kondisi kesehatan dan keselamatan jiwa anak juga terancam karena tempat dan kondisi kerja yang berbahaya Tampubolon, 2006 : 20.
Program pendidikan life skill yang ditangani oleh Pusat Kajian dan Perlindungan Anak diharapkan setidaknya dapat mencegah anak – anak di Pulau
Nias untuk kembali bekerja di sektor terburuk bagi anak. Keterampilan meubelier dan tata boga menjadi salah satu pendidikan life skill yang diadakan oleh PKPA.
Keberhasilan suatu program pendidikan life skill ini tidak lepas dari proses evaluasi program tersebut terhadap tujuan yaitu mengurangi tingkat pekerja anak
di Nias. Berdasarkan informasi-informasi tersebut, peneliti tertarik untuk mengkaji
lebih lanjut dalam bentuk penelitian dan dituangkan dalam bentuk skripsi dengan
judul “Evaluasi Pendidikan Life Skill Binaan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak di Desa Madula Kota Gunung Sitoli.”
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka dapat
dirumuskan suatu permasalahan yaitu : Bagaimana evaluasi pelaksanaan program pendidikan life skill binaan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak
di Desa Madula Kota Gunung Sitoli ?
Universitas Sumatera Utara
1.3 Pembatasan Masalah
Untuk menghindarkan ruang lingkup permasalahan yang terlalu luas, maka penulis perlu membuat pembatasan masalah yang akan diteliti. Pembatasan
masalah yang dikemukakan adalah : 1.
Evaluasi program terbatas pada keberhasilan tujuan program pendidikan life skill yaitu untuk mengurangi jumlah pekerja anak di sektor terburuk.
2. Objek Penelitian adalah pekerja anak yang mengikuti program pendidikan life
skill yang dibina oleh Pusat Kajian dan Perlindungan Anak di Desa Madula Kota Gunung Sitoli.
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan perumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keberhasilan tujuan program pendidikan
life skill binaan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak di Desa Madula Kota Gunung Sitoli.
1.4.2. Manfaat Penelitian
Temuan yang dihasilkan dari penelitian ini diharapkan memiliki kegunaan sebagai berikut :
1 Memberikan kontribusi keilmuan, konsep dan model penanganan yang
dilakukan oleh lembaga non profit terhadap pekerja anak. 2
Sebagai referensi terhadap dalam memahami masalah anak di Pulau Nias terutama menyangkut masalah pekerja anak Nias.
Universitas Sumatera Utara
1.5 Sistematika Penulisan
Penulisan penelitian ini disajikan dalam enam bab dengan sistematika sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Berisi latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisikan uraian dan teori-teori yang berkaitan dengan masalah dan objek yang akan diteliti, kerangka
pemikiran, definisi konsep dan definisi operasional. BAB III
: METODE PENELITIAN Berisikan tentang tipe penelitian, lokasi penelitian,
sumber informasi data informan, teknik pengumpulan data serta teknik analisis data.
BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
Bab ini berisi tentang gambaran umum mengenai lokasi penelitian.
BAB V : ANALISIS DATA
Bab ini berisi tentang uraian data yang diperoleh dalam penelitian serta analisisnya.
BAB VI : PENUTUP
Berisikan kesimpulan dan saran atas penelitian yang telah dilakukan.
Universitas Sumatera Utara
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Evaluasi
Baik tidaknya suatu program dapat dinilai dari proses evaluasi yang dilakukan. Evaluasi sangat dibutuhkan untuk melihat sejauh apa perkembangan
dan capaian daripada suatu program yang telah ditetapkan dan dilaksanakan. Evaluasi sangat berkaitan dengan suatu proses perencanaan. Keduanya saling
memiliki kaitan timbal balik Sama halnya dengan perencanaan, evaluasi juga adalah salah satu fungsi
dalam siklus manajemen, khususnya manajemen proyek. Evaluasi adalah suatu usaha untuk mengukur dan memberi nilai secara objektif pencapaian hasil-hasil
yang telah direncanakan sebelumnya. Hasil-hasil evaluasi dimaksudkan menjadi umpan balik untuk perencanaan kembali Sirait, 1990 : 29.
