Evaluasi Program Pendidikan Life Skill Binaan Pusat Kajian Dan Perlindungan Anak Di Desa Madula Kota Gunung Sitoli

(1)

EVALUASI PROGRAM PENDIDIKAN LIFE SKIL BINAAN PUSAT KAJIAN DAN PERLINDUNGAN ANAK

DI DESA MADULA KOTA GUNUNG SITOLI

SKRIPSI

Diajukan Guna Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Sosial

Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial

Oleh :

NOBEL S. S. SILITONGA 060902050

DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL

Abstrak Nobel Sintong Syahputra Silitonga

060902050

EVALUASI PROGRAM PENDIDIKAN LIFE SKILL BINAAN PUSAT KAJIAN DAN PERLINDUNGAN ANAK DI DESA MADULA KOTA GUNUNG SITOLI

(Skripsi ini terdiri dari 6 bab, 90 halaman, 1 bagan, 28 tabel, 4 lampiran serta 29 pustaka)

Penelitian mengenai Evaluasi Program Pendidikan Life Skill Binaan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak di Desa Madula Kota Gunung Sitoli ini bertujuan untuk mengetahui keberhasilan tujuan program pendidikan life skill binaan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak di Desa Madula Kota Gunung Sitoli.

Penelitian ini berbentuk penelitian deskriptif kualitatif yang dilaksanakan di Desa Madula Kota Gunung Sitoli. Sampel dalam penelitian ini sebanyak 20 orang, yang terdiri dari 10 orang dari peserta di bidang pertukangan dan 10 orang dari peserta di bidang tata boga. Teknik pengumpulan data yang dipakai yaitu dengan data primer berupa kuesioner,wawancara dan observasi dan data sekunder berupa studi kepustakaan. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis data kualitatif dengan mentabulasikan data yang didapat dari responden melalui tabel kemudian menganalisisnya.

Hasil penelitian yang diperoleh adalah peserta pelatihan mendapatkan keterampilan di bidang pertukangan dan tata boga. Selain itu, dengan mengikuti pendidikan life skill di bidang pertukangan dan tata boga ini membuat banyak di antara peserta pelatihan meninggalkan pekerjaan mereka sebelumnya pada sektor yang berbahaya. Jam kerja peserta pelatihan ini juga mengalami kemajuan yaitu setelah mereka mengikuti pelatihan ini banyak di antara mereka yang bekerja kurang dari 3 jam setiap harinya. Kecakapan akademis juga diperoleh peserta didik melalui Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat yang dipakai juga sebagai tempat dilakukannya pelatihan pertukangan dan tata boga ini.


(3)

UNIVERSITY OF NORTH SUMATRA

FACULTY OF SOCIAL SCIENCE AND POLITICAL SCIENCE SCIENCE DEPARTMENT OF SOCIAL WELFARE

Abstract Nobel Sintong Syahputra Silitonga

060902050

EVALUASI PROGRAM PENDIDIKAN LIFE SKILL BINAAN PUSAT KAJIAN DAN PERLINDUNGAN ANAK DI DESA MADULA KOTA GUNUNG SITOLI

(This thesis consists of 6 chapters, 90 pages, 1 chart, 28 tables, 4 appendix and 29 references)

Research on Evaluation Program Life Skill Built by Education Research Center and the Protection of Children in the Madula village of Gunung Sitoli aims to determine the success of educational program objectives guided life skills and the Center for Child Protection Studies in Desa Madula Kota Gunung Sitoli.

Research is in the form of qualitative descriptive study conducted in the Desa Madula Kota Gunung Sitoli. The sample in this study as many as 20 people, consisting of 10 people from the participants in the carpentry field and 10 people from participating in the culinary field. Data collection techniques used are the primary data such as questionnaires, interviews and observation and secondary data such as literature study. Data analysis techniques used are qualitative data analysis techniques with the tabulated data obtained from respondents through a table and then analyze it.

The results obtained are participants get the skills training in carpentry and culinary. In addition, by following the life skills education in the field of carpentry and culinary This makes many of the trainees left their previous job in a dangerous sector. Trainees working hours is also made progress that is after they are training many of those who worked less than 3 hours per day. Academic proficiency learners also obtained through the Center for Community Learning Activities used also as a place to do training in carpentry and culinary this.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat kasih dan rahmat-Nya, penulis masih diberikan kesempatan untuk menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini berjudul Evaluasi Program Pendidikan Life Skill Binaan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak di Desa Madula Kota Gunung Sitoli. Penulis berharap dengan adanya skripsi ini, dapat menjadi manfaat dalam memberikan kontribusi keilmuan tentang model penanganan lembaga non profit terhadap keberadaan pekerja anak.

Penulis sadar, bahwa skripsi ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis sangat menghargai setiap saran dan kritik dalam penyempurnaan skripsi ini.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu dalam penyelesaian skripsi ini dan secara khusus penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Matias Siagian M.Si selaku ketua Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Husni Thamrin S. sos MSP selaku dosen pembimbing penulis. Terima kasih penulis sampaikan karena telah membimbing penulis sampai skripsi ini bisa diselesaikan dengan baik.


(5)

5. Orang tua penulis, Ir. Nelson Silitonga dan A Hutabarat. Terima kasih karena telah mendidik dan membesarkan penulis sampai saat ini. Penulis tahu begitu besar pengorbanan dan kasih sayang yang kalian berikan kepada saya terutama di saat masa-masa sulit. Penulis salut dengan perjuangan kalian untuk membesarkan kesepuluh anak kalian dengan cinta dan kasih sayang yang tulus. Penulis tidak bisa membalas sedikitpun apa yang telah kalian berikan. Biarlah Tuhan Yesus Kristus yang selalu setia menjaga dan memberkati kalian berdua. Saya berharap itu.

6. Saudara-saudara penulis: Novance Silitonga M.Si/dr. Santayana Daulay, Romauli Silitonga S.Si/R Tobing Amd, Y.Silitonga Amd/O. Hutajulu, E. Silitonga/M. Simbolon, H. Silitonga Amd/Ir. R. Situmorang, Y. Silitonga Amd/J. Tobing Amd, M. Silitonga Amd/L. Sianturi ST, Dorawaty Silitonga, Vidia Silitonga. Terima kasih penulis sampaikan kepada saudara-saudara semua atas dukungan dan semangat yang tidak pernah henti-hentinya kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Semua keponakan saya: Parson Anugerah Paniroi Silitonga, Lucky Yandesto Simbolon, Lovely Yolanda Simbolon, Lefrandy Yehezkiel Simbolon, Revandy Noel Rymando Situmorang, Renata Nuriko Rymanda Situmorang, Shavonne Harmoni Blessing Destevanauli Tobing. Walaupun masih kecil, penulis ingin mengucapkan terima kasih karena dengan kehadiran kalian, membuat penulis selalu tersenyum dan tidak pernah merasa beban dalam menyelesaikan skripsi ini.


(6)

8. Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Medan. Ahmad Sofyan, Misran Lubis terima kasih penulis sampaikan karena masih memberikan kesempatan bagi penulis untuk bisa melakukan penelitian. Kepada teman-teman yang ada di divisi PUSPA, Wiwi, Poppy, Hendra, Roy, Emi terima kasih kerjasamanya selama penulis bergabung menjadi relawan di sana selama 6 bulan. Yang ada di unit PIKIR, Idham, Andi dan Marwan. Penulis ucapkan terima kasih kepada seluruh staff PKPA Nias yang memberikan kesempatan bagi penulis bisa melakukan penelitian di Desa Madula. Terima kasih buat tempat tinggalnya selama penulis melakukan penelitian di sana. Terkhusus buat Fitri “Bejo” yang telah menjadi pendamping penulis dalam melakukan penelitian. Saudara Dewi yang telah memberikan data-data yang sangat membantu penulis dan kepada Friksen Situmorang yang telah memberikan kemudahan kepada penulis untuk bisa memperoleh data dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Nias.

9. Kepala Desa Madula Kota Gunung Sitoli, Bapak Amazion Lase tempat penulis melakukan penelitian.

10. Bapak Fanolo Gulo selaku Kepala Sekolah Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Madula.

11. Teman-teman stambuk 2006, penulis ucapkan terima kasih kepada kalian semua. Alex, Marianti, Dear, Forman, Maykel, Iren, Lerry, Yusniar, Fenny, Lista, Dicky, Rijal, Nova, Jupriadi, Nora, Yomeini, Hermanto, Alfredo, Ananta, Ari, dan semua yang tidak dapat penulis sampaikan satu per satu. Harapan penulis, kita semua dapat lulus tepat waktu. Tidak ada kata “terlalu cepat” untuk menyelesaikan suatu masa perkuliahan. Kita semua harus bisa


(7)

tamat tepat waktu dan penulis doakan agar semua teman-teman stambuk 2006 dapat sukses di kemudian hari.

12. Teman-teman stambuk 2007. Immanuel Bukit, Castri, Christy, Lukas, Lidya, Maya, Alex, Petrus. Terima kasih buat semua kenangan yang ada selama ini. Walaupun kita berbeda stambuk, tapi penulis yakin itu tidak menjadi hambatan bagi kita untuk tetap berteman.

13. Teman-teman stambuk 2005. Saudara Eka, terima kasih atas pemminjaman skripsinya yang sangat membantu penulis. Kepada Samri terima kasih penulis sampaikan karena sudah menjadi sahabat yang baik. Dan kepada seluruh senior 2005 yang tidak dapat penulis sampaikan satu per satu

14. Teman-teman seperjuangan di Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Komisariat FISIP USU Medan. Semoga pelayanan kita selama ini masih bisa kita teruskan sebagai wujud pelayanan kita kepada Tuhan, masyarakat dan di lingkungan kampus. Ut Omnes Unum Sint!!Syaloom. 15. Paduan Suara Sola Gratia SMA Negeri 1 Medan. Penulis mengakui bahwa

banyak kepribadian penulis terbentuk di sini. Kepada Dewi Sianturi yang selalu sabar menghadapi kelakukan penulis. Boydo, Elsa, Fritz, Huger, Sandra, Hiras dan semua adik-adik pengurus dan anggota lainnya. Bravo buat PSSG.

16. Sahabat-sahabat penulis yang ada di Ngenengers. Sahat, Manu, Eko, Artha, Bob, Leon, Ricka, Dina, Christy, Ronald, Finita, Andy “Pantura”, Andy Silaban, Dapot, Patricia, Inda, Dea, Tasya dan yang lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Terima kasih buat persahabatan indah yang


(8)

masih kita jalin sampai sekarang ini. Semoga persahabatan ini terus berlanjut sampai kita mati.

17. Bapak dan Ibu Tobing di Sibolga. Terima kasih penulis sampaikan kepada keduanya yang telah memberikan tempat tinggal sebelum penulis menyeberang ke Pulau Nias. Hanya Tuhan Yesus yang dapat membalas semua kebaikan kalian berdua.

18. Semua pihak yang tidak dapat penulis sampaikan satu per satu. Mohon maaf penulis jika belum ada nama yang tertuliskan. Terima kasih buat semua dukungannya.

