

d. Azas putusan yang didasarkan pada persetujuan kreditor mayoritas.49

46

Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, (Bandung:, Alumni,

1983), hal. 150 (selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman 2)

47

Sentosa Sembiring, Hukum Kepailitan dan Peraturan Perundang-Undangan Yang Terkait

Dengan Kepailitan, (Bandung: Nuansa Aulia, 2006), hal 22-23

48

Sutan Remy Sjahdeini 2, Op.cit., hal 58-59

49


(37)

Permohonan pernyataan pailit yang hanya diajukan oleh kreditor minoritas dan tidak disetujui oleh kreditor mayoritas, tidak akan dikabulkan oleh majelis hakim sebab pangabulannya akan membawa kerugian-kerugian bagi kreditor mayoritas. Demikian pula rencana perdamaian dalam penundaan kewajiban pembayaran utang hanya akan dikabulkan apabila disetujui oleh lebih dari ½ jumlah kreditor konkuren yang haknya diakui yang hadir pada rapat kreditur yang jumlah tagihannya mewakili paling sedikit 2/3 dari seluruh jumlah tagihan dari kreditur yang hadir pada rapat.

Prinsip-prinsip dalam Hukum Kepailitan yaitu: 1. Prinsip Paritas creditorium

Prinsip paritas creditorium menentukan bahwa para kreditor mempunyai hak yang sama terhadap semua harta benda debitor. Apabila debitor tidak dapat membayar utangnya maka harta kekayaan debitor menjadi sasaran kreditur.50 2. Prinsip pari passu prorate parte

Harta kekayaan tersebut merupakan jaminan bersama untuk para kreditor dan hasilnya harus dibagi secara proporsional diantara para kreditor.51

2. Konsepsional

Konsepsi berasal dari bahasa latin, conceptus yang memiliki arti sebagai suatu kegiatan atau proses berpikir, daya berpikir khususnya penalaran dan pertimbangan.52

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi dan realitas.53 Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digenaralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut dengan defenisi

50

Mahadi, Falsafah Hukum: Suatu Pengantar, (Bandung: Alumni, 2003), hal. 1

51

M. Hadi Subhan, Op.cit., hal. 29

52

Komaruddin dan Yooke Tjuparmah Komaruddin, Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah,

(Jakarta: Bumi Aksara, 2000), hal. 122

53

Maria Singarimbun dan Sifian Effendi, Metode Penelitian Survei, (Jakarta: LP3ES: 1989),


(38)

operasional.54 Dalam rangka penulisan hukum ini, maka istilah-istilah berikut diartikan:

1. Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusannya dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas.55

2. Penangguhan eksekusi adalah masa-masa tertentu, dimana kreditor tidak dapat melaksanakan hak untuk mengeksekusi jaminan.

3. Hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor lain,56 singkatnya hak tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.57

54

Sumadi Suryabrata, Metodelogi Penelitian, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1998), hal. 3

55

Undang Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. UU Nomor 37 Tahun 2004, LN Tahun 2004 Nomor 131 TLN Republik Indonesia Nomor 4443, Pasal 1 angka 1

56

Undang-Undang tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang

Berkaitan Dengan Tanah, UU Nomor 4 tahun 1996, LN Nomor 42 tahun 1996, TLN Nomor 3632.,

Pasal 1 angka 1

57

Rachmadi Usman, Pasal-Pasal Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah, (Jakarta:


(39)

4. Kreditor adalah pihak yang berpiutang dalam suatu hubungan utang-piutang tertentu.58

5. Debitor adalah pihak yang berutang dalam suatu hubungan utang piutang tertentu.59

6. Pemberi hak tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan yang bersangkutan.60

7. Pemegang hak tanggungan adalah perseorangan atau badan hukum yang berkududukan sebagai pihak yang berpiutang.61

8. Penjualan lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum baik secara langsung maupun melalui media elektronik dengan cara penawaran harga secara lisan dan atau tertulis yang didahului usaha mengumpulkan peminat.62

9. Lelang eksekusi adalah lelang untuk melaksanakan putusan/penetapan pengadilan atau dokumen yang dipersamakan dengan itu.63

