BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Anak merupakan aset masa depan dalam kehidupan berbangsa. Anak merupakan modal utama bagi suatu negara dalam mempersiapkan kondisi negara
yang kuat, aman dan sejahtera. Anak menjadi sangat penting bagi kelangsungan hidup negara. Oleh karena itu anak harus diakui keberadaannya untuk bisa
ditingkatkan potensi diri yang dipersiapkan untuk menjalankan negara kelak. Di Indonesia, kompleksitas masalah anak begitu besar dan rumit. Seorang
anak masih dianggap sebagai manusia kecil lemah yang tidak memiliki hak. Anak cenderung dianggap hanya memiliki kewajiban mengabdi kepada orang
dewasaorang tua, sehingga dapat dilihat anak dilibatkan dalam menyokong ekonomi keluarga, proses produksi, akumulasi kapital perusahaan. Di sektor yang
lebih besar, anak ternyata dipakai dalam menarik arus wisatawan mancanegara sebagai wanita-wanita penghibur Aziz, 1997 : 4 dalam Ababil 2006 : 5.
Menurut UNICEF, 79 anak-anak hanya mampu menyelesaikan sekolah dasarnya di tahun 1992, 84 laki-laki dan 75 perempuan. Tahun 1995, hanya
46 anak usia 13-15 tahun masuk sekolah menengah. Lainnya, adanya kesenjangan jender dalam menyelesaikan sekolah juga berdampak buruk pada
banyak anak perempuan dan selanjutnya diperburuk lagi dengan kuantitas dan kualitas pendidikan yang masih perlu dibenahi. Seterusnya, dapat dilihat masih
adanya realita tradisi dan watak dari kemiskinan yang mengharuskan anak-anak
Universitas Sumatera Utara
perempuan di Indonesia dipaksa untuk menikah di usia muda Aulia, 1998 : 4 dalam Ababil 2006 : 5
Fenomena yang terjadi dan terus meningkat seiring terjadinya krisis ekonomi 1997 adalah meningkatnya jumlah pekerja anak di Indonesia. Secara
objektif, memang harus diakui bahwasanya krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997 telah menyebabkan tingkat pendapatan penduduk
menurun dan tingkat inflasi yang tinggi. Hal tersebut tidak saja hanya menyebabkan menurunnya daya beli masyarakat secara tajam yang ditunjukan
oleh meningkatnya penduduk miskin yang pada akhir tahun 1998 diperkirakan mencapai 49,5 juta jiwa atau bertambah sekitar 27 juta jika dibandingkan pada
awal tahun 1996. Namun, lebih dari itu dampak lanjutan yang kemudian timbul adalah semakin banyaknya jumlah pekerja anak, baik yang berusia 5-9 tahun atau
10-14 tahun Untuk anak usia 10-14 tahun, data dari Badan Pusat Statistik diketahui
bahwasanya pada bulan Agustus 1998 jumlah pekerja anak sebesar 1.726.640 jiwa dan pada Desember 1998 meningkat lagi menjadi 1.809.935 jiwa. Selain
terjadi penambahan jumlah absolut pekerja anak, dua akibat lain yang ditimbulkan oleh situasi krisis ekonomi yang berkepanjangan antara lain
menyebabkan anak-anak yang semula dominan sebagai pekerja keluarga, sebagian terpaksa keluar dari keluarganya dan bekerja sebagai buruh. Selanjutnya
krisis juga menyebabkan terjadinya penambahan jam kerja bagi pekerja anak http:www.sumut.bps.go.idnias diakses 12 Oktober 2009 pukul 22.15.
Universitas Sumatera Utara
Pekerja anak menjadi sangat identik dengan proses tumbuh kembang yang tidak sempurna baik secara fisik dan kejiwaan. Anak-anak yang terlanjur menjadi
pekerja khususnya yang berada pada sektor yang membahayakan jiwa mereka cenderung memiliki fisik dan psikis yang jauh berbeda dengan anak-anak yang
tumbuh dengan keadaan normal dimana hak-hak sebagai anak dipenuhi baik oleh lingkungan sekitarnya. Masalah pekerja anak di Indonesia saat ini masih
menghadapi suatu tantangan berat, terutama berkaitan dengan isu pekerja anak baik secara langsung maupun tidak langsung. Faktor yang berkaitan langsung
dengan pekerja anak adalah resiko atau bahaya yang timbul di lingkungan kerja, maupun dari jenis pekerjaan yang mereka lakukan. Sementara faktor yang tidak
langsung mempengaruhi keberadaan pekerjaan anak adalah sistem maupun kondisi yang melingkupi anak, mulai dari ekonomi, sosial-budaya dan politik.
