Analisis Life Skill Siswa melalui Pendekatan Chemo-entrepreneurship pada Materi Koloid

(1)

ANALISIS

LIFE SKILL

SISWA MELALUI

PENDEKATAN

CHEMO-ENTREPRENEURSHIP

PADA MATERI KOLOID

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh:

NIDA NURMILADIA RAHMAH

NIM. 1112016200024

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF

HIDAYATULLAH

JAKARTA

2016


(2)

(3)

Skripsi yang berjudul: "Analisis Life Skill Siswa Melalui Pendekatan Chemo-Entrepreneurship Pada Mated Koloid" diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, oleh Nida Nurmiladia Rahmah, 1112016200024 dan telah dinyatakan lulus dalam ujian munaqasah pada, 1 Desember 2016 di hadapan dewan penguji. Karena itu, penulis berhak memperolèh gelar sarjana Si (S.Pd) pada Program Studi Pendidikan Kimia.

Jakarta, 1 Desember 2016

Panitia Uj ian Munaqasah Tanggal Tanda Tangan Ketua Panitia

Burhanudin Milama, M.Pd 017.

NIP. 19770201 200801 1 011 Pengujil

Nanda Saridewi. M.Si

NIP. 19841021200912 2 004 Penguji 11

Evi Sapinatul Bahriah, M.Pd

/

NIP.

Mengetahui,

Dekan FakulAks Ilmu Tarbiya n Keguruan

Prof. Dr. Ahm Thib Raya, MA Nip. 195 42 8203 1 007


(4)

(5)

iv

ABSTRAK

Penelitian yang berjudul “Analisis Life Skill Siswa melalui Pendekatan

Chemo-Entrepreneurship pada Materi Koloid” ini bertujuan untuk mengetahui

life skill siswa pada pembelajaran Koloid dengan pendekatan chemo-entrepreneurship. Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Subjek pada penelitian ini adalah siswa kelas XI SMA Negeri 87 Jakarta tahun ajaran 2016/2017 sebanyak 34 orang. Instrumen yang digunakan adalah Lembar Observasi, Lembar Kerja Siswa (LKS), dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecakapan generik yang dikembangkan oleh siswa tergolong sangat baik dengan persentase sebesar 81,10% dan kecakapan spesifik yang dikembangkan siswa tergolong baikdengan persentase sebesar 67,96%.


(6)

v

ABSTRACT

The study, entitled "Analysis of Student’s Life Skill through Chemo -Entrepreneurship Approach to Content Colloids" have a purpose to find out how the students in learning life skills Colloidal when done with chemo-entrepreneurship approach. The research method that was used in this research descriptive qualitative method. Subjects in this research were 34 students of class XI SMA Negeri 87 Jakarta of 2016/2017 school year. The instrument that were used the observation sheet, student worksheet, and documentation. The results showed that the generic life skills developed by students classified as excellent with a percentage of 81.10% and specific life skills developed by students classified as good with a percentage of 67.96%.


(7)

vi

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat iman, nikmat islam, dan nikmat sehat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan baik. Salawat serta salam senantiasa dicurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat dan para pengikutnya hingga akhir zaman.

Selama penulisan skripsi ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang dialami. Namun, berkat doa, perjuangan, kesungguhan hati dan dorongan serta masukan-masukan yang positif dari berbagai pihak untuk penyelesaian skripsi ini, semua dapat teratasi. Terutama penulis mengucapakan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Burhanudin Milama, M.Pd selaku Ketua Program Studi Pendidikan Kimia 3. Tonih Feronika, M,Pd selaku dosen pembimbing I yang telah memberikan

bimbingan, waktu, arahan dan motivasi kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini

4. Dewi Murniati, M.Si selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, waktu, arahan dan semangat kepada penulis hingga terselesaikannya skripsi ini

5. Seluruh Dosen dan Staff Pendidikan Kimia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK)

6. Patra Patiyah, M.Biomed selaku Kepala SMA Negeri 87 Jakarta yang telah memberikan izin untuk melaksanakan penelitian di sekolah tersebut

7. Debbi Tjakradirana, M.Pd selaku guru Kimia SMA Negeri 87 Jakarta yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis

8. Papap Efendi, M.MPd, Mamah Juju Junaenah (Alm.), dan Ibu Aah Robiah, S.Pd, yang tak henti selalu mendoakan, melimpahkan kasih sayang, memberikan semangat, memberikan dukungan moril dan materil kepada penulis hingga terselesaikannya skripsi ini.


(8)

vii

9. Selfy Luthfiany Humaira, Imam Luthfi Hakim, adik penulis tercinta yang selalu memberi keceriaan bagi penulis

10.Elda Fajar Ristianto, S.T. yang tak pernah lelah memberikan semangat, motivasi, dan kasih sayangnya setiap hari, yang selalu mengingatkan saat penulis mulai merasa lelah dan malas.

11.Sahabat-sahabat penulis tercinta, Pipin, Tria, Otun, Ajeng, Fifi, Dewi, Fitri, dan Indah yang selalu menebarkan senyum tawa saat penulis merasa penat. 12.Teman-teman seperjuangan di Program Studi Pendidikan Kimia angkatan

2012 yang selalu memberikan dukungan dan motivasi dalam penyelesaian skripsi ini

13.Semua pihak yang telah memberikan bantuan dan informasi yang bermanfaat bagi penulis

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, penulis meminta kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan penulisan di masa yang akan datang. Akhir kata semoga skripsi ini dapat berguna bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.

Jakarta, 3 Oktober 2016


(9)

viii

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan ... i

Lembar Pengesahan Panitia Ujian ... ii

Surat Pernyataan Karya Sendiri ... iii

Abstrak ... iv

Kata Pengantar ... vi

Daftar Isi ... viii

Daftar Gambar ...x

Daftar Tabel ... xi

Daftar Lampiran ... xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...1

B. Identifikasi Masalah ...6

C. Pembatasan Masalah ...7

D. Rumusan Masalah ...7

E. Tujuan Penelitian ...7

F. Manfaat Penelitian ...7

BAB II KAJIAN TEORI A. Kajian Teori ...8

1. Life Skill ...8

2. Kewirausahaan berbasis Kimia (Chemo-entrepreneurship) ..15

3. Tinjauan Pembelajaran Materi Koloid ...19

B. Penelitian Relevan ...26

C. Kerangka Konseptual ...28

BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ...29

B. Metode dan Desain Penelitian ...29

C. Populasi dan Sampel Penelitian ...31

D. Teknik Pengumpulan Data ...32

E. Instrumen Penelitian ...32


(10)

ix

G. Teknik Analisis Data ...35

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil ...38

1. Lembar Observasi ...38

2. LKS ...42

B. Pembahasan ...45

1. Life Skill Generik ...45

2. Life Skill Spesifik ...52

3. Life Skill melalui Pendekatan Chemo-entrepreneurship pada Materi Koloid ...56

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ...58

B. Saran ...58

Daftar Pustaka ...59


(11)

x

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Skema Life Skill ...11

Gambar 2.2 Penghamburan Cahaya Efek Tyndall ...20

Gambar 3.1 Desain Penelitian Deskriptif Kualitatif ...29

Gambar 4.1 Pembuatan Produk Koloid ...47

Gambar 4.2 Penentuan Sketsa Langkah Percobaan ...48

Gambar 4.3 Siswa Membaca Slide saat Presentasi ...50

Gambar 4.4 Perhitungan Keuangan ...54

Gambar 4.5 Pembuatan Kemasan ...55


(12)

xi

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Macam-macam Koloid ...24

Tabel 3.1 Pedoman Pembuatan Instrumen ...32

Tabel 3.2 Kisi-kisi LKS ...33

Tabel 3.3 Kisi-kisi Lembar Observasi ...34

Tabel 3.4 Kriteria Life Skill ...37

Tabel 4.1 Persentase Life Skill Lembar Observasi ...38

Tabel 4.2 Persentase Life Skill LKS ...42


(13)

xii

DAFTAR LAMPIRAN-LAMPIRAN

Lampiran : 1 Perhitungan Persentase Life Skill Lembar Observasi ...68

Lampiran : 2 Perhitungan Persentase Life Skill LKS ...71

Lampiran : 3 RPP Pertemuan Ke-1 ...74

Lampiran : 3 RPP Pertemuan Ke-2 ...80

Lampiran : 3 RPP Pertemuan Ke-3 ...86

Lampiran : 3 RPP Pertemuan Ke-4 ...94

Lampiran : 7 Lembar Observasi ...104

Lampiran : 8 Rubrik Lembar Observasi ...108

Lampiran : 9 LKS ...113

Lampiran : 10 Rubrik LKS ...131

Lampiran : 11 Rekap Hasil Validasi Lembar Observasi ...135

Lampiran : 12 Rekap Hasil Validasi LKS ...136


(14)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan kebutuhan fundamental bagi setiap umat manusia, tidak hanya materi yang diajarkan didalamnya tetapi pendidikan juga mengajarkan moral untuk membentuk pribadi manusia menjadi pribadi yang lebih baik. Tanpa adanya pendidikan, hidup manusia tidak akan terarah, tak mengenal etika, tak mengerti tatakrama, dan tidak dapat meningkatkan kualitas hidup serta sumber daya manusia. Surya (2004, hlm. 139) menjelaskan mengenai pendidikan bahwa setiap manusia memiliki hak asasi untuk menyiapkan dirinya menuju masa depan yang lebih baik. Pemerintah berkewajiban untuk memenuhi hak setiap warga negara dalam bidang pendidikan.

Pemerintah telah merumuskan sistem pendidikan dalam undang-undang pasal 3 nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang berbunyi:

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Untuk membentuk karakter anak agar cakap akan segala hal, kecakapan hidup (life skill) seorang anak harus digali. Dalam Konsep Pengembangan Model Integrasi Kurikulum yang diterbitkan oleh depdiknas (2007, hlm.1) yang mengacu pada peraturan perundangan, pada jenjang pendidikan dasar serta menengah, pendidikan kecakapan hidup (life skill education) merupakan salah satu aspek yang perlu mendapat perhatian. Aspek pendidikan kecakapan hidup diatur dalam PP 19 tahun 2005 Pasal 13 ayat (1) yang berbunyi


(15)

“kurikulum untuk SMP/MTs/SMPLB atau bentuk lain yang sederajat, SMA/MA/SMALB atau bentuk lain yang sederajat dapat memasukkan pendidikan kecakapan hidup.” Selanjutnya dijelaskan dalam ayat (2) yang berbunyi “pendidikan kecakapan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup kecakapan personal (pribadi), kecakapan sosial, kecakapan akademik, dan kecakapan vokasional. Atas dasar itu, baik sekolah formal maupun non-formal memiliki kepentingan untuk mengembangkan pembelajaran berorientasi kecakapan hidup.”

Dikutip dari Ali (2009, hlm. 355) bahwa pendidikan yang tidak dapat dilaksanakan oleh keluarga dan masyarakat, hendaknya dilaksanakan di sekolah untuk melayani kebutuhan pendidikan. Banyak harapan dari para orang tua yang menyekolahkan anaknya di sekolah agar mereka dapat menjadi manusia-manusia yang terdidik, mengenal etika, mengerti tatakrama, pandai bergaul dengan lingkungan sosial, berjiwa kritis, cakap akan segala hal agar dapat menjadi generasi penerus bangsa yang membanggakan.