58

Undang-Undang tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, UU Nomor 4 tahun 1996, LN Nomor 42 tahun 1996, TLN Nomor 3632, pasal 1 angka 2

59

Undang-Undang tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, UU Nomor 4 tahun 1996, LN Nomor 42 tahun 1996, TLN Nomor 3632, pasal 1 angka 3

60

Undang-Undang tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, UU Nomor 4 tahun 1996, LN Nomor 42 tahun 1996, TLN Nomor 3632, pasal 8 ayat 1

61

Undang-Undang tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, UU Nomor 4 tahun 1996, LN Nomor 42 tahun 1996, TLN Nomor 3632, pasal 9

62

Departemen Keuangan, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 304/KMK.01/2002 tentang

Petunjuk Pelaksanaan Lelang, pasal 1 Butir 1

63


(40)

10.Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) adalah suatu masa yang diberikan oleh undang-undang melalui putusan hakim niaga dimana dalam masa tersebut kepada pihak kreditor dan debitor diberikan kesempatan untuk memusyawarahkan cara-cara pembayaran utang dengan memberikan rencana pembayaran seluruh atau sebagian utangnya termasuk apabila perlu untuk merestrukturisasi utangnya tersebut.64

11.Pailit berarti kemacetan pembayaran, dalam hukum Anglo Amerika pailit dikenal dengan istilah bankruptcy act. 65

12.Membayar berarti memenuhi suatu perikatan, ini dapat diperuntukkan untuk menyerahkan barang-barang.66

13.Insolvent berasal dari bahasa latin solver yang artinya membayar dan lawan katanya adalah insolvent atau tidak membayar.

G. Metode Penelitian

Metode penelitian ilmiah pada hakekatnya merupakan operasionalisasi dan metode keilmuan dengan demikian maka penguasaan metode ilmiah merupakan persyaratan untuk memahami jalan pikiran yang terdapat dalam langkah-langkah penelitian mencakup apa yang diteliti, bagaimana penelitian dilakukan serta untuk apa hasil penelitian digunakan.67 Metode menyangkut masalah kerja yaitu cara kerja

64

Munir Fuady 1, Op.cit., hal. 171

65

Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan, (Malang: UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah

Malang, 2007), hal. 4

66

Siti Soematri Hartono, Pengantar Hukum Kepailitan Dan Penundaan Pembayaran,

(Yogyakarta: Fakultas Hukum UGM, 1993), hal. 8

67

Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, (Bandung: CV Mandar Maju,


(41)

untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan.68 Metode ilmiah juga merupakan ekspresi mengenal cara bekerja pikiran, sedangkan berpikir adalah kegiatan mental yang menghasilkan pengetahuan.69

1. Sifat Penelitian

Sifat penelitian yang dilakukan adalah yuridis normatif dengan mempertimbangkan bahwa titik tolak penelitian analisis terhadap peraturan perundang-undangan70 literatur-literatur, buku-buku yang berkaitan dengan klausula perlindungan hukum terhadap kreditor pemegang hak tanggungan dalam penangguhan eksekusi jaminan.

2. Pendekatan Masalah

Sehubungan dengan sifat penelitian yang digunakan yakni yuridis normatif, maka pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan hukum dengan melihat peraturan-peraturan, baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder atau pendekatan masalah dengan cara melihat dari peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Sumber Data

Data adalah gejala-gejala yang dihadapi, yang ingin diungkapkan kebenarannya. Gejala-gejala ini merupakan data yang diteliti sedangkan hasilnya juga dinamakan

68

Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia, 1997), hal.

16

69

Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar

Harapan, 1999), hal. 119

70

Ibrahim Jonny, Teori dan Metodologi Penelitian Normatif, (Malang : Bayu Media


(42)

data.71 Adapun sumber data dari penelitian ini adalah bahan-bahan hukum yang dikaji meliputi:

a. Bahan Hukum Primer

Yakni bahan hukum yang terdiri dari perundang-undangan, seperti Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, Undang- Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan, Undang- Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dan peraturan-peraturan lain.

b. Bahan Hukum Sekunder

Yakni bahan hukum yang terdiri atas buku-buku teks (Textbook) yang ditulis oleh para ahli hukum, jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi dan hasil seminar/symposium dan website di internet yang berkaitan dengan permasalahan.

c. Bahan Hukum Tersier

Yakni bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum dan ensiklopedia.

4. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang relevan dengan permasalahan yang diteliti, dikaitkan dengan jenis penelitian hukum normatif, maka metode pengumpulan data adalah menggunakan penelitian kepustakaan. Penelitian kepustakaan

71


(43)

dilakukan untuk memperoleh data sekunder dari bahan hukum primer yaitu peraturan-peraturan yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas. 5. Pengumpulan Data

Bahan hukum yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas, dipaparkan, disistematisasikan, kemudian dianalisis untuk menginterprestasikan hukum yang berlaku.

6. Analisis Data

Adapun sumber data yang berupa bahan hukum yang diperoleh dari studi kepustakaan, aturan perundang-undangan dan artikel dimaksud diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa, sehingga disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis. Analisa akan dilakukan secara kualitatif dan kemudian ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode berpikir induktif deduktif.

Pada prosedur logika berpikir induktif, proses berawal dari proposisi-proposisi khusus (sebagai hasil pengamatan) dan berakhir pada suatu kesimpulan (pengetahuan baru) berupa asas umum. Dalam prosedur induktif setiap proposisi itu hanya boleh dianggap benar kalau proposisi itu diperoleh sebagai hasil penarikan kesimpulan dari proposisi-proposisi yang berkebenaran empiris.72

Pada prosedur logika berpikir deduktif bertolak dari suatu proposisi umum yang kebenarannya telah diketahui (diyakini) dan berakhir pada suatu kesimpulan (pengetahuan baru) dan bersifat lebih khusus. Pada prosedur ini, kebenaran pangkal merupakan kebenaran ideal yang bersifat aksiomatik (self evident) yang esensi kebenarannya sudah tidak perlu dimasalahkan lagi. Hal ini berarti bahwa pada deduksi setiap proposisi itu hanya akan dapat dinyatakan sebagai proposisi yang benar kalau memang ia dapat dirunutkan kembali secara logis atau ditemukan sebagai hasil penyimpulan dari suatu proposisi asas yang mengandung kebenaran pangkal tersebut.73

72

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

2007), hal. 10

73


(44)

BAB II

EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN OLEH BANK SEBAGAI KREDITOR SEPARATIS DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KREDITOR

A. Pengertian Eksekusi

Istilah eksekusi dalam bahasa Indonesia disebutkan pelaksanaan putusan. Eksekusi sebagai tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara yang juga merupakan aturan dan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan perkara.74 Jadi eksekusi itu adalah tindakan yang berkesinambungan dari keseluruhan proses hukum acara perdata juga eksekusi ini dapat pula diartikan menjalankan putusan pengadilan, yang melaksanakan secara paksa putusan pengadilan dengan bantuan kekuatan umum apabila pihak yang kalah tidak mau menjalankannya secara sukarela, eksekusi dapat dilakukan apabila telah mempunyai kekuatan hukum tetap.75

Eksekusi tersebut ada 2 (dua) bentuk yakni:76

1. Eksekusi riil adalah yang hanya mungkin terjadi berdasarkan putusan pengadilan untuk melakukan suatu tindakan nyata atau rill yang :

a. Telah memperoleh kekuatan hukum tetap b. Bersifat dijalankan terlebih dahulu c. Berbentuk provisi dan

d. Berbentuk akta perdamaian di sidang pengadilan

2. Eksekusi pembayaran sejumlah uang tidak hanya didasarkan atas bentuk akta yang gunanya untuk melakukan pembayaran sejumlah uang yang oleh undang-undang disamakan nilainya dengan putusan yang memperoleh kekuatan hukum yang tetap berupa:

a. Grosse akta pengakuan hutang

74

Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Grosse Akta Dalam Pembuktian Dan

Eksekusi, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993), hal. 119

75

Ibid

76


(45)

b. Grosse akta hipotik c. Grosse akta verband

Grosse akta tidak perlu dibuktikan keabsahannya sehingga harus dianggap benar apa yang tercantum didalamnya, kecuali ada bukti lawan.77

