Masalah-Masalah Pada Pengobatan Sendiri

Masyarakat menjadi lebih berani untuk melakukan pengobatan berdasarkan informasi yang diperoleh dari internet. Informasi melalui media cetak dan elektronik juga memudahkan masyarakat memakai obat seperti analgetik atau antipiretik yang tidak tepat indikasi pemakaiannya. Seperti karena adanya beban pekerjaan, maka seseorang dengan mudah menggunakan analgetik karena merasa sakit kepala ringan. Begitu pula pada ibu rumah tangga yang cepat merasa khawatir apabila anaknya demam, maka segera memberikan antipiretik. Hal tersebut tidak semata-mata dapat menjadi acuan terhadap pengobatan sendiri yang dilakukan oleh masyarakat. Karena dibutuhkan pemeriksaan lebih lanjut oleh dokter untuk mendiagnosa penyakit agar diperoleh pengobatan yang lebih efektif Kartajaya, 2011. Selain itu, banyaknya obat dengan berbagai merek seringkali membuat konsumen bingung memilih antara obat yang baik dan aman untuk dikonsumsi. Begitu juga dengan maraknya penyebaran iklan obat-obatan melalui media televisi dan media-media lain mempunyai peran yang cukup besar bagi masyarakat untuk memilih obat tanpa resep Kartajaya, 2011. Kemudahan mendapatkan obat juga mendukung peningkatan jumlah pengobatan sendiri di masyarakat. Kemudahan memperoleh obat secara bebas dapat menyebabkan masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah menjadi korban pemakaian obat yang tidak rasional. Hal tersebut terlihat dari perkembangan jumlah apotek dan toko obat di Indonesia yang meningkat. Selain itu, juga terjadi perkembangan baru dalam pelayanan penjualan obat melalui apotek. Kini apotek tidak hanya mau melakukan pengiriman obat ke rumah, tapi juga buka 24 jam, hingga melayani pemesanan melaui internet. Kemudahan semacam ini juga mempunya kontribusi dalam pengobatan sendiri Kartajaya, 2011. Seiring dengan terus bertambahnya jumlah apotek, secara tidak langsung apotek juga mendapatkan persaingan dari toko-toko obat modern seperti minimarket dan supermarket, terutama yang juga menyediakan berbagai obat over the counter OTC yang biasa digunakan untuk pengobatan sendiri. Survei yang dilakukan MarkPlus Insight mencatat bahwa supermarket dan minimarket merupakan tempat yang dituju untuk pembelian obat setelah apotek dan toko obat Kartajaya, 2011. Berdasarkan peraturan pemerintah tentang pendirian apotek Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1332MENKESSKX2002, salah satu kriteria wajib pendirian apotek adalah keberadaan apoteker pengelola apotek. Selain sebagai persyaratan wajib, keberadaan apoteker juga menjadi salah satu keunggulan apotek dari berbagai saluran distribusi obat lain yang biasa diakses konsumen untuk pengobatan sendiri. Apoteker memiliki peranan yang sangat penting bagi pengobatan sendiri karena langsung berinteraksi dengan konsumen dalam hal pemilihan obat. Posisi apoteker ini menjadi sangat strategis dalam mewujudkan pengobatan sendiri yang bertanggung jawab. Namun pada kenyataannya seringkali sebuah apotek tidak memilki apoteker yang selalu siap siaga melayani konsumen yang membutuhkan Kartajaya, 2011. Jika apotek sudah memiliki keunggulan dibandingkan jenis outlet obat lain, maka apotek juga perlu memiliki keunggulan dibanding apotek lainnya. Dewasa ini, bisnis apotek tidak hanya dituntut untuk mengedepankan sisi produk saja melainkan juga pelayanan. Pelayanan dalam hal ini tidak hanya menyangkut bentuk pelayanan yang ramah saja tetapi juga diperlukan suatu sistem operasi yang istimewa dalam kecepatan pelayanan dan ketersediaan obat Kartajaya, 2011. Sebagai salah satu penyedia layanan kesehatan, apoteker memiliki peran dan tanggung jawab yang besar pada pengobatan sendiri. Peran dan tanggung jawab apoteker ini didasarkan pada filosofi Pharmaceutical Care, dimana kegiatan apoteker yang sebelumnya berorientasi pada obat menjadi berorientasi pada pasien. Didasarkan pada filosofi ini, maka tanggung jawab apoteker adalah mengidentifikasi, memecahkan dan mencegah terjadinya masalah yang berhubungan dengan obat drug-related-problem, sehingga dapat tercapai terapi yang optimal. Penerapan asuhan kefarmasian yang baik atau GPP Good Pharmaceutical Practice di apotek telah diatur dalam Permenkes 1027 tahun 2004. Dalam PP no.51 Pasal 21 ayat 2 juga sudah dipaparkan, bahwa yang boleh melayani pemberian obat berdasarkan resep adalah apoteker. Secara tidak langsung tersirat bahwa apoteker harus selalu ada di apotek untuk melakukan asuhan kefarmasian. Tanggung jawab ini tidak hanya muncul pada pelayanan namun juga pada pengobatan sendiri. Secara lebih spesifik, tanggung jawab apoteker terhadap prilaku pengobatan sendiri masyarakat telah dirumuskan oleh FIP dan WSMI dalam suatu kesepakatan bersama. Dalam kesepakatan tersebut dikatakan bahwa tanggung jawab apoteker dalam pengobatan sendiri adalah memberikan saran dan mendampingi pasien dalam pemilihan obat, menginformasikan efek samping yang muncul pada industri farmasi, menyarankan rujukan kepada dokter, dan memberitahu cara penyimpanan obat yang benar FIP, 1999. Menurut WHO, fungsi atau tanggung jawab apoteker dalam pengobatan sendiri adalah sebagai komunikator communicator, penyedia obat yang berkualitas quality drug supplier, pengawas dan pelatih trainer and supervisor dan promoter kesehatan health promoter WHO, 1998. a. Komunikator communicator Salah satu tugas yang harus dilakukan oleh apoteker adalah memberikan informasi yang objektif tentang obat kepada pasien agar pasien dapat menggunakan obat secara rasional. Informasi yang harus diberikan oleh apoteker meliputi informasi mengenai bentuk sediaan obat, efek terapi, cara penggunaan, dosis, frekuensi penggunaan, dosis maksimum, lama penggunaan, efek samping yang mungkin timbul dan memerlukan penanganan dokter, kontraindikasi obat, makanan dan aktivitas yang harus dihindari selama penggunaan obat tersebut dan penyimpanan obat WHO, 1998; Jepson, 1990; Rudd, 1983. b. Penyedia obat yang berkualitas quality drug supplier Seseorang farmasis harus menjamin bahwa obat yang tersedia berasal dari sumber yang dapat dipertanggung jawabkan dan berkualitas bagus. Selain itu farmasis juga harus menjamin bahwa obat-obat tersebut disimpan dengan baik. c. Pengawas dan pelatih trainer and supervisor Untuk menjamin bahwa pelayanan yang diberikan berkualitas, maka farmasis harus selalu membekali diri dengan ilmu-ilmu terbaru untuk meningkatkan kemampuan profesional seperti mengikuti pendidikan berkelanjutan. Farmasis harus menjamin bahwa pelayanan yang dilakukan oleh staf yang bukan farmasis memiliki kualitas yang sama. Farmasis juga harus menyediakan pelatihan dan menjadi pengawas bagi staf yang bukan farmasis. d. Kolaborator collaborator Farmasis harus membangun hubungan profesional yang baik dengan profesional kesehatan yang lain, asosiasi profesi nasional, industri farmasi, pemerintah LokalNasional, klien dan masyarakat umum. Pada akhirnya hubungan yang baik ini dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas dalam pelayanan pengobatan sendiri. e. Promotor Kesehatan Health promotor Farmasis harus berpartisipasi dalam mengidentifikasi masalah kesehatan dan resikonya bagi masyarakat, berpartisipasi dalam promosi kesehatan dan pencegahan penyakit.