Life skill sangat diperlukan pada era modern seperti sekarang ini. Persaingan dalam dunia kerja yang nantinya akan dihadapi oleh seorang siswa sangat menuntut life skill yang mereka miliki. Life skill siswa merupakan kemampuan, keterampilan, dan kesanggupan yang diperlukan seorang siswa untuk menjalankan kehidupan nyata yang akan dihadapinya.

Melihat realita yang ada, ITB News (2014, hlm.1) merilis data siswa yang diterima di perguruan tinggi negeri pada tahun 2014 hanya bejumlah 133.406 orang saja dari 777.536 siswa SMA/SMK dan MA yang mendaftar SNMPTN tahun 2014. Bila dipersentasekan, hanya 17,15% saja siswa yang diterima. Hal ini menunjukkan perbandingan antara mereka yang melanjutkan ke perguruan tinggi negeri lewat seleksi SNMPTN jauh lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang tidak melanjutkan. Apabila peserta didik tidak diberikan bekal life skill, tentu hal ini akan menambah angka pengangguran di negara kita. Belakangan ini, menurut pemerintah, perekonomian Negara Indonesia dikatakan sudah mulai membaik. Namun, kenyataan sebenarnya yang ditemukan di lapangan tidaklah seoptimis seperti yang diungkap oleh pemerintah. Tingkat kemiskinan masih memprihatinkan,


(16)

pengangguran juga terlihat di mana-mana. Tak heran, tingkat kejahatan terus meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini sesuai dengan data yang diunggah oleh Badan Pusat Statistik (2011, hlm.62), mengenai jumlah penduduk Indonesia yang berada di garis kemiskinan, bahwa terdapat 30,02 juta orang atau 12,49% dari seluruh warga Indonesia yang berada pada garis kemiskinan. 30,02 juta orang merupakan angka yang sangat besar. Bila dibiarkan, dalam hal ini tidak ada upaya dan langkah nyata untuk mengurangi angka penduduk miskin di negara kita, tidak bisa dibayangkan akan seperti apa nasib bangsa kita kelak. Oleh sebab itu, life skill seorang anak harus diasah melalui pendidikan kecakapan hidup.

Konsep pendidikan kecakapan hidup (life skill) pertama kali dikembangkan dalam dunia kesehatan. Dengan adanya pendidikan kecakapan hidup diharapkan orang-orang akan lebih paham dan dapat meningkatkan kualitas kesehatannya sehingga dapat melangsungkan kehidupannya. Seperti yang dinyatakan oleh organisasi kesehatan dunia, WHO (1997, hlm.1) bahwa

life skill merupakan kemampuan untuk beradaptasi dan memiliki kebiasaan yang positif, sehingga dapat memutuskan sesuatu dengan tepat dan dapat menjawab tantangan hidup dalam kesehariannya.

Pendidikan bisa didapatkan dari mana saja. Sekolah, lembaga bimbingan belajar, program home schooling, keluarga, serta lingkungan sekitar. Sekolah sebagai lembaga formal dapat menjadi wadah sebagai sarana untuk membentuk manusia yang terdidik dan memiliki life skill. Sudah saatnya sekolah menerapkan pendidikan berorientasi pada life skill untuk memberi bekal kepada anak didiknya agar mampu mengatasi berbagai permasalahan dalam kehidupan sehari-hari dan dapat menjawab tantangan dunia. Berdasarkan pernyataan tersebut, sudah jelas bahwa siswa dituntut untuk memiliki life skill agar mampu bersaing dalam dunia kerja.

Ilmu kimia merupakan cabang ilmu yang erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari. Namun seringkali ilmu kimia yang diajarkan di sekolah hanya terpaku pada materi yang ada di dalam buku, bahkan penyampaian materi dari seorang guru pun terjebak dengan pengetahuan yang sudah biasa mereka ajarkan tanpa mempertimbangkan kemajuan zaman dan tidak


(17)

memerhatikan realita yang ada. Studi Blazely, dkk. dalam Rusman (2009, hlm.501) melaporkan bahwa pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah cenderung sangat teoritik dan tidak sesuai dengan lingkungan siswa di sekitarnya. Padahal, hal dasar dari dunia pendidikan ini adalah memberi pengetahuan dan pengalaman baru bagi anak didiknya. Namun fenomena yang terjadi hanya terbatas pada pemberian pengetahuan saja, tidak diimbangi dengan pengalaman yang dapat menjadikan peserta didik lebih terampil, kreatif, dan memiliki kecakapan hidup yang sangat dibutuhkan untuk dapat melangsungkan hidupnya. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kubudayaan Nomor 54 Tahun 2013 Tentang Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar dan Menengah, yang menyebutkan bahwa kualifikasi kemampuan dalam dimensi keterampilan yakni, “Memiliki kemampuan pikir dan tindak yang efektif dan kreatif dalam ranah abstrak dan konkret sebagai pengembangan dari yang dipelajari di sekolah secara mandiri.” Agar dapat mengembangkan kemampuan peserta didik dari pelajaran yang telah mereka terima, dibutuhkan suatu pengajaran yang mampu untuk mewujudkan hal tersebut.

Menurut Supartono dalam Paristiowati, Slamet, & Sebastian (2014, hlm.2) tujuan pendekatan chemo-entrepreneurship atau yang biasa disingkat CEP adalah untuk memotivasi siswa untuk memiliki perilaku saintifik, mampu berpikir kreatif dan inovatif sehingga mereka memiliki semangat dan memiliki jiwa berwirausaha. Penelitian lain juga dilakukan oleh Kusuma dan Siadi (2010, hlm.551), mereka menyimpulkan pembelajaran dengan menggunakan bahan ajar kimia berorientasi chemo-entrepreneurship dapat meningkatkan life skill siswa. Pendekatan chemo-entrepreneurship merupakan suatu pendekatan pembelajaran kimia yang mampu memotivasi peserta didik untuk berwirausaha. Dengan pendekatan ini konten pengajaran kimia akan lebih menarik serta memupuk daya kreatifitas, inovasi, serta life skill peserta didik sehingga tidak ada lagi ungkapan bahwa ilmu kimia itu adalah sesuatu yang abstrak. Dengan pendekatan chemo-entrepreneurship ini ilmu kimia akan lebih mudah diterima oleh peserta didik dan lebih terasa manfaatnya secara langsung oleh para peserta didik.


(18)

Dengan adanya pendekatan chemo-entrepreneurship ini diharapkan peserta didik memiliki bekal life skill yang telah diberikan dari masa sekolahnya. Peserta didik dapat memanfaatkan life skill yang mereka miliki dari pendekatan chemo-entrepreneurship untuk dapat berwirausaha atas dasar ilmu kimia. Dengan demikian akan mengurangi angka pengangguran yang ada di negara kita ini. Seperti hasil dari penelitian yang telah dilakukan oleh Paristiowati, Slamet, & Sebastian (2014), dalam penelitiannya yang berjudul

Chemo-Entrepreneurship: Learning Approach for Improving Student’s Cooperation and Communication menyimpulkan, bahwa terjadi perbaikan kemampuan atau kecakapan bekerjasama dan berkomunikasi siswa melalui pendekatan pembelajaran Chemo-entrepreneurship. Dapat terlihat dari pencapaian indikator kemampuan atau kecakapan bekerjasama dan berkomunikai siswa.

Metode praktikum aplikatif dirasa sangat tepat untuk pengajaran yang berorientasi pada chemo-entrepreneurship untuk mengasah life skill siswa. Agar dapat mendidik siswanya dengan baik, tentu harus dapat mengajarkan konten-konten pelajaran di sekolah dengan baik pula. Melihat fenomena yang ada, dalam proses pembelajaran yang berlangsung banyak guru yang terjebak mengajarkan materi hanya menggunakan metode pengajaran klasikal dan ceramah, tanpa pernah diselingi berbagai metode pengajaran yang menantang agar siswa berusaha.

Menurut Aunurrahman (2009, hlm.142) setiap guru pada dasarnya menginginkan untuk dapat menyampaikan materi yang mereka ajarkan sejelas mungkin agar dapat dipahami oleh para siswanya. Namun secara tidak langsung, ketika seorang guru melakukan proses pembelajaran hanya dengan menggunakan metode ceramah, hanya akan membuat para siswa menerima apa adanya yang diberikan oleh guru tersebut. Siswa tidak dapat ikut berperan aktif selama proses pembelajaran berlangsung. Sehingga cara berfikir dan kreativitas siswa tidak akan berkembang karena tidak ada stimulus yang diberikan. Padahal, yang terpenting dari seorang guru adalah bagaimana mereka dapat memahami perasaan para siswa sehingga mereka dapat


(19)

menggali potensi yang dimiliki oleh siswanya secara optimal. (Elfindri, Rumengan, Wello, Tobing, Yanti, Eriyani, & Indra, 2011, hlm.2)

Dalam pembelajaran IPA, khususnya dalam bidang studi kimia pada materi koloid, akan menjadi suatu bumerang bagi guru apabila materi tersebut diajarkan dengan metode yang klasikal. Siswa hanya mengerti sebatas apa yang disampaikan oleh guru, tidak memahami apa yang mereka pelajari sebenarnya, dan manfaat apa yang mereka dapatkan setelah mempelajari materi tersebut.

Aspek kognitif, afektif, dan psikomotor harus dilibatkan dalam proses pengajaran ini. Oleh karena itu, praktikum aplikatif dirasa sangat tepat untuk mengasah ketiga aspek tersebut sehingga peserta didik akan terbiasa mengkonstruk pemahamannya dari apa yang telah mereka lakukan.

Dengan latar belakang masalah tersebut maka diperlukan adanya pengkajian terhadap life skill siswa pada pembelajaran kimia khususnya materi koloid yang berorientasi pada chemo-entrepreneurship dengan metode praktikum aplikatif.

B. Identifikasi Masalah

Agar penelitian lebih terarah dan dapat dikaji lebih mendalam maka diperlukan identifikasi masalah. Dalam penelitian ini masalah yang ada sebagai berikut:

1. Belum adanya keterselengaraan kegiatan pembelajaran yang berorientasi pada life skill sehingga siswa kurang dapat menggali potensi, kreativitas, dan jiwa usaha mereka sehingga mereka dapat memecahkan berbagai permasalahan dalam kehidupan sehari-hari dan mampu hidup secara mandiri dengan bekal life skill yang mereka miliki.

2. Siswa kurang mengetahui manfaat yang dapat dirasakan langsung setelah melakukan pembelajaran di sekolah

3. Kurangnya inisiatif guru untuk memberikan pengalaman belajar pada siswa yang dapat meningkatkan life skill siswa


(20)

C. Pembatasan Masalah

Agar penelitian ini lebih jelas mengenai permasalahan yang akan diteliti, maka penelitian ini dibatasi pada:

1. Life skill peserta didik yang akan diteliti yaitu:

a. Kecakapan Hidup Generik (General Life skill), yang meliputi:

1) Kecakapan Personal (Personal Skill), yang mencakup Kecakapan Mengenal Diri (Self Awareness) dan Kecakapan Berpikir (Thinking Skill)

2) Kecakapan Sosial (Social Skill), yang mencakup Kecakapan Berkomunikasi (Communication Skill) dan Kecakapan Bekerjasama (Cooperative Skill)

b. Kecakapan Hidup Spesifik (Specific Life skill) yang mencakup Kecakapan Akademik (Academic Skill) dan Kecakapan Vokasional (Vocational Skill)

2. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pedekatan

chemo-entrepreneurship dengan metode praktikum aplikatif.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah yang diuraikan, maka dalam penelitian ini masalah yang akan diteliti yaitu: Bagaimanakah life skill siswa pada pembelajaran koloid melalui pendekatan chemo-entrepreneurship?

E. Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui life skill

siswa pada pembelajaran Koloid dengan pendekatan chemo-entrepreneurship.

F. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi siswa; meningkatkan life skill siswa, meningkatkan penguasaan siswa terhadap materi pelajaran, meningkatkan motivasi belajar dan berwirausaha siswa. Bagi guru; Membantu guru memperbaiki pembelajaran, memberikan referensi alternatif pendekatan pembelajaran, meningkatkan profesionalisme guru, meningkatkan kompetensi guru dalam pengembangan profesi. Bagi peneliti;


(21)

8

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Life Skill

Pendidikan merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap manusia. Di zaman modern seperti ini, yang berpendidikan tinggi sekali pun masih banyak yang menganggur, bisa kita bayangkan apabila kita tidak dibekali dengan pendidikan yang cukup. Pendidikan adalah modal utama untuk membangun bangsa, tentu pendidikan yang dapat membangun suatu bangsa ialah pendidikan yang bermutu, yaitu pendidikan yang mampu mengembangkan potensi peserta didik, sehingga peserta didik mampu menghadapi dan memecahkan problema kehidupan yang dihadapinya. Dewasa ini pengembangan kurikulum lebih berorientasi pada upaya penyiapan para peserta didik yang cerdas melalui pengembangan keterampilan atau keahlian khusus sesuai dengan konsentrasi studinya. Sekolah memiliki peranan yang penting untuk mencetak manusia-manusia yang terdidik. Tyler dan Seller dalam Hakim (2009, hlm.216) mengemukakan, program pendidikan yang dilaksanakan oleh sekolah harus memberikan bekal dan pemahaman kepada siswa tentang kehidupan bermasyarakat yang mencakup dunia kerja sebab pada dasarnya tujuan dari sekolah dan program pendidikan adalah untuk membantu siswa agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Banyak harapan dari para orang tua murid yang menyekolahkan anaknya agar anaknya memiliki bekal ilmu pengetahuan, memiliki etika dan tatakrama, memiliki kemampuan dan

life skill dengan harapan agar mereka dapat memiliki kehidupan yang layak nantinya.

Pengertian life skill menurut Suyono dan Hariyanto (2011, hlm.174) jangan dimaknai secara sempit hanya dengan melihat keterampilan fisik saja, tetapi juga bermakna sebagai sikap, perilaku, dan motivasi yang diperlukan para siswa untuk terampil menghadapi


(22)

berbagai persoalan hidup yang akan dihadapinya. Pendidikan life skill

sangat luas cakupannya. Tidak hanya dari segi kesehatan, pendidikan

life skill juga dapat diaplikasikan dalam dunia pendidikan. Mutu pendidikan harus terus ditingkatkan guna untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia. Oleh karena itu pendidikan harus dapat mengembangkan potensi peserta didik untuk dapat mnghadapi berbagai masalah yang akan dihadapinya. Pendidikan life skill sangat penting diberikan kepada para siswa untuk memberikan bekal agar mereka dapat menyelesaikan berbagai macam tantangan hidup yang akan mereka hadapi nantinya. Pendidikan life skill melatih para siswa agar mereka terampil dalam memecahkan masalah-masalah yang ada karena pendidikan life skill tidak hanya bergelut pada aspek kognitif saja, namun afektif dan psikomorik pun merupakan bagian dari pendidikan

life skill. Sehingga siswa akan dibekali dengan kemampuan dan life skill

yang cukup.

Tim Broad Based Education Depdiknas (2003, hlm.2) menyatakan bahwa pendidikan life skill ini bukanlah suatu mata pelajaran baru, sehingga tidak perlu merubah kurikulum. Yang harus dilakukan adalah reorientasi pendidikan yang semula subject mater oriented menjadi life skill oriented. Adanya reorientasi pendidikan tersebut, diharapkan siswa dapat memiliki life skill pada dirinya. Tim Pengembang Ilmu Pendidikan (2007, hlm. 356) merumuskan life skill

sebagai keterampilan para siswa untuk memahami dirinya sendiri serta potensi yang mereka miliki. Sehingga siswa tahu apa tujuan hidupnya serta mereka mampu untuk memecahkan masalah serta dapat hidup bersama orang lain. Sehingga dengan adanya pendidikan life skill ini siswa diharapkan mampu memasuki kehidupan sebagai orang dewasa yang sukses.

Pendidikan life skill merupakan pendidikan yang bersifat aplikatif dan konseptual. Peserta didik tidak hanya mendapatkan ilmu, namun dengan adanya pendidikan life skill, siswa didorong untuk memiliki kemampuan lain dari ilmu yang telah mereka dapatkan. Sehingga


(23)

dengan demikian, pembelajaran di sekolah akan terasa langsung manfaatnya bahwa apa yang mereka pelajari memang benar nyata ada di sekeliling mereka dan mereka dapat mengaplikasikannya langsung.

Dengan pendidikan life skill, peserta didik dilatih untuk mengenali siapa diri mereka, mengenali lingkungan sekitar mereka. Sehingga akan terbentuk motivasi di dalam diri mereka bahwa mereka memiliki kemampuan, mereka memiliki potensi dari apa yang telah mereka pelajari, dan mereka mampu menyelesaikan masalah dan tantangan hidup mereka.

Life skill sangat penting dimiliki oleh setiap individu untuk dapat melangsungkan hidupnya. Bahkan orang pengangguran pun tetap memerlukan life skill karena akan tetap menghadapi berbagai masalah. Apalagi bagi mereka yang sedang menempuh pendidikan, sudah pasti diharuskan memiliki life skill yang mumpuni karena mereka juga memiliki permasalahan yang harus dipecahkan. Setiap manusia tentu tidak akan terlepas dari masalah. Selama ia hidup, pasti akan dihadapkan dengan masalah. Kemampuan untuk menyelesaikan masalah inilah yang akan dilatih melalui pendidikan life skill. Menurut Satori dalam Susiwi (2007, hlm.1), life skill bukan hanya memiliki kemampuan tertentu saja (vocational job), namun ia juga harus memiliki kemampuan dasar pendukungnya seperti membaca, menulis, menghitung, merumuskan dan memecahlan masalah, mengelola sumber-sumber daya yang ada, bekerja dalam tim atau kelompok, dapat menggunakan teknologi, dan masih banyak lagi lainnya.

Departemen pendidikan nasional pun turut andil dalam pengembangan pendidikan life skill. Mengutip pernyataan Barrie Hopson dan Scally dalam dokumen depdiknas (2007, hlm.5), mereka mengemukakan bahwa life skill merupakan pengembangan diri yang dilakukan oleh siswa untuk dapat bertahan hidup, tumbuh, dan berkembang, serta memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dan berhubungan dengan baik secara individu, kelompok ataupun melalui sistem dalam menghadapi situasi tertentu.


(24)

Menurut konsepnya, yang dirumuskan oleh depdiknas (2007, hlm.6), kecakapan hidup dapat dibagi menjadi dua jenis utama, yaitu:

life skill generik, dan life skill spesifik. Kedua jenis kecakapan itu dapat dibagi lagi menjadi sub-sub life skill. Life skill generik terdiri atas kecakapan personal yang terdiri dari kecakapan mengenal diri dan kecakapan berpikir, dan kecakapan sosial yang terdiri atas kecakapan berkomunikasi dan kecakapan bekerjasama. Sedangkan life skill

spesifik terdiri atas kecakapan akademik dan kecakapan vokasional. Secara skematik, kecakapan hidup dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.1 Skema life skill

a. Kecakapan Mengenal Diri

Kecakapan mengenal diri menurut Anwar (2012, hlm.29), yakni penghayatan diri sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, sebagai bagian dari anggota masyarakat dan warga negara, serta menyadari serta mensyukuri kelebihan dan kekurangan yang telah diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa, serta menjadikan kesemua itu sebagai modal

Life skill

Life skill

generik

Kecakapan Personal

Kecakapan Mengenal Diri

Kecakapan Berpikir

Kecakapan Sosial

Kecakapan Berkomunikasi

Kecakapan Bekerjasama

Life skill

spesifik

Kecakapan Akademik

Kecakapan Vokasional


(25)

dalam meningkatkan dirinya sebagai individu yang memiliki manfaat bagi dirinya sendiri serta lingkungannya. Susiwi (2007, hlm.2) menambahkan, dengan mengenal diri akan mendorong seseorang bersikap jujur, memiliki kerja keras, disiplin, dapat dipercaya, memiliki toleransi untuk sesama, suka menolong serta dapat memelihara lingkungannya. Sikap tersebut dapat dikembangkan melalui pembelajaran kimia. Sikap jujur yang sesuai dengan pembelajaran kimia misalnya ketika saat melaksanakan praktikum menuliskan hasil pengamatan sesuai dengan apa yang didapat, tidak mengada-ada.

b. Kecakapan Berpikir

Manusia sebagai makhluk yang dibekali akal pasti akan selalu berpikir akan sesuatu hal. Manusia berbeda dengan makhluk hidup lainnya karena manusia mempunyai akal budi dan kemauan yang kuat. Dengan akal budi dan kemauan yang kuat, manusia dapat menjadi makhluk yang lebih dari makhluk lainnya. Manusia mempunyai ciri khas, ia selalu ingin tahu, dan setelah memperoleh pengetahuan tentang sesuatu, maka ia memiliki kecenderungan untuk ingin lebih tahu lagi. Susiwi (2007, hlm.2) menjelaskan, kecakapan berpikir merupakan kemampuan untuk menggunakan pikiran atau akalnya secara optimal, untuk mengasah kecakapan berpikir siswa, mereka dilatih mengenai mengenali, menggali, dan mengolah informasi, mengambil keputusan secara cerdas, dapat memecahkan masalah dengan tegas, dan kreatif.

c. Kecakapan Berkomunikasi

Tidak ada satu manusia pun yang tidak berkomunikasi. Selama manusia itu hidup, pasti akan berkomunikasi. Salah satu keunikan manusia adalah kemampuannya menggunakan bahasa. Dengan kemampuannya itu, manusia mengembangkan diri dan dunia sosialnya. Kemampuan berkomunikasi inilah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Seperti yang dikatakan oleh Roudhonah (2007, hlm.45) pada dasarnya komunikasi adalah proses


(26)

penyampaian pikiran atau perasaan oleh seseorang yang ditujukan kepada orang lain dengan menggunakan lambang (simbol). Pikiran tersebut bisa berupa gagasan, informasi, opini, ide, peristiwa dan lainnya. Dari definisi tersebut, diperlukan teknik-teknik agar kita dapat berkomunikasi dengan baik, sehingga apa yang kita komunikasikan dapat dipahami oleh penerima pesan. Mengingat berkomunikasi itu sesuatu hal yang penting, maka kecakapan berkomunikasi harus dilatih.

