Cara Membaca Puisi dari Segi Lafal, Intonasi, Penghayatan dan
23
Kehidupan sehari-hari yang kita jalani pun dapat dijadikan sebagai sumber pendidikan. Pada setiap harinya kita mengalami berbagai peristiwa yang dijadikan
sebagai pengalaman. Maka pengalaman tersebut merupakan sebuah pelajaran yang berfungsi mendidik. Pengalaman bukan hanya segala sesuatu yang terjadi
pada diri kita, tetapi juga segala hal yang terjadi pada orang lain, terjadi di lingkungan sekitar kita, bahkan pada karya sastra. Berbagai konflik yang
diceritakan dalam sebuah karya sastra bisa dijadikan pelajaran yang mendidik. Selain itu, sastra juga bisa memberi kenikmatan melalui keindahan isi dan gaya
bahasanya.
29
Yus Rusyana dalam bukunya yang berjudul Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan menyatakan bahwa sastra dipelajari hubungannya dengan
masyarakat tempat lahirnya, serta dukungan-dukungan yang diperolehnya. Sastra dipelajari nilainya, pada masanya, dan pada masa setelahnya.
30
Hal ini membuktikan bahwa sastra memiliki kaitan yang erat dengan dunia pendidikan,
dimana pendidikan merupakan suatu tonggak utama dalam kehidupan. Artinya di saat kita mengilhami nilai dari sebuah karya sastra, maka kita telah menyerap
unsur pendidikan yang terkandung di dalam sebuah karya sastra. Berbagai pelajaran yang diceritakan dalam sebuah karya sastra dapat mendidik kita pada
berbagai sisi dalam kehidupan. Pengajaran sastra dianggap sebagai hal yang penting untuk pendidikan,
tujuan pengajaran sastra, tentulah merupakan bagian dari tujuan pendidikan keseluruhannya, karena proses belajar dan mengajarkan sastra merupakan bagian
dari proses pendidikan. Karena tujuan pengajaran menentukan komponen pengajaran lainnya. Jadi, pengajaran sastra sebagai kegiatan untuk mencapai
tujuan pendidikan.
31
29
Partini Sardjono Pradotokusumo, Pengkajian Sastra, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008, h. 5-6
30
Yus Rusyana, Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan, Bandung: CV Dipenogoro, 1984, h. 312
31
Ibid., h. 313
24
Mengenai pembelajaran sastra, Taufiq Ismail mengatakan bahwa anak bangsa Indonesia masih rabun membaca dan pincang menulis
32
. Menurutnya, padahal sastra dapat membukakan mata pembaca untuk mengetahui realitas sosial,
politik, dan budaya dalam bingkai moral dan estetika. Melalui karya sastra para pembaca akan menikmati realitas imajinasi pengarang melalui tokoh, peristiwa,
dan latar yang disajikan. Belajar sejarah tidak harus membaca buku sejarah. Dengan membaca tokoh, peristiwa, dan latar sastra yang berlatar peristiwa
tertentu, pembaca akan diajak berpikir dan bersentuhan dengan sejarah.
33
Dari keterangan di atas menjelaskan bahwa sastra erat hubungannya dengan kehidupan manusia. Sastra dapat menjadi media dalam mencurahkan
pikiran dan imajinasi pengarang. Dengan demikian, gagasan dan imajinasi tersebut dapat tersampaikan kepada para pembaca.
Karena karya sastra berhubungan erat dengan manusia, maka hubungan itu juga akan berakar pada kegiatan manusia, salah satunya adalah pendidikan. Karya
sastra mempunyai relevansi dengan masalah-masalah dunia pendidikan nyata. Kinayati Djoyosuroto berpendapat bahwa, sangat keliru bila di dalam dunia
pendidikan selalu dianggap bidang eksakta lebih utama dan lebih penting dibandingkan dengan ilmu sosial atau ilmu-ilmu humaniora. Masyarakat
memandang bahwa karya sastra hanyalah khayalan pengarang yang penuh kebohongan sehingga timbul klasifikasi. Di SMA,
kelas IPA dianggap kelas Poundsterling, artinya kelas ini dianggap yang paling istimewa, kelas IPS
dianggap kelas mau kita harus melibatkan diri secara sukarela. Keterlibatan ini, bukan hanya untuk kepuasan yang serta merta, tetapi untuk berbagai kepuasan
yang bernilai .tinggi yang hanya dapat dicapai dengan jalan melibatkan langsung ke dalam karya sastra tersebut.
34
Berbicara mengenai pengajaran, jika siswa kita hadapi sebagai subjek pengajaran, kita harus menyadari bahwa setiap siswa merupakan individu,
32
Taufiq Ismail, Agar Anak Bangsa Tak Rabun Membaca Tak Pincang Mengarang, Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta, 2003, h. 5
33
Kinayati Djojosuroto, Analisis Teks Sastra dan Pengajarannya, Yogyakarta: Pustaka, 2006, h. 77-78
34
B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1998, h. 10
25
sekaligus suatu totalitas yang kompleks, yang menyimpan sejumlah kecakapan. Dalam kegiatan belajar-mengajar, kecakapan itulah yang perlu dikenali,
ditumbuhkembangkan. Berkaitan dengan pengajaran sastra, kecakapan yang perlu dikembangkan adalah yang bersifat 1 indrawi; 2 nalar; 3 afektif; 4 sosial;
dan 5 religius. Kecakapan 1, 2, dan 3 mencakup aspek personal kehidupan manusia, sedangkan kecakapan 4 dan 5 melengkapinya sebagai insan
seutuhnya. Dengan kata lain, pengembangan kelima sifat kecakapan itu sejalan dengan mengasah, mengasuh, dan mengasihi nilai-nilai yang disajikan setiap
karya sastra pada umumnya karena tema sastra mencakup ketiga segi hakikat kehidupan manusia, yaitu yang bersifat personal, sosial, dan religius.
35
Hal tersebut berkaitan dengan tujuan pembelajaran mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia bidang sastra dalam Kurikulum 2004 adalah agar 1
peserta didik mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan
kepribadian, memperluas
wawasan kehidupan,
serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa; dan 2 peserta didik
menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.
36
Dengan lebih spesifik B. Rahmanto menyebutkan beberapa manfaat penggunaan karya sastra dapat membantu pendidikan secara utuh apabila
cakupannya sebagai berikut: a.
Membantu keterampilan berbahasa Seperti kita ketahui ada 4 keterampilan berbahasa: i menyimak ii
wicara iii membaca iv menulis. Mengikutsertakan pengajaran sastra dalam kurikulum berarti akan membantu siswa berlatih keterampilan membaca, dan
ditambah sedikit ketrampilan menyimak, wicara, dan menulis yang masing- masing erat hubungannya.
b. Meningkatkan pengetahuan budaya
35
Boen S. Oemarjati, Pengajaran Sastra pada Pendidikan Menengah di Indonesia: Quo Vadis?, dalam M. Yoesoef, dkk, Susastra, Depok: Pusat Pengembangan Seni dan Budaya,
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, 2003, h. 39
36
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, Jakarta: Grasindo, 2008, h. 170