dalam lembar penatalaksanaan obat tetapi dapat dimungkinkan bahwa suhu tubuh pasien turun dengan sendirinya karena demam merupakan gejala autoreaktif pada
AIHA dan bila kondisi autoreaktif telah teratasi maka suhu tubuh pasien akan kembali normal.
Terapi penanganan AIHA menggunakan metilprednisolon sebagai imunosupresan pada kondisi autoimun dengan dosis pada anak-
anak ≤30 mgkgBBhari Sinha et al, 2008 yang diberikan sesuai dengan tingkat keparahan
pasien. Pasien diresepkan 10 mgkgBBhari secara intravena yang diberikan satu kali per hari dan terjadi peningkatan kadar hemoglobin menjadi 8.6 gdL pada tanggal 09-
03-2010 sebagai respon terapi. Tanggal 12-03-2010 dimungkinkan terjadi dosis kurang terkait dengan penurunan dosis metilprednisolon yang terlalu besar saat
tapering off secara peroral sehingga menyebabkan penurunan kadar hemoglobin menjadi 7.8 gdL dibandingkan dengan tanggal sebelumnya.
Recommendation: Penggunaan metilprednisolon dengan dosis kurang perlu dilakukan pertimbangan untuk penyesuaian dosis dan monitoring untuk melihat
efektifitas metilprednisolon sehingga dapat mencapai tujuan terapi serta waspada risiko efek samping, karena penggunaan steroid jangka panjang memiliki risiko tinggi
efek samping Zanella et al, 2014 seperti gangguan pertumbuhan anak, osteoporosis, risiko infeksi, diabetes, dan gangguan pencernaan.
2. Kasus 2
Subjective: Pasien perempuan 11 tahun 7 bulan 36 kg masuk ke rumah sakit dalam keadaan demam 39.1 ºC, pusing, lemah, pucat, dan berdebar
–debar. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Objective: Pasien terdiagnosis AIHA dengan hasil DCT 4+, ICT 3+ dan kadar hemoglobin 4 gdL sehingga dimungkinkan masuk ke dalam klasifikasi anemia berat
hemoglobin normal anak usia 5-11 tahun, yaitu 80 gL atau 8 gdL WHO, 2011. Assessment: Rasa berdebar-debar dapat dikarenakan pasien mengalami
demam dan anemia sistemic cause Raviele, Giada, Bergfeldt, Blanc, Blomstrom-
Lundqvist, Mont, et al, 2011. Anemia jangka lama dapat menyebabkan perubahan
irama denyut jantung sehingga menimbulkan rasa berdebar-debar bagi pasien. Selama
rawat inap pasien mendapat terapi farmakologis yaitu parasetamol dan metilprednisolon, sedangkan terapi suportif dengan melakukan transfusi PRC.
Parasetamol 10 mgkgBBhari 360 mg sebagai antipiretik dan analgesik telah sesuai dengan indikasi dan dosis.
Metilprednisolon pada awalnya diberikan dengan dosis 2 mgkgBBhari 72 mg secara intravena yang diberikan satu kali per hari telah sesuai dosis, namun
kemudian dilakukan peningkatan dosis menjadi 10 mgkgBBhari 3x 125 mg secara intravena yang dimungkinkan terkait dengan tingkat keparahan pasien. Pemberian
metilprednisolon 3x 125 mg 375 mghari dimungkinkan menyebabkan terjadinya dosis berlebih yang seharusnya pasien menerima 360 mghari berdasarkan kilogram
berat badan dan perlu dilakukan pertimbangan untuk penyesuaian dosis terkait dengan kemungkinan terjadinya efek samping. Pemberian 3x 125 mg kepada pasien
dapat dimungkinkan terkait dengan regimen sediaan yang ada di rumah sakit. Recommendation: Penggunaan metilprednisolon dengan dosis berlebih perlu
dilakukan pertimbangan untuk penyesuaian dosis dan monitoring untuk melihat PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
efektifitas metilprednisolon sehingga dapat mencapai tujuan terapi serta waspada risiko efek samping, karena penggunaan steroid jangka panjang memiliki risiko tinggi
efek samping Zanella et al, 2014 seperti gangguan pertumbuhan anak, osteoporosis, risiko infeksi, diabetes, dan gangguan pencernaan.
3. Kasus 3