Berkomunikasi dilakukan oleh semua makhluk hidup. Dalam dunia pendidikan, salah satu pelaku komunikasi ialah guru dan siswa. Dikutip dari Iriantara dan Syaripudin (2013, hlm.72) yang menyatakan bahwa komunikasi pembelajaran adalah interaksi yang dilakukan antara guru dengan siswanya di kelas. Tanya jawab adalah bagian dari proses berinteraksi. Untuk dapat berinteraksi dengan individu lain, bertanya memegang peranan yang penting agar proses interaksi dapat berjalan dengan baik. Di dalam dunia pendidikan, bertanya merupakan proses pembelajaran. Adanya tanya jawab, menunjukkan adanya suatu interaksi timbal balik antara guru dengan siswa. Ketika siswa mengajukan pertanyaan, berarti siswa tersebut memiliki keingin tahuan yang lebih yang mengindikasikan bahwa siswa tersebut merespon dengan baik selama proses pembelajaran. Namun, tidak semua siswa berani untuk mengajukan pertanyaan. Ada siswa yang cenderung aktif, ketika mereka penasaran akan sesuatu atau ada hal yang tidak sepemikiran dengan mereka, mereka akan langsung mengajukan pertanyaan. Namun tidak sedikit siswa yang tidak berani bahkan enggan untuk mengajukan pertanyaan. Hal ini menunjukkan bahwa keterampilan atau kecakapan berkomunikasi mereka masih rendah. Keterampilan bertanya haruslah dilatih. Harsanto (2007, hlm.72) mengatakan, latihan bertanya dapat dimulai dengan mengajukan pertanyaan tentang apa, siapa, di mana, mengapa, dan bagaimana.


(27)

d. Kecakapan Bekerjasama

Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Artinya, manusia memerlukan orang lain untuk keberlangsungan hidupnya. Relasi antar individu sangat dibutuhkan demi terjalinnya hubungan yang baik antar sesama individu. Hal ini dapat terwujud apabila kita dapat bekerjasama dengan individu lain. Menurut Susiwi, (2007, hlm.3) saling pengertian, saling menghargai, dan saling membantu merupakan aspek dari kecakapan bekerjasama. Kecakapan ini dapat dikembangkan dalam proses pembelajaran yang dilaksanakan di dalam kelas atau laboratorium ketika melakukan suatu praktikum.

e. Kecakapan Akademik

Kecakapan akademik yang seringkali juga disebut kemampuan berpikir ilmiah pada dasarnya merupakan pengembangan dari kecakapan berpikir rasional yang masih bersifat umum. Kecakapan akademik sudah lebih mengarah kepada kegiatan yang bersifat akademik/keilmuan. Kecakapan akademik mencakup antara lain kecakapan melakukan identifikasi variabel dan menjelaskan hubungannya pada suatu fenomena tertentu, merumuskan hipotesis terhadap suatu rangkaian kejadian, serta merancang dan melaksanakan penelitian untuk membuktikan sesuatu gagasan atau keingintahuan. Anwar (2012, hlm. 30)

f. Kecakapan Vokasional

Kecakapan vokasional dijelaskan oleh Aqib (2011, hlm.3). Menurutnya, kecakapan vokasional merupakan kecakapan yang berkaitan dengan bidang pekerjaan yang berkembang di masyarakat. Sehingga kecakapan vokasional ini seringkali disebut kecakapan kejuruan. Sementara menurut Hakim (2009, hlm.221) setiap siswa harus memiliki kecakapan vokasional. Kecakapan vokasional ini meliputi pengetahuan, sikap dan keterampilan untuk bekerja sebagai wirausahawan. Kecakapan vokasional ini dikembangkan agar siswa memiliki motivasi dan etos kerja yang tinggi, kreatif serta mampu


(28)

bersaing secara sehat dan produktif. Sehingga siswa dapat membantu memperbaiki kualitas hidupnya sendiri seta meningkatkan taraf ekonominya, dengan harapan dapat menciptakan pekerjaan baru dalam masyarakat, serta memberantas kemiskinan dan mengurangi kesenjangan sosial.

Anwar (2012, hlm. 20) menyatakan, program pendidikan life skills merupakan suatu program yang dapat memberikan bekal keterampilan yang berguna terkait dengan kebutuhan pasar kerja, peluang usaha dan potensi ekonomi atau industri yang ada berkembang di masyarakat pada era ini. Untuk mewujudkan siswa yang memiliki sikap dan keterampilan untuk bekerja sebagai wirausahawan, dilakukan kegiatan pembelajaran dengan pendekatan chemo-entrepreneurship.

Arifin, (2011, hlm.241) menjelaskan tujuan diadakannya pendidikan life skill ini. Tujuannya adalah menggali potensi peserta didik, memberikan wawasan yang luas mengenai pengembangan karier peserta didik, memberikan bekal dengan diselenggarakannya latihan dasar tentang nilai-nilai yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, sekolah diberi kesempatan untuk mengembangkan pembelajaran yang fleksibel dan kontekstual, mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang ada di lingkungan sekolah dengan prinsip manajemen berbasis sekolah (school-based management), dan mengembangkan kualitas hidup para siswa untuk menjaga kelangsungan hidupnya.

2. Kewirausahaan berbasis Kimia (Chemo-entrepreneurship)

Kewirausahaan telah menjadi penggerak utama dalam perekonomian global. Para pembuat kebijakan di seluruh dunia menyadari bahwa pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan terletak di tangan para wirausahawan, yakni orang-orang yang dinamis dan yang berkomitmen untuk meraih kesuksesan dengan menciptakan serta memasarkan berbagai produk dan jasa baru yang inovatif. Ali dan Faizin (2010, hlm.11) menjelaskan, pada awal abad ke-17 dan 18 muncul istilah-istilah ekonomi


(29)

dalam bahasa Perancis. Istilah tersebut digunakan untuk menunjukkan individu-individu yang gemar berpetualang untuk meningkatkan ekonomi dengan menemukan cara yang lebih baik dan cara yang baru, istilah tersebut dikenal sebagai entrepreneur. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Suryana dan Bayu (2011, hlm. 24) yang menyatakan bahwa,

entrepreneurship berawal dari bahasa Perancis yaitu ‘entreprende’ yang

memiliki arti petualang, pencipta, dan pengelola usaha. Selanjutnya Suryana (2009, hlm. 2) juga menjelaskan, entrepreneurship adalah kemampuan kreatif dan inovatif yang dimiliki oleh seseorang yang dijadikan dasar, kiat, dan sumber daya untuk mencari peluang menuju sukses.

Seperti catatan dalam mempelajari entrepreneurship menurut Astamoen (2008, hlm. 67), entrepreneur itu dibuat, bukan masalah bakat atau turunan. Dulu, kewirausahaan dianggap hanya dapat dilakukan melalui pengalaman langsung di lapangan dan merupakan bakat yang dibawa sejak lahir, sehingga kewirausahaan dianggap tidak dapat dipelajari dan diajarkan. Namun sekarang, kewirausahaan bukan hanya urusan lapangan, tetapi merupakan disiplin ilmu yang dapat dipelajari dan diajarkan.

Pendidikan kewirausahaan sangat penting untuk diberikan pada peserta didik untuk mengasah keterampilan, kreativitas, dan kecakapan mereka. Pendidikan kewirausahaan ini dapat diberikan melalui pembelajaran di sekolah. Pengetahuan mengenai kewirausahaan harus masuk dalam kurikulum pendidikan bahkan sejak sekolah dasar. (Kementrian Perindustrian Republik Indonesia, 2016).

Seiring berkembangnya zaman, kurikulum pun ikut berkembang. Dimulai dari Kurikulum tahun 1976, Kurikulum 1994 (KBK), Kurikulum 2006 (KTSP), dan sekarang yang sedang berjalan Kurikulum 2013. Perubahan ini meemiliki maksud dan tujuan sesuai dengan perkembangan dan tuntutan kebutuhan masyarakat seperti ilmu pengetahuan, sains, teknologi, sosial, seni, keterampilan/prakarya dan bidang lainnya. Pada kurikulum 2013 ini pemerintah berupaya untuk memberikan pendidikan


(30)

kewirausahaan yakni dengan adanya mata pelajaran Prakarya dan Kewirausahaan guna untuk menyiapkan peserta didik agar dapat mengeksplorasi dirinya menjadi manusia yang kreatif, inovatif, dan mandiri sebagai bekal untuk kelangsungan hidupnya. Di samping mata pelajaran Prakarya dan Kewirausahaan, mata pelajaran lain pun dapat digunakan untuk berkontribusi menciptakan peserta didik yang memiliki jiwa entrepreneur, terutama pelajaran yang kontekstual seperti sains khususnya kimia.

Berdasarkan penjelasan Brady (1992, hlm. 22), ilmu kimia merupakan cabang ilmu yang sangat dekat dengan kehidupan manusia. Semua bahan-bahan yang sehari-hari dapat dipegang, dilihat, dan dicium baunya merupakan bahan-bahan kimia. Batu-batuan, pasir, besi, emas, perak, tembaga, katun, wol, gula, garam, dan masih banyak lagi lainnya merupakan bahan-bahan kimia. Bahan-bahan kimia inilah yang digunakan sebagai bahan utama untuk membuat tempat tinggal, pakaian, dan makanan.

Ilmu kimia merupakan cabang ilmu yang erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari. Menurut Oxtoby, Gillis, dan Nachtrieb (2001, hlm.5) kimia bukanlah hanya sekedar seperangkat fakta dan rumus yang tertutup, kimia bukanlah hanya sekedar teori, kimia merupakan metode yang hidup yang terus berkembang mengikuti perubahan zaman.

Menurut Chang (2005, hlm.4) kimia merupakan suatu ilmu yang logis kaya akan gagasan dan dapat diaplikasikan dengan menarik. Kita dapat bereksperimen atau mengaplikasikan teori-teori kimia yang ada untuk membuat suatu produk yang dapat mengembangkan pengetahuan, keterampilan, serta kecakapan kita.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan mengenai entrepreneurship dan ilmu kimia dari pandangan beberapa ahli, dapat disimpulkan bahwa kita dapat berinovasi mengasah keterampilan dan kecakapan kita untuk bereksperimen membuat suatu produk. Sehingga sangat dimungkinkan untuk menjadi seorang entrepreneur yang berdasarkan pada konsep kimia yang populer dengan istilah chemo-entrepreneurship.


(31)

Pendidikan entrepreneurship menjadi sangat penting, ada dua tahapan umum dalam pendidikan entrepreneurship, yakni mengajarkan dan mencoba. Pada tahapan mengajarkan, dilakukan pengajaran secara tradisional menggunakan buku pelajaran oleh pengajar. Materi yang diajarkan menyangkut hal-hal mendasar entrepreneurship, seperti pembuatan laporan, keuangan, pemasaran, dan lain-lain. Sedangkan tahap mencoba, siswa diajak untuk berperan aktif, terjun langsung mencoba menjadi seorang entrepreneur. Crispin, Dibben, Auley, Hoell, dan Miles (2013, hlm.104) menggabungkan kedua tahapan tersebut dan merumuskan tahapan pendekatan pendidikan entrepreneur menjadi 4 tahapan: (1) mempelajari, (2) melakukan, (3) mencerminkan, (4) meninjau kembali.

