Alat dan Bahan Saran

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2010 sampai Januari 2011, bertempat di Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan, Laboratorium Diversifikasi dan Formulasi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Laboratorium Pengolahan Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian IPB dan PUSLIT Biologi dan Zoologi LIPI Cibinong Bogor.

3.2 Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi timbangan digital, kertas saring, plastik, pisau, talenan, baskom, kertas label, karet pengikat, refrigerator . Alat-alat analisis yang meliputi pH-meter merk ORION 3 STAR, pipet, cawan petri, vortex, sudip, inkubator, tabung reaksi, erlenmeyer, alat homogenizer, gelas ukur, gelas piala, frezee drying, FTIR bruker dan Scanning Electron Microscopy 5310LV JEOL. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging sapi bagian paha atas yang diperoleh dari pedagang di Pasar Anyar Bogor dan kitosan larut asam. Bahan yang digunakan untuk analisis yaitu K 2 SO 4 , HgO, H 2 SO 4 , aquades, NaOH 40, H 3 BO 3 , alkohol, K 2 SO 4 , HgO,H 2 SO 4 , heksana, tablet kjeldahl, HCl dan media NA.

3.3 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua tahap, yaitu tahap penelitian pendahuluan dan tahap penelitian utama.

3.3.1 Tahap penelitian pendahuluan

Penelitian pendahuluan ini bertujuan untuk mengetahui mutu kitosan yang akan digunakan pada penelitian utama. Mutu kitosan yang diamati meliputi pengujian kadar air, kadar abu, kadar nitrogen, kadar protein dan derajat deasetilasi.

3.3.2 Tahap penelitian utama

Penelitian utama bertujuan untuk mengetahui pengaruh kitosan dengan konsentrasi yang berbeda-beda 0kontrol, 1, 2 dan 3 terhadap daging sapi selama penyimpanan suhu refrigerator 4-7 o C selama 0, 2 dan 4 hari. Daging sapi dibersihkan terlebih dahulu sebelum dipreparasi. Kemudian daging sapi segar diiris dengan ketebalan ± 2 cm dengan bobot ± 30 gram mengikuti arah jaringan otot. Daging sapi direndam selama 3 menit dalam larutan kitosan. Waktu perendaman 3 menit merupakan waktu yang optimal untuk perendaman karena tidak merusak tekstur, bau dan penampakan Kurnianingrum 2008. Setelah itu, daging sapi disimpan pada suhu 4-7 o C selama 4 hari dengan selang pengamatan setiap 48 jam. Selang waktu ini didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Komariah 2008. Daging sapi disimpan dalam kemasan yang tertutup dan disimpan pada suhu refrigerator 4-7 o C. Pengamatan kemunduran mutu daging sapi dilakukan dengan pengukuran nilai pH, kadar air, kadar protein dan perhitungan nilai total plate count TPC. Percobaan ini dilakukan sebanyak dua kali ulangan. Data hasil penelitian utama kemudian diuji secara statistik. Diagram alir penelitian utama dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3 Diagram alir penelitian utama Daging sapi Pengirisan daging dengan menggunakan pisau dengan ketebalan 2 cm dan bobot ± 30 gram Perendaman daging dalam larutan kitosan dengan konsentrasi 0, 1, 2 dan 3 Analisis total bakteri TPC Penyimpanan pada suhu refrigerator 4-7 o C selama 0, 2 dan 4 hari Analisis pH daging, analisis kadar protein dan analisis kadar air Analisis histologi daging kontrol dan daging yang dicoating kitosan 1

3.4 Prosedur Analisis

Prosedur analisis meliputi analisis kadar abu, analisis kadar air, analisis kadar protein, analisis pH, analisis derajat deasetilasi DD, uji mikrobiologi atau total plate count dan pengamatan mikrostruktur Edible Coating dengan Scanning Electron Microscopy SEM.