Medan, Maret 2010 Penulis


(9)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR BAGAN ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 8

1.3 Pembatasan Masalah ... 9

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1. Tujuan Penelitian ... 9

1.4.2. Manfaat Penelitian... 9

1.5 Sistematika Penulisan ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Evaluasi ... 11

2.1.1. Proses Evaluasi ... 13

2.1.2. Tolak Ukur Evaluasi Program ... 14

2.2 Pendidikan ... 15

2.2.1. Tujuan Pendidikan... 17

2.2.2. Pendidikan Life Skill ... 19

2.2.3. Pendidikan Alternatif Bagi Pekerja Anak ... 22

2.3 Kemitraan dalam Pembinaan ... 23

2.4 Kesejahteraan Sosial ... 28

2.4.1. Tujuan Pekerjaan Sosial ... 28

2.4.2. Metode Pekerjaan Sosial ... 29

2.5 Anak ... 30


(10)

2.5.3. Kondisi Pekerja Anak di Pulau Nias ... 35

2.5.4. Perlindungan Anak dari Jenis Pekerjaan Terburuk ... 38

2.5.5. Faktor Penyebab Anak Bekerja... 40

2.6 Definisi Konsep ... 44

2.7 Definisi Operasional ... 45

2.8 Kerangka Pemikiran ... 47

BAB III TIPE PENELITIAN 3.1 Tipe Penelitian ... 49

3.2 Lokasi Penelitian... 49

3.3 Populasi dan Sampel ... 50

3.3.1. Populasi ... 50

3.3.2. Sampel ... 50

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 51

3.5 Teknik Analisis Data ... 52

BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN 4.1 Kondisi Desa Madula ... 53

4.2 Pusat Kajian dan Perlindungan Anak Nias ... 54

4.3 Keterlibatan PKPA dengan PKBM Madula ... 56

BAB V ANALISIS DATA 5.1 Analisis Karakteristik Responden ... 62

5.2 Kondisi Pekerja Anak ... 67

5.3 Evaluasi Program Pendidikan Life Skill ... 72

BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan ... 89

6.2 Saran... 90


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 5.1.1. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 62

Tabel 5.1.2. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia ... 62

Tabel 5.1.3. Karakteristik Responden Berdasarkan Agama ... 63

Tabel 5.1.4. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 64

Tabel 5.1.5. Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan Orang Tua ... 65

Tabel 5.1.6. Karakteristik Responden Berdasarkan Suku Bangsa ... 66

Tabel 5.1.7. Karakteristik Responden Berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga ... 66

Tabel 5.2.1. Distribusi Jawaban Pekerjaan Anak Sebelum Mengikuti Program Keterampilan Life Skill Pertukangan dan Tata Boga ... 67

Tabel 5.2.2. Distribusi Jawaban Tanggapan Orang Tua Ketika Anak Bekerja ... 69

Tabel 5.2.3. Distribusi Jawaban Tanggapan Responden Terhadap Situasi Tempat Bekerja ... 69

Tabel 5.2.4. Distribusi Jawaban Pengalaman Responden Mengalami Eksploitasi di Tempat Kerja ... 70

Tabel 5.3.1. Distribusi Jawaban Banyak Jadwal Pertemuan Setiap Minggunya... 72

Tabel 5.3.2. Distribusi Jawaban Jam Kerja Pada Sektor Sebelumnya ... 73

Tabel 5.3.3. Distribusi Jawaban Jam Kerja Responden Setelah Mengikuti Pelatihan Pertukangan dan Tata Boga ... 74

Tabel 5.3.4. Distribusi Jawaban Pengetahuan Keterampilan ... 75

Tabel 5.3.5. Distribusi Jawaban Sosialisasi Pelatihan ... 76

Tabel 5.3.6. Distribusi Jawaban Produktivitas Selama Pelatihan ... 77

Tabel 5.3.7. Distribusi Jawaban Pemasaran Hasil Pelatihan Pertukangan dan Tata Boga ... 78


(12)

Tabel 5.3.8. Distribusi Jawaban Penetapan Harga Produk

Yang Dihasilkan ... 79 Tabel 5.3.9. Distribusi Jawaban Harga Jual Produk Pertukangan dan

Tata Boga ... 80 Tabel 5.3.10. Distribusi Jawaban Pendapatan Sebelum Menjual Produk

Hasil Keterampilan Pertukangan dan Tata Boga ... 81 Tabel 5.3.11. Distribusi Jawaban Pendapatan Setelah Menjual Produk

Hasil Keterampilan Pertukangan dan Tata Boga ... 82 Tabel 5.3.12. Distribusi Jawaban Pemberian Modal oleh Pusat Kajian

dan Perlindungan Anak (PKPA) Nias ... 83 Tabel 5.3.13. Distribusi Jawaban Pendapat Responden Terhadap

Program Life Skill Pertukangan dan Tata Boga ... 84 Tabel 5.3.14. Distribusi Jawaban Pekerjaan di Bidang Yang Sama Setelah Mengikuti Program Pelatihan Pertukangan

dan Tata Boga ... 85 Tabel 5.3.15. Distribusi Jawaban Penyediaan Guru Dalam Rangka

Mempermudah Akses Belajar ... 86 Tabel 5.3.16. Distribusi Jawaban Pemberian Alat Bantu Tulis ... 87 Tabel 5.3.17. Distribusi Jawaban Perbedaan Taraf Hidup Sebelum dan

Sesudah Menerima Pelatihan Pertukangan


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I : Daftar Kuesioner

Lampiran II : Fasilitas Life Skill Pelatihan Tata Boga

Lampiran III: Fasilitas Life Skill Pelatihan Pertukangan

Lampiran IV: Surat Keputusan Komisi Pembimbing Penulisan Proposal/Penelitian Skripsi


(14)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL

Abstrak Nobel Sintong Syahputra Silitonga

060902050

EVALUASI PROGRAM PENDIDIKAN LIFE SKILL BINAAN PUSAT KAJIAN DAN PERLINDUNGAN ANAK DI DESA MADULA KOTA GUNUNG SITOLI

(Skripsi ini terdiri dari 6 bab, 90 halaman, 1 bagan, 28 tabel, 4 lampiran serta 29 pustaka)

Penelitian mengenai Evaluasi Program Pendidikan Life Skill Binaan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak di Desa Madula Kota Gunung Sitoli ini bertujuan untuk mengetahui keberhasilan tujuan program pendidikan life skill binaan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak di Desa Madula Kota Gunung Sitoli.

Penelitian ini berbentuk penelitian deskriptif kualitatif yang dilaksanakan di Desa Madula Kota Gunung Sitoli. Sampel dalam penelitian ini sebanyak 20 orang, yang terdiri dari 10 orang dari peserta di bidang pertukangan dan 10 orang dari peserta di bidang tata boga. Teknik pengumpulan data yang dipakai yaitu dengan data primer berupa kuesioner,wawancara dan observasi dan data sekunder berupa studi kepustakaan. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis data kualitatif dengan mentabulasikan data yang didapat dari responden melalui tabel kemudian menganalisisnya.

Hasil penelitian yang diperoleh adalah peserta pelatihan mendapatkan keterampilan di bidang pertukangan dan tata boga. Selain itu, dengan mengikuti pendidikan life skill di bidang pertukangan dan tata boga ini membuat banyak di antara peserta pelatihan meninggalkan pekerjaan mereka sebelumnya pada sektor yang berbahaya. Jam kerja peserta pelatihan ini juga mengalami kemajuan yaitu setelah mereka mengikuti pelatihan ini banyak di antara mereka yang bekerja kurang dari 3 jam setiap harinya. Kecakapan akademis juga diperoleh peserta didik melalui Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat yang dipakai juga sebagai tempat dilakukannya pelatihan pertukangan dan tata boga ini.


(15)

UNIVERSITY OF NORTH SUMATRA

FACULTY OF SOCIAL SCIENCE AND POLITICAL SCIENCE SCIENCE DEPARTMENT OF SOCIAL WELFARE

Abstract Nobel Sintong Syahputra Silitonga

060902050

EVALUASI PROGRAM PENDIDIKAN LIFE SKILL BINAAN PUSAT KAJIAN DAN PERLINDUNGAN ANAK DI DESA MADULA KOTA GUNUNG SITOLI

(This thesis consists of 6 chapters, 90 pages, 1 chart, 28 tables, 4 appendix and 29 references)

Research on Evaluation Program Life Skill Built by Education Research Center and the Protection of Children in the Madula village of Gunung Sitoli aims to determine the success of educational program objectives guided life skills and the Center for Child Protection Studies in Desa Madula Kota Gunung Sitoli.

Research is in the form of qualitative descriptive study conducted in the Desa Madula Kota Gunung Sitoli. The sample in this study as many as 20 people, consisting of 10 people from the participants in the carpentry field and 10 people from participating in the culinary field. Data collection techniques used are the primary data such as questionnaires, interviews and observation and secondary data such as literature study. Data analysis techniques used are qualitative data analysis techniques with the tabulated data obtained from respondents through a table and then analyze it.

The results obtained are participants get the skills training in carpentry and culinary. In addition, by following the life skills education in the field of carpentry and culinary This makes many of the trainees left their previous job in a dangerous sector. Trainees working hours is also made progress that is after they are training many of those who worked less than 3 hours per day. Academic proficiency learners also obtained through the Center for Community Learning Activities used also as a place to do training in carpentry and culinary this.


(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Anak merupakan aset masa depan dalam kehidupan berbangsa. Anak merupakan modal utama bagi suatu negara dalam mempersiapkan kondisi negara yang kuat, aman dan sejahtera. Anak menjadi sangat penting bagi kelangsungan hidup negara. Oleh karena itu anak harus diakui keberadaannya untuk bisa ditingkatkan potensi diri yang dipersiapkan untuk menjalankan negara kelak.

Di Indonesia, kompleksitas masalah anak begitu besar dan rumit. Seorang anak masih dianggap sebagai manusia kecil lemah yang tidak memiliki hak. Anak cenderung dianggap hanya memiliki kewajiban mengabdi kepada orang dewasa/orang tua, sehingga dapat dilihat anak dilibatkan dalam menyokong ekonomi keluarga, proses produksi, akumulasi kapital perusahaan. Di sektor yang lebih besar, anak ternyata dipakai dalam menarik arus wisatawan mancanegara sebagai wanita-wanita penghibur (Aziz, 1997 : 4 dalam Ababil 2006 : 5).

Menurut UNICEF, 79 % anak-anak hanya mampu menyelesaikan sekolah dasarnya di tahun 1992, 84 % laki-laki dan 75 % perempuan. Tahun 1995, hanya 46 % anak usia 13-15 tahun masuk sekolah menengah. Lainnya, adanya kesenjangan jender dalam menyelesaikan sekolah juga berdampak buruk pada banyak anak perempuan dan selanjutnya diperburuk lagi dengan kuantitas dan kualitas pendidikan yang masih perlu dibenahi. Seterusnya, dapat dilihat masih adanya realita tradisi dan watak dari kemiskinan yang mengharuskan anak-anak


(17)

perempuan di Indonesia dipaksa untuk menikah di usia muda (Aulia, 1998 : 4 dalam Ababil 2006 : 5)

Fenomena yang terjadi dan terus meningkat seiring terjadinya krisis ekonomi 1997 adalah meningkatnya jumlah pekerja anak di Indonesia. Secara objektif, memang harus diakui bahwasanya krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997 telah menyebabkan tingkat pendapatan penduduk menurun dan tingkat inflasi yang tinggi. Hal tersebut tidak saja hanya menyebabkan menurunnya daya beli masyarakat secara tajam yang ditunjukan oleh meningkatnya penduduk miskin yang pada akhir tahun 1998 diperkirakan mencapai 49,5 juta jiwa atau bertambah sekitar 27 juta jika dibandingkan pada awal tahun 1996. Namun, lebih dari itu dampak lanjutan yang kemudian timbul adalah semakin banyaknya jumlah pekerja anak, baik yang berusia 5-9 tahun atau 10-14 tahun

Untuk anak usia 10-14 tahun, data dari Badan Pusat Statistik diketahui bahwasanya pada bulan Agustus 1998 jumlah pekerja anak sebesar 1.726.640 jiwa dan pada Desember 1998 meningkat lagi menjadi 1.809.935 jiwa. Selain terjadi penambahan jumlah absolut pekerja anak, dua akibat lain yang ditimbulkan oleh situasi krisis ekonomi yang berkepanjangan antara lain menyebabkan anak-anak yang semula dominan sebagai pekerja keluarga, sebagian terpaksa keluar dari keluarganya dan bekerja sebagai buruh. Selanjutnya krisis juga menyebabkan terjadinya penambahan jam kerja bagi pekerja anak


(18)

Pekerja anak menjadi sangat identik dengan proses tumbuh kembang yang tidak sempurna baik secara fisik dan kejiwaan. Anak-anak yang terlanjur menjadi pekerja khususnya yang berada pada sektor yang membahayakan jiwa mereka cenderung memiliki fisik dan psikis yang jauh berbeda dengan anak-anak yang tumbuh dengan keadaan normal dimana hak-hak sebagai anak dipenuhi baik oleh lingkungan sekitarnya. Masalah pekerja anak di Indonesia saat ini masih menghadapi suatu tantangan berat, terutama berkaitan dengan isu pekerja anak baik secara langsung maupun tidak langsung. Faktor yang berkaitan langsung dengan pekerja anak adalah resiko atau bahaya yang timbul di lingkungan kerja, maupun dari jenis pekerjaan yang mereka lakukan. Sementara faktor yang tidak langsung mempengaruhi keberadaan pekerjaan anak adalah sistem maupun kondisi yang melingkupi anak, mulai dari ekonomi, sosial-budaya dan politik.