Tahapan yang pertama, mempelajari, siswa diarahkan untuk mempelajari inti dari entrepreneurship, dimulai dari menentukan produk, alat dan bahan, menyesuaikan anggaran belanja, dan memilih pasar. Selanjutya, pada tahap melakukan, siswa membuat produk yang dapat dijadikan sebagai usaha. Siswa mengkaji lebih dalam lagi produk yang dibuat agar usahanya lebih efektif (sesuai dengan konten kimia) pada tahap mencerminkan. Tahapan yang terakhir, yakni meninjau kembali, siswa mempresentasikan hasil percobaannya.

Dengan metode ini, siswa di sekolah diajarkan untuk mengaplikasikan pengetahuan yang mereka miliki, mengasah keterampilan dan kecakapan hidup mereka untuk mengolah suatu bahan menjadi produk yang bermanfaat dan bernilai ekonomis. Pembuatan produk akan memotivasi minat belajar siswa sehingga siswa bisa mengingat lebih banyak konsep atau proses kimia yang dipelajari. Salah satu materi kimia yang sesuai adalah materi koloid karena pada materi tersebut dijelaskan berbagai macam contoh olahan yang dapat diaplikasikan untuk membuat berbagai macam produk yang bermanfaat dan bernilai ekonomis.

Dengan bekal kecakapan hidup yang baik, diharapkan para lulusan akan mampu memecahkan problema kehidupan yang dihadapi, termasuk mencari atau menciptakan pekerjaan bagi mereka yang tidak melanjutkan


(32)

pendidikannya. Orientasi pembelajarannya mengikuti alur konsep pengajaran kecakapan hidup (life skill) yang meliputi materi-materi kecakapan berpikir, kecakapan individu, kecakapan sosial, kecakapan akademik, dan kecakapan vokasional. Fokus akhirnya terletak pada pemberian kecakapan vokasional.

4. Tinjauan Pembelajaran Materi Koloid

Dalam kurikulum 2013 tentang Kompetensi Dasar, untuk materi koloid pada KI 3 tercantum pada KD 3.15 yakni menganalisis peran koloid dalam kehidupan berdasarkan sifat-sifatnya. Sedangkan pada KI 4 tercantum pada KD 4.15 yakni mengajukan ide/gagasan untuk memodifikasi pembuatan koloid berdasarkan pengalaman membuat beberapa jenis koloid. Berdasarkan KD tersebut, dapat dibuat indikator yang mendukung pengembangan life skill siswa melalui pendekatan

chemo-entrepreneurship yakni membuat produk dengan sistem koloid dengan menggunakan bahan-bahan yang ada di sekitar.

“Dalam pembicaraan larutan telah dikenal adanya perbedaan antara campuran homogen dan heterogen. Ternyata pembedaan tersebut tidak tepat betul. Ada sistem yang tidak dapat dikategorikan homogen maupun heterogen; senyawa tersebut dikenal sebagai koloid.” (Sastrohamidjojo, 2010, hlm.244)

Menurut Brady (1992, hlm.597) “Koloid adalah campuran yang berada antara larutan sejati dan suspensi.” Istilah koloid pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Graham (1861) berdasarkan pengamatannya terhadap gelatin yang merupakan kristal tetapi sukar mengalami difusi, padahal umumnya kristal mudah mengalami difusi. Koloid berasal dari kata “kolia”, yang artinya lem.

Agar bahan dapat digolongkan sebagai koloid, satu atau lebih dimensinya (panjang, lebar, atau tebal) harus berukuran di antara 1 sampai 100 nm. Jika semua dimensi kurang dari 1 nm, partikel berada dalam kisaran ukuran molekul. Jika semua dimensi lebih dari


(33)

100 nm, partikel, berukuran makroskopis (walaupun hanya dapat dilihat di bawah mikroskop).” (Petrucci, 1985, hlm. 80)

“Keadaan koloid merupakan keadaan antara suatu larutan dan suatu suspensi. Bila suatu bahan berbeda dalam keadaan subdivisi ini, bahan itu memperagakan sifat-sifat yang menarik dan penting yang tidak merupakan ciri dari bahan dalam agregat yang lebih besar”. Keenan (1984, hlm 455). Sistem koloid perlu kita pelajari karena berkaitan erat dengan hidup dan kehidupan kita sehari–hari. Cairan tubuh, seperti darah adalah sistem koloid; bahan makanan, seperti susu, keju, nasi dan roti adalah sistem koloid; cat, berbagai jenis obat, bahan kosmetik, tanah pertanian juga merupakan sistem koloid.

a. Sifat Sistem Koloid 1) Efek Tyndall

Menurut Petrucci (1985, hlm. 80), “Untuk menentukan larutan sejati atau koloid, digunakan metode silika koloid. Jika cahaya melewati larutan sejati, pengamat yang melihatnya dari arah tegak lurus terhadap sinar tidak melihat cahaya. Tetapi, dalam suspensi koloid cahaya dibaurkan ke segala arah dan dapat dilihat dengan mudah.”

Gambar 2.2 Penghamburan Cahaya Efek Tyndall

Kita dapat mengenali suatu sistem koloid dengan cara melewatkan seberkas cahaya (sinar) kepada obyek yang akan kita kenali. Bila dilihat tegak lurus dari arah datangnya cahaya, maka akan terlihat sebagai berikut :


(34)

a) Jika obyek adalah larutan, maka cahaya akan diteruskan (transparan).

b) Jika obyek adalah koloid, maka cahaya akan dihamburkan dan partikel terdispersi-nya tidak tampak.

c) Jika obyek adalah suspensi, maka cahaya akan dihamburkan tetapi partikel terdispersinya dapat terlihat kelihatan

Terhamburnya cahaya oleh partikel koloid disebut efek Tyndall. Partikel koloid dan suspensi cukup besar untuk dapat menghamburkan sinar, sedangkan partikel-partikel larutan berukuran sangat kecil sehingga tidak dapat menghamburkan cahaya.

Keenan (1984, hlm. 458) mengungkapkan, “efek tyndall dapat digunakan untuk memperbedakan dispersi koloid dan suatu larutan biasa, karena atom, molekul kecil, ataupun ion yang berada dalam suatu larutan tidak menghamburkan cahaya secara jelas dalam contoh-contoh yang tebalnya tak seberapa.”

Dalam kehidupan sehari-hari, efek Tyndall dapat kita amati antara lain pada:

a) Sorot lampu proyektor dalam gedung bioskop yang berasap dan berdebu

b) Sorot lampu mobil pada malam yang berkabut

c) Berkas sinar matahari melalui celah daun pohon-pohon pada pagi hari yang berkabut.

2) Gerakan Brown

“Jika suatu mikroskop optis difokuskan pada suatu dispersi koloid pada arah yang tegak lurus pada berkas cahaya dan dengan latar belakang gelap, akan nampak partikel-partikel koloid, bukan sebagai partikel dengan batas yang jelas, melainkan sebagai bintik yang berkilauan.” Keenan (1984, hlm. 458). Apabila partikel


(35)

koloid diamati di bawah mikroskop pada pembesaran yang tinggi (atau dengan mikroskop ultra) akan terlihat partikel koloid yang bergerak terus-menerus dengan arah yang acak (tak beraturan atau patah-patah (gerak zig-zag). Gerak zig-zag partikel koloid disebut gerak Brown, sesuai dengan nama penemunya Robert Brown seorang ahli biologi berkebangsaan Inggris. Gerak Brown terjadi sebagai akibat adanya tumbukan dari molekul-molekul pendispersi terhadap partikel terdispersi, sehingga partikel terdispersi akan terlontar. Lontaran tersebut akan mengakibatkan partikel terdispersi menumbuk partikel terdispersi yang lain dan akibatnya partikel yang tertumbuk akan terlontar. Peristiwa ini terjadi terus menerus yang diakibatkan karena ukuran partikel yang terdispersi relatif besar dibandingkan medium pendispersinya.

3) Adsorpsi

Menurut Petrucci (1985, hlm. 80), “Ciri penting dari partikel koloid ialah tingginya nisbah antara luas permukaan dengan volumenya.” Partikel koloid mempunyai kemampuan menyerap ion atau muatan listrik pada permukaannya. Oleh karena itu, partikel koloid menjadi bermuatan listrik. Penyerapan pada permukaan disebut adsorpsi, jika penyerapan sampai ke bawah permukaan disebut absorpsi. Kemampuan menarik ini disebabkan adanya tegangan permukaan koloid yang cukup tinggi, sehingga apabila ada partikel yang menempel akan canderung dipertahankan pada permukaannya. Contoh: pemutihan gula tebu, penjernihan air, pembuatan obat norit.

4) Koagulasi

Koagulasi merupakan proses penggumpalan partikel koloid. Penggumpalan ini dapat dilakukan dengan tiga cara yakni secara mekanis, fisis, dan kimia. Mekanis dilakukan dengan cara pemanasan, pengadukan, dan pendinginan. Agar-agar dan selai


(36)

merupakan contoh dari sifat koloid koagulasi dengan cara mekanis, karena agar-agar dan selai akan menggumpal bila dipanaskan. Alat cottrel digunakan untuk menggumpalkan asap atau debu dari cerobong pabrik, hal ini merupakan contoh dari cara fisis. Sedangkan penggumpalan dengan cara kimia dilakukan dengan menambahkan elektrolit bermuatan lawan ke dalam koloid.

5) Koloid Pelindung

Sifat koloid yang dapat melindungi koloid lain disebut koloid pelindung. Yang berperan sebagai koloid pelindung disebut emulgator. Seperti pada susu, mayones, margarin, dan jeli. Mayones merupakan suatu emulsi lemak cair, seperti minyak zaitun atau minyak jagung dalam air. Kuning telur dalam mayones berfungsi sebagai bahan penstabil emulsi.

b. Tipe Sistem Koloid

Jika suatu larutan tersusun dari komponen-komponen zat terlarut dan pelarut, maka suatu sistem koloid juga tersusun dari dua komponen, yaitu fase terdispersi (zat terlarut) dan medium pendispersi (pelarut). Contohnya, dispersi tanah liat; partikel tanah liat sebagai fase terdispersi, sedangkan air merupakan medium pendispersi.

Menurut Keenan (1984, hlm.457) dalam campuran homogen dan stabil yang disebut larutan, molekul, atom ataupun ion disebarkan dalam suatu zat kedua. Dengan cara yang agak mirip, materi koloid dapat dihamburkan atau disebarkan dalam suatu medium sinambung, sehingga dihasilkan suatu dispersi (Sebaran) koloid atau sistem koloid. Selai, mayones, tinta cina, susu, dan kabut merupakan contoh yang dikenal. Dalam sistem-sistem semacam itu, partikel koloid dirujuk sebagai zat terdispersi (tersebarkan) dan materi kontinu dalam mana partikel itu tersebar disebut zat pendispersi atau medium pendispersi.