3.4.1 Analisis kadar abu AOAC 1995

Sampel basah sebanyak 4 gram ditempatkan dalam wadah porselin kemudian dimasukkan dalam oven dengan suhu 60-105 o C selama 8 jam. Sampel yang sudah kering kemudian dibakar menggunakan hotplate sampai tidak berasap selama ± 20 menit. Kemudian diabukan dalam tanur bersuhu 600 o C selama 3 jam lalu ditimbang. Kadar abu dapat dihitung dengan rumus berikut:

3.4.2 Analisis kadar air AOAC 1995

Contoh kitosan ditimbang sebanyak 5 g dan ditempatkan dalam cawan yang sebelumnya telah dikeringkan dan diketahui beratnya. Contoh dikeringkan dalam oven pada suhu 105 o C selama 6 jam, kemudian didinginkan dalam desikator lalu ditimbang. Untuk menghitung kadar air digunakan rumus sebagai berikut : Keterangan : B = Berat sampel g B1 = Berat sampel + cawan sebelum dikeringkan B2 = Berat sampel + cawan setelah dikeringkan

3.4.3 Analisis kadar protein AOAC 1995

Analisis kadar protein dilakukan dengan metode kjeldahl mikro. Sampel sebanyak 0,1 gram dimasukkan ke dalam labu kjeldahl 30 ml. Kemudian ditambahkan K 2 SO 4 1,9 gram, HgO 40 mg, H 2 SO 4 2,5 ml serta beberapa Kadar air = − � Kadar abu = � tablet kjeldahl. Sampel dididihkan sampai berwarna jernih sekitar 1-1,5 jam; didinginkan dan dipindahkan ke alat destilasi. Lalu dibilas dengan air sebanyak 5-6 kali dengan akuades 20 ml dan air bilasan tersebut juga dimasukkan di bawah kondensor dengan ujung kondensor terendam di dalamnya. Ke dalam tabung reaksi ditambahkan larutan NaOH 40 sebanyak 20 ml. Cairan dalam ujung kondensor ditampung dengan erlenmeyer 125 ml berisi larutan H 3 BO 3 dan 3 tetes indikator campuran metil merah 0,2 dalam alkohol dan metilen blue 0,2 dalam alkohol dengan perbandingan 2:1 yang ada di bawah kondensor. Destilasi dilakukan sampai diperoleh kira-kira 200 ml destilat yang bercampur dengan H 3 BO 3 dan indikator dalam erlenmeyer. Destilat dititrasi dengan menggunakan HCl 0,1 N sampai terjadi perubahan warna menjadi merah. Hal yang sama juga dilakukan terhadap blanko. Kadar protein dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut: Faktor konversi = 6,25

3.4.4 Analisis pH Apriyantono et al. 2002

Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH meter. Daging sapi ditimbang sebanyak 5 gram kemudian dihomogenasi dengan 90 ml air destilat. Kemudian pH homogenasi diukur dengan menggunakan pH meter yang sebelumnya telah dikalibrasi dengan buffer standar pH 4 dan 7.

3.4.5 Analisis derajat deasetilasi Khan et al. 2002

Penentuan derajat deasetilasi kitosan dianalisis dengan menggunakan Spektrofotometer Infra Red FTIR. FTIR ini menggunakan panjang gelombang berkisar antara 4000 cm -1 sampai dengan 400 cm -1 . Penentuan derajat deasetilasi DD kitosan diukur dengan menggunakan FTIR. Puncak tertinggi dicatat dan diukur dari garis dasar yang dipilih. Nilai absorbans dapat diukur dengan menggunakan rumus : Protein = N x Faktor konversi Nitrogen = �� � � � � , � � dengan P =jarak antara garis dasar dengan garis singgung antara dua puncak tertinggi dengan panjang gelombang 1655 cm -1 atau 3450 cm -1 P =jarak antara garis dasar dengan lembah terendah dengan panjang gelombang 1655 cm -1 atau 3450 cm -1 A =absorbans panjang gelombang 1655 cm -1 atau 3450 cm -1 Derajat deasetilasi DD dapat dihitung dengan membandingkan nilai absorbans pada bilangan gelombang 1655 cm -1 serapan pita amida dengan bilangan gelombang 3450 cm -1 serapan pita hidroksi, kitin yang tidak terdeasetilasi menghasilkan nilai perbandingan A 1655 A 3450 = 1,33. DD dihitung dengan persamaan : Keterangan : A 1655 : nilai absorbansi pada 1655 cm -1 A 3450 : nilai absorbansi pada 3450 cm -1