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kuantitatif dengan teknik survei. Penelitian deskriptif kuantitatif adalah penelitian terhadap fenomena atau populasi tertentu yang diperoleh oleh peneliti dari subjek berupa individu dimana hasil pengolahannya ditampilkan dalam bentuk angka. Penelitian ini membantu menjelaskan atau menggambarkan karakteristik subjek yang diteliti dan mengkaji berbagai aspek dalam fenomena tertentu. Teknik survei merupakan teknik penelitian dimana informasidata dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner Erlina, 2011.

3.2 Jenis Data

Data dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh secara langsung dari responden melalui pengisian kuesioner dan data sekunder yaitu data jumlah mahasiswa Universitas Sumatera Utara USU yang diperoleh dari Kantor Biro Rektor USU bagian pendidikan.

3.3 Tempat dan Waktu Penelitian

Tempat penelitian dilaksanakan di lingkungan USU dan waktu penelitian disesuaikan dengan waktu senggang atau waktu istirahat mahasiswa agar dapat mengisi kuesioner penelitian. Pengambilan data dimulai dari April – Mei 2014. 3.4 Subjek Penelitian 3.4.1 Populasi Populasi target pada penelitian ini adalah seluruh mahasiswa USU dan yang menjadi populasi studi adalah sebanyak 31.403 mahasiswa dengan rincian 6.430 mahasiswa kesehatan yang terbagi menjadi 5 fakultas Kedokteran, Kedokteran Gigi, Kesehatan Masyarakat, Keperawatan dan Farmasi dan sebanyak 24.973 mahasiswa non kesehatan yang terbagi menjadi 14 fakultas Pertanian, Teknik, MIPA, Ilmu Sosial dan Politik, Psikologi, Hukum, Ekonomi, Ilmu Budaya dan Fakultas Ilmu Komputer dan Teknologi Informasi dengan tingkat pendidikan S-1.

3.4.2 Sampel

Pengambilan sampel menggunakan rumus Lameshow dan Lwanga 1997, berikut: � = � � � 2 2 . �. 1 − � �. � 2 + � � 2 2 . �. 1 − � � = 31403 . 1,96 2 . 0,5. 1 − 0,5 31403 . 0,05 2 +. 1,96 2 . 0,5. 1 − 0,5 � = 30159,4412 78,5075 + 0,9604 � = 30159,4412 79,4679 � = 379,51 dibulatkan menjadi 380 sampel