B. Bank sebagai Kreditur Separatis

Semaraknya konflik hutang piutang tidak lepas dari krisis moneter yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 lalu yang mana krisis tersebut telah mengacaukan seluruh sendi-sendi perekonomian Indonesia dan akibatnya sampai sekarang ini masih terasa, dampak krisis tersebut sangat dirasakan oleh pelaku bisnis yang mana dengan lemahnya nilai tukar rupiah terhadap Dollar AS mengakibatkan nilai bayar melambung tinggi, sehingga biaya produksi dan biaya operasional menjadi meningkat. Terlebih bagi pengusaha yang memiliki kewajiban untuk mengembalikan hutang-hutangnya dalam bentuk valuta asing, dengan meningkatnya nilai dollar tersebut secara otomatis hutang-hutang terhadap kreditur asing menjadi membengkak luar biasa sehingga debitur menjadi tidak mampu membayar hutang-hutangnya. Dengan berhentinya operasional perusahaan dampak lain adalah dunia perbankan, dengan lesunya usaha maka kredit terhadap lembaga perbankan sebagai pendukung dana ikut tersendat, bahkan banyak pula yang macet. Sebelum krisis moneter perbankan Indonesia memang juga telah menghadapi masalah kredit bermasalah atau

non-performing loans yang memprihatinkan, yaitu sebagai akibat terpuruknya sektor riil karena krisis moneter tersebut. Lembaga keuangan yang dikenal dengan nama

77

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1986), hal.


(46)

bank sudah barang tentu bukan merupakan lembaga yang asing lagi bagi masyarakat di Indonesia sebab lembaga ini mempunyai spesifikasi tersendiri yaitu oleh undang-undang yang mengaturnya dan oleh Pemerintah diberi kewenangan untuk mengumpulkan dana masyarakat dengan jumlah nasabah mencapai ribuan orang, sehingga bank disebut pula sebagai lembaga perantara (financial intermediary) yang mengerahkan dana masyarakat dan menyalurkan kembali dana tersebut kepada masyarakat dalam bentuk kredit. Bank sebagai badan usaha yang menghimpun dana dalam masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam bentuk kredit untuk dipergunakan sebagai modal di bidang produksi dan jasa, guna meningkatkan kegiatan perekonomian yang pada akhirnya bermuara pada peningkatan taraf hidup rakyat banyak. Atas dasar bidang usaha tersebut maka bank mempunyai peran yang strategis dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi Indonesia. Oleh karena itu wajar bila perbankan wajib melaksanakan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit berdasarkan sekurang-kurangnya ada empat pertimbangan penting yaitu:

1. Usaha bank dilakukan dengan menggunakan modal yang berasal dari dana masyarakat yang dihimpunnya oleh karena itu kepentingan masyarakat atas keselamatan dananya perlu dijaga kelangsungannya.

2. Peran yang strategis dari perbankan dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi Indonesia yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

3. Lembaga perbankan adalah lembaga kepercayaan, sekali kepercayaan hilang maka akan sulit untuk meperolehnya kembali.


(47)

4. Kegiatan pemberian kredit merupakan porsi terbesar dari kegiatan bank sedang pemberian kredit itu sendiri sangat beresiko.

Untuk lebih memastikan pelaksanaan prinsip kehati-hatian dibidang perkreditan, bank diwajibkan untuk memiliki dan menerapkan suatu pedoman perkreditan atau pembiayaan berdasarkan prinsip perbankan/syariah, sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, ketentuan ini diatur dalan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/162/KEP/DIR tanggal 31 Maret 1995 dan Surat Edaran Nomor 27/7/UPPB tanggal 31 Maret 1995 tentang Kewajiban Penyusunan Dan Pelaksanaan Kebijaksanaan Perkreditan Bank Bagi Bank Umum.

Kebijaksanaan perkreditan bank antara lain meliputi:

1. Analisa yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha debitor.

2. Tidak adanya conflict of interest antara bank dan debitor, terutama debitor pihak yang terkait dengan bank dan debitor besar lainnya.