3.4.6 Uji mikrobiologi atau Total Plate Count TPC Fardiaz 1992

Prinsip kerja dari analisis TPC adalah perhitungan jumlah koloni bakteri yang ada di dalam sampel dengan pengenceran sesuai keperluan dan dilakukan secara duplo. Seluruh pekerjaan dilakukan secara aseptik untuk mencegah kontaminasi yang tidak diinginkan dan pengamatan secara duplo dapat meningkatkan ketelitian. Jumlah koloni bakteri yang dapat dihitung adalah cawan petri yang mempunyai koloni bakteri antara 30-300 koloni. Sebanyak 10 gram sampel yang dihaluskan terlebih dahulu, dilarutkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 90 ml larutan NaCl 0,85 larutan garam fisiologisgarfis sehingga didapatkan pengenceran 10 -1 . Sebanyak 1 ml dari larutan tersebut dipipet, kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah berisi 9 ml larutan garam fisiologis untuk memperoleh pengenceran 10 -2 . �� � � ��� � �� = − � � � , � A = ��� � � Pengenceran dilakukan sampai didapat pengenceran 10 -5 dan disesuaikan dengan pendugaan tingkat kebusukan daging sapi pada saat pengamatan. Dari setiap tabung reaksi pengenceran tersebut diambil dengan menggunakan pipet sebanyak 1 ml selanjutnya dimasukkan ke dalam cawan petri yang sudah disterilkan. Setiap pengenceran dilakukan secara duplo. Kemudian setiap cawan tersebut digerakkan secara melingkar di atas meja supaya media NA merata. Setelah NA membeku, cawan petri diinkubasi dalam inkubator selama 48 jam pada suhu 30 o C, cawan petri tersebut diletakkan secara terbalik. Setelah masa inkubasi, koloni yang tumbuh pada cawan petri dihitung dengan jumlah koloni yang dapat diterima 30-300 koloni percawan. Nilai TPC dapat dihitung dengan memakai rumus berikut: Data yang dilaporkan sebagai Standard Plate Count SPC harus mengikuti syarat-syarat sebagai berikut: 1 Hasil yang dilaporkan hanya terdiri dari dua angka, yaitu angka pertama dan kedua. Jika angka ketiga sama dengan atau lebih besar dari lima, harus dibulatkan satu angka lebih tinggi dari angka kedua. 2 Jika semua pengenceran yang dibuat untuk pemupukan menghasilkan kurang dari 30 koloni pada cawan petri, hanya koloni pada pengenceran terendah yang dihitung, hasilnya dilaporkan sebagai kurang dari 30 dikalikan dengan faktor pengencer, tetapi jumlah yang sebenarnya harus dicantumkan. 3 Jika semua pengenceran yang dibuat untuk pemupukan menghasilkan lebih dari 300 koloni, hanya jumlah koloni pada pengenceran tertinggi yang dihitung. Hasilnya dilaporkan sebagai lebih dari 300 dikalikan dengan faktor pengencer. 4 Jika cawan dari dua tingkat pengenceran menghasilkan koloni dengan jumlah antara 30-300, dimana perbandingan antara jumlah koloni tertinggi dan terendah dari kedua pengenceran tersebut lebih dari satu atau sama dengan dua, maka tentukan rata-rata dari kedua nilai tersebut dengan memperhitungkan pengencerannya. Jika perbandingan antara nilai tertinggi Unit per ml atau per gr = Jumlah koloni per cawan x dan nilai terendah lebih besar dari dua, maka yang dilaporkan hanya hasil nilai terkecil. 5 Jika digunakan dua cawan petri duplo pengenceran, data yang diambil harus dari kedua cawan tersebut.