Evaluasi sebagai salah satu fungsi manajemen berurusan dan berusaha untuk mempertanyakan efektifitas dan efisiensi pelaksanaan dari suatu rencana
sekaligus mengukur seobjektif mungkin hasil-hasil pelaksanaan tersebut dengan ukuran-ukuran yang dapat diterima pihak-pihak yang mendukung maupun yang
tidak mendukung suatu rencana Sirait, 1990 : 36 . Keberhasilan rencana kegiatan, rencana program dan rencana proyek
hanya dapat dibuktikan dengan evaluasi. Dengan demikian evaluasi harus dikembangkan secara melembaga dan membudaya agar pelaksanaan kegiatan,
program dan proyek pembangunan dapat lebih berhasil, bermanfaat dan berdayaguna. Bila evaluasi tidak ada dalam siklus manajemen proyek,
Universitas Sumatera Utara
kecenderungan untuk tidak berhasil akan semakin besar dan pengalaman- pengalaman tidak terlalu bermanfaat untuk tujuan perbaikan dan penyempurnaan
suatu perencanaan kembali Sirait, 1990 : 30-31 Secara eksplisit, pengertian evaluasi sering digunakan untuk menunjukan
tahap-tahap di dalam siklus pengelolaan proyek, yang secara umum dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu :
1. Evaluasi Pada Tahap Perencanaan
Evaluasi pada tahap perencanaan dilakukan dalam rangka mencoba memilih dan menentukan skala prioritas terhadap berbagai alternatif dan kemungkinan
terhadap cara mencapai tujuan yang telah dirumuskan sebelumnya 2.
Evaluasi Pada Tahap Pelaksanaan Evaluasi pada tahap ini lebih kepada bagaimana suatu kegiatan melakukan
analisa untuk menentukan tingkat kemajuan pelaksanaan dibanding dengan rencana. Hal ini berbeda dengan monitoring dimana hal yang dilihat dalam
proses monitoring adalah melihat pelaksanaan suatu program sudah sesuai dengan rencana dan bahwa rencana tersebut sudah tepat untuk mencapai
tujuan. Sedangkan evaluasi dalam tahap ini lebih melihat kepada sejauh mana program masih tetap dalam mencapai tujuannya.
3. Evaluasi Pada Tahap Purna Pelaksanaan
Pada tahap ini evaluasi lebih diberatkan kepada hasil pelaksanaan yakni apakah dampak yang dihasilkan oleh pelaksanaan kegiatan tersebut sesuai
dengan tujuan yang dicapai Soumelis, 1977 : 22 dalam Sirait, 1990 : 32.
Universitas Sumatera Utara
2.1.1. Proses Evaluasi
Dalam proses suatu program, pada hakekatnya selalu dimulai dari suatu rencana, bertitik tolak darisitu maka proses evaluasi atau pelaksanaan evaluasi
terhadap suatu program tentu saja harus didasarkan atas rencana evaluasi program tersebut. Namun dalam praktek sering sekali suatu evaluasi terhadap suatu
program tidak direncanakan. Hal ini tidak saja menimbulkan ketidakjelasan fungsi evaluasi, institusi, personal yang sebaiknya melakukan evaluasi dan biaya
untuk evaluasi. Dalam melakukan proses evaluasi ada beberapa etik birokrasi yang perlu
diperhatikan oleh pihak-pihak yang erat hubungannya dengan tugas-tugas evaluasi antara lain :
1. Semua tugastanggung jawab pemberi tugasyang menerima tugas harus jelas.
2. Pengertian dan konotasi yang sering tersirat dalam evaluasi yaitu mencari
kesalahan harus dihindari. 3.
Pengertian evaluasi adalah untuk memperbandingkan rencana dengan pelaksanaan dengan melakukan pengukuran-pengukuran kuantitatifkualitatif
totalitas program secara teknik, maka dari itu hendaknya ukuran-ukuran kualitas dan kuantitas tentang apa yang dimaksud dengan berhasil telah
dicantumkan sebelumnya dalam rencana program secara eksplisit. 4.