Secara langsung resiko dan bahaya yang timbul di lingkungan pekerja anak dapat dilihat dari banyaknya kasus-kasus pekerja anak yang akhirnya terbongkar dan menjadi fakta serta konsumsi publik tentang bagaimana kondisi pekerja anak. Pada kasus di Sumatera Utara tentang pekerja anak Jermal ditemukan bahwasanya pekerja anak mengalami kekurangan gizi, kurang tidur karena bekerja lebih dari 12 jam, mengalami kekerasan fisik dan seksual yang dilakukan oleh mandor kepada pekerja anak maupun sebaliknya antara pekerja dewasa terhadap pekerja anak. Sedangkan di Nias sendiri paska tsunami 26 Desember 2004 terutama paska gempa 28 Maret 2005, anak-anak korban tsunami dan gempa di Nias banyak yang terpisah dengan keluarganya, sebagian juga ada yang lari dari rumah karena tidak tahan mengalami tindakan kekerasan yang dilakukan oleh keluarga sendiri. Banyak anak-anak yang menjadi terlantar dan


(19)

menjadi pencari besi-besi tua dan pemecah batu. Banyak dari mereka yang mengalami kekerasan terutama karena bergabung bekerja dengan pekerja dewasa (Tampubolon, 2006 : 23).

Secara tidak langsung, keberadaan pekerja anak disebabkan karena faktor ekonomi, sosial-budaya dan politik. Faktor ekonomi berkaitan dengan situasi perekonomian Indonesia belum memperlihatkan banyak kemajuan sejak krisis moneter pada tahun 1997 menghantam. Biro Pusat Statistik memperkirakan bahwa kurang dari 38 juta dari 213 juta penduduk Indonesia pada saat ini hidup di bawah garis kemiskinan yang ditetapkan pemerintah, dengan penghasilan kurang dari Rp 9.000,- per hari. Penggangguran di Indonesia juga berjumlah paling tidak sama banyaknya dengan perkiraan di atas (Bombings, 2002 dalam Rosenberg 2003:137).

Kemiskinan yang begitu akut dan langkanya kesempatan kerja mendorong jutaan penduduk Indonesia untuk melakukan berbagai cara untuk dapat menghidupi keluarga dan diri mereka sendiri. Kemiskinan membuat seseorang menjadi semakin rentan terhadap eksploitasi dan keputusasaan.

Terkait faktor budaya-sosial Indonesia yang masih memberikan stereotip terhadap anak. Adanya persepsi tentang anak sebagai aset pengumpulan keuntungan dan pembantu penopang kehidupan keluarga membuat anak menjadi rentan terhadap eksploitasi dalam dunia kerja yang pada akhirnya membawa anak ke dalam suramnya masa depan mereka.

Pendidikan menjadi masalah serius terhadap keberadaan pekerja anak. Kualitas pendidikan Indonesia yang masih rendah diikuti dengan tingkat


(20)

huruf di Indonesia. Banyak pekerja anak yang harus putus sekolah untuk bekerja menopang kehidupan ekonomi keluarga. Sekolah-sekolah formal banyak dianggap oleh orang tua tidak menjawab masalah ekonomi keluarga di tengah krisis multidimensi. Pada akhirnya banyak orangtua bukan hanya ketidakmampuannya tetapi lebih mementingkan aspek ekonomi keluarga harus memaksa anaknya untuk keluar dari sekolah dan bekerja untuk menghasilkan uang.

Masalah yang begitu kompleks mengenai keberadaan anak mengundang banyak perhatian mulai dari tingkatan internasional sampai kepada tingkatan pemerintah serta lembaga-lembaga non profit yang memang tertarik untuk mengkaji masalah-masalah anak.

Melihat UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada Bab X Paragraf 2 pasal 69 jelas dikatakan bahwasanya seorang anak dapat dipekerjakan antara umur 13 (tiga belas) tahun sampai 15 (lima belas) tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental dan sosial.

Hal ini sangat bertentangan dengan fenomena yang terjadi saat ini, dimana banyaknya anak-anak yang dipekerjakan di sektor berbahaya bagi perkembangan dan kesehatan fisik, mental dan sosial. Anak-anak berusia kurang dari 13 (tiga belas) tahun banyak yang bekerja di perkebunan, tambang dan pada kasus di Sumatera Utara dipekerjakan di jermal. Jam kerja yang ditetapkan juga sudah menyalahi prosedur peraturan yang telah dibuat yaitu tidak lebih dari 3 (tiga) jam sehari dan mendapat izin tertulis dan perjanjian kerja antara pemilik usaha dengan orangtua/wali anak.


(21)

Selain pemerintah yang menjadi tumpuan dalam penanggulangan keberadaan pekerja anak, lembaga non profit dan juga masyarakat banyak yang memiliki konsentrasi dalam penanggulangan masalah anak terutama pekerja anak. Salah satunya adalah Pusat Kajian dan Perlindungan Anak . Melihat kondisi pekerja anak yang ada di Sumatera Utara khususnya di Pulau Nias, Pusat Kajian dan Perlindungan Anak menawarkan suatu program pendidikan alternatif berupa pendidikan life skill bagi anak-anak di Pulau Nias. Menurut data sensus penduduk Nias dan Nias Selatan pada tahun 2005 yang dikutip dari Badan Pusat Statistik (BPS-Pusat), diketahui bahwa ada 69.171 anak usia 7 -12 tahun di Kabupaten Nias dimana 90,77% masih bersekolah. Persentase jumlah anak-anak yang tidak pernah bersekolah atau tidak mendapatkan akses terhadap pendidikan pada tingkat sekolah dasar relatif kecil yaitu 6% dan jumlah anak putus sekolah sekitar 4% 22.15).

Pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi, partisipasi anak usia 13-15 tahun (SMP) di sekolah adalah 72,29% dan partisipasi anak usia 16-18 tahun (SMA) adalah 44,99%. Walaupun demikian, jumlah ini tidak terlalu buruk untuk Nias jika kita bandingkan antara anak laki-laki dan anak perempuan yang masih bersekolah, tercatat bahwa jumlah anak perempuan usia 13-15 tahun (67,41% banding 76,75%) jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan jumlah anak perempuan usia 16-18 tahun (37,20% banding 52,35%). Kita juga dapat membandingkan persentase antara anak laki-laki dan anak perempuan yang sudah tamat dari tingkat SMP adalah 27,239% untuk anak laki-laki dan 19,605% untuk


(22)

19,910% dan anak perempuan adalah 11,411%. Situasi yang sama juga terjadi di Kabupaten Nias Selatan. Semakin tinggi jenjang pendidikan maka semakin rendah partisipasi sekolah, selain faktor biaya sekolah, juga masalah akses ke sekolah yang relatif jauh dari pedesaan (Tampubolon, 2006 : 16).

Rendahnya partisipasi anak ke sekolah sangat berpengaruh terhadap kehadiran buruh anak disektor publik dan domestik. Tahun 2007 Pusat Kajian dan Perlindungan Anak bekerjasama dengan ILO-Ipec telah melakukan kajian cepat untuk mengetahui bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak di Pulau Nias. Faktanya hampir semua desa memiliki masalah dengan anak drop out dan rendahnya partisipasi anak ke sekolah. Meskipun sulit untuk memperbandingkan data pasti populasi anak dengan angka partisipasi sekolah karena akurasi data statistik BPS dengan data fakta lapangan anak-anak yang drop out dan menjadi buruh anak tidak terdata secara detail.

Ada dua jenis pekerjaan yang banyak dilakukan anak-anak ketika Pusat Kajian dan Perlindungan Anak melakukan penelitian di Pulau Nias, khususnya di Kecamatan Tuhemberua, Sawo, Teluk Dalam, Lahusa dan Kota Gunung Sitoli. Mengumpulkan pasir atau batu serta memecah batu sudah lama menjadi tradisi di Nias. Di Hiliduruwa-kecamatan Sawo, penduduk lokal telah melakukan praktek ini sejak 30 tahun yang lalu. Kemudian, permintaan yang besar terhadap material pasir dan batu untuk re-konstruksi pasca tsunami 2004 dan gempa bumi 2005 telah meningkatkan besaran praktek tersebut secara drastis. Semakin banyak daerah yang dieksploitasi maka semakin banyak pula anak-anak yang terlibat, akibat dari keterlibatan anak-anak bekerja secara eksploitatif telah menghilangkankan kesempatan dan waktu anak untuk bermain dan belajar,


(23)

kondisi kesehatan dan keselamatan jiwa anak juga terancam karena tempat dan kondisi kerja yang berbahaya (Tampubolon, 2006 : 20).

Program pendidikan life skill yang ditangani oleh Pusat Kajian dan Perlindungan Anak diharapkan setidaknya dapat mencegah anak – anak di Pulau Nias untuk kembali bekerja di sektor terburuk bagi anak. Keterampilan meubelier dan tata boga menjadi salah satu pendidikan life skill yang diadakan oleh PKPA. Keberhasilan suatu program pendidikan life skill ini tidak lepas dari proses evaluasi program tersebut terhadap tujuan yaitu mengurangi tingkat pekerja anak di Nias.

Berdasarkan informasi-informasi tersebut, peneliti tertarik untuk mengkaji lebih lanjut dalam bentuk penelitian dan dituangkan dalam bentuk skripsi dengan judul “Evaluasi Pendidikan Life Skill Binaan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak di Desa Madula Kota Gunung Sitoli.”

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka dapat dirumuskan suatu permasalahan yaitu : Bagaimana evaluasi pelaksanaan program pendidikan life skill binaan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak di Desa Madula Kota Gunung Sitoli ?


(24)

1.3 Pembatasan Masalah

Untuk menghindarkan ruang lingkup permasalahan yang terlalu luas, maka penulis perlu membuat pembatasan masalah yang akan diteliti. Pembatasan masalah yang dikemukakan adalah :

1. Evaluasi program terbatas pada keberhasilan tujuan program pendidikan life skill yaitu untuk mengurangi jumlah pekerja anak di sektor terburuk.

2. Objek Penelitian adalah pekerja anak yang mengikuti program pendidikan life skill yang dibina oleh Pusat Kajian dan Perlindungan Anak di Desa Madula Kota Gunung Sitoli.

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1. Tujuan Penelitian

Sejalan dengan perumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keberhasilan tujuan program pendidikan life skill binaan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak di Desa Madula Kota Gunung Sitoli.

1.4.2. Manfaat Penelitian

Temuan yang dihasilkan dari penelitian ini diharapkan memiliki kegunaan sebagai berikut :

1) Memberikan kontribusi keilmuan, konsep dan model penanganan yang dilakukan oleh lembaga non profit terhadap pekerja anak.

2) Sebagai referensi terhadap dalam memahami masalah anak di Pulau Nias terutama menyangkut masalah pekerja anak Nias.


(25)

1.5 Sistematika Penulisan

Penulisan penelitian ini disajikan dalam enam bab dengan sistematika sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Berisi latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisikan uraian dan teori-teori yang berkaitan dengan masalah dan objek yang akan diteliti, kerangka pemikiran, definisi konsep dan definisi operasional.

BAB III : METODE PENELITIAN

Berisikan tentang tipe penelitian, lokasi penelitian, sumber informasi data (informan), teknik pengumpulan data serta teknik analisis data.

BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Bab ini berisi tentang gambaran umum mengenai lokasi penelitian.