3.4.7 Pengamatan mikrostruktur Edible Coating dengan Scanning Electron

Microscopy SEM Lin et al. 2002 Pengamatan terhadap mikrostruktur edible coating yang terbentuk pada daging sapi diamati dengan Scanning Electron Microscopy SEM. Prinsip alat ini yaitu pancaran elektron yang diradiasi terhadap specimen akan menyebabkan adanya elektron yang meloncat dan sebagian yang lain diserap. Jika sampel tidak memiliki konduktivitas elektrik, elektron yang diserap akan memberikan arus pada spesimen. Hal ini menyebabkan terjadinya kesalahan pengamatan. Sehingga untuk menghindari kesalahan ini dilakukan pelapisan metal dalam ruang hampa, pengamatan dengan accelerating voltage rendah, dan pengamatan dalam tingkat kehampaan untuk mencegah spesimen menerima arus. Analisis ini menggunakan alat SEM JEOL JSM 5310 LV Scanning Microscope. Preparasi sampel untuk pengamatan ini dimulai dengan pengeringan sampel dengan freeze drying sampai kadar air mencapai 2 atau kurang. Sampel yang sudah kering dipotong dengan ukuran 0,5 cm x 0,5 cm. Setelah preparasi, sampel diletakkan pada logam yang dilapisi karbon untuk selanjutnya dilakukan pelapisan emas Au 300 Å di dalam Magnetron Sputtering Device yang dilengkapi dengan pompa vakum. Pada proses vakum terjadi loncatan logam emas ke arah sampel, sehingga melapisi sampel. Sampel yang telah dilapisi emas diletakkan pada lokasi sampel dalam mikroskop elektron, dan dengan terjadinya tembakan elektron ke arah sampel, maka akan terekam ke dalam monitor dan kemudian dilakukan pemotretan.

3.5 Rancangan Percobaan dan Analisis Data Steel dan Torrie 1993

Rancangan percobaan pada penelitian utama digunakan untuk mengetahui pengaruh perlakuan konsentrasi kitosan terhadap parameter subjektif dan objektif yaitu rancangan acak lengkap RAL. Perlakuan yang diberikan yaitu konsentrasi kitosan. Perlakuan konsentrasi kitosan terdiri dari 4 taraf, yaitu K0 daging sapi tanpa penambahan kitosankontrol, K1 daging sapi dengan penambahan kitosan 1, K2 daging sapi dengan penambahan kitosan 2 dan K3 daging sapi dengan penambahan kitosan 3. Menurut Steel dan Torie 1993 dengan model uji rancangan acak lengkap sebagai berikut : Keterangan : Y ij = nilai pengamatan pada suatu perlakuan ke-i i = 1,2,3,4, ulangan ke-j j = 1, 2 µ = nilai rata-rata τ i = pengaruh perlakuan konsentrasi kitosan ke-i i = 1,2,3,4 ε ij = galat pada perlakuan ke i i = 1,2,3,4 dan ulangan ke j j = 1, 2 i = perlakuan ke i j = ulangan ke j Perlakuan yang diberikan pada penelitian ini bterdiri dari 1 perlakuan yaitu penambahan kitosan dengan konsentrasi yang berbeda dan dilakukan penyimpanan selama 4 hari. Perlakuan daging sapi terdiri dari 4 taraf, yaitu : 1. Kontrol kitosan 0 2. Kitosan 1 3. Kitosan 2 4. Kitosan 3 Data dianalisis dengan menggunakan analisis ragam oneway ANOVA. Apabila hasil analisis ragam memberikan pengaruh yang berbeda nyata tolak H o , maka dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan. Analisis data hasil uji selama penyimpanan menggunakan uji deskriptif. Uji deskriptif dilakukan untuk melihat pengaruh penggunaan kitosan dengan konsentrasi yang berbeda terhadap beberapa parameter yang diamati, berupa analisis pH daging, analisis kadar protein dan analisis kadar air pada penyimpanan hari ke- 0, 2 dan 4, sedangkan analisis mikrostruktur daging sapi dengan perlakuan konsentrasi 1 dilakukan dengan pengamatan menggunakan Scanning Electron Microscopy SEM Yij = µ + αi + ε ij 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan Tahapan penelitian pendahuluan ini dilakukan untuk mengetahui mutu kitosan komersil yang digunakan, antara lain meliputi kadar air, kadar abu, kadar nitrogen, kadar protein, derajat deasetilasi, bentuk patikel dan warna larutan.