Secara langsung resiko dan bahaya yang timbul di lingkungan pekerja anak dapat dilihat dari banyaknya kasus-kasus pekerja anak yang akhirnya
terbongkar dan menjadi fakta serta konsumsi publik tentang bagaimana kondisi pekerja anak. Pada kasus di Sumatera Utara tentang pekerja anak Jermal
ditemukan bahwasanya pekerja anak mengalami kekurangan gizi, kurang tidur karena bekerja lebih dari 12 jam, mengalami kekerasan fisik dan seksual yang
dilakukan oleh mandor kepada pekerja anak maupun sebaliknya antara pekerja dewasa terhadap pekerja anak. Sedangkan di Nias sendiri paska tsunami 26
Desember 2004 terutama paska gempa 28 Maret 2005, anak-anak korban tsunami dan gempa di Nias banyak yang terpisah dengan keluarganya, sebagian juga ada
yang lari dari rumah karena tidak tahan mengalami tindakan kekerasan yang dilakukan oleh keluarga sendiri. Banyak anak-anak yang menjadi terlantar dan
Universitas Sumatera Utara
menjadi pencari besi-besi tua dan pemecah batu. Banyak dari mereka yang mengalami kekerasan terutama karena bergabung bekerja dengan pekerja dewasa
Tampubolon, 2006 : 23. Secara tidak langsung, keberadaan pekerja anak disebabkan karena faktor
ekonomi, sosial-budaya dan politik. Faktor ekonomi berkaitan dengan situasi perekonomian Indonesia belum memperlihatkan banyak kemajuan sejak krisis
moneter pada tahun 1997 menghantam. Biro Pusat Statistik memperkirakan bahwa kurang dari 38 juta dari 213 juta penduduk Indonesia pada saat ini hidup di
bawah garis kemiskinan yang ditetapkan pemerintah, dengan penghasilan kurang dari Rp 9.000,- per hari. Penggangguran di Indonesia juga berjumlah paling tidak
sama banyaknya dengan perkiraan di atas Bombings, 2002 dalam Rosenberg 2003:137.
Kemiskinan yang begitu akut dan langkanya kesempatan kerja mendorong jutaan penduduk Indonesia untuk melakukan berbagai cara untuk dapat
menghidupi keluarga dan diri mereka sendiri. Kemiskinan membuat seseorang menjadi semakin rentan terhadap eksploitasi dan keputusasaan.
Terkait faktor budaya-sosial Indonesia yang masih memberikan stereotip terhadap anak. Adanya persepsi tentang anak sebagai aset pengumpulan
keuntungan dan pembantu penopang kehidupan keluarga membuat anak menjadi rentan terhadap eksploitasi dalam dunia kerja yang pada akhirnya membawa anak
ke dalam suramnya masa depan mereka. Pendidikan menjadi masalah serius terhadap keberadaan pekerja anak.
Kualitas pendidikan Indonesia yang masih rendah diikuti dengan tingkat kemiskinan dan konsep budaya Indonesia mengakibatkan tingginya tingkat buta
Universitas Sumatera Utara
huruf di Indonesia. Banyak pekerja anak yang harus putus sekolah untuk bekerja menopang kehidupan ekonomi keluarga. Sekolah-sekolah formal banyak
dianggap oleh orang tua tidak menjawab masalah ekonomi keluarga di tengah krisis multidimensi. Pada akhirnya banyak orangtua bukan hanya
ketidakmampuannya tetapi lebih mementingkan aspek ekonomi keluarga harus memaksa anaknya untuk keluar dari sekolah dan bekerja untuk menghasilkan
uang. Masalah yang begitu kompleks mengenai keberadaan anak mengundang
banyak perhatian mulai dari tingkatan internasional sampai kepada tingkatan pemerintah serta lembaga-lembaga non profit yang memang tertarik untuk
mengkaji masalah-masalah anak. Melihat UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada Bab X
Paragraf 2 pasal 69 jelas dikatakan bahwasanya seorang anak dapat dipekerjakan antara umur 13 tiga belas tahun sampai 15 lima belas tahun untuk melakukan
pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental dan sosial.
Hal ini sangat bertentangan dengan fenomena yang terjadi saat ini, dimana banyaknya anak-anak yang dipekerjakan di sektor berbahaya bagi
perkembangan dan kesehatan fisik, mental dan sosial. Anak-anak berusia kurang dari 13 tiga belas tahun banyak yang bekerja di perkebunan, tambang dan pada
kasus di Sumatera Utara dipekerjakan di jermal. Jam kerja yang ditetapkan juga sudah menyalahi prosedur peraturan yang telah dibuat yaitu tidak lebih dari 3
tiga jam sehari dan mendapat izin tertulis dan perjanjian kerja antara pemilik usaha dengan orangtuawali anak.