Dalam sistem koloid, baik fase terdispersi maupun medium pendispersi dapat berupa gas, cair, atau padat. Oleh karena itu, kita mengenal delapan macam sistem koloid. Berikut tabel macam-macam koloid menurut Keenan (1984, hlm.457).


(37)

Tabel 2.1 Macam-macam Koloid Zat

terdispersi

Zat pendispersi

Nama Tipe Contoh

Gas Cairan Busa Krim kocok,

busa bir, busa sabun

Gas Padat Busa padat Batu apung,

karet busa

Cairan Gas Aerosol cair Kabut, awan

Cairan Cairan Emulsi Mayones, susu

Cairan Padat Emulsi padat Keju, mentega

Padat Gas Aerosol padat Asap, debu

Padat Cair Sol Kebanyakan

cat, pati dalam air, selai

Padat Padat Sol padat Banyak aliase.

Intan hitam, kaca rubi

c. Pembuatan Koloid

Menurut Tine, Ernavita, Ratih, dan Elly (2014, hlm.300) pembuatan koloid dapat dilakukan dengan dua cara, yakni cara kondensasi dan cara dispersi.

1) Cara Kondensasi

Cara kondensasi yaitu dengan mengubah partikel-partikel yang lebih kecil menjadi partikel yang lebih besar yaitu partikel koloid. Cara kondensasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa reaksi, diantaranya reaksi hidrolisis, penggantian pelarut, dan dekomposis rangkap.


(38)

2) Cara Dispersi

cara dispersi dapat dilakukan dengan cara menghaluskan zat yang kasar menjadi halus. Cara dispersi dapat dilakukan dengan dengan cara mekanik, peptisasi, dan cara busur bredig.

a) Cara mekanik (dispersi langsung)

Butir-butir kasar diperkecil ukurannya dengan menggiling atau menggerus koloid sampai diperoleh tingkat kehalusan tertentu, kemudian diaduk dengan medium pendispersi.

Contoh: Pembuatan selai buah. Buah yang awalnya berbentuk utuh, dipotong-potong kemudian dihaluskan kemudian diaduk, hingga menjadi selai.

b) Cara Peptisasi

Dengan cara memecah partikel-partikel besar menjadi partikel koloid, misalnya suspensi, gumpalan atau endapan dengan bantuan suatu zat pemeptisasi (pemecah).

Contoh: Agar-agar dipeptisasi oleh air. c) Cara Busur Bredig

Sol-sol logam dibuat dengan cara busur bredig, yakni dengan menggunakan elektrode, medium pendispersi, serta pemberian loncatan listrik.

d. Koloid dalam Pembelajaran melalui Pendekatan Chemo-entrepreneurship dengan metode praktikum aplikatif

Pembelajaran ini didesain untuk membuat siswa aktif belajar. Artinya, sistem pembelajaran menempatkan siswa sebagai subjek belajar. Materi koloid disampaikan dalam bentuk praktikum aplikatif. Praktikum tersebut merupakan aplikasi yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari dan pada akhirnya akan menghasilkan suatu produk yang bermanfaat dan bernilai ekonomis sehingga siswa lebih tertarik dalam mempelajari pokok bahasan koloid dan diharapkan dapat memotivasi siswa untuk berwirausaha. Contoh produk yang dihasilkan dari praktikum aplikatif melalui pendekatan


(39)

chemo-entrepreneurship ini adalah selai yang ada kaitannya dengan bahasan jenis koloid berdasarkan fase terdispersi dan medium pendispersi.

B. Penelitian yang Relevan

Penelitian terhadap kecakapan hidup siswa telah dilakukan oleh:

Ersanghono Kusuma dan Kusoro Siadi (2010) dalam penelitiannya yang berjudul Pengembangan Bahan Ajar Kimia Berorientasi Chemo-Entrepreneurship Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Dan Life skill Mahasiwa menyimpulkan bahwa pertama, pembelajaran dengan menggunakan bahan ajar kimia berorientasi chemo-entrepreneurship (CEP) dapat meningkatkan hasil belajar mahasiswa. Kedua, pembelajaran dengan menggunakan bahan ajar kimia berorientasi chemo-entrepreneurship (CEP) dapat meningkatkan kecakapan hidup khusus (specific life skill) mahasiswa.

Maria Paristiowati, Riskiono Slamet, & Rizqi Sebastian. (2014) dalam penelitiannya yang berjudul Chemo-Entrepreneurship: Learning Approach for Improving Student’s Cooperation and Communication menyimpulkan bahwa terjadi perbaikan kemampuan atau kecakapan bekerjasama dan berkomunikasi siswa melalui pendekatan pembelajaran Chemo

-entrepreneurship.

Sri Susilogati Sumarti, Supartono, & Hidayah Hidzyam Diniy. (2014) dalam penelitiannya yang berjudul Material Module Development of Colloid Orienting on Local-Advantage-Based Chemo-Entrepreneurship to Improve

Student’s Soft Skill menyimpulkan bahwa pertama, modul pembelajaran pada mata pelajaran koloid yang dikembangkan menggunakan orientasi chemo

-entrepreneurship dapat memperbaiki kecakapan hidup (life skill) siswa. Kedua, siswa memberikan respon yang positif pada materi koloid yang menggunakan modul berorientasi pendekatan chemo-entrepreneurship.

Singh, Harshvardhan dan Gera, Manju. (2015). Dalam penelitiannya yang berjudul Strategies for Developpment of Life skills and Global Competencies menyimpulkan bahwa pertama, sistem pendidikan harus memiliki fokus bahwa setiap siswa memiliki potensi yang dimilikinya sejak


(40)

lahir dan potensi tersebut dapat dikembangkan melalui pendidikan life skill

ini. Kedua, sistem pendidikan seharusnya memperbolehkan siswa untuk lebih mengenal lingkungannya, dan memiliki kesempatan untuk mampu menghadapi tantangan dalam kehidupan bermasyarakatnya


(41)

28

C.

Kerangka Konseptual

Mempelajari

Melakukan

Mencerminkan

Meninjau Kembali

Kecakapan Mengenal diri: jujur, disiplin, memelihara lingkungan

Life Skill

Tahapan Kompetensi

Dasar

Kecakapan Berpikir: melakukan pengamatan, berpikir kritis dan kreatif

Kecakapan Berkomunikasi: menyampaikan pendapat, menyampaikan

ide

Kecakapan Bekerjasama: tanggungjawab, saling membantu

Kecakapan Akademik: merancang dan melaksanakan penelitian,

melakukan identifikasi

Kecakapan Vokasional: dikaitkan dengan bidang entrepreneur, memiliki motivasi dan etos kerja,

sikap dan keterampilan wirausahawan, kreatif, mampu

bersaing KD 3.15: menganali sis peran koloid dalam kehidupan berdasark an sifat-sifatnya 4. 15 Mengajuk

an ide / gagasan untuk memodifik asi pembuatan koloid berdasarka n pengalama n membuat beberapa jenis koloid Mendiskusi-kan produk koloid yang akan dibuat Indikator Membuat produk koloid dengan sistem koloid dengan menggunaka n bahan-bahan yang ada di sekitar

G E N E R I K S P E S I F I K Kecakapan Sosial Kecakapan Personal


(42)

29

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada semester ganjil yang bertempat di SMA Negeri 87 Jakarta.

B. Metode dan Desain Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif kualitatif. Deskriptif-kulitatif menurut Wibowo (2011, hlm.43) adalah penggambaran fakta, data, atau objek material yang bukan berupa angka, melainkan berupa narasi melalui interpretasi yang tepat dan sistematis. Desain penelitian merupakan kerangka kerja yang digunakan untuk melakukan suatu riset. Adapun desain penelitian yang digunakan yakni desain penelitian kualitatif tentatif yang disusun sebelum melakukan penelitian ke lapangan (Buchari, 2012, hlm. 37)

Gambar 3.3 Desain Penelitian Deskriptif Kualitatif

1. Persiapan

a. Menganalisis pembelajaran materi Koloid dalam kurikulum 2013 Dalam Kurikulum 2013 tentang Kompetensi Dasar, untuk materi koloid pada KI 3 tercantum pada KD 3.15 yakni menganalisis peran

Persiapan

Evaluasi Pelaksanaan


(43)

koloid dalam kehidupan berdasarkan sifat-sifatnya. Sedangkan pada KI 4 tercantum pada KD 4.15 yakni mengajukan ide/gagasan untuk memodifikasi pembuatan koloid berdasarkan pengalaman membuat beberapa jenis koloid. Berdasarkan KD tersebut, dapat dibuat indikator yang mendukung pengembangan life skill siswa melalui pendekatan

chemo-entrepreneurship yakni membuat produk dengan sistem koloid dengan menggunakan bahan-bahan yang ada di sekitar dan menganalisis sifat-sifat sistem koloid dari produk yang dibuat.

b. Membuat instrumen penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar kerja siswa, lembar observasi, dan dokumentasi.

2. Uji Coba

Uji coba ini dilakukan untuk mengetahui waktu yang diperlukan untuk praktikum.

a. Menguji validasi instrumen

Instrumen yang divalidasi adalah lembar kerja siswa dan lembar observasi. Validasi instrumen dilakukan kepada expert judgment. Bila hasilnya belum valid maka instrumen tersebut diperbaiki dan divalidasi kembali.

b. Memilih dan melakukan pengarahan terhadap observer c. Uji coba praktikum dan instrumen.

3. Pelaksanaan

a. Pelaksanaan praktikum untuk pokok bahasan Koloid secara berkelompok

Masing-masing kelompok berdiskusi untuk menentukan produk apa yang akan mereka buat, sesuai dengan sifat koloid. Kemudian masing-masing kelompok membuat produk koloid tersebut pada kegiatan praktikum.


(44)

Pengisian LKS dan pembuatan dokumentasi berupa foto dan video dilakukan oleh siswa pada saat kegiatan pembuatan produk koloid. Siswa diarahkan untuk melaksanakan kegiatan sesuai dengan langkah percobaan yang ada pada LKS serta mengisi kelengkapan LKS yang telah dibagikan, serta merekam kegiatan pembuatan produk koloid secara utuh dari awal hingga akhir. Lembar observasi diisi oleh observer untuk menilai life skill siswa selama melaksanakan kegiatan praktikum.

c. Pengumpulan data LKS, lembar observasi, dan hasil dokumentasi. Pengumpulan data LKS, lembar observasi, dan dokumentasi dilaksanakan bersamaan pada akhir proses penelitian, yakni pada saat pelaksanaan presentasi dari masing-masing kelompok.

d. Pemeriksaan LKS, lembar observasi, dan hasil dokumentasi.

Pemeriksaan instrumen dilakukan pada saat kegiatan penelitian telah selesai. Pemeriksaan ini berguna untuk mengoreksi kelengkapan data yang telah terkumpul.

4. Evaluasi

a. Analisis hasil data instrumen.

Analisis hasil data instrumen dilakukan dengan menggunakan metode triangulasi data untuk mendapatkan hasil yang lebih valid. b. Membuat kesimpulan.

Kesimpulan dibuat setelah seluruh kegiatan penelitian selesai dan telah didapat hasil life skill siswa yang muncul pada saat kegiatan praktikum dengan pendekatan chemo-entrepreneurship berlangsung.

C. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XI IPA SMA Negeri 87 Jakarta, dan sampel dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI IPA 1 SMA Negeri 87 Jakarta.


(45)

D.Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data menurut Juliandi, Irfan, dan Manurung (2014, hlm.115) adalah data apa dan bagaimana data tersebut bisa didapatkan oleh peneliti. Pada penelitian ini, pengumpulan data diambil secara langsung pada kegiatan pembelajaran berlangsung saat praktikum. Data-data yang akan diteliti didapatkan dari isian LKS, lembar observasi, serta hasil dokumentasi.

Tabel 3.2 Pedoman Pembuatan Instrumen

Life skill Indikator Life skill LKS Lembar

Observasi

Dokumen tasi Kecakapan

mengenal diri

Disiplin √ √

Memelihara lingkungan √ √

Kecakapan

Berpikir Berpikir kreatif √ √

Kecakapan Berkomunikasi

Menyampaikan pendapat √ √

Menyampaikan ide √ √

Kecakapan

Bekerjasama Saling membantu √ √ √

Kecakapan Alademik

Melaksanakan penelitian √ √

Melakukan Identifikasi √ √

Kecakapan Vokasional

Keterampilan √ √

Mampu bersaing √ √ √

Etos kerja √ √

E. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini antara lain yaitu: 1. Lembar Kerja Siswa (LKS)

LKS dibuat sebagai panduan siswa untuk melaksanakan praktikum. LKS merupakan lembar kerja yang diberikan oleh guru berupa informasi dan perintah/instruksi yang diberikan kepada siswa untuk mengajarkan


(46)

suatu kegiatan belajar dalam bentuk kerja, praktek (lampiran: 9, hlm.109) untuk mencapai suatu tujuan.

Tabel 3.3 Kisi-kisi LKS

2. Lembar Observasi

Lembar observasi digunakan untuk mengamati kecakapan hidup yang tampak saat proses pembelajaran berlangsung. Lembar observasi adalah pedoman terperinci untuk mengukur beberapa aspek yang ingin ditiliti seperti sikap, pendapat, dan persepsi seseorang. Observasi yang dilakukan pada proses pelaksanaan pengumpulan data menggunakan observasi nonpartisipan terstruktur, menurut Sugiyono, (2015, hlm.204) peniliti hanya berperan sebagai pengamat, tidak terlibat secara langsung pada saat proses pelaksanaan eksperimen, namun peneliti telah merancang secara sistematis mengenai proses eksperimen, apa yang akan diamati, waktu, serta tempat pelaksanaannya. Lembar observasi ini terdiri dari 22 pernyataan yang berisikan 6 aspek life skill yang diteliti (lampiran: 8, hlm.104). Pernyataan menggunakan skala likert (selalu, sering,

kadang-Life skill Indikator Aktivitas

Pembelajaran Jumlah

Life skill

General

Berpikir Berpikir Kreatif 6 1

Berkomunikasi Menyampaikan ide 4, 5 2

Bekerjasama Saling Membantu Keseluruhan

Life skill

Spesifik

Akademik

Melaksanakan

penelitian 8, 11 2

Melakukan

Identifikasi 12, 13, 14 3

Vokasional

Keterampilan 9, 10 2

Mampu Bersaing 15 1


(47)

kadang, dan tidak pernah). Pernyataan-pernyataan yang ada pada lembar observasi tersebut mewakili aspek life skill yang akan diteliti. Life skill

siswa yang diukur antara lain adalah Generic Life skill dan Specific Life skill sesuai dengan kisi-kisi berikut:

Tabel 3.4 Kisi-kisi Lembar Observasi

3. Dokumen

Dokumen merupakan data mengenai peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen ini bisa dalam bentuk tulisan (catatan harian, biografi catatan sejarah kehidupan), gambar (foto, sketsa, dll), atau karya-karya monumental seperti film, video, dan lain-lain (Sugiyono, 2015, hlm.329). Dalam penelitian ini, selama proses eksperimen didokumentasikan dengan membuat sebuah video proses pembuatan produk koloid serta menyantumkan foto pada setiap langkah percobaan yang terdapat dalam LKS. Mengingat observasi yang dilakukan merupakan observasi tidak langsung, dokumentasi dalam bentuk video dan foto ini akan menjadi instrumen yang sangat penting untuk menilai

life skill yang dimiliki oleh siswa.

Life skill Indikator Pernyataan Jumlah

Life skill

General

Mengenal Diri

Disiplin 1

2 Memeilihara

lingkungan 2

Berpikir Berpikir kreatif 3,4 2

Berkomunika si

Menyampaikan

pendapat 5,6

4 Menyampaikan ide 7,8

Bekerjasama Saling Membantu 9,10

2

Life skill

Spesifik

Akademik

Melaksanakan

penelitian 11, 12

6 Melakukan

identifikasi

13, 14, 15, 16

Vokasional

Keterampilan 17, 18

6 Mampu Bersaing 19


(48)

F. Validasi Instrumen

Instrumen yang divalidasi adalah LKS dan Lembar Observasi. Menurut Setyosari (2015, hlm.213) suatu instrumen dikatakan valid apabila instrumen tersebut mampu mengukur apa yang seharusnya diukur. Artinya, instrumen itu dapat menunjukkan data dari variabel yang dikaji secara tepat.

Validitas yang digunakan untuk LKS dan lembar observasi adalah validitas konstruksi. Untuk menguji validitas suatu instrumen dengan validitas konstruksi, menurut Sugiyono (2012, hlm.172) dapat digunakan melalui pendapat ahli (expert judgement) yaitu dosen ahli serta praktisi pendidikan di sekolah tempat pelaksanaan penelitian. Instrumen dikonstruksi mengenai aspek-aspek yang akan diteliti berlandaskan teori tertentu. Tujuan validasi instrumen ini untuk mengukur apakah instrumen yang dikembangkan sudah tepat, dan sesuai dengan tujuan pengumpulan data. Bila hasilnya belum valid maka instrumen tersebut diperbaiki dan divalidasi kembali

G. Teknik Analisis dan Pengolahan Data

Data yang diperoleh berupa penilaian LKS, hasil observasi, dan hasil dokumentasi. Data tersebut dianalisis dengan menggunakan triangulasi data. Hasil instrumen tersebut berisi aspek life skill yang muncul pada siswa saat praktikum berlangsung. Pengolahan data dilakukan dengan cara memberikan daftar cek (√), skoring menggunakan skala likert, dikelompokkan sesuai dengan aspek life skill yang diukur, kemudian dipersentasekan rata-ratanya. Tahap yang dilakukan terhadap data-data instrumen adalah sebagai berikut:

1. Data Lembar Kerja Siswa (LKS)

Pada LKS berisi langkah kegiatan praktikum yang diorientasikan pada pendekatan chemo-entrepreneurship dimana setiap langkah pada LKS berisikan kolom yang harus diisi oleh siswa mengenai aspek-aspek

life skill sesuai dengan tahapan pelaksanaan praktikum pembuatan produk koloid. Setiap kolom yang diisi oleh siswa diberikan penilain sesuai dengan rubrik penilaian yang telah dibuat dengan interval 3 = selalu, 2 = sering, 1 = kadang-kadang, dan 0 = tidak pernah. Skoring dilakukan untuk memberi nilai pada setiap jawaban atau aspek yang muncul pada siswa.


(49)

Skoring menggunakan skala likert, yakni skala yang digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang (Sugiyono, 2015, hlm.134). Setelah dilakukan skoring, data dikelompokkan sesuai dengan aspek life skill, kemudian dirata-ratakan dengan menjumlahkan seluruh skor yang diperoleh dan dibagi sesuai dengan jumlah indikatornya, setelah itu dipersentasekan.

2. Data Hasil Observasi

Cara mencatat hasil observasi dilakukan dengan daftar cek. Menurut Zuriah (2007, hlm.174) lembar observasi diisi oleh observer dengan memberikan tanda cek (√) pada gejala yang muncul pada saat diamati.

Data hasil observasi yang telah diberi tanda cek (√) oleh observer pada gejala yang muncul kemudian dikumpulkan dan dibuat dalam bentuk interval. Data interval tersebut kemudian dianalisis dengan menghitung rata-rata jawaban berdasarkan skoring setiap aspek yang muncul dari siswa. Skoring dilakukan untuk memberi nilai pada setiap jawaban atau aspek yang muncul pada siswa dengan interval 3 = selalu, 2 = sering, 1 = kadang-kadang, dan 0 = tidak pernah sesuai dengan rubrik yang telah dibuat. Skoring menggunakan skala likert, yakni skala yang digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang (Sugiyono, 2015, hlm.134). Setelah dilakukan skoring, data dikelompokkan sesuai dengan aspek life skill, kemudian dirata-ratakan dengan menjumlahkan seluruh skor yang diperoleh dan dibagi sesuai dengan jumlah indikatornya, setelah itu dipersentasekan.

3. Data Hasil Dokumentasi

Foto dan video digunakan sebagai bahan dokumentasi diamati dengan teliti sebagai alat untuk menilai aspek life skill yang akan diteliti pada lembar observasi.


(50)

Untuk mengetahui seberapa besar informasi kecakapan hidup yang muncul pada siswa, data hasil LKS dan lembar observasi tersebut dihitung besar persentase jumlah siswa yang mengembangkan setiap aspek kecakapan hidup. Persentase tersebut dihitung dengan perhitungan sederhana yaitu:

% siswa = ℎ � � � � �

ℎ ℎ � x 100%

Arikunto (1999, hlm.269) menyarankan agar analisis kualitatif berkualitas, harus dinyatakan dalam sebuah predikat yang menunjuk pada pernyataan ukuran. Oleh karena itu, untuk mengambil kesimpulan kriteria seberapa besar life skill yang muncul dari hasil data yang diperoleh, dapat dikategorikan melalui perhitungan persantase menurut Arikunto (1999, hlm.44) dengan kriteria sebagai berikut:

Tabel 3.5 Kriteria Life skill

Persentase (%) Kriteria

81-100 Sangat baik

61-80 Baik

41-60 Cukup

21-40 Kurang

Teknik analisis data pada penelitian ini dilakukan terhadap data-data instrumen yang dikumpulkan, yaitu data hasil LKS, hasil observasi, dan dokumentasi dengan menggunakan pendekatan triangulasi agar data yang didapat lebih akurat. Menurut Pawito (2008, hlm. 99), triangulasi data merupakan upaya peneliti untuk mengakses sumber-sumber yang lebih bervariasi agar memperoleh data berkenaan dengan persoalan yang sama. Pendekatan ini terdiri dari tiga tahap: pertama dilakukan reduksi data, yaitu kegiatan memilah dan memilih data mana yang pantas dipaparkan. Kedua melakukan pemaparan data, dan ketiga dilakukan pengambilan simpulan.


(51)

38

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Dalam bab ini akan diberikan data hasil penelitian life skill siswa melalui pendekatan chemo-entrepreneurship pada materi koloid. Life skill

siswa yang diukur dalam penelitian ini adalah life skill generik dan life skill

spesifik. Hasil pengukuran aspek-aspek life skill ini diukur melalui suatu instrumen yakni lembar observasi dan LKS yang diamati oleh observer dalam hal ini adalah peneliti sendiri. Penilaian lembar observasi berdasarkan pengisian LKS dan video dokumentasi proses pembuatan produk koloid yang dibuat oleh masing-masing kelompok. Hasil penilaian instrumen tersebut akan menggambarkan seberapa besar persentase life skill yang dikembangkan oleh siswa.

