39
beralih ke lahan perkebunan seperti cengkeh dan kelapa. Kondisi tersebut biasanya terjadi selama ± 4 - 6 bulan pada musim utara. Selain sebagai nelayan-
petani sebagian lainnya bekerja sebagai pedagang dan tenaga jasa. Jumlah rumah tangga perikanan di Kecamatan Pulau Tiga sekitar 594 RTP
yang terdiri dari 549 RTP perikanan tangkap dan 45 RTP perikanan budidaya. Produksi perikanan tangkap pada tahun 2007 mencapai 7.025,10 ton dan tahun
2008 mencapai 8.078,87 ton. Produksi perikanan budidaya pembesaran ikan mencapai 34.660 ton pada tahun 2007 dan 39.899 ton pada tahun 2008.
Alat tangkap yang digunakan masih bersifat tradisional seperti pancing ulur, tonda, rawai, bagan, dan bubu, walaupun telah ada beberapa nelayan yang
menggunakan alat tangkap modern. Rata-rata ikan yang ditangkap adalah dari jenis ikan target ekonomis seperti krisi, krisi bali, kakap dan tenggiri, sedangkan
untuk budidaya ikan di keramba, nelayan menangkap ikan hidup dari jenis ikan karang seperti kerapu, napoleon dan jenis ikan karang lainnya.
Kecamatan Pulau Tiga termasuk salah satu kecamatan yang memiliki produksi perikanan tangkap dan budidaya yang cukup tinggi dibandingkan dengan
kecamatan lainnya 8,42, dikarenakan selain ketersediaan sumberdaya ikan yang cukup besar kondisi lingkungan perairan yang masih mendukung untuk
ketersediaan makanan, daerah asuhan dan perkembangbiakan ikan.
4.3 Kearifan Lokal Masyarakat
Masyarakat Pulau Tiga saat ini berada dalam kondisi peralihan atau pergeseran dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern. Pengelolaan
sumberdaya khususnya terumbu karang dan organisme yang terkandung di dalamnya dihadapkan pada dualisme antara cara-cara tradisional dan modern yang
saat ini semakin berkembang dan memberikan pengaruh terhadap kondisi lingkungan dan sumberdaya perairan. Pengaruh dari permasalahan tersebut sangat
mempengaruhi sistem kehidupan mereka. Nilai- nilai lokal sangat penting dikedepankan dalam pengelolaan sumberdaya agar kesadaran akan pentingnya
interaksi antara lingkungan sumberdaya dan kehidupan mereka selalu berada dalam kondisi yang saling ketergantungan.
40
Nilai-nilai lokal atau lebih dikenal dengan kearifan lokal yang terkandung dalam kehidupan sosial budaya sudah sejak lama diterapkan secara turun temurun
oleh nenek moyang mereka. Kearifan lokal yang diterapkan di daerah tersebut masih belum sampai pada tataran institusional seperti masyarakat tradisional di
Indonesia Timur, namun baru berada pada tataran kebiasaan folkways yang sangat dipegang teguh oleh pemuka masyarakat seperti tokoh agama, pemuka
nelayan dan aparat desa. BPP-PSPL UNRI 2005 yang bekerjasama dengan COREMAP II telah melakukan kajian terhadap kearifan lokal bagi pengelolaan
sumberdaya laut khususnya terumbu karang, telah memunculkan nilai- nilai kearifan lokal, yang meliputi:
a. Tidak boleh me nangkap atau membunuh penyu di laut. b. Tidak boleh mengkap ikan bawal.
c. Membuat sauh yang tidak merusak terumbu karang. d. Menangkap ikan dengan pancing, rawai dan tombaksenapan ikan.
e. Dilarang membuang sampah dan kotoran pada daerah-daerah tertentu yang terdapat terumbu karang.
f. Menjaga daerah dan perairan yang dipandang sebagai wilayah keramat. g. Menggunakan runpon sebagai alat bantu untuk mengkonsentrasikan ikan pada
suatu tempat. h. Upacara penghormatan terhadap laut.
i. Tidak membuang remahkotoran ke laut. Sumber yang paling besar pengaruhnya dalam rangka penyadaran untuk
berkomitmen menjaga kelestarian lingkungan perairan laut adalah melalui pendekatan agama islam melalui dakwah dan penyampaian nasehat secara
perorangan. Namun demikian diakui oleh aparat desa setempat, bahwa kegiatan illegal fishing baik pengeboman dan pembiusan belum seratus persen
ditinggalkan, karena mereka tergiur oleh tawaran keuntungan yang besar dari tauke.
4.4 Gambaran Lokasi dan Stasiun Penelitian