Tim yang melakukan evaluasi adalah pemberi sarannasehat kepada manajemen, sedangkan pendayagunaan sarannasehat tersebut serta pembuat
keputusan atas dasar sarannasehat tersebut berada di tangan manajemen program.
Universitas Sumatera Utara
5. Dalam proses pengambilan keputusan yang telah dilakukan atas data-
datapenemuan teknis perlu dikonsultasikan secermat mungkin karena menyangkut banyak hal tentang masa depan proyek dalam kaitannya dengan
program 6.
Hendaknya hubungan dan proses selalu didasari oleh suasana konsturuktif dan objektif serta menghindari analisa-analisa subjektif. Dengan demikian,
evaluasi dapat diterapkan sebagai salah satu program yang sangat penting dalam siklus manajemen program Sirait, 1990 : 161.
2.1.1 Tolak Ukur Evaluasi Program
Seperti yang dikatakan di atas tadi bahwasanya suatu program dapat di evaluasi apabila ada tolak ukur yang nantinya dijadikan penilaian suatu program.
Berhasil atau tidaknya program berdasarkan tujuan yang dibuat sebelumnya harus memiliki tolak ukur, dimana tolak ukur ini nantinya yang harus dicapai dengan
baik oleh sumber daya yang mengelolanya. Adapun yang menjadi tolak ukur dalam evaluasi suatu program adalah :
1. Ketersediaan sarana untuk mencapai tujuan tersebut
2. Apakah hasil proyek sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai
3. Apakah sarana atau kegiatan yang dibuat benar-benar dapat dicapai atau
dimanfaatkan oleh orang-orang yang benar-benar membutuhkannya 4.
Apakah sarana yang disediakan benar-benar dilakukan untuk tujuan semula 5.
Berapa persen jumlah atau luas sasaran sebenarnya yang dapat dijangkau oleh program
Universitas Sumatera Utara
6. Bagaimana mutu pekerjaan atau sarana yang dihasilkan oleh program
kualitas hidup, kualitas barang 7.
Berapa banyak sumberdaya tenaga,dana, barang yang sudah digunakan diinvestasikan untuk mencapai tujuan tersebut
8. Apakah sumber daya dan kegiatan yang dilakukan benar-benar dimanfaatkan
secara maksimal 9.
Apakah kegiatan yang dilakukan benar-benar memberikan masukan terhadap perubahan yang diinginkan Suwito, 2002 : 16.
2.2. Pendidikan
Untuk memahami pendidikan, ada dua istilah yang dapat mengarahkan pada pemahaman hakikat pendidikan, yakni paedagogie dan paedagogiek.
Paedagogie bermakna pendidikan, sedangkan paedagogiek berarti ilmu pendidikan Purwanto, 1995 : 3 dalam Sukardjo 2009 : 7.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila pedagogik atau ilmu mendidik adalah ilmu atau teori yang sistematis tentang pendidikan yang
sebenarnya bagi anak atau untuk anak sampai ia mencapai kedewasaan Rasyidin, 2007 : 34 dalam Sukardjo 2009 : 7.
Secara estimologik, perkataan paedagogie berasal dari bahasa Yunani, yaitu paedagogia yang berarti pergaulan dengan anak. Paedagagos adalah hamba
atau orang yang pekerjaannya menghantar dan mengambil budak-budak pulang pergi atau antar jemput anak sekolah. Perkataan ‘paida’ merujuk kepada kanak-
kanak, yang menjadi sebab mengapa sebagian orang cenderung membedakan
Universitas Sumatera Utara
antara pedagogi mengajar anak-anak dengan andragogi mengajar orang dewasa Sukardjo, 2009 : 7-8.
Adapun perkembangan ilmu pedagogi baik praktis maupun teoritis, di Indonesia dimulai oleh Ki Hajar Dewantara Suryaningrat 1889-1959 dan
kawan-kawan paska pembuangan ke Eropa 19131914 yang memperkenalkannya dengan tokoh progresivisme pendidikan dan pengajaran,
seperti Jan Ligthart dan Maria Montessori. Pada gilirannya, rintisan Taman Siswa 1922 gerakan kebangsaan atau kemerdekaan RI serta perkembangan ilmu
mendidik di Nedherland membantu penyebaran ilmu pedagogik Sukardjo, 2009 : 8.