4.1.1 Identifikasi kitosan komersil

Kitosan merupakan komponen glukosamin dan juga merupakan turunan kitin melalui proses deasetilasi dan banyak terkandung pada lapisan cangkang kepiting, krustasea dan juga terdapat pada serangga, alga, diatom dan kapang Rinaudo 2006. Kitin dan kitosan merupakan senyawa kimia yang mudah menyesuaikan diri, hidrofobik, memiliki reaktivitas kimia yang tinggi yang disebabkan oleh kandungan gugus OH dan gugus NH 2 yang bebas serta ligan yang bervariasi Prashanth dan Tharanathan 2006. Kitosan yang digunakan pada penelitian ini adalah kitosan komersil yang didapatkan dari PT. Vital House Indonesia Gambar 4. Kitosan tersebut kemudian dilarutkan dalam asam organik yaitu asam asetat dengan konsentrasi 1,5 vv. Pemilihan pelarut kitosan yaitu asam asetat 1,5 yang digunakan untuk melarutkan kitosan didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Ornum 1992, pelarut kitosan yang baik adalah asam formiat dan asam asetat dengan konsentrasi masing-masing 0,2-1,0 dan 1,0-2,0. Kitosan lebih mudah larut dalam asam asetat 1-2 dan akan membentuk suatu garam ammonium asetat Tang et al. 2007. Gambar 4 Kitosan Kitosan merupakan polimer linear yang tersusun oleh 2000-3000 monomer N-asetil-D- glukosamin dalam ikatan β-1-4, tidak toksik dengan LD 50 setara dengan 16 gkg BB dan mempunyai berat molekul 800 Kda. Berat molekul ini tergantung dari derajat deasetilasi yang dihasilkan pada saat ekstraksi. Semakin banyak gugus asetil yang hilang dari biopolimer kitosan, maka semakin kuat interaksi antar ion dan ikatan hidrogen dari kitosan Tang et al. 2007. Kitosan sebagian besar diperoleh dari bahan baku cangkang krustasea, kapang, cumi-cumi dan lain-lain, melalui proses deproteinasi menggunakan NaOH, demineralisasi dengan menggunakan HCl dan deasetilasi dengan NaOH 50. Masing-masing proses memiliki tujuan yang berbeda. Proses deproteinasi bertujuan untuk menghilangkan protein yang terdapat pada cangkang, demineralisai bertujuan untuk menghilangkan kandungan mineral yang terdapat pada cangkang dan proses deasetilasi bertujuan untuk menghilangkan gugus asetil. Proses ini dilakukan untuk mengetahui efektifitas fungsi dari kitosan Angka dan Suharso 2000. Kitosan banyak memilik manfaat antara lain sebagai antibakteri, pengkelat, penstabil, pembentuk film, penjernih, flokulan, koagulan dan antifungi. Aplikasi ini tidak terlepas dari gugus amin NH yang reaktif dan gugus hidroksil yang banyak Suptijah 1992. Melihat aplikasi dari fungsi dan manfaat kitosan ini, upaya komersialisasi telah banyak dilakukan. Saat ini kitosan komersil sudah banyak terdapat di Indonesia dalam bentuk kitosan larut asam. Kitosan larut asam yang komersil harus memiliki mutu yang baik. Hal ini bertujuan agar kitosan dengan mutu yang baik akan bekerja secara efektif dan hasil aplikasi yang digunakan seragam. Tabel 5 menyajikan hasil uji mutu kitosan larut asam dan standar mutu kitosan yang ada : Tabel 5 Karakterisasi kitosan komersil Karakterisasi Hasil penelitian Standar mutu kitosan Bentuk partikel Serbuk Serpihanbubuk Kadar air berat kering 9 ≤ 10 Kadar abumineral berat kering 0,21 ≤ 2 Kadar nitrogen 1,33 5 Warna larutan Jernih Jernih Derajat deasetilasi 88,66 ≥ 70 sumber : Suptijah et al. 1992 Bentuk kitosan sangat dipengaruhi oleh bahan bakunya. Bahan baku yang berasal dari kulit udang memiliki bentuk yang lebih halus dan mudah hancur selama proses pembuatan kitosan. Berdasarkan Tabel 5 diketahui bahwa mutu kitosan yang digunakan tidak terlalu berbeda dengan standar yang telah ditetapkan. Nilai kadar air kitosan komersil memiliki nilai yang lebih kecil dibandingkan dengan standar mutu yang telah ditetapkan. Persentase kadar air ini kemungkinan dipengaruhi oleh lingkungan yang lembab dan waktu penyimpanan dari bahan baku tersebut. Lingkungan yang lembab akan meningkatkan kadar air dalam suatu bahan. Kitosan memiliki sifat yang mudah menyerap air hidrophillic Kumar 2000, sehingga semakin lama waktu penyimpanan dan kondisi lingkungan lembab maka jumlah kadar air kitosan semakin meningkat. Kadar mineralabu kitosan larut asam yang diperoleh adalah sebesar 0,21. Kadar kitosan larut asam tersebut telah memenuhi syarat, dimana syarat dari kadar abumineral adalah kurang dari 2. Faktor yang berpengaruh terhadap kadar mineral kitosan adalah proses demineralisasi dan air yang digunakan ketika penetralan pH. Proses demineralisasi yang efektif akan banyak menghilangkan mineral yang ada pada kitosan Angka dan Suhartono 2000, sehingga pengotor dapat tereduksi dan kinerja kitosan semakin optimal. Air yang digunakan untuk penetralan tidak mengandung mineral karena dapat meningkatkan kadar mineral dalam bahan, sehingga jumlah pengotor semakin meningkat dan disarankan untuk menggunakan akuadesair yang telah dilakukan proses penghilangan mineral melalui destilasi Suptijah 2006. Kadar nitrogen kitosan larut asam adalah 1,33. Kadar nitrogen ini sesuai dengan standar mutu yang telah ditetapkan. Kadar nitrogen ini menunjukkan tingkatan dari derajat deasetilasi dan bentuk utama dari grup amino aliphatic Kumar 2000. Derajat deasetilasi DD kitosan larut asam yang dihasilkan sebesar 88,66. Hasil ini sesuai dengan standar mutu kitosan yang telah ditetapkan. Derajat deasetilasi DD untuk grade industri seharusnya lebih dari 70. Derajat deasetilasi sangat penting untuk menentukan karakteristik kitosan dan akan mempengaruhi penggunaannya. Waktu dan suhu selama proses deasetilasi juga berpengaruh terhadap hasil akhir. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Rochima et al. 2004, semakin tinggi suhu dan lama perendaman dengan NaOH akan mengakibatkan derajat deasetilasi meningkat. Derajat deasetilisasi kitosan dipengaruhi oleh konsentrasi NaOH dan suhu proses Benjakul dan Sophanodora 1993. Menurut Suptijah et al. 2006 untuk menghasilkan kitosan dengan derajat deasetilasi sebesar 84 dibutuhkan pemanasan pada suhu 130 °C selama 4 jam atau suhu 120 °C selama 6 –7 jam. Perendamanan dengan NaOH selain dapat meningkatkan derajat deasetilasi dapat juga mengakibatkan terjadinya depolimerisasi, oleh karena itu perendaman dilakukan pada suhu yang tidak terlalu tinggi dan waktu yang singkat. Rincian data hasil uji proksimat kitosan komersil disajikan pada Lampiran 1.