3. Proses analisa kredit bertumpu pada profesionalisme serta integritas pejabat perkreditan.

4. Penerapan pengendalian intern perkreditan.

C. Pengertian Pailit

Menurut M. Hadi Shubhan:

Pailit merupakan suatu keadaan dimana debitur tidak mampu untuk melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para kreditornya. Keadaan tidak mampu membayar lazimnya disebabkan karena kesulitan kondisi keuangan (financial distress) dan usaha debitor yang telah mengalami kemunduran. Sedangkan kepailitan merupakan putusan pengadilan yang mengakibatkan sita umum atas seluruh kekayaan debitur pailit, baik yang telah ada maupun yang


(48)

akan ada dikemudian hari. Pengurusan dan pemberesan kepailitan dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan hakim pengawas dengan tujuan utama menggunakan hasil penjualan harta kekayaan tersebut untuk membayar seluruh hutang debitor pailit tersebut secara proporsional (prorate parte) dan sesuai dengan struktur kredit. 78

Menurut Kartono:

Kepailitan memang tidak merendahkan martabatnya sebagai manusia, tetapi apabila ia berusaha untuk memperoleh kredit, disanalah baru terasa baginya apa artinya sudah pernah dinyatakan pailit. Dengan perkataan lain kepailitan mempengaruhi credietwaardigheid nya dalam arti yang merugikannya, ia tidak akan mudah mendapatkan kredit.79

Menurut Retnowulan Susanto:

Kepailitan itu sebagai suatu prosedur pembayaran hutang dalam rangka merealisasikan ketentuan pasal 1131 dan 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur tentang tanggung jawab debitur terhadap perikatan – perikatan yang dilakukan krediturnya.80

Pada saat ketentuan peraturan Kepailitan (Faillissement Verordening) Stb 1905-217 jo 1906-348 diberlakukan, dalam prakteknya masih sangat sedikit para pihak yang ada pada saat itu mempergunakan lembaga dan peraturan kepailitan untuk menyelesaikan persoalan utang piutangnya81 karena Indonesia tidak memiliki perangkat hukum yang sanggup mengakomodir kebutuhan yang menyangkut kepailitan kemudian keluarlah Undang-undang kepailitan yang merupakan pengganti dari peraturan Kepailitan (faillissement verordening) stb 1905-217 jo 1906-348 yang telah diubah dengan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) Nomor 1 tahun 1998 yang selanjutnya diundangkan menjadi undang undang Nomor 4 tahun

78

M. Hadi Subhan, Op.cit., hal. 1

79

Kartono, Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran, (Jakarta, Pradnya Paramita, 1999), hal.

42

80

Bernadette Waluyo, Kepailitan Dan PKPU, (Bandung: Mandar Maju, 1990), hal. 1

81

Munir Fuady, Hukum Pailit 1998, Dalam Teori Dan Praktek, (Bandung: PT. Citra Aditya


(49)

1998. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang nomor 4 tahun 1998 yang selanjutnya pada tanggal 18 Oktober 2004 disempurnakan lagi menjadi Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, para pihak seperti bersemangat untuk mencoba penyelesaian utang piutang dengan menggunakan lembaga kepailitan, dengan pengertian bahwa lembaga kepailitan ini akan dapat menyelesaikan permasalahan utang piutang mereka dengan prosedur yang serba cepat.82

Perubahan kemudian dilakukan atas ketentuan pranata hukum yang digunakan dalam penyelesaian utang piutang dengan lembaga kepailitan ini. Hal ini disebabkan karena peraturan kepailitan sebagai produk hukum nasional warisan zaman penjajahan Belanda dirasakan sudah tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan para pihak akan mekanisme penyelesaian utang piutang.