Menurut Taksonomi Bloom, pengajaran terbagi atas tiga bidang : 1 bidang kognitif, yakni yang berkenaan dengan aktivitas mental, seperti ingatan
pemahaman, penerapan, analisis, evaluasi, dan mencipta; 2 bidang afektif, yakni yang berkenaan dengan sikap dan rahasia diri; dan 3 bidang psikomotor yang
berkenaan dengan aktivitas fisik seperti keterampilan hidup dan pertukangan Sukardjo, 2009 : 8
Pendidikan dimulai di keluarga atas anak yang belum mandiri, kemandirian diperluas di lingkungan tetangga atau komunitas sekitar milieu,
lembaga prasekolah, persekolahan formal dan lain-lain tempat anak-anak mulai dari kelompok kecil seperti rombongan relatif besar lingkup makro dengan
pendidikan dimulai dari guru rombongankelas yang mendidik secara mikro dan menjadi pengganti orang tua Rasyidin, 2007 : 36 dalam Sukardjo, 2009 : 9.
Pendidikan pada sesi berikutnya mengemuka sebagai gejala perilaku dan upaya untuk memenuhi kebutuhan dasar primer bertahan hidup, bagian kegiatan
Universitas Sumatera Utara
untuk meningkatkan kehidupan agar lebih bermakna dan bernilai. Gejala pendidikan timbul ketika sekumpulan orang ingin memenuhi kebutuhan makna
meaning yang lebih tinggi atau abstrak seperti pengetahuan, nilai keadilan, kemakmuran, keterampilan agar terbebas dari kondisi kekurangan seperti
kemiskinan, penyakit, atau kurangnya kemampuan berinteraksi dengan alam sekitar Sukardjo, 2009 : 9.
2.2.1. Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan merupakan sesuatu yang penting, mengingat perjalanan setiap institusi yang memiliki visi yang jelas selalu dimulai dari tujuan
start from the end. Demikian pula pendidikan yang kini menjadi harapan mengarahkan pada kehidupan yang lebih baik hendaknya selalu berangkat dari
tujuan yang akan dicapai. Apabila tujuan yang akan dicapai sudah jelas, maka langkah selanjutnya adalah dengan memikirkan perangkat-perangkat lain yang
mendukung pencapaian tujuan secara efektif dan efisien. Plato menyatakan bahwa tujuan pendidikan sesungguhnya adalah
penyadaran terhadap self knowing dan self realization kemudian inquiry dan reasoning and logic. Jadi, di sini jelas bahwa tujuan pendidikan memberikan
penyadaran terhadap apa yang diketahuinya, kemudian pengetahuan tersebut harus direalisasikan sendiri dan selanjutnya mengadakan penelitian serta
mengetahui hubungan kausal, yaitu alasan dan alur pikirnya Sukardjo, 2009 : 13-14.
Menurut Kirschenbaum, ada dua yang menjadi tujuan daripada pendidikan. Pertama, menolong generasi muda agar dapat menikmati kehidupan
Universitas Sumatera Utara
pribadi yang lebih menyenangkan, yakni yang memiliki nilai dan memuaskan. Yang dimaksudkan bukanlah membuat generasi muda harus selalu merasa
senang, tetapi yang dapat mencapai keberhasilan pada tingkatan yang masuk akal dalam berbagai bidang kehidupan. Kedua, menolong generasi muda hidup dalam
kehidupan sosial yang lebih konstruktif yang dapat memberikan kontribusi pada pembentukan komunitas yang baik, yang hidup berdasarkan rasa sayang dan
penuh perhatian terhadap sesama anggota masyarakat dan makhluk Tuhan yang lain, dan yang tidak memaksakan kehendak kepada orang lain. Agar dapat
menciptakan masyarakat yang konstruktif, seseorang harus bertindak dengan menghargai hak hidup, kemerdekaan, dan kebahagiaan tidak hanya bagi diri
sendiri, tetapi juga bagi semua orang. Melihat kepada pendidikan nasional Indonesia, yang menjadi tujuan
pendidikan nasional Indonesia terdapat dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 dimana dikatakan bahwa
pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab. Selanjutnya untuk lebih
mudahnya pencapaian tujuan dari setiap unit kependidikan dari tujuan pendidikan nasional, maka terdapat pula tujuan pendidikan institusional. Semua
tujuan pendidikan institusional tersebut mengacu kepada tujuan pendidikan nasional yang dituangkan dalam kurikulum masing-masing jenjang pendidikan
Sukardjo, 2009 : 14-15.