4.2 Penelitian Utama

Tahap penelitian utama ini dilakukan untuk melihat pengaruh konsentrasi kitosan yang optimal dalam mempertahankan mutu daging sapi. Tahap ini menggunakan perlakuan konsentrasi kitosan 1, 2 , 3 serta 0 sebagai kontrol, dengan lama perendaman selama 3 menit. Pengamatan yang dilakukan meliputi pengamatan objektif berupa uji total plate count TPC, derajat keasaman pH, kadar protein dan kadar air.

4.2.1 pH daging sapi

Nilai pH sangat erat hubungannya dengan struktur protein daging dan daya kelarutan protein daging yang berakibat lebih lanjut terhadap kemampuan daging untuk mengikat air serta daya emulsi protein daging. Hasil rata-rata pH pada daging sapi dengan perlakuan larutan kitosan selama penyimpanan suhu dingin disajikan pada Tabel 6, sedangkan data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 2. Tabel 6 Nilai rata-rata pH daging sapi dengan perlakuan konsentrasi larutan kitosan selama penyimpanan suhu dingin Lama penyimpanan hari Nilai rata-rata pH Konsentrasi Konsentrasi 1 Konsentrasi 2 Konsentrasi 3 5,30 5,10 5,02 4,68 2 5,38 5,11 5,21 5,20 4 5,45 5,06 5,27 5,09 Daging sapi yang diberi perlakuan kitosan pada penyimpanan hari ke-0 mempunyai nilai pH 4,68-5,30, penyimpanan pada hari ke-2 mempunyai nilai pH 5,11-5,38 dan penyimpanan pada hari ke-4 mempunyai nilai pH 5,06-5,45. Pada penyimpanan hari ke-0 daging sapi kontrol tanpa pelapisan kitosan mempunyai nilai pH tertinggi yaitu 5,30, sedangkan nilai pH daging sapi dengan pelapisan kitosan 1, 2 dan 3 secara berturut-turut yaitu 5,10, 5,02 dan 4,68. Nilai pH pada penyimpanan hari ke-2 untuk daging sapi kontrol maupun daging sapi dengan pelapisan kitosan 1, 2 dan 3 secara berturut-turut yaitu 5,38; 5,11; 5,21 dan 5,20, sedangkan nilai pH pada penyimpanan hari ke-4 untuk daging sapi kontrol maupun daging sapi dengan pelapisan kitosan 1, 2 dan 3 secara berturut-turut yaitu 5,45; 5,06; 5,27 dan 5,09. Diagram batang rata-rata nilai pH daging sapi dengan berbagai perlakuan konsentarsi kitosan disajikan pada Gambar 5. Keterangan : Angka-angka pada diagram batang yang diikuti dengan huruf superscrift yang berbeda a,b,c,d menunjukkan berbeda nyata p0,05 Gambar 5 Histogram nilai pH daging sapi dengan perlakuan konsentrasi kitosan selama penyimpanan suhu dingin = kitosan kontrol, = kitosan 1, = kitosan 2, = kitosan 3 Berdasarkan hasil analisis ragam Lampiran 6, penambahan kitosan sebagai edible coating memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata pada nilai pH daging sapi selama penyimpanan hari ke-0 dan ke-2 p0,05, tetapi 5,30a 5,38a 5,45a 5,09a 5,11a 5,06c 5,02a 5,21a 5,27b 4,68a 5,19a 5,09c 4,20 4,40 4,60 4,80 5,00 5,20 5,40 5,60 2 4 pH Lama penyimpanan hari memberikan pengaruh yang berbeda nyata p0,05 pada lama penyimpanan hari ke-4. Perbedaan nyata terlihat pada daging sapi yang diberi perlakuan kitosan memiliki nilai rataan pH yang lebih rendah dibandingkan dengan nilai rataan pH daging sapi kontrol. Hal ini dapat dilihat pada pH daging sapi yang tidak diberi perlakuan kitosan kontrol memiliki nilai pH yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan nilai pH daging yang diberi perlakuan kitosan. Uji lanjut Duncan terhadap nilai pH pada penyimpanan hari ke-4, daging sapi dengan perlakuan konsentrasi kitosan 0 kontrol berbeda nyata secara signifikan dengan daging sapi dengan perlakuan konsentrasi kitosan 1, 2 dan 3. Penambahan kitosan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai pH daging sapi pada penyimpanan hari ke-4. Hal ini disebabkan daging sapi yang disimpan lebih lama, maka pertumbuhan bakteri terus akan berlangsung dan mengubah nilai pH daging sapi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Buckle et al. 1985, bahwa waktu merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme selain suhu, pH, air, oksigen dan adanya suplai makanan. Selain itu, kenaikan pH disebabkan oleh terbentuknya senyawa-senyawa hasil penguraian protein daging sapi yang bersifat basa amoniak atau NH 3 oleh mikroba Fennema 1985. Peningkatan pH merupakan indikasi terjadinya penurunan kualitas daging sapi karena semakin tinggi pH maka kesempatan bakteri untuk mendegradasi daging sapi semakin besar. Setelah mencapai titik tertentu, pH mengalami penurunan yang disebabkan oleh aktivitas bakteri asam laktat Datson et al. 1977. Penyimpanan pada hari ke-4 nilai pH daging sapi kontrol lebih tinggi dibandingkan dengan daging sapi dengan perlakuan kitosan 1, 2 dan 3. Nilai pH daging sapi dengan perlakuan kitosan 2 lebih tinggi dibandingkan dengan daging sapi yang diberi perlakuan kitosan 1 dan 3. Hal ini disebabkan karena kitosan 2 berada pada kondisi jenuh, sehingga kemampuan untuk mengikat air juga lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi kitosan 1 dan 3. Kemampuan mengabsorbsi molekul air akan meningkatkan kadar air produk gelnya, sehingga akan menyebabkan penurunan konsentrasi proton dan meningkatkan gugus OH - . Menurut Chen et al. 2007, kitosan dalam larutan akan berperan sebagai reagen dasar dan menetralisasi proton yang dilepaskan oleh asam. Proses netralisasi ini juga menyebabkan kitosan larut dan terionisasi oleh proton menjadi mutan positif. Analisis nilai pH juga terkait dengan aktivitas antibakteri kitosan. Menurut Eldin et al. 2008 menyatakan bahwa aktivitas antimikroba kitosan naik seiring penurunan pH. Hal ini disebabkan karena gugus amino kitosan terionisasi pada pH dibawah 6 dan membawa muatan positif. Oleh sebab itu, kitosan mampu memperlambat pertumbuhan mikroba pada daging sapi selama penyimpanan karena kondisi pH yang kondusif bagi aktivitas antibakterinya.