Universitas Sumatera Utara
Selain pemerintah yang menjadi tumpuan dalam penanggulangan keberadaan pekerja anak, lembaga non profit dan juga masyarakat banyak yang
memiliki konsentrasi dalam penanggulangan masalah anak terutama pekerja anak. Salah satunya adalah Pusat Kajian dan Perlindungan Anak . Melihat kondisi
pekerja anak yang ada di Sumatera Utara khususnya di Pulau Nias, Pusat Kajian dan Perlindungan Anak menawarkan suatu program pendidikan alternatif berupa
pendidikan life skill bagi anak-anak di Pulau Nias. Menurut data sensus penduduk Nias dan Nias Selatan pada tahun 2005 yang dikutip dari Badan Pusat
Statistik BPS-Pusat, diketahui bahwa ada 69.171 anak usia 7 -12 tahun di Kabupaten Nias dimana 90,77 masih bersekolah. Persentase jumlah anak-anak
yang tidak pernah bersekolah atau tidak mendapatkan akses terhadap pendidikan pada tingkat sekolah dasar relatif kecil yaitu 6 dan jumlah anak putus sekolah
sekitar 4 http:www.sumut.bps.go.idnias diakses 12 Oktober 2009 pukul 22.15.
Pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi, partisipasi anak usia 13-15 tahun SMP di sekolah adalah 72,29 dan partisipasi anak usia 16-18 tahun
SMA adalah 44,99. Walaupun demikian, jumlah ini tidak terlalu buruk untuk Nias jika kita bandingkan antara anak laki-laki dan anak perempuan yang masih
bersekolah, tercatat bahwa jumlah anak perempuan usia 13-15 tahun 67,41 banding 76,75 jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan jumlah anak
perempuan usia 16-18 tahun 37,20 banding 52,35. Kita juga dapat membandingkan persentase antara anak laki-laki dan anak perempuan yang sudah
tamat dari tingkat SMP adalah 27,239 untuk anak laki-laki dan 19,605 untuk anak perempuan. Pada tingkat SMA, persentase untuk anak laki-laki adalah
Universitas Sumatera Utara
19,910 dan anak perempuan adalah 11,411. Situasi yang sama juga terjadi di Kabupaten Nias Selatan. Semakin tinggi jenjang pendidikan maka semakin
rendah partisipasi sekolah, selain faktor biaya sekolah, juga masalah akses ke sekolah yang relatif jauh dari pedesaan Tampubolon, 2006 : 16.
Rendahnya partisipasi anak ke sekolah sangat berpengaruh terhadap kehadiran buruh anak disektor publik dan domestik. Tahun 2007 Pusat Kajian dan
Perlindungan Anak bekerjasama dengan ILO-Ipec telah melakukan kajian cepat untuk mengetahui bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak di Pulau Nias.
Faktanya hampir semua desa memiliki masalah dengan anak drop out dan rendahnya partisipasi anak ke sekolah. Meskipun sulit untuk memperbandingkan
data pasti populasi anak dengan angka partisipasi sekolah karena akurasi data statistik BPS dengan data fakta lapangan anak-anak yang drop out dan menjadi
buruh anak tidak terdata secara detail. Ada dua jenis pekerjaan yang banyak dilakukan anak-anak ketika Pusat
Kajian dan Perlindungan Anak melakukan penelitian di Pulau Nias, khususnya di Kecamatan Tuhemberua, Sawo, Teluk Dalam, Lahusa dan Kota Gunung Sitoli.
Mengumpulkan pasir atau batu serta memecah batu sudah lama menjadi tradisi di Nias. Di Hiliduruwa-kecamatan Sawo, penduduk lokal telah melakukan praktek
ini sejak 30 tahun yang lalu. Kemudian, permintaan yang besar terhadap material pasir dan batu untuk re-konstruksi pasca tsunami 2004 dan gempa bumi 2005
telah meningkatkan besaran praktek tersebut secara drastis. Semakin banyak daerah yang dieksploitasi maka semakin banyak pula anak-anak yang terlibat,
akibat dari keterlibatan anak-anak bekerja secara eksploitatif telah menghilangkankan kesempatan dan waktu anak untuk bermain dan belajar,
Universitas Sumatera Utara
kondisi kesehatan dan keselamatan jiwa anak juga terancam karena tempat dan kondisi kerja yang berbahaya Tampubolon, 2006 : 20.
Program pendidikan life skill yang ditangani oleh Pusat Kajian dan Perlindungan Anak diharapkan setidaknya dapat mencegah anak – anak di Pulau
Nias untuk kembali bekerja di sektor terburuk bagi anak. Keterampilan meubelier dan tata boga menjadi salah satu pendidikan life skill yang diadakan oleh PKPA.
Keberhasilan suatu program pendidikan life skill ini tidak lepas dari proses evaluasi program tersebut terhadap tujuan yaitu mengurangi tingkat pekerja anak
di Nias. Berdasarkan informasi-informasi tersebut, peneliti tertarik untuk mengkaji
lebih lanjut dalam bentuk penelitian dan dituangkan dalam bentuk skripsi dengan
judul “Evaluasi Pendidikan Life Skill Binaan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak di Desa Madula Kota Gunung Sitoli.”
1.2 Perumusan Masalah