BAB V : ANALISIS DATA

Bab ini berisi tentang uraian data yang diperoleh dalam penelitian serta analisisnya.

BAB VI : PENUTUP

Berisikan kesimpulan dan saran atas penelitian yang telah dilakukan.


(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Evaluasi

Baik tidaknya suatu program dapat dinilai dari proses evaluasi yang dilakukan. Evaluasi sangat dibutuhkan untuk melihat sejauh apa perkembangan dan capaian daripada suatu program yang telah ditetapkan dan dilaksanakan. Evaluasi sangat berkaitan dengan suatu proses perencanaan. Keduanya saling memiliki kaitan timbal balik

Sama halnya dengan perencanaan, evaluasi juga adalah salah satu fungsi dalam siklus manajemen, khususnya manajemen proyek. Evaluasi adalah suatu usaha untuk mengukur dan memberi nilai secara objektif pencapaian hasil-hasil yang telah direncanakan sebelumnya. Hasil-hasil evaluasi dimaksudkan menjadi umpan balik untuk perencanaan kembali (Sirait, 1990 : 29).

Evaluasi sebagai salah satu fungsi manajemen berurusan dan berusaha untuk mempertanyakan efektifitas dan efisiensi pelaksanaan dari suatu rencana sekaligus mengukur seobjektif mungkin hasil-hasil pelaksanaan tersebut dengan ukuran-ukuran yang dapat diterima pihak-pihak yang mendukung maupun yang tidak mendukung suatu rencana (Sirait, 1990 : 36 ).

Keberhasilan rencana kegiatan, rencana program dan rencana proyek hanya dapat dibuktikan dengan evaluasi. Dengan demikian evaluasi harus dikembangkan secara melembaga dan membudaya agar pelaksanaan kegiatan, program dan proyek pembangunan dapat lebih berhasil, bermanfaat dan berdayaguna. Bila evaluasi tidak ada dalam siklus manajemen proyek,


(27)

kecenderungan untuk tidak berhasil akan semakin besar dan pengalaman-pengalaman tidak terlalu bermanfaat untuk tujuan perbaikan dan penyempurnaan suatu perencanaan kembali (Sirait, 1990 : 30-31)

Secara eksplisit, pengertian evaluasi sering digunakan untuk menunjukan tahap-tahap di dalam siklus pengelolaan proyek, yang secara umum dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu :

1. Evaluasi Pada Tahap Perencanaan

Evaluasi pada tahap perencanaan dilakukan dalam rangka mencoba memilih dan menentukan skala prioritas terhadap berbagai alternatif dan kemungkinan terhadap cara mencapai tujuan yang telah dirumuskan sebelumnya

2. Evaluasi Pada Tahap Pelaksanaan

Evaluasi pada tahap ini lebih kepada bagaimana suatu kegiatan melakukan analisa untuk menentukan tingkat kemajuan pelaksanaan dibanding dengan rencana. Hal ini berbeda dengan monitoring dimana hal yang dilihat dalam proses monitoring adalah melihat pelaksanaan suatu program sudah sesuai dengan rencana dan bahwa rencana tersebut sudah tepat untuk mencapai tujuan. Sedangkan evaluasi dalam tahap ini lebih melihat kepada sejauh mana program masih tetap dalam mencapai tujuannya.

3. Evaluasi Pada Tahap Purna Pelaksanaan

Pada tahap ini evaluasi lebih diberatkan kepada hasil pelaksanaan yakni apakah dampak yang dihasilkan oleh pelaksanaan kegiatan tersebut sesuai dengan tujuan yang dicapai (Soumelis, 1977 : 22 dalam Sirait, 1990 : 32).


(28)

2.1.1. Proses Evaluasi

Dalam proses suatu program, pada hakekatnya selalu dimulai dari suatu rencana, bertitik tolak darisitu maka proses evaluasi atau pelaksanaan evaluasi terhadap suatu program tentu saja harus didasarkan atas rencana evaluasi program tersebut. Namun dalam praktek sering sekali suatu evaluasi terhadap suatu program tidak direncanakan. Hal ini tidak saja menimbulkan ketidakjelasan fungsi evaluasi, institusi, personal yang sebaiknya melakukan evaluasi dan biaya untuk evaluasi.

Dalam melakukan proses evaluasi ada beberapa etik birokrasi yang perlu diperhatikan oleh pihak-pihak yang erat hubungannya dengan tugas-tugas evaluasi antara lain :

1. Semua tugas/tanggung jawab pemberi tugas/yang menerima tugas harus jelas. 2. Pengertian dan konotasi yang sering tersirat dalam evaluasi yaitu mencari

kesalahan harus dihindari.

3. Pengertian evaluasi adalah untuk memperbandingkan rencana dengan pelaksanaan dengan melakukan pengukuran-pengukuran kuantitatif/kualitatif totalitas program secara teknik, maka dari itu hendaknya ukuran-ukuran kualitas dan kuantitas tentang apa yang dimaksud dengan berhasil telah dicantumkan sebelumnya dalam rencana program secara eksplisit.

4. Tim yang melakukan evaluasi adalah pemberi saran/nasehat kepada manajemen, sedangkan pendayagunaan saran/nasehat tersebut serta pembuat keputusan atas dasar saran/nasehat tersebut berada di tangan manajemen program.


(29)

5. Dalam proses pengambilan keputusan yang telah dilakukan atas data-data/penemuan teknis perlu dikonsultasikan secermat mungkin karena menyangkut banyak hal tentang masa depan proyek dalam kaitannya dengan program

6. Hendaknya hubungan dan proses selalu didasari oleh suasana konsturuktif dan objektif serta menghindari analisa-analisa subjektif. Dengan demikian, evaluasi dapat diterapkan sebagai salah satu program yang sangat penting dalam siklus manajemen program (Sirait, 1990 : 161).

2.1.1 Tolak Ukur Evaluasi Program

Seperti yang dikatakan di atas tadi bahwasanya suatu program dapat di evaluasi apabila ada tolak ukur yang nantinya dijadikan penilaian suatu program. Berhasil atau tidaknya program berdasarkan tujuan yang dibuat sebelumnya harus memiliki tolak ukur, dimana tolak ukur ini nantinya yang harus dicapai dengan baik oleh sumber daya yang mengelolanya.

Adapun yang menjadi tolak ukur dalam evaluasi suatu program adalah : 1. Ketersediaan sarana untuk mencapai tujuan tersebut

2. Apakah hasil proyek sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai

3. Apakah sarana atau kegiatan yang dibuat benar-benar dapat dicapai atau dimanfaatkan oleh orang-orang yang benar-benar membutuhkannya

4. Apakah sarana yang disediakan benar-benar dilakukan untuk tujuan semula 5. Berapa persen jumlah atau luas sasaran sebenarnya yang dapat dijangkau oleh


(30)

6. Bagaimana mutu pekerjaan atau sarana yang dihasilkan oleh program (kualitas hidup, kualitas barang)

7. Berapa banyak sumberdaya (tenaga,dana, barang) yang sudah digunakan (diinvestasikan) untuk mencapai tujuan tersebut

8. Apakah sumber daya dan kegiatan yang dilakukan benar-benar dimanfaatkan secara maksimal

9. Apakah kegiatan yang dilakukan benar-benar memberikan masukan terhadap perubahan yang diinginkan (Suwito, 2002 : 16).

2.2. Pendidikan

Untuk memahami pendidikan, ada dua istilah yang dapat mengarahkan pada pemahaman hakikat pendidikan, yakni paedagogie dan paedagogiek. Paedagogie bermakna pendidikan, sedangkan paedagogiek berarti ilmu pendidikan (Purwanto, 1995 : 3 dalam Sukardjo 2009 : 7).

Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila pedagogik atau ilmu mendidik adalah ilmu atau teori yang sistematis tentang pendidikan yang sebenarnya bagi anak atau untuk anak sampai ia mencapai kedewasaan (Rasyidin, 2007 : 34 dalam Sukardjo 2009 : 7).

Secara estimologik, perkataan paedagogie berasal dari bahasa Yunani, yaitu paedagogia yang berarti pergaulan dengan anak. Paedagagos adalah hamba atau orang yang pekerjaannya menghantar dan mengambil budak-budak pulang pergi atau antar jemput anak sekolah. Perkataan ‘paida’ merujuk kepada kanak-kanak, yang menjadi sebab mengapa sebagian orang cenderung membedakan


(31)

antara pedagogi (mengajar anak-anak) dengan andragogi (mengajar orang dewasa) (Sukardjo, 2009 : 7-8).

Adapun perkembangan ilmu pedagogi baik praktis maupun teoritis, di Indonesia dimulai oleh Ki Hajar Dewantara (Suryaningrat 1889-1959) dan kawan-kawan paska pembuangan ke Eropa (1913/1914) yang memperkenalkannya dengan tokoh progresivisme pendidikan dan pengajaran, seperti Jan Ligthart dan Maria Montessori. Pada gilirannya, rintisan Taman Siswa (1922) gerakan kebangsaan atau kemerdekaan RI serta perkembangan ilmu mendidik di Nedherland membantu penyebaran ilmu pedagogik (Sukardjo, 2009 : 8).

Menurut Taksonomi Bloom, pengajaran terbagi atas tiga bidang : (1) bidang kognitif, yakni yang berkenaan dengan aktivitas mental, seperti ingatan pemahaman, penerapan, analisis, evaluasi, dan mencipta; (2) bidang afektif, yakni yang berkenaan dengan sikap dan rahasia diri; dan (3) bidang psikomotor yang berkenaan dengan aktivitas fisik seperti keterampilan hidup dan pertukangan (Sukardjo, 2009 : 8)

Pendidikan dimulai di keluarga atas anak yang belum mandiri, kemandirian diperluas di lingkungan tetangga atau komunitas sekitar (milieu), lembaga prasekolah, persekolahan formal dan lain-lain tempat anak-anak mulai dari kelompok kecil seperti rombongan relatif besar (lingkup makro) dengan pendidikan dimulai dari guru rombongan/kelas yang mendidik secara mikro dan menjadi pengganti orang tua (Rasyidin, 2007 : 36 dalam Sukardjo, 2009 : 9).


(32)

untuk meningkatkan kehidupan agar lebih bermakna dan bernilai. Gejala pendidikan timbul ketika sekumpulan orang ingin memenuhi kebutuhan makna (meaning) yang lebih tinggi atau abstrak seperti pengetahuan, nilai keadilan, kemakmuran, keterampilan agar terbebas dari kondisi kekurangan seperti kemiskinan, penyakit, atau kurangnya kemampuan berinteraksi dengan alam sekitar (Sukardjo, 2009 : 9).

2.2.1. Tujuan Pendidikan

Tujuan pendidikan merupakan sesuatu yang penting, mengingat perjalanan setiap institusi yang memiliki visi yang jelas selalu dimulai dari tujuan (start from the end). Demikian pula pendidikan yang kini menjadi harapan mengarahkan pada kehidupan yang lebih baik hendaknya selalu berangkat dari tujuan yang akan dicapai. Apabila tujuan yang akan dicapai sudah jelas, maka langkah selanjutnya adalah dengan memikirkan perangkat-perangkat lain yang mendukung pencapaian tujuan secara efektif dan efisien.

Plato menyatakan bahwa tujuan pendidikan sesungguhnya adalah penyadaran terhadap self knowing dan self realization kemudian inquiry dan reasoning and logic. Jadi, di sini jelas bahwa tujuan pendidikan memberikan penyadaran terhadap apa yang diketahuinya, kemudian pengetahuan tersebut harus direalisasikan sendiri dan selanjutnya mengadakan penelitian serta mengetahui hubungan kausal, yaitu alasan dan alur pikirnya (Sukardjo, 2009 : 13-14).