Untuk memenuhi kebutuhan para pihak akan lembaga peradilan yang dapat menampung upaya penyelesaian utang piutang melalui lembaga kepailitan maka pada tahun 1998 dibentuk pengadilan Niaga Jakarta Pusat dan kemudian menyusul Pengadilan Niaga Medan, Semarang, Surabaya dan Makassar pada tahun 1999. Kepailitan mempunyai tujuan: 83

a. Untuk menjamin pembagian yang sama terhadap harta kekayaan debitur di antara para krediturnya. Tujuan dari kepailitan ini merupakan perwujudan dari jaminan sebagaimana ditentukan dalam ketentuan pasal 1131 dan 1132 KUH perdata.84

82

Ibid

83Ibid 84

Pasal 1131 KUH Perdata berbunyi: Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan dan pasal 1132 KUH Perdata berbunyi: Barang-barang itu menjadi jaminan bersama bagi semua kreditur terhadapnya hasil penjualan Barang-barang-Barang-barang itu dibagi menurut perbandingan piutang masing-masing kecuali bila di antara para kreditur itu ada alasan-alasan sah untuk didahulukuan.


(1)

Sedangkan dalam pelunasan pembayaran piutangya, ia tetap mempunyai hak untuk didahulukan.

3. Bila penangguhan eksekusi diakhiri oleh karena debitur insolven, hak eksekusi kreditor pemegang hak tanggungan dapat segera dilaksanakan, namun dibatasi selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sejak dimulainya keadaan insolvensi dengan catatan jika mereka berkeinginan untuk mengeksekusi sendiri hak tanggungan mereka. Jika mereka tidak sanggup, hak untuk mengeksekusi dan menjual tanah yang dibebani hak tanggungan itu dipegang oleh kurator.

B. Saran

1. Sebaiknya dilakukan peninjauan kembali pada Undang-Undang Kepailitan Nomor 37 tahun 2004 yang berkaitan dengan ketentuan penangguhan eksekusi jaminan yaitu ketentuan pasal 55 Undang-Undang Kepailitan Nomor 37 tahun 2004 dengan pasal 56 Undang-Undang Kepailitan Nomor 37 tahun 2004 yang tidak sejalan.

2. Selama masa penangguhan eksekusi tersebut para kurator hendaknya harus berperan aktif dan bertindak netral dalam mengurus harta pailit tersebut sehingga perlindungan wajar sebagaimana yang ditetapkan oleh undang-undang itu dapat dirasakan oleh kreditur pemegang hak tanggungan.

3. Dan Jangka waktu 2 (dua) bulan yang diberikan untuk menjual objek hak tanggungan adalah terlalu singkat, sebaiknya jangka waktu yang diberikan itu adalah 6 (enam) bulan


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku

Adidjoyo, Mustafa dan Bintaro Tjokromidjojo, Teori Dan Strategi Pembangunan Nasional, CV.Haji Masagung, Jakarta: 1998

Asikin, Zainal, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002.

Badrulzaman, Mariam Darus, Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001

_______, Perjanjian Kredit Bank, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1991.

_______, Bab-Bab Tentang Credietverband, Gadai dan Fiducia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1991

_______, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni :Bandung, 1983

Bruggink, J. J. H., Refleksi Tentang Hukum, dialihbahasakan oleh Arief Sidharta, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999.

Djumhana, Muhammad, Hukum Perbankan Di Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003

Fuady, Munir, Hukum Pailit Dalam Teori Dan Praktek, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005.

_______, Hukum Pailit Dalam Teori Dan Praktek, edisi revisi disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005.

_______, Hukum Pailit 1998, Dalam Teori dan Praktek, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002.

_______, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek, buku kesatu, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996.

Gautama, Sudargo, Komentar Atas Peraturan Baru Untuk Indonesia, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 1998.


(3)

Harahap, Yahya M, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2005

Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia-Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria Isi Dan Pelaksanaannya, jilid I Hukum Tanah Nasional, cetakan 7, Jakarta: Djambatan, 1997.

_______, Hukum Agraria Indonesia, cetakan ke 6, Jakarta: Djembatan, 1996

Hasibuan, Effendy, Dampak Pelaksanaan Eksekusi Hipotek Dan Hak Tanggungan Terhadap Pencairan Kredit Macet Pada Perbankan di Jakarta, Jakarta: Laporan Penelitian, 1997.

Hartini, Rahayu, Hukum Kepailitan, Malang: UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, 2007.

Hartono, Siti Soematri, Pengantar Hukum Kepailitan Dan Penundaan Pembayaran, Yogyakarta: Fakultas Hukum UGM, 1993.