Universitas Sumatera Utara
2.2.2. Pendidikan Life Skill
Pendidikan life skill atau juga sering juga disebut dengan pendidikan kecakapan hidup menjadi sangat populer ketika tingkat pengangguran khususnya
di Indonesia tinggi. Pendidikan kecakapan hidup dipercaya menjadi salah satu sarana yang dapat menjawab dan mengatasi masalah pengangguran yang
semakin tinggi sejak krisis ekonomi 1997. Kata cakap memiliki beberapa arti. Pertama dapat diartikan sebagai
pandai atau mahir, kedua sebagai sanggup, dapat atau mampu melakukan sesuatu, dan ketiga sebagai mempunyai kemampuan dan kepandaian untuk mengerjakan
sesuatu. Jadi kata kecakapan berarti suatu kepandaian, kemahiran, kesanggupan atau kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk menyelesaikan sesuatu. Oleh
karena itu kecakapan untuk hidup life skill dapat didefinisikan sebagai suatu kepandaian, kemahiran, kesanggupan atau kemampuan yang ada pada diri
seseorang untuk menempuh perjalanan hidup atau untuk menjalani kehidupan, mulai dari masa kanak-kanak sampai dengan akhir hayatnya. Kecakapan hidup
life skill adalah kemampuan dan keberanian untuk menghadapi problema kehidupan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari dan menemukan solusi
untuk menyelesaikannya http:assyariabdullah.wordpress.com20090212 diakses tanggal 5 Oktober 2009 pukul 18.00.
Pengertian kecakapan hidup lebih luas dari keterampilan vokasional atau keterampilan untuk bekerja. Orang yang tidak bekerja seperti ibu rumah tangga
harus memiliki kecakapan hidup. Sama halnya dengan orang yang telah bekerja dimana mereka membutuhkan kecakapan hidup untuk dapat menyelesaikan
masalahnya.
Universitas Sumatera Utara
Potensi untuk dapat mengembangkan kecakapan untuk hidup ini telah ada pada setiap orang sejak ia dilahirkan. Waktu yang diperlukan untuk
mengembangkan potensi pada manusia relatif lebih lama dan pada waktu yang diperlukan oleh binatang, karena pada binatang lebih didominasi oleh naluri
biologis. Sedangkan pada manusia di samping pengembangan naluri biologis masih diperlukan waktu persiapan yang lebih panjang untuk mengembangkan
daya fisik, daya pikir, daya emosi dan daya spiritual yang terpadu menjadi daya kalbu www.pakguruonline.pendidikan.netlife_skill_1.html 4 Oktober 2009
Kemampuan kecakapan untuk menjalani kehidupan ini pada awalnya berkembang secara alamiah melalui pendidikan informal pada keluarga dan
masyarakat. Kemudian secara formal upaya untuk mengembangkan dan memperkuat potensi yang telah ada ini dirancang dengan sistematis ke dalam
suatu kurikulum untuk diberikan kepada anak didik melalui pendidikan di sekolah dengan alokasi waktu jam pelajaran tertentu pada setiap minggu, mulai dari
Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, Sekolah Menengah, sampai dengan Perguruan Tinggi. Berdasarkan hasil pendidikan
informal yang diterima, hasil pengalaman yang diperoleh dan hasil pendidikan formal yang pernah diikuti dengan benar, selama menempuh perjalanan hidup
seseorang temyata, bahwa kemampuan kecakapan untuk hidup ini dapat berkembang terus menjadi semakin kuat dan meningkat dalam kearifannya untuk
mengarungi samudera kehidupan http:www.assyariabdullah.wordpress.com20090212 diakses 5 Oktober 2009
pukul 18.00.