1. Lembar Observasi

Tabel 4.6 Persentase Life Skill Lembar Observasi

Life

Skill Aspek Indikator Persentase Rata-rata Kategori

Generik

Kecakapan Personal

Kecakapan

Mengenal Diri 83,33%

80,39% 81,67 % Sangat Baik Kecakapan

Berpikir 77,45%

Kecakapan Sosial

Kecakapan

Berkomunikasi 77,69%

82,96% Kecakapan

Bekerjasama 88,24%

Spesifik

Kecakapan Akademik

Melaksanakan

Penelitian 73,04%

78,30%

67,74

% Baik

Melakukan

Identifikasi 83,57%

Kecakapan Vokasional

Keterampilan 39,21%

57,19% Mampu

Bersaing 92,16% Etos Kerja 40,19%


(52)

a. Life skill Generik

Life skill generik yang diukur dalam penelitian ini adalah kecakapan personal dan kecakapan sosial. Berikut ini adalah data hasil pengukuran kecakapan personal dan kecakapan sosial berdasarkan lembar observasi.

1) Kecakapan Personal

Berdasarkan data hasil observasi, life skill generik pada aspek kecakapan personal yang meliputi indikator kecakapan mengenal diri menunjukkan bahwa pada sub indikator disiplin dikembangkan oleh siswa sebesar 81,37% dan memelihara lingkungan sebesar 85,29%. Kecakapan mengenal diri dikembangkan oleh siswa dengan sangat baik yang ditunjukkan oleh rata-rata sebesar 83,33%.

Pada indikator kecakapan berpikir menunjukkan bahwa pada sub indikator berinovasi memodifikasi produk koloid yang dipilih dengan kreatif dikembangkan oleh siswa sebesar 85,29%, sedangkan pada sub indikator membuat sketsa pembuatan produk koloid dengan kreatif sebesar 69,61%. Kecakapan berpikir dikembangkan dengan baik oleh siswa yang ditunjukkan dengan rata-rata sebesar 77,45%.

Kecakapan personal pada pembelajaran koloid melalui pendekatan chemo-entrepreneurship dikembangkan dengan baik oleh siswa dengan persentase sebesar 80,39%. Indikator kecakapan mengenal diri lebih banyak dikembangkan oleh siswa yakni sebesar 83,33% dibandingkan dengan indikator kecakapan berpikir yang dikemabangkan sebanyak 77,45%. Sub indikator kecakapan personal yang paling besar dikembangkan oleh siswa adalah menjaga kebersihan selama praktikum berlangsung dengan persentase sebasar 85,29%, sedangkan sub indikator yang paling


(53)

sedikit dikembangan adalah membuat sketsa pembuatan produk koloid dengan kreatif yaitu sebesar 69,61%.

2) Kecakapan Sosial

Aspek kecakapan sosial yang diamati dalam penelitian ini adalah kecakapan berkomunikasi dan kecakapan bekerjasama. Pada kecakapan berkomunikasi diukur menggunakan instrumen lembar observasi berdasarkan video dokumenter proses pembuatan produk koloid dan pengamatan langsung pada saat proses presentasi di kelas dan proses penjualan produk yang dilaksanakan di sekolah serta LKS yang diisi oleh siswa.

Indikator kecakapan berkomunikasi menunjukkan bahwa mempresentasikan kepada pembeli mengenai produk koloid yang dibuat untuk menawarkan produk koloid pada saat menjual produk koloid dikembangkan oleh siswa sebesar 76,47%, mempresentasikan dan menyampaikan pendapat mereka mengenai laporan hasil eksperimen di depan kelas sebesar 72,55%, menyampaikan ide dengan menuliskan produk koloid apa yang akan dibuat sebesar 88,24%, dan menyampaikan ide dengan menuliskan bahan baku yang akan digunakan untuk membuat produk koloid sebesar 73,53%. Kecakapan berkomunikasi dikembangkan dengan baik oleh siswa yang ditunjukkan dengan rata-rata sebesar 77,69%.

Pada indikator kecakapan bekerjasama, bekerjasama dengan anggota kelompok pada saat bereksperimen dikembangkan oleh siswa sebesar 88,24%, hal ini sama banyaknya dengan membantu memberi saran pada kelompok selama proses praktikum sebesar 88,24% juga. Kecakapan bekerjasama dikembangkan dengan sangat baik oleh siswa yang ditunjukkan dengan rata-rata sebesar 88,24%.

Kecakapan sosial siswa pada pembelajaran koloid melalui pendekatan chemo-entrepreneurship dikembangkan dengan sangat


(54)

baik, yaitu sebesar 82,96%. Indikator paling banyak yang dikembangkan oleh siswa adalah kecakapan bekerjasama dengan persentase sebesar 88,24%. Hal ini menunjukkan bahwa siswa mengembangkan kecakapan bekerjasama yang sangat baik, sedangkan indikator yang paling sedikit dikembangkan oleh siswa adalah kecakapan berkomunikasi dengan persentase sebesar 77,69%.

b. Life Skill Spesifik

Life skill spesifik yang diukur dalam penelitian ini adalah aspek kecakapan akademik dan kecakapan vokasional.

1) Kecakapan Akademik

Aspek kecakapan akademik pada indikator melaksanakan penelitian dikembangkan oleh siswa sebesar 73,04%, merencanakan dan merancang pembuatan produk koloid dengan menuliskan alat dan bahan yang akan digunakan untuk melaksanakan penelitian sebesar 88,24% serta merencanakan dan merancang pembuatan produk koloid dengan menuliskan langkah percobaan pada saat pelaksanaan penelitian sebesar 57,84%. Sedangkan pada indikator melakukan identifikasi, mengidentifikasi jenis koloid dari produk koloid yang dibuat sebesar 89,22%, mengidentifikasi sifat koloid dari produk koloid hasil eksperimen sebesar 87,25%, mengidentifikasi dengan menuliskan kesesuaian produk koloid yang dibuat dengan materi koloid sebesar 78,43%, dan mengidentifikasi dengan menuliskan peran dari sifat produk koloid yang dibuat dalam kehidupan sehari-hari sebesar 79,41%. Kecakapan akademik dikembangkan dengan baik oleh siswa yang ditunjukkan dengan rata-rata sebesar 78,30%.


(55)

2) Kecakapan Vokasional

Kecakapan vokasional siswa pada pembelajaran koloid melalui pendekatan chemo-entrepreneurship dikembangkan dengan cukup, yaitu sebesar 57,19%. Indikator paling banyak yang dikembangkan oleh siswa adalah mampu bersaing dengan persentase sebesar 92,16% sedangkan indikator paling sedikit yang dikembangkan adalah keterampilan dengan persentase sebesar 39,21%.

2. LKS

Tabel 4.7 Persentase Life Skill LKS

Life

Skill Aspek Indikator Persentase Rata-rata Kategori

Generik

Kecakapan Personal

Kecakapan

Berpikir 69,61% 69,61%

77,09

% Baik

Kecakapan Sosial

Kecakapan

Berkomunikasi 80,88%

84,56% Kecakapan

Bekerjasama 88,24%

Spesifik

Kecakapan Akademik

Melaksanakan

Penelitian 73,04%

79,17%

68,18

% Baik

Melakukan

Identifikasi 85,29%

Kecakapan Vokasional

Keterampilan 39,22%

57,19% Mampu

Bersaing 92,16% Etos Kerja 40,20%

a. Life skill Generik

Life skill generik yang diukur dalam penelitian ini adalah kecakapan personal dan kecakapan sosial. Berikut ini adalah data hasil pengukuran kecakapan personal dan kecakapan sosial berdasarkan LKS.


(56)

1) Kecakapan Personal

Berdasarkan penilaian LKS, life skill generik pada indikator kecakapan berpikir menunjukkan bahwa pada sub indikator membuat sketsa pembuatan produk koloid dengan kreatif sebesar 69,61% dengan kategori baik.

2) Kecakapan Sosial

Aspek kecakapan sosial yang diamati dalam penelitian ini adalah kecakapan berkomunikasi dan kecakapan bekerjasama. Indikator kecakapan berkomunikasi menunjukkan bahwa menyampaikan ide dengan menuliskan produk koloid apa yang akan dibuat sebesar 88,24%, dan menyampaikan ide dengan menuliskan bahan baku yang akan digunakan untuk membuat produk koloid sebesar 73,53%. Kecakapan berkomunikasi dikembangkan dengan baik oleh siswa yang ditunjukkan dengan rata-rata sebesar 80,88%.

Pada indikator kecakapan bekerjasama, penilaian sub indikator saling membantu dinilai secara keseluruhan dilihat dari kolom “yang mengusulkan” yang terdapat di dalam LKS. Kecakapan bekerjasama dikembangkan dengan sangat baik oleh siswa yang ditunjukkan dengan rata-rata sebesar 88,24%.

Kecakapan sosial siswa pada pembelajaran koloid melalui pendekatan chemo-entrepreneurship dikembangkan dengan sangat baik, yaitu sebesar 84,56%. Indikator paling banyak yang dikembangkan oleh siswa adalah kecakapan bekerjasama dengan persentase sebesar 88,24%. Hal ini menunjukkan bahwa siswa mengembangkan kecakapan bekerjasama yang sangat baik, sedangkan indikator yang paling sedikit dikembangkan oleh siswa adalah kecakapan berkomunikasi dengan persentase sebesar 80,88%.


(57)

b. Life Skill Spesifik

Life skill spesifik yang diukur dalam penelitian ini adalah aspek kecakapan akademik dan kecakapan vokasional.

1) Kecakapan Akademik

Aspek kecakapan akademik pada indikator melaksanakan penelitian dikembangkan oleh siswa sebesar 73,04%, merencanakan dan merancang pembuatan produk koloid dengan menuliskan alat dan bahan yang akan digunakan untuk melaksanakan penelitian sebesar 88,24% serta merencanakan dan merancang pembuatan produk koloid dengan menuliskan langkah percobaan pada saat pelaksanaan penelitian sebesar 57,84%. Sedangkan pada indikator melakukan identifikasi, mengidentifikasi jenis koloid dari produk koloid yang dibuat sebesar 89,22%, mengidentifikasi sifat koloid dari produk koloid hasil eksperimen sebesar 87,25%, dan mengidentifikasi dengan menuliskan peran dari sifat produk koloid yang dibuat dalam kehidupan sehari-hari sebesar 79,41%. Kecakapan akademik dikembangkan dengan baik oleh siswa yang ditunjukkan dengan rata-rata sebesar 79,17%.

2) Kecakapan Vokasional

Kecakapan vokasional siswa pada pembelajaran koloid melalui pendekatan chemo-entrepreneurship dikembangkan dengan cukup, yaitu sebesar 57,19%. Indikator paling banyak yang dikembangkan oleh siswa adalah mampu bersaing dengan persentase sebesar 92,16% sedangkan indikator paling sedikit yang dikembangkan adalah keterampilan dengan persentase sebesar 39,21%.


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)