Hasan, Djuhaendah, Lembaga Kebendaan Bagi Tanah Dan Benda Lain Yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996

Hoff, Jerry, Undang-Undang Kepailitan Di Indonesia, diterjemahkan oleh Kartini Muljadi, Jakarta: Tatanusa, 2000

J.J.M. Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, editor M. Hisyam, Jakarta: FE UI, 1996.

Jonny, Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Normatif, cetakan III, Malang: Bayu Media Publishing, 2007.

Kartono, Kepailitan Dan Pengunduran Pembayaran, Jakarta: Pradnya Paramita, 1999.

Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1997 Komaruddin dan Yooke Tjuparmah Komaruddin, Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah,

Jakarta: Bumi Aksara, 2000.

Lontoh, Rudy A, Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit Atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Bandung: Alumni, 2001


(4)

Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung: Mandar Maju, 1994. Mahadi, Falsafah Hukum: Suatu Pengantar, Alumni, Bandung, 2003.

Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1986 Muljadi, Kartini, Actio Paulina Dan Pokok-Pokok Tentang Pengadilan Niaga,

Bandung: Alumni, 2001

Muljono, Teguh Pujo, Manajemen Perkreditan Bagi Bank Komersial, Yogyakarta: BPFE, 1993

Nasution, Bahder Johan, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Bandung: CV Mandar Maju, 2008

Prodjomidjojo, Martiman, Proses Kepailitan, Bandung: Mandar Maju, 1992.

Purwosutjipto, H.M.N, Pengertian Pokok Hukum Dagang Buku 8, Perwasitan, Kepailitan Dan Penundaan Pembayaran, cetakan 3, Jakarta, Djambatan, 1992.

Salim, H.S., H Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005.

Sastrawidjaja, H. Man. S., Hukum Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Bandung: PT. Alumni, 2006.

Satrio, J, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991

Sembiring, Sentosa, Hukum Kepailitan dan Peraturan Perundang-Undangan Yang Terkait Dengan Kepailitan, Bandung: Nuansa Aulia, 2006.

Shubhan, M. Hadi, Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma Dan Praktik Di Pengadilan, Jakarta:Kencana, 2008.

Simanjuntak, Ricardo, Esensi Pembuktian Sederhana, Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2005

Singarimbun, Maria dan Sifian Effendi, Metode Penelitian Survei, Jakarta: LP3ES, 1989.


(5)

Siregar, Mustafa, Pengantar Beberapa Pengertian Hukum Perbankan, Medan: USU Press, 1991.

Situmorang, Viktor M dan Hendri Soekarso, Pengantar Hukum Kepailitan Di Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 1994.

Situmorang, Viktor M dan Dra.Cormentyna Sitanggang, Grosse Akta Dalam Pembuktian Dan Eksekusi, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993

Sjahdeini, Sutan Remy, Hukum Kepailitan Memahami Faillissements Verordening juncto Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, Jakarta: Grafiti, 2002.

_______, Hak Tanggungan : Azas-Azas, Ketentuan-Ketentuan Pokok Dan Masalah-Masalah Yang dihadapi Oleh Perbankan, cetakan I, Bandung: Alumni, 1999. Sofyan, Sri Soedewi Masjchoen, Hukum Jaminan Di Indonesia, Pokok-Pokok

Hukum Jaminan Dan Jaminan Perorangan, Yogyakarta: Liberty, 2001. Soebekti, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia,

Bandung: Alumni, 1986.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1984

Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999.

Suryabrata, Sumadi, Metodelogi Penelitian, Jakarta : Rajagrafindo Persada, 1998. Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Bandung: CV. Alfabeta, 2003. Suyatno, Thomas, Dasar-Dasar Perkreditan, Jakarta: Gramedia, 1991

Usman, Rachmadi, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Di Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001.

_______, Pasal-Pasal Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah, Jakarta: Djambatan, 1999

Waluto, Bernadette, Hukum Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Bandung: Mandar Maju, 1999.