Universitas Sumatera Utara
Kemajuan ini masih dapat diupayakan untuk meningkat lagi dan akan menampakkan wujudnya dengan sesuatu yang disebut dengan mutu. Dan
pengalaman-pengalaman baru yang diperoleh dalam memecahkan berbagai masalah selama mengarungi kehidupan ini akan dapat menempa dan memperkuat
kemampuan itu sehingga menjadi suatu mutu kehidupan untuk menghadapi berbagai persoalan kehidupan yang lebih sulit dan semakin rumit. Mutu
kehidupan itu pun masih dapat ditingkatkan lagi sampai ke puncaknya. Tingkat kemampuan kecakapan untuk hidup yang tertinggi adalah apabila dalam
menempuh perjalanan hidup itu sendiri selalu dilandasi dengan rasa kasih sayang yang tulus kepada sesama.
Kecakapan hidup dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu : 1.
Kecapakapan yang bersifat generik generic life skill, yang mencakup kecakapan personal dan kecakapan sosial. Kecakapan personal meliputi
kecakapan diri self awarness dan kecakapan berpikir thinking skill sedangkan kecakapan sosial mencakup kecakapan berkomunikasi
communication skill dan kecakapan bekerjasama collaboration skill. 2.
Kecakapan hidup spesifik, yaitu kecakapan untuk menghadapi pekerjaan atau keadaan tertentu, yang mencakup kecakapan akademik atau kecakapan
intelektual dan kecakapan vokasional. Kecakapan akademik terkait dengan bidang pekerjaan yang lebih memerlukan pemikiran, sehingga mencakup
kecakapan mengidentifikasi variabel dan hubungan antara satu dengan lainnya identifying variables and describing relationship among them , kecakapan
merumuskan hipotesis constructing hypotheses, dan kecakapan merancang dan melaksanakan penelitian designing and implementing a research.
Universitas Sumatera Utara
Kecakapan vokasional terkait dengan bidang pekerjaan yang lebih memerlukan keterampilan motorik. Kecakapan vokasional mencakup
kecakapan vokasional dasar basic vocational skill dan kecakapan vokasional khusus occupational skill
http:www.mixingblogging.blogspot.com200706 diakses tanggal 5
Oktober 2009 pukul 18.00.
2.2.3. Pendidikan Alternatif bagi Pekerja Anak
Pendidikan merupakan hak anak, termasuk pekerja anak yang diperlukan bagi proses tumbuh kembang. Anak-anak yang terpaksa bekerja sedikit banyak
berpengaruh terhadap kegiatan belajar mereka di sekolah. Karena kesibukan dan kelelahan dalam bekerja berakibat pada prestasi pendidikan dan aktivitas sekolah.
Di sisi lain, sekolah memberikan alternatif yang rekreatif-edukatif sehingga dapat mencegah anak bekerja Hastadewi, 2004 : 108-109.
Pendidikan alternatif yang menarik dan dapat diandalkan bagi siswa yang rawan putus sekolah atau putus sekolah akibat kesibukan kerja yang terpaksa
dilakukan demi menambah ekonomi keluarga. Pendidikan alternatif terpaksa dipilih jika anak-anak tidak lagi mengikuti pendidikan formal.
Ada beberapa alasan mengapa pendidikan alternatif bagi pekerja anak sangat penting yaitu:
1. Pekerja anak umumnya mengalami masalah dalam hal pendidikannya karena
keterbatasan biaya. Pendidikan alternatif menyediakan kemungkinan yang lebib besar kepada pekerja anak untuk tetap dapat menempuh pendidikan
tanpa banyak biaya.
Universitas Sumatera Utara
2. Karena keterbatasan biaya, umumnya pekerja anak tidak memiliki alternatif
lain untuk memilih pendidikan yang fasilitasnya layak dan mampu menyediakan sarana untuk mengembangkan kemampuan dan bakat yang
dimilikinya. Pendidikan alternatif diharapkan dapat memungkinkan anak-anak mendapatkan layanan dan fasilitas yang memadai bagi perkembangannya.