Menurut Kirschenbaum, ada dua yang menjadi tujuan daripada pendidikan. Pertama, menolong generasi muda agar dapat menikmati kehidupan


(33)

pribadi yang lebih menyenangkan, yakni yang memiliki nilai dan memuaskan. Yang dimaksudkan bukanlah membuat generasi muda harus selalu merasa senang, tetapi yang dapat mencapai keberhasilan pada tingkatan yang masuk akal dalam berbagai bidang kehidupan. Kedua, menolong generasi muda hidup dalam kehidupan sosial yang lebih konstruktif yang dapat memberikan kontribusi pada pembentukan komunitas yang baik, yang hidup berdasarkan rasa sayang dan penuh perhatian terhadap sesama anggota masyarakat dan makhluk Tuhan yang lain, dan yang tidak memaksakan kehendak kepada orang lain. Agar dapat menciptakan masyarakat yang konstruktif, seseorang harus bertindak dengan menghargai hak hidup, kemerdekaan, dan kebahagiaan tidak hanya bagi diri sendiri, tetapi juga bagi semua orang.

Melihat kepada pendidikan nasional Indonesia, yang menjadi tujuan pendidikan nasional Indonesia terdapat dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 dimana dikatakan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab. Selanjutnya untuk lebih mudahnya pencapaian tujuan dari setiap unit kependidikan dari tujuan pendidikan nasional, maka terdapat pula tujuan pendidikan institusional. Semua tujuan pendidikan institusional tersebut mengacu kepada tujuan pendidikan nasional yang dituangkan dalam kurikulum masing-masing jenjang pendidikan (Sukardjo, 2009 : 14-15).


(34)

2.2.2. Pendidikan Life Skill

Pendidikan life skill atau juga sering juga disebut dengan pendidikan kecakapan hidup menjadi sangat populer ketika tingkat pengangguran khususnya di Indonesia tinggi. Pendidikan kecakapan hidup dipercaya menjadi salah satu sarana yang dapat menjawab dan mengatasi masalah pengangguran yang semakin tinggi sejak krisis ekonomi 1997.

Kata cakap memiliki beberapa arti. Pertama dapat diartikan sebagai pandai atau mahir, kedua sebagai sanggup, dapat atau mampu melakukan sesuatu, dan ketiga sebagai mempunyai kemampuan dan kepandaian untuk mengerjakan sesuatu. Jadi kata kecakapan berarti suatu kepandaian, kemahiran, kesanggupan atau kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk menyelesaikan sesuatu. Oleh karena itu kecakapan untuk hidup (life skill) dapat didefinisikan sebagai suatu kepandaian, kemahiran, kesanggupan atau kemampuan yang ada pada diri seseorang untuk menempuh perjalanan hidup atau untuk menjalani kehidupan, mulai dari masa kanak-kanak sampai dengan akhir hayatnya. Kecakapan hidup (life skill) adalah kemampuan dan keberanian untuk menghadapi problema kehidupan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari dan menemukan solusi untuk menyelesaikanny diakses tanggal 5 Oktober 2009 pukul 18.00).

Pengertian kecakapan hidup lebih luas dari keterampilan vokasional atau keterampilan untuk bekerja. Orang yang tidak bekerja seperti ibu rumah tangga harus memiliki kecakapan hidup. Sama halnya dengan orang yang telah bekerja dimana mereka membutuhkan kecakapan hidup untuk dapat menyelesaikan masalahnya.


(35)

Potensi untuk dapat mengembangkan kecakapan untuk hidup ini telah ada pada setiap orang sejak ia dilahirkan. Waktu yang diperlukan untuk mengembangkan potensi pada manusia relatif lebih lama dan pada waktu yang diperlukan oleh binatang, karena pada binatang lebih didominasi oleh naluri biologis. Sedangkan pada manusia di samping pengembangan naluri biologis masih diperlukan waktu persiapan yang lebih panjang untuk mengembangkan daya fisik, daya pikir, daya emosi dan daya spiritual yang terpadu menjadi daya kalbu (www.pakguruonline.pendidikan.net/life_skill_1.html/ 4 Oktober 2009)

Kemampuan kecakapan untuk menjalani kehidupan ini pada awalnya berkembang secara alamiah melalui pendidikan informal pada keluarga dan masyarakat. Kemudian secara formal upaya untuk mengembangkan dan memperkuat potensi yang telah ada ini dirancang dengan sistematis ke dalam suatu kurikulum untuk diberikan kepada anak didik melalui pendidikan di sekolah dengan alokasi waktu jam pelajaran tertentu pada setiap minggu, mulai dari Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, Sekolah Menengah, sampai dengan Perguruan Tinggi. Berdasarkan hasil pendidikan informal yang diterima, hasil pengalaman yang diperoleh dan hasil pendidikan formal yang pernah diikuti dengan benar, selama menempuh perjalanan hidup seseorang temyata, bahwa kemampuan kecakapan untuk hidup ini dapat berkembang terus menjadi semakin kuat dan meningkat dalam kearifannya untuk mengarungi samudera kehidupan

pukul 18.00).


(36)

Kemajuan ini masih dapat diupayakan untuk meningkat lagi dan akan menampakkan wujudnya dengan sesuatu yang disebut dengan mutu. Dan pengalaman-pengalaman baru yang diperoleh dalam memecahkan berbagai masalah selama mengarungi kehidupan ini akan dapat menempa dan memperkuat kemampuan itu sehingga menjadi suatu mutu kehidupan untuk menghadapi berbagai persoalan kehidupan yang lebih sulit dan semakin rumit. Mutu kehidupan itu pun masih dapat ditingkatkan lagi sampai ke puncaknya. Tingkat kemampuan kecakapan untuk hidup yang tertinggi adalah apabila dalam menempuh perjalanan hidup itu sendiri selalu dilandasi dengan rasa kasih sayang yang tulus kepada sesama.

Kecakapan hidup dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu :

1. Kecapakapan yang bersifat generik (generic life skill), yang mencakup kecakapan personal dan kecakapan sosial. Kecakapan personal meliputi kecakapan diri (self awarness) dan kecakapan berpikir (thinking skill) sedangkan kecakapan sosial mencakup kecakapan berkomunikasi (communication skill) dan kecakapan bekerjasama (collaboration skill).

2. Kecakapan hidup spesifik, yaitu kecakapan untuk menghadapi pekerjaan atau keadaan tertentu, yang mencakup kecakapan akademik atau kecakapan intelektual dan kecakapan vokasional. Kecakapan akademik terkait dengan bidang pekerjaan yang lebih memerlukan pemikiran, sehingga mencakup kecakapan mengidentifikasi variabel dan hubungan antara satu dengan lainnya (identifying variables and describing relationship among them) , kecakapan merumuskan hipotesis (constructing hypotheses), dan kecakapan merancang dan melaksanakan penelitian (designing and implementing a research).


(37)

Kecakapan vokasional terkait dengan bidang pekerjaan yang lebih memerlukan keterampilan motorik. Kecakapan vokasional mencakup kecakapan vokasional dasar (basic vocational skill) dan kecakapan vokasional khusus (occupational skill)

diakses tanggal 5

Oktober 2009 pukul 18.00).

2.2.3. Pendidikan Alternatif bagi Pekerja Anak

Pendidikan merupakan hak anak, termasuk pekerja anak yang diperlukan bagi proses tumbuh kembang. Anak-anak yang terpaksa bekerja sedikit banyak berpengaruh terhadap kegiatan belajar mereka di sekolah. Karena kesibukan dan kelelahan dalam bekerja berakibat pada prestasi pendidikan dan aktivitas sekolah. Di sisi lain, sekolah memberikan alternatif yang rekreatif-edukatif sehingga dapat mencegah anak bekerja (Hastadewi, 2004 : 108-109).

Pendidikan alternatif yang menarik dan dapat diandalkan bagi siswa yang rawan putus sekolah atau putus sekolah akibat kesibukan kerja yang terpaksa dilakukan demi menambah ekonomi keluarga. Pendidikan alternatif terpaksa dipilih jika anak-anak tidak lagi mengikuti pendidikan formal.

Ada beberapa alasan mengapa pendidikan alternatif bagi pekerja anak sangat penting yaitu:

1. Pekerja anak umumnya mengalami masalah dalam hal pendidikannya karena keterbatasan biaya. Pendidikan alternatif menyediakan kemungkinan yang lebib besar kepada pekerja anak untuk tetap dapat menempuh pendidikan


(38)

2. Karena keterbatasan biaya, umumnya pekerja anak tidak memiliki alternatif lain untuk memilih pendidikan yang fasilitasnya layak dan mampu menyediakan sarana untuk mengembangkan kemampuan dan bakat yang dimilikinya. Pendidikan alternatif diharapkan dapat memungkinkan anak-anak mendapatkan layanan dan fasilitas yang memadai bagi perkembangannya. Disamping itu, pendidikan alternatif juga diharapkan dapat memenuhi kebutuhan anak untuk memperoleh pendidikan keterampilan yang bermanfaat baginya untuk terjun ke dunia kerja selepas sekolah

3. Pendidikan alternatif biasanya menyediakan kesempatan bagi anak-anak untuk belajar di sela-sela waktu kerja dan memperoleh kesempatan untuk mengikuti ujian setara dengan sekolah formal lainnya. Penyediaan kesempatan untuk mengikuti ujian setara ini sangat diperlukan karena hal ini akan membuka peluang bagi anak untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dan melakukan mobilitas sosial secara vertikal untuk meningkatkan kualitas kehidupannya (Hastadewi, 2004 : 107).

2.3 Kemitraan Dalam Pembinaan

Menjalin suatu pembinaan yang dilakukan oleh suatu instansi, organisasi maupun lembaga diperlukan suatu kemitraan yang positif. Keluaran dari kemitraan yang positif ini adalah terjadinya keselarasan dan kenyamanan terhadap pembinaan suatu kegiatan.

Seperti halnya Pusat Kajian dan Perlindungan Anak Nias yang melakukan pembinaan terhadap anak-anak didiknya, melakukan kemitraan dengan berbagai


(39)

instansi. PKPA melalui Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat mencoba melakukan mitra dengan PKBM Madula dan Dinas Pendidikan bidang Pendidikan Luar Sekolah. Kemitraan yang dijalin antar PKPA Nias dengan dua instansi tersebut tidak hanya bersifat formal berupa penandatangan surat perjanjian atau yang serupa dengan itu, tetapi yang secara alamiah dan berkesinambungan adalah dapat menyatukan langkah dalam mendidik anak-anak didik. Penciptaan suasana yang kondusif bagi pendidikan nilai dan spiritualitas, baik di sekolah maupun di rumah, tampaknya merupakan salah satu bentuk kemitraan yang perlu dikembangkan.

Suasanan kehidupan di pusat pembinaan dan di rumah mempengaruhi perkembangan kepribadian anak, karena hal ini merupakan wahana penyemaian nilai-nilai yang akan dijadikan acuan oleh anak dalam setiap tindakannya. Apabila anak-anak merasa tentram ketika berada di sekolah dan demikian jika tinggal di rumah, mereka diharapkan memiliki dorongan yang kuat untuk melaksanakan tugas sekolah dan tugas rumah dengan sebaik-baiknya (Zuchdi, 2008 : 134).

Schmuck dan Schmuck (1983 : 30) dalam Zuchdi (2008 : 134-135) menganjurkan dikembangkannya suasana kelas yang positif, yang memiliki karakteristik sebagai berikut :

1. Murid-murid menginginkan hasil yang terbaik sesuai dengan kemampuan masing-masing dan saling memberikan dukungan.

2. Murid-murid saling memberikan pengaruh positif.

3. Kegembiraan muncul di sekolah secara umum dan di kelas secara khusus. 4. Peraturan sekolah diikuti secara tertib tanpa paksaan, sehingga tugas-tugas


(40)

5. Komunikasi antar warga sekolah bersifat terbuka dan diwarnai dengan dialog secara akrab.

6. Proses bekerja dan berkembang bersama sebagai suatu kelompok dipandang cocok untuk belajar.

Suasana kehidupan dalam lingkungan keluarga seharusnya juga dikembangkan selaras dengan suasana tempat pembinaan. Komunikasi antar anggota keluarga hendaknya bersikap terbuka dan dilandasi tasa kasih sayang yang tulus. Dorongan untuk mencapai yang terbaik sesuai dengan kemampuan masing-masing senantiasa diberikan oleh orang tua, dan kesempatan bekerja sama secara ikhlas perlu dijadikan kebiasaan dalam keluarga, bahkan juga dalam masyarakat. Dengan demikian, anak-anak akan menggunakan acuan nilai yang tidak kontradiktif ketika berada di tempat pembinaan dan ketika tinggal di rumah, di lingkungan keluarga masing-masing (Zuchdi, 2008 : 135).