Widjaja, Gunawan dan Kartini Muljadi, Seri Hukum Harta Kekayaan: Hak Tanggungan, Cetakan I, Jakarta: Prenada Media, 2005


(6)

Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis: Kepailitan, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004

_______, Jaminan Fidusia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000.

_______, Seri Hukum Bisnis: Perseroan Terbatas, Jakarta: Rajawali Pers, 1999.

Widjanarto, Hukum Dan Ketentuan Perbankan Di Indonesia, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1993

Yuhassarie, Emmy (ed), Undang-Undang Kepailitan dan Perkembangannya, Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2004.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. UU Nomor 37 Tahun 2004, LN Tahun 2004 Nomor 131 TLN Republik Indonesia Nomor 4443.

Undang-Undang tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, UU Nomor 4 tahun 1996, LN Nomor 42 tahun 1996, TLN Nomor 3632.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). diterjemahkan oleh R .Subekti dan R. Tjitrosudibio, cetakan 27, Jakarta: Pradnya Paramita, 1994.

Tesis

Sulistiyani, Nieke Dewi, Analisa Yuridis Mengenai Perlindungan Hukum Kreditor Pemegang Hak Tanggungan Terhadap Penangguhan Eksekusi Jaminan Utang Berdasarkan Hukum Kepailitan Indonesia, Tesis, (Jakarta; SPS UI, 2006)

Disertasi

Sunarmi, Tinjauan Kritis Terhadap Undang-Undang Kepailitan: Menuju Hukum Kepailitan Yang Melindungi Kepentingan Kreditor dan Debitor, Disertasi, Medan: SPS USU, 2005


Dokumen yang terkait

Perlindungan Hak Kreditor Dengan Jaminan Fidusia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia

0 10 149

TINJAUAN YURIDIS TENTANG HAK KREDITOR DALAM MELAKSANAKAN EKSEKUSI SELAKU PEMEGANG HAK TANGGUNGAN DIKAITKAN Tinjauan Yuridis Tentang Hak Kreditor Dalam Melaksanakan Eksekusi Selaku Pemegang Hak Tanggungan Dikaitkan Dengan Undang – Undang Nomor 4 Tahun 19

0 0 13

PENDAHULUAN Tinjauan Yuridis Tentang Hak Kreditor Dalam Melaksanakan Eksekusi Selaku Pemegang Hak Tanggungan Dikaitkan Dengan Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Dan Undang – Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penunda

0 2 14

TINJAUAN YURIDIS TENTANG HAK KREDITOR DALAM MELAKSANAKAN EKSEKUSI SELAKU PEMEGANG JAMINAN DENGAN HAK TANGGUNGAN Tinjauan Yuridis Tentang Hak Kreditor Dalam Melaksanakan Eksekusi Selaku Pemegang Hak Tanggungan Dikaitkan Dengan Undang – Undang Nomor 4 Tah

0 0 22

PELAKSANAAN EKSEKUSI BARANG JAMINAN PADA MASA PENANGGUHAN (STAY) YANG DILAKUKAN OLEH KREDITOR SEPARATIS DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN P.

0 0 2

HAK KREDITOR DALAM MELAKSANAKAN EKSEKUSI SEBAGAI PEMEGANG HAK TANGGUNGAN DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DAN UNDANG-UNDAN.

0 0 1

KEDUDUKAN DAN PERLINDUNGAN HUKUM KREDITOR SEPARATIS SEHUBUNGAN DENGAN PENOLAKAN PERMOHONAN KEPAILITAN OLEH HAKIM PENGADILAN NIAGA DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILIT.

1 2 1

IMPLIKASI PEMBATALAN KEPAILITAN TERHADAP KEDUDUKAN BANK SEBAGAI KREDITOR SEPARATIS YANG MEMEGANG HAK TANGGUNGAN DITINJAU BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN K.

0 0 1

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KREDITOR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 4 TAHUN 1996 DALAM HAL PENANGGUHAN EKSEKUSI JAMINAN UTANG DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NO. 37 TAHUN 2004 TE.

0 1 1

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KREDITOR BERKAITAN DENGAN KEPASTIAN PEMBAYARAN OLEH DEBITOR SEJAK DITETAPKANNYA MASA INSOLVENSI DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUN.

0 0 1