Disamping itu, pendidikan alternatif juga diharapkan dapat memenuhi kebutuhan anak untuk memperoleh pendidikan keterampilan yang bermanfaat
baginya untuk terjun ke dunia kerja selepas sekolah 3.
Pendidikan alternatif biasanya menyediakan kesempatan bagi anak-anak untuk belajar di sela-sela waktu kerja dan memperoleh kesempatan untuk
mengikuti ujian setara dengan sekolah formal lainnya. Penyediaan kesempatan untuk mengikuti ujian setara ini sangat diperlukan karena hal ini
akan membuka peluang bagi anak untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dan melakukan mobilitas sosial secara vertikal untuk
meningkatkan kualitas kehidupannya Hastadewi, 2004 : 107.
2.3 Kemitraan Dalam Pembinaan
Menjalin suatu pembinaan yang dilakukan oleh suatu instansi, organisasi maupun lembaga diperlukan suatu kemitraan yang positif. Keluaran dari
kemitraan yang positif ini adalah terjadinya keselarasan dan kenyamanan terhadap pembinaan suatu kegiatan.
Seperti halnya Pusat Kajian dan Perlindungan Anak Nias yang melakukan pembinaan terhadap anak-anak didiknya, melakukan kemitraan dengan berbagai
Universitas Sumatera Utara
instansi. PKPA melalui Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat mencoba melakukan mitra dengan PKBM Madula dan Dinas Pendidikan bidang Pendidikan Luar
Sekolah. Kemitraan yang dijalin antar PKPA Nias dengan dua instansi tersebut tidak hanya bersifat formal berupa penandatangan surat perjanjian atau yang
serupa dengan itu, tetapi yang secara alamiah dan berkesinambungan adalah dapat menyatukan langkah dalam mendidik anak-anak didik. Penciptaan suasana yang
kondusif bagi pendidikan nilai dan spiritualitas, baik di sekolah maupun di rumah, tampaknya merupakan salah satu bentuk kemitraan yang perlu dikembangkan.
Suasanan kehidupan di pusat pembinaan dan di rumah mempengaruhi perkembangan kepribadian anak, karena hal ini merupakan wahana penyemaian
nilai-nilai yang akan dijadikan acuan oleh anak dalam setiap tindakannya. Apabila anak-anak merasa tentram ketika berada di sekolah dan demikian jika
tinggal di rumah, mereka diharapkan memiliki dorongan yang kuat untuk melaksanakan tugas sekolah dan tugas rumah dengan sebaik-baiknya Zuchdi,
2008 : 134. Schmuck dan Schmuck 1983 : 30 dalam Zuchdi 2008 : 134-135
menganjurkan dikembangkannya suasana kelas yang positif, yang memiliki karakteristik sebagai berikut :
1. Murid-murid menginginkan hasil yang terbaik sesuai dengan kemampuan
masing-masing dan saling memberikan dukungan. 2.
Murid-murid saling memberikan pengaruh positif. 3.
Kegembiraan muncul di sekolah secara umum dan di kelas secara khusus. 4.
Peraturan sekolah diikuti secara tertib tanpa paksaan, sehingga tugas-tugas dapat dikerjakan dengan baik.
Universitas Sumatera Utara
5. Komunikasi antar warga sekolah bersifat terbuka dan diwarnai dengan dialog
secara akrab. 6.
Proses bekerja dan berkembang bersama sebagai suatu kelompok dipandang cocok untuk belajar.
Suasana kehidupan dalam lingkungan keluarga seharusnya juga dikembangkan selaras dengan suasana tempat pembinaan. Komunikasi antar
anggota keluarga hendaknya bersikap terbuka dan dilandasi tasa kasih sayang yang tulus. Dorongan untuk mencapai yang terbaik sesuai dengan kemampuan
masing-masing senantiasa diberikan oleh orang tua, dan kesempatan bekerja sama secara ikhlas perlu dijadikan kebiasaan dalam keluarga, bahkan juga dalam
masyarakat. Dengan demikian, anak-anak akan menggunakan acuan nilai yang tidak kontradiktif ketika berada di tempat pembinaan dan ketika tinggal di rumah,
di lingkungan keluarga masing-masing Zuchdi, 2008 : 135. Nilai-nilai positif yang hendak dikembangkan di sekolah, yang
diprogramkan untuk dikembangkan di lingkungan keluarga, hendaknya merupakan hasil diskusi pihak sekolah dan perwakilan orang tua murid. Caranya
tidak harus lewat pertemuan tatap muka, tetapi dapat pula lewat brosur-brosur sehingga dapat dibacakan oleh anak kepada orang tuanya masing-masing.