Nilai-nilai positif yang hendak dikembangkan di sekolah, yang diprogramkan untuk dikembangkan di lingkungan keluarga, hendaknya merupakan hasil diskusi pihak sekolah dan perwakilan orang tua murid. Caranya tidak harus lewat pertemuan tatap muka, tetapi dapat pula lewat brosur-brosur sehingga dapat dibacakan oleh anak kepada orang tuanya masing-masing. Komunikasi tertulis ini sedapat mungkin dikembangkan, agar pihak sekolah dan keluarga dapat secara mudah saling mengingatkan apabila terjadi penyimpangan dari keputusan yang telah dibuat bersama (Zuchdi, 2008 : 135).


(41)

Ada lima faktor yang mendukung pengembangan suasana positif di lokasi pembinaan (juga di dalam keluarga) yaitu (Schmuck dan Schmuck dalam Suyanto, 2008:136):

1. Partisipasi

Apabila hampir semua pembicaraan dan informasi datang dari tempat pembinaan dan orang tua, sehingga anak-anak didik jarang berbagi (sharing) gagasan, mereka tidak akan memperoleh kesempatan untuk mengembangakan keterampilan sosial atau keterampilan mengadakan hubungan antar pribadi. Mereka juga tidak memperoleh kesempatan untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan tentang kegiatan sekolah atau di rumah. Akibatnya, mereka tidak akan dapat melaksanakan tugas yang memerlukan perencanaan, kerja sama, dan kesalingketergantungan (interdepedensi). Para guru atau orang tua yang ingin mengembangkan suasana positif di sekolah atau di lingkungan keluarga harus memberikan dorongan kepada anak-anak untuk mengungkapkan gagasan dan perasaan mereka sendiri, membuat keputusan sendiri dan berpatisipasi dalam menentukan tujuan belajar serta prosedur pencapaiannya.

2. Kepemimpinan

Menurut Schmuck dan Schmuck (1983) adalah suatu proses mempengaruhi orang lain. Dalam hal ini, kepemimpinan dipandang sebagai perilaku, ada yang menyenangkan, ada yang tidak menyenangkan, untuk menolong suatu kelompok mencapai suatu tujuan. Kepemimpinan yang menyenangkan terdiri dari tindakan-tindakan yang membantu dalam penentuan tujuan,


(42)

meningkatkan kualitas interaksi individu, dan menumbuhkan kekohesifan kelompok sehingga dapat mengembangkan kompetensi individu

3. Persahabatan

Kelompok anak-anak harus dikelola sedemikian rupa sehingga mereka cenderung berperilaku yang konstruktif dan produktif. Apabila suatu sekolah atau keluaga penuh dengan kegelisahan, kekerasan, dan keraguraguan, anak-anak akan diperilaku tidak konstruktif dan tidak produktif. Suasana yang kondusif untuk mengembangkan kreativitas dan produktivitas adalah yang diwarnai dengan persahabatan, bukan kedengkian.

4. Norma

Norma mempengaruhi keterlibatan anak dalam suatu pekerjaan dan berdampak pada kualitas hubungan antarpribadi. Aturan sekolah dan keluarga hendaknya fleksibel karena banyak perbedaan antara anak yang satu dengan yang lainnya. Suasanan kelas yang sportif, demikian juga suasana keluarga menyebabkan timbulnya perilaku toleran terhadap adanya perbedaan individu. 5. Kekohesifan

Kesenangan anggota kelompok untuk tetap berada dalam kelompoknya. Kekohesifan sekolah atau keluarga berkenaan dengan perasaan anak terhadap seluruh teman sekolahnya dan semua warga belajar atau semua anggota keluarga. Anggota keluarga yang kohesif biasanya lebih loyal terhadap kelompoknya dan lebih memerhatikan perasaan anggota kelompok, dalam hal ini perasaan guru dan teman-temannya di sekolah atau perasaan semua anggota keluarganya di rumah.


(43)

2.4 Kesejahteraan Sosial

Kesejahteraan sosial adalah sistem yang terorganisir dari pelayanan-pelayanan sosial dan lembaga-lembaga yang bertujuan untuk membantu individu dan kelompok untuk mencapai standar hidup dan kesehatan yang memuaskan dan relasi-relasi pribadi dan sosial yang memungkinkan mereka mengembangkan kesejahteraannya selaras dengan kebutuhan keluarga dan masyarakatnya (Friedlander, 1961 : 1 dalam Muhidin, 1992 : 1).

Ada dua buah konsep kesejahteraan sosial berdasarkan Harold L. Wilensky dan Charles N Lebeaux (1965) yaitu :

1. Konsep residual

Menurut konsep residual, lembaga-lembaga kesejahteraan sosial lainnya akan memainkan perannya apabila struktur masyarakat yang normal yang biasanya memberikan pelayanan sosial seperti keluarga dan pasar mengalami disfungsi 2. Konsep institusional

Konsep institusional menyatakan bahwa kesejahteraan sosial dan lembaga-lembaganya menurut fungsi pokok dari masyarakat untuk memberikan pelayanan-pelayanan sosial (Muhidin, 1992 : 1).

2.4.1. Tujuan Pekerjaan Sosial

Pekerjaan sosial berusaha untuk membantu individu, kelompok dan masyarakt untuk mencapai tingkat kesejahteraan sosial, mental dan psikis yang setinggi-tingginya. Metode yang digunakan oleh pekerja sosial untuk mencapai tujuan tersebut tidak sama dengan profesi lainnya, dimana pekerjaan sosial


(44)

mempertimbangkan baik faktor ekonomi, sosial dan psikologis yang mempengaruhi kehidupan individu, kelompok/keluarga dan masyarakat.

Di dalam pendekatannya untuk memecahkan masalah penyesuaian sosial, pekerja sosial tidak dapat mengabaikan setiap aspek kehidupan manusia dan kehidupan sosial di dalam masyarakat dimana pekerja sosial bekerja. Jadi pendekatan pekerjaan sosial tidak hanya ditujukan kepada individu atau kelompok/keluarga dan kondisi sosial, tetapi juga tertuju kepada masalah interaksi yang dinamis antara manusia dan lingkungannya. Tujuan pekerjaan sosial adalah mencapai kesejahteraan individu dan masyarakat secara keseluruhan. Pekerjaan sosial berusaha menolong individu, kelompok dan masyarakat agar mereka memahami secara tepat kondisi atau kenyataan yang mereka hadapi dan mencoba meningkatkan kemampuan mereka untuk mengatasi permasalahan tersebut (Muhidin, 1992 : 9).

2.4.2. Metode Pekerjaan Sosial

Pekerjaan sosial memiliki tiga metode pokok yaitu : 1. Bimbingan Sosial Perseorangan (Social Case Work).

Faktor yang penting dalam melaksanakan bimbingan sosial perseorangan adalah keahlian dan keterampilan dalam relasi sosial. Bentuk relasinya sering disebut sebagai one to one relationship atau face to face relationship yaitu relasi yang dilakukan langsung oleh pekerja sosial terhadap klien yang mengalami masalah. Tujuan relasi tersebut adalah membantu klien tersebut untuk mencapai tingkatan hidup yang lebih sejahtera dan memuaskan di dalam masyarakat dan di dalam situasi sosial dimana saja berada.


(45)

2. Bimbingan Sosial Kelompok (Social Group Work).

Bimbingan sosial kelompok merupakan salah satu metode pekerjaan sosial yang berbeda untuk menolong individu dalam kelompok untuk mencapai relasi sosial yang memuaskan. Bimbingan sosial kelompok memerlukan cara-cara kerjasama yang terintegrasi di antara individu dalam kelompok untuk merumuskan tujuan bersama dengan dibantu oleh pekerja.

3. Bimbingan Sosial Masyarakat (Community Organization).

Bimbingan sosial masyarakat untuk kesejahteraan sosial adalah suatu usaha untuk melaksanakan dan mempertahankan penyesuaian timbal balik yang efektif antara sumber-sumber kesejahteraan sosial dan kebutuhan-kebutuhan kesejahteraan sosial. Proses pengorganisasian suatu masyarakat dapat merupakan bagian dari pekerjaan sosial, tapi dapat juga merupakan kegiatan di luar pekerjaan sosial, misalnya kegiatan yang dilaksanakan oleh para politisi dalam pengorganisasian pembangunan masyarakat (Muhidin, 1992 : 10-12).

2.5 Anak

Anak diharapkan menjadi penerus bangsa yang memiliki peran strategis penting dan mempunyai cirri dan sifat khusus yang diharapkan dapat menjamin eksistensi bangsa dan negara di masa yang akan datang. Oleh karena itu, anak perlu mendapatkan kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara fisik, mental, maupun secara sosial. Fakta yang terdapat mengenai keberadaan anak sekarang adalah masih banyaknya anak yang mengalami


(46)

banyak anak yang terlantar dan belum mendapatkan pendidikan yang layak serta memadai.

Berdasarkan Pasal 1 Undang Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan yang disebut anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih berada dalam kandungan. Lahirnya Undang Undang tentang Perlindungan Anak ini merupakan salah satu upaya pemerintah Indonesia dalam merativikasi Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) dimana dikatakan bahwa anak berarti setiap manusia yang berusia di bawah delapan belas tahun, kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku untuk anak-anak, kedewasaannya telah dicapai lebih cepat.

2.5.1. Hak-Hak Anak

Berdasarkan Undang Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan hak-hak anak sebagai berikut :

1. Hak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

2. Hak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan.

3. Hak untuk beribadah menurut agamanya, berfikir dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua.

4. Hak mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.


(47)

5. Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar, maka anak tersebut diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

6. Hak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.

7. Hak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan bakatnya.

8. Hak memperoleh pendidikan luar biasa bagi anak yang menyandang cacat dan hak mendapatkan pendidikan khusus bagi anak yang memiliki keunggulan. 9. Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima,

mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.

10. Hak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berkreasi sesuai dengan inat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.

11. Hak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial bagi anak yang menyandang cacat.

2.5.2. Pekerja Anak

Pekerja anak merupakan salah satu fenomena tentang keberadaan anak. Perkembangan isu pekerja anak di Indonesia dirunut sejak dikeluarkannya


(48)

awal perhatian pemerintah Indonesia terhadap masalah anak. Tahun 1990, pemerintah Indonesia merativikasi Konvensi Hak Anak oleh PBB tahun 1989. Langkah pemerintah tersebut dinilai sebagai tanda perhatian terhadap isu buruh anak, dan sejak itu mulai mengalir berbagai program dari berbagai pihak, termasuk lembaga internasional, untuk kepentingan perhatian buruh anak. Sebagian besar dari bantuan-bantuan maupun program tersebut disalurkan melalui LSM, yang memiliki jangkauan lebih luas dan kedekatan dengan pekerja anak.

Pemerintah Indonesia juga mulai menunjukan komitmennya terhadap masalah pekerja anak, yang diwujudkan melalui serangkaian program aksi, penelitian dan advokasi secara terus menerus. Upaya tersebut kemudian juga dikaitkan dengan Undang-Undang Wajib Belajar tahun 1997, yang menjadi salah satu jalan untuk dapat mencegah anak bekerja. Berkembangnya isu pekerja anak di Indonesia kemudian menyentuh aspek substansial dari pekerja anak, yakni tentang usia. Pembahasan mengenai batasan usia minimum anak diperbolehkan bekerja dituangkan dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan

Gambaran yang berbeda tentang pekerja anak kadang-kadang terkait dengan apakah sebuah pekerjaan tertentu yang dilakukan oleh seorang anak dapat membahayakan perkembangan fisik, mental dan moral mereka. Istilah-istilah situasi pekerjaan yang berbahaya dan pekerja anak eksploitatif kemudian menjadi wacana.