Komunikasi tertulis ini sedapat mungkin dikembangkan, agar pihak sekolah dan keluarga dapat secara mudah saling mengingatkan apabila terjadi penyimpangan
dari keputusan yang telah dibuat bersama Zuchdi, 2008 : 135.
Universitas Sumatera Utara
Ada lima faktor yang mendukung pengembangan suasana positif di lokasi pembinaan juga di dalam keluarga yaitu Schmuck dan Schmuck dalam
Suyanto, 2008:136: 1.
Partisipasi Apabila hampir semua pembicaraan dan informasi datang dari tempat
pembinaan dan orang tua, sehingga anak-anak didik jarang berbagi sharing gagasan, mereka tidak akan memperoleh kesempatan untuk mengembangakan
keterampilan sosial atau keterampilan mengadakan hubungan antar pribadi. Mereka juga tidak memperoleh kesempatan untuk berpartisipasi dalam
pembuatan keputusan tentang kegiatan sekolah atau di rumah. Akibatnya, mereka tidak akan dapat melaksanakan tugas yang memerlukan perencanaan,
kerja sama, dan kesalingketergantungan interdepedensi. Para guru atau orang tua yang ingin mengembangkan suasana positif di sekolah atau di
lingkungan keluarga harus memberikan dorongan kepada anak-anak untuk mengungkapkan gagasan dan perasaan mereka sendiri, membuat keputusan
sendiri dan berpatisipasi dalam menentukan tujuan belajar serta prosedur pencapaiannya.
2. Kepemimpinan
Menurut Schmuck dan Schmuck 1983 adalah suatu proses mempengaruhi orang lain. Dalam hal ini, kepemimpinan dipandang sebagai perilaku, ada
yang menyenangkan, ada yang tidak menyenangkan, untuk menolong suatu kelompok mencapai suatu tujuan. Kepemimpinan yang menyenangkan terdiri
dari tindakan-tindakan yang membantu dalam penentuan tujuan,
Universitas Sumatera Utara
meningkatkan kualitas interaksi individu, dan menumbuhkan kekohesifan kelompok sehingga dapat mengembangkan kompetensi individu
3. Persahabatan
Kelompok anak-anak harus dikelola sedemikian rupa sehingga mereka cenderung berperilaku yang konstruktif dan produktif. Apabila suatu sekolah
atau keluaga penuh dengan kegelisahan, kekerasan, dan keraguraguan, anak-anak akan diperilaku tidak konstruktif dan tidak produktif. Suasana
yang kondusif untuk mengembangkan kreativitas dan produktivitas adalah yang diwarnai dengan persahabatan, bukan kedengkian.
4. Norma
Norma mempengaruhi keterlibatan anak dalam suatu pekerjaan dan berdampak pada kualitas hubungan antarpribadi. Aturan sekolah dan keluarga
hendaknya fleksibel karena banyak perbedaan antara anak yang satu dengan yang lainnya. Suasanan kelas yang sportif, demikian juga suasana keluarga
menyebabkan timbulnya perilaku toleran terhadap adanya perbedaan individu. 5.
Kekohesifan Kesenangan anggota kelompok untuk tetap berada dalam kelompoknya.
Kekohesifan sekolah atau keluarga berkenaan dengan perasaan anak terhadap seluruh teman sekolahnya dan semua warga belajar atau semua anggota
keluarga. Anggota keluarga yang kohesif biasanya lebih loyal terhadap kelompoknya dan lebih memerhatikan perasaan anggota kelompok, dalam hal
ini perasaan guru dan teman-temannya di sekolah atau perasaan semua anggota keluarganya di rumah.
Universitas Sumatera Utara
2.4 Kesejahteraan Sosial