Dalam diskusi berorientasi kebijakan tentang pekerja anak sebelumnya dicantumkan bahwa semua pekerjaan yang dilakukan anak-anak adalah


(49)

membahayakan. Menjelang pertengahan tahun 1990-an, secara umum lebih dipahami bahwa sebagian pekerjaan menguntungkan anak-anak karena pekerjaan tersebut memungkinkan mereka untuk mendapatkan pengalaman, pengetahuan dan keterampilan yang mereka butuhkan untuk bertahan hidup ketika mereka dewasa kelak.

Oleh karena itu, pekerjaan ringan yang dapat dilakukan anak sepulang setelah mereka pulang sekolah, magang, pekerjaan untuk anak-anak di kebun orang tuanya atau pekerjaan lain yang tidak dimaksudkan untuk mencari uang tidak dikelompokan sebagai pekerja anak. Pekerja anak mengacu pada pekerjaan yang mengganggu pendidikan anak atau pekerjaan yang mengarahkan anak-anak pada situasi-situasi yang berbahaya bagi perkembangan fisik dan mental mereka.

Sebagai sebuah negara yang telah meratifikasi konvensi tersebut, pemerintah Indonesia mensahkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 yang menyatakan bahwa anak-anak pada dasarnya tidak diperbolehkan untuk bekerja dan menetapkan situasi-situasi dan persyaratan-persyaratan tertentu jika anak tersebut harus bekerja :

1. Anak-anak usia 13 sampai 15 tahun boleh dipekerjakan dalam pekerjaan ringan dengan persyaratan pekerjaan tersebut tidak membahayakan perkembangan fisik, mental dan sosial anak.

2. Majikan yang mempekerjakan anak-anak dalam pekerjaan ringan harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut ini :

a. persetujuan tertulis dari orang tua atau wali anak


(50)

d. pekerjaan tersebut dilakukan pada jam siang dan tidak mengganggu pendidikan anak.

e. keselamatan kerja

f. hubungan kerja yang jelas.

g. digaji sesuai dengan standar yang ada

3. Jika anak tersebut harus bekerja dengan orang dewasa maka anak-anak tersebut harus diberi tempat kerja yang terpisah.

2.5.3. Kondisi Pekerja Anak di Pulau Nias

Keberadaan pulau Nias yang terpisah dari wilayah propinsi induk yakni Provinsi Sumatera Utara sangat berpengaruh terhadap akses pembangunan dan pengembangan sumber daya masyarakat. Kehidupan masyarakat selama ini cenderung terabaikan atau termarjinalkan. Kondisi kehidupan masyarakat di Pulau Nias juga mengalami berbagai keterbelakangan baik ekonomi, pendidikan, kesehatan dan infrastruktur. Namun pasca Tragedi bencana alam tsunami akhir tahun 2004 dan gempa bumi pada Maret 2005 Kondisi tersebut mulai diketahui secara terbuka ditingkat Nasional dan International.

Di Pulau Nias masih banyak desa-desa yang terisolir, tidak dapat dilalui oleh kendaraan bermotor (baik roda empat maupun roda dua). Untuk memperoleh akses terhadap perdagangan, pendidikan ,dan kesehatan, masyarakat harus menempuh perjajalanan dengan berjalan kaki sejauh 2-10 km. Pulau Nias termasuk wilayah termiskin di Provinsi Sumatera Utara, Kabupaten Nias Selatan tercatat paling banyak jumlah penduduk miskin, yakni 92 persen dari 278.722


(51)

jiwa. Sedangkan Kabupaten Nias termasuk dalam peringkat 5 besar dari 25 Kabupaten/Kota termiskin di Sumatera Utara. Akhir tahun 2004 sebagian wilayah Nias terkena dampak tsunami yang melanda kawasan Samudera Hindia. Tiga bulan kemudian tempatnya tanggal 28 Maret 2005 pulau Nias diguncang gempa bumi berkekuatan 8,7 SR, hampir seluruh infrastruktur, perumahan, bangunan sekolah dan rumah ibadah hancur. Aktifitas ekonomi lumpuh total, lebih dari 800 orang meninggal dan 70.000 orang kehilangan tempat tinggal (Lubis, 2009 : 4).

Paska terjadinya gempa bumi tanggal 28 Maret 2005 di pulau Nias, selanjutnya dimulailah program rehabilitasi dan rekonstruksi, sehingga terjadi berbagai perubahan besar khususnya terhadap sektor infrastruktur dan fasilitas umum. Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR NAD-Nias) serta Lembaga Kemanusiaan baik dari Luar Negeri maupun Dalam Negeri turut serta dalam proses percepatan rekonstruksi Nias. Hasilnya dapat dilihat secara nyata bahwa telah terbangun Rumah Sakit, Puskesmas, Gedung-gedung sekolah, kantor pemerintahan, Pasar Tradisional, Jalan dan Jembatan. Sampai berakhirnya masa tugas BRR NAD-Nias pada bulan April 2009, pembangunan Nias memang belum 100% selesai, Namun proses pembangunan masih dilanjutkan oleh Pemerintah Daerah melalui dana khusus dari pemerintah pusat dan multi donor fund untuk rekonstruksi Nias pasca bencana alam (Lubis, 2009 : 4).

Kajian Cepat Pasca bencana alam menemukan banyak anak-anak di Nias yang tidak bisa mendapatkan akses terhadap pendidikan, bahkan sebelum bencana gempa bumi dan tsunami terjadi pada akhir tahun 2004 dan awal tahun 2005. Menurut data statistik tahun 2003, anak-anak umur 7-12 tahun yang memiliki


(52)

perempuan 98,65%. Tetapi, untuk umur 13-15 tahun, anak perempuan memiliki akses yang lebih kecil terhadap pendidikan dibandingkan dengan anak laki-laki yakni anak perempuan 73,99% dan anak laki-laki 77,53%. Pada umur 16-18 tahun, perbedaan antara anak perempuan dan anak laki-laki semakin besar, perbandingannya adalah anak laki-laki 39,29% dan anak perempuan hanya 26,42%. Kesimpulannya adalah semakin tinggi jenjang pendidikan maka semakin rendah akses pendidikan, terutama bagi anak perempuan. Kondisi pada tahun 2007 saat kajian cepat dilakukan menunjukkan situasi yang tidak jauh berbeda. Partisipasi anak sekolah pada jenjang pendidikan SLTP dan SLTA masih rendah (Tampubolon, 2006 : 2).

Anak-anak umur 7 – 18 tahun yang tidak dapat mengakses pendidikan terlibat dalam kegiatan-kegiatan mata pencaharian keluarga. Walaupun tidak ada data khusus tentang pekerja anak dalam sektor rumah tangga dan sektor publik, tetapi jelas bahwa banyak anak di Nias yang bekerja di Pulau Nias dan di luar Pulau Nias; misalnya Medan dan Sibolga. Banyak anak-anak di Pulau Nias yang terlibat di dalam bentuk-bentuk pekerjaan yang berbahaya untuk anak seperti pencari pasir, pemecah batu, penarik becak, pemulung, pekerja perkebunan karet dan sektor perikanan (Lubis, 2009 : 5).

Sebaran buruh anak di Pulau Nias pada dasarnya hampir merata disetiap kecamatan dengan karakteristik pekerjaan yang berbeda-beda. Namun untuk kategori pekerjaan terburuk yang dilarang untuk anak-anak dapat dilihat pada sektor pekerjaan penambang pasir dan batu, Pencari ikan laut lepas dan pelayan toko, rumah makan serta tempat hiburan. Anak dilibatkan dalam semua proses produksi pasir, batu kerikil dan koral dengan lokasi pekerjaan di sungai, pantai,


(53)

perbukitan dan dirumah. Kondisi tersebut sangat mudah ditemukan dikecamatan Tuhemberua, Sawo, Mandrehe, Sirombu, Lolowau, Lahusa dan Teluk Dalam. Sementara untuk keterlibatan anak sebagai pencari ikan (nelayan) di perairan laut lepas ditemukan hampir di semua daerah kawasan pantai. Sementara anak yang bekerja sebagai pelayan toko, rumah makan, serta tempat hiburan dapat ditemukan didaerah perkotaan seperti Gunung Sitoli, Teluk Dalam dan Lahewa.

Sejumlah faktor mendorong anak-anak untuk bekerja antara lain kurangnya kesadaran masyarakat tentang perlindungan anak dan hak-hak anak, kemiskinan dan banyaknya jumlah tanggungan dalam keluarga, kesulitan untuk mengakses pendidikan, termasuk kurangnya infrastruktur serta fasilitas sekolah di banyak wilayah di Pulau Nias. Kompleksnya isu pekerja anak berarti bahwa respon tersebut membutuhkan pendekatan-pendekatan komprehensif dan holistik dengan partisipasi dari berbagai pihak. Isu pekerja anak harus diarusutamakan diantara para pembuat kebijakan dan mereka harus memprioritaskan pendidikan sebagai sebuah cara untuk mencegah anak-anak agar tidak menjadi pekerja anak. Juga penting untuk merubah sikap masyarakat dan pemerintah daerah sehingga pemerintah menjadi lebih ramah anak dalam mengembangkan berbagai kebijakan dan program (Lubis, 2009 : 5).

2.5.4. Perlindungan Anak dari Jenis Pekerjaan Terburuk

Ada banyak definisi mengenai pekerjaan terburuk. Dalam konvensi ILO NO. 182 dijelaskan, jenis-jenis pekerjaan terburuk bagi anak meliputi semua jenis perbudakan dan kerja paksa, pelacuran anak, perekrutan paksa untuk angkatan


(54)

(Regional Working Group on Child Labour) membuat definisi bahwa yang dimaksud sebagai bentuk pekerjaan terburuk bagi anak adalah segala bentuk perbudakan dan praktik yang serupa dengan perbudakan dan praktik yang serupa dengan perbudakan seperti jual beli anak, kerja paksa atau mengikat, buruh tani anak-anak dan perekrutan anak dalam konflik bersenjata. Termasuk didalamnya adalah pemanfaatan anak dalam pelacuran, pornografi dan kegiatan melanggar hukum, seperti pembuatan obat-obatan dan penjualan obat-obatan, dan pekerjaan apapun yang dilakukan dalam kondisi membahayakan, yang teridentifikasi pada tingkat nasional berdasarkan kriteria Rekomendasi ILO 190 (Hastadewi, 2004 : 15).

Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi ILO No. 182 tahun 1999 melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000. Sebagai negara yang telah meratifikasi Konvensi ILO tersebut, Indonesia diwajibkan untuk mengambil tindakan segera dan efektif untuk melarang dan menghapus semua bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Untuk dapat melakukan hal tersebut, Konvensi tersebut mewajibkan pemerintah Indonesia untuk membuat daftar pekerjaan berbahaya dalam konteks Indonesia. Substansi Konvensi tersebut tercermin dalam Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak dan dalam Peraturan Daerah Pemerintah Sumatera Utara Nomor 5 Tahun 2004 tentang Pencegahan dan Penanganan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak. Lampiran Keputusan Presiden tersebut mengidentifikasikan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak dalam konteks Indonesia :


(55)

1. Pelacuran anak

2. Anak-anak yang bekerja di pertambangan

3. Anak-anak yang bekerja sebagai penyelam mutiara 4. Anak-anak yang bekerja di sektor konstruksi 5. Anak-anak yang bekerja di jermal

6. Anak-anak yang bekerja sebagai pemulung sampah

7. Anak-anak yang dilibatkan dalam produksi dan kegiatan yang menggunakan bahan-bahan peledak

8. Anak-anak yang bekerja di jalan

9. Anak-anak yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga 10. Anak-anak yang bekerja di industri rumah tangga

11. Anak-anak yang bekerja di perkebunan

12. Anak-anak yang bekerja di penebangan, pengolahan dan pengangkutan kayu

13. Anak-anak yang bekerja pada industri dan jenis kegiatan yang menggunakan bahan kimia yang berbahaya (Hastadewi, 2004 : 16).

2.5.5. Faktor Penyebab Anak Bekerja

Asumsi awal yang dimiliki dan diyakini oleh masyarakat bahwa penyebab anak bekerja adalah kemiskinan tidak sepenuhnya benar. Banyak faktor lainnya yang menjadi penyebab anak bekerja antara lain (Hastadewi, 2004 : 41).

1. Kemiskinan Keluarga


(56)

kepadatan penduduk 127 jiwa/km², dan 85.361 rumah tangga denga sebesar 96,89 artinya jika ada 10.000 perempuan di Kabupaten Nias maka ada 9.689 laki-laki juga di Kabupaten Nias pada tahun 2007. Pada tahun 2007, di Kabupaten Nias terdapat 192.467 penduduk berumur 15 tahun ke atas yang termasuk dalam sedang mencari pekerjaan dan sudah pernah bekerja, 7.107 sedang mencari pekerjaan dan belum pernah bekerja, dan terdapat pengangguran sebanyak 8.250 jiwa 22.15).

2. Faktor Lingkungan

Lingkungan sosial bagi anak meliputi hubungan anak dengan orang-orang di sekitarnya. Dalam konteks hubungan pasti akan tampak kecenderungan untuk saling mempengaruhi. Anak-anak merupakan kelompok yang sangat mudah dipengaruhi oleh situasi lingkungan. Sehingga dapat dipahami mengapa lingkungan sosial dapat berdampak besar bagi anak-anak.

3. Potensi Lokal dan Pola Rekrutmen

Potensi lingkungan geografis dan sosial budaya merupakan salah satu aset yang berguna bagi peningkatan ekonomi masyarakat. Potensi lokal membuka peluang usaha sekaligus dapat mendorong anak-anak yang belum mencapai umur terlibat bekerja. Apalagi jika pola rekrutmen demikian longgar sehingga setiap anak mudah memasukinya.


(57)

Kebutuhan anak untuk mencukupi biaya pendidikan juga merupakan salah satu alasan anak untuk bekerja. Namun sebaliknya sekolah yang tidak menarik, juga merupakan faktor pendorong anak putus sekolah dan masuk ke dalam dunia kerja. Kemampuan orang tua pada keluarga miskin umumnya hanya sampai kepada pemenuhan kebutuhan pokok saja. Dan kebutuhan anak akan pendidikan dirasa tidak dapat menjawab persoalan ekonomi keluarga dan bukan merupakan hal yang mendesak dan menjanjikan keuntungan jangka pendek.


(58)

Bagan I Alir Pemikiran

Pusat Kajian dan Perlindungan Anak

(PKPA) Nias

Program Pendidikan Life Skill melalui Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat

Keberadaan anak di Nias - Jenis Pekerjaan - Jam kerja - Pendidikan

1. Keterampilan bertukang

- Pembuatan furniture seperti meja dan kursi. - Pemasaran hasil furniture

- Pendapatan penjualan hasil pembuatan furniture. - Jam kerja di tempat yang baru

2. Kecakapan akademis - Tingkat pendidikan - Sarana dan prasarana - Pemberian beasiswa 3. Keterampilan tata boga

- Mengetahui pembuatan berbagai macam jenis masakan - Pemasaran hasil tata boga


(59)

2.6 Definisi Konsep

Konsep adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial (Singarimbun, 1989 : 33).

Definisi Konsep berfungsi untuk mengorganisasi observasi dan menata hasilnya, mengevaluasi apa yang telah dipersepsi, mengendalikan dan mengarahkan perilaku individu, dan memungkinkan adanya komunikasi. Definisi konsep bertujuan untuk merumuskan istilah yang digunakan secara mendasar dan menyamakan persepsi tentang apa yang akan diteliti serta menghindari salah pengertian yang dapat mengaburkan tujuan penelitian.

Penelitian ini dimaksud untuk mengevaluasi program pendidikan life skill binaan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak di Desa Madula Kota Gunung Sitoli. Oleh karena itu untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman dalam penelitian ini maka merumuskan dan mendefinisikan istilah-istilah yang dipergunakan secara mendasar agar tercipta suatu persamaan persepsi dan tidak muncul salah pengertian.

Untuk mengetahui pengertian mengenai konsep-konsep yang akan digunakan, maka peneliti membatasi konsep yang dipakai sebagai berikut:

1. Evaluasi, merupakan suatu usaha untuk mengukur dan memberi nilai secara objektif pencapaian hasil-hasil yang telah direncanakan sebelumnya.

2. Pusat Kajian dan Perlindungan Anak, merupakan lembaga non profit yang bergerak di bidang perlindungan anak. Lembaga ini memiliki program-program dalam rangka memberdayakan sumber daya manusia khususnya anak


(60)

dan mengedepankan terpenuhinya hak-hak anak dan kesempatan partisipasi anak.

3. Program pendidikan life skill, merupakan kegiatan yang berfungsi untuk menciptakan dan meningkatkan kepandaian, kemahiran, kesanggupan atau kemampuan yang ada pada diri seseorang untuk menempuh perjalanan hidup atau untuk menjalani kehidupan, mulai dari masa kanak-kanak sampai dengan akhir hayatnya.

4. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan (UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak).

2.7 Definisi Operasional

Definisi operasional adalah unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana caranya untuk mengukur suatu variabel (Singarimbun, 1989:33). Dengan kata lain definisi operasional adalah suatu informasi ilmiah yang sangat membantu peneliti lain yang ingin menggunakan variabel yang sama. Melalui definisi operasional dapat diketahui indikator-indikator apa saja yang akan diukur dan dianalisa dalam variabel yang ada.

Definisi operasional dalam penelitian ini adalah :

1. Program pendidikan life skill binaan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak yang merupakan suatu program yang dilakukan oleh Pusat Kajian dan Perlindungan Anak Nias yang bermitra dengan PKBM Madula di Desa Madula. Kegiatan life skill ini bertujuan untuk mengurangi jumlah pekerja anak dengan memberikan keterampilan dan kecakapan hidup bagi pekerja anak dan


(61)

anak-anak putus sekolah. Adapun jenis-jenis kegiatan yang dilakukan oleh Pusat Kajian dan Perlindungan Anak berkaitan dengan pendidikan life skill adalah: a. Life skill/kecakapan pertukangan dengan indikator:

Pembuatan furniture seperti meja dan kursi. Pemasaran hasil furniture

Pendapatan penjualan hasil pembuatan furniture  Jam kerja di tempat yang baru

b. Life skill/kecakapan tata boga dengan indikator:

 Mengetahui pembuatan berbagai macam jenis masakan  Pemasaran hasil tata boga

 Pendapatan penjualan

 Jam kerja di tempat pekerjaan baru

2. Evaluasi program pendidikan life skill dengan indikator : a. Sosialisasi program pendidikan

b. Jenis Pekerjaan sebelum dan sesudah menerima pendidikan keterampilan c. Pendapatan peserta sebelum dan sesudah menerima pendidikan keterampilan. d. Produktivitas pekerjaan


(1)

b. Toko

c. Lainnya, (sebutkan ____________________________) 54.Bagaimana cara menetapkan harga jual dari setiap jenis

makanan/minuman yang anda hasilkan ? a. Ditetapkan sendiri

b. Ditetapkan bersama dengan PKPA

55.Berapakah harga jual yang anda tetapkan untuk 1 (satu) buah meja?

No Nama makanan Harga

1 Kue

2 Nasi goreng 3 Juice (jus)

4 Minuman tradisional

5 ……….

6 ………..

7 ………

56.Berapakah pendapatan anda sebelum menjual hasil tataboga ini (pada pekerjaan sebelumnya) ?

a. < Rp 300.000,- / bulan

b. Rp 300.000 – Rp 500.000,- / bulan c. > Rp 500.000,- / bulan

57.Berapakah pendapatan anda sesudah anda mengikuti program ini? a. < Rp 300.000,- / bulan

b. Rp 300.000 – Rp 500.000,- / bulan c. > Rp 500.000,- / bulan

58.Apakah Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Nias memberikan modal kepada anda dalam membuka usaha dibidang tata boga?

a. Ya b. Tidak

59.Bagaimana pendapat anda mengenai program keterampilan tata boga ini? a. Baik

b. Kurang baik c. Tidak baik

60.Setelah menyelesaikan program pendidikan pertukangan yang diadakan oleh PKPA, apakah anda memiliki pekerjaan di bidang yang sama yaitu di bidang pertukangan ?


(2)

61.Apakah ada perbedaan taraf hidup yang anda dapatkan sebelum menerima pendidikan keterampilan ini dengan sesudah menerima pendidikan keterampilan ini?

a. Ada b. Tidak Alasan

_________________________________________________________ ____________________________________________________________ ____________________________________________________________ ______


(3)

Fasilitas Life Skill Pelatihan Tata Boga

NO JENIS BANYAK SATUAN

1 Mixer 3 Buah

2 Oven 3 Buah

3 Kompor 3 Buah

4 Dulang/Loyang (Bolu) 3 Buah

5 Sendok 1 Lusin

6 Garpu 1 Lusin

7 Sarung Tangan 1 Lusin

8 Piring 1 Lusin

9 Talam 3 Buah

10 Plastik bening, kaca 2 Kilogram

11 Botol gilingan 3 Buah

12 Kukusan 3 Buah

13 Teflon 3 Buah

14 Panci 4 Buah

15 Baskom 5 Buah

16 Ayak tepung 3 Buah

17 Kaleng untuk kue dan roti 6 Buah

18 Tong besar 1 Buah

19 Kaleng untuk tempat paduan 2 Buah

20 Gelas ukur (takar) 2 Buah

21 Sendok cabai 2 Buah

22 Timbangan 2 Buah

23 Pisau 6 Buah

24 Gunting 6 Buah

25 Saeler 2 Buah

26 Ember 5 Buah


(4)

30 Celemek 2 Buah

31 Cetakan kue (kue mangkok) 5 Lusin

32 Cetakan kue bolu sakura 5 Lusin

33 Cetakan kue bolu kukus 5 Lusin

34 Kertas roti (bolu kukus) 3 Rol

35 Kuali 3 Buah

36 Gelas 1 Lusin

37 Blender 2 Buah

38 Tepung terigu 1 Karung

39 Telur 1 Ikat

40 TBM 5 Kilogram

41 Fernipan 2 Kotak

42 Baking Powder 1 Kilogram

43 Vanila 1 Kotak

44 Pewarna, pasta 1 Kotak

45 Mentega 1 Karton

46 Minyak goreng 20 Liter

47 Pelembut roti 1 Bungkus

48 Tepung susu 1 Kilogram

49 Sukade, ceres (coklat butir) 2 Kilogram

50 Kelapa 20 Buah

51 Kacang tanah 1 Kilogram


(5)

Fasilitas Life Skill Pelatihan Pertukangan

NO JENIS JUMLAH SATUAN

1 Buku gambar 16 Buah

2 Buku tulis 16 Buah

3 Penggaris 16 Set

4 Pensil HB 16 Buah

5 Penggaris ukuran 1 meter (kayu) 1 Buah

6 Spidol 1 Kotak

7 Pulpen 16 Buah

8 Kayu broti ukuran 4x6x200 cm 25 Batang 9 Triplek kayu jati ukuran 6 mill 6 Lembar

10 Kayu propil 6 Batang

11 Kayu propil kecil 1 cm 6 Batang

12 Paku 1 dem 1 Kg

13 Paku mur nomor 5 2 Kotak

14 Engsel 3 mata sedang 1 Kotak

15 Kunci merk 808 10 Buah

16 Cat jenis wood viller 2 Set

17 Dempul kayu 2 Kaleng

18 Kuas 4 Buah

19 Kertas ampelas kayu ukuran 0,5 6 Lembar

20 Ketam merek Makita 450 watt 2 Unit

21 Router 1 Unit

22 Boor 1 Unit

23 Gergaji 1 Unit

24 Gergaji bunga/pita 1 Unit

25 Klem 1 Unit

26 Pengukur sudut/siku 2 Unit


(6)

30 Lem kayu merek cap badak 1 Kaleng

31 Gerinda kayu 1 Buah