4.2.2 Kadar air daging sapi

Kadar air merupakan faktor penting dalam penyimpanan produk pangan, dan dapat menentukan daya awet bahan pangan. Hal ini berkaitan dengan sifat air yang dapat mempengaruhi sifat fisik, perubahan kimia, perubahan mikrobiologi dan perubahan enzimatis. Perubahan-perubahan tersebut akan mempengaruhi tekstur, penampakan, aroma dan cita rasa makanan Buckle et al. 1985. Hasil analisis rata-rata kadar air pada daging sapi dengan perlakuan larutan kitosan selama penyimpanan suhu dingin disajikan pada Tabel 7 dan Gambar 6, sedangkan data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 3. Tabel 7 Nilai rata-rata kadar air daging sapi dengan perlakuan konsentrasi larutan kitosan selama penyimpanan suhu dingin Lama penyimpanan hari Nilai rata-rata kadar air Konsentrasi Konsentrasi 1 Konsentrasi 2 Konsentrasi 3 75,79 76,78 77,91 78,18 2 74,24 76,35 77,31 76,27 4 73,96 76,90 77,02 74,87 Daging sapi kontrol tanpa perlakuan kitosan dan daging sapi yang diberi perlakuan kitosan pada penyimpanan hari ke-0 mempunyai nilai kadar air 75,79- 78,18, penyimpanan pada hari ke-2 mempunyai nilai kadar air 74,24-77,31 dan penyimpanan pada hari ke-4 mempunyai nilai kadar air 73,96-77,02. Nilai kadar air daging sapi kontrol tanpa perlakuan kitosan pada penyimpanan hari ke- 0 yaitu 78,18 sedangkan untuk daging sapi dengan perlakuan kitosan 1, 2 dan 3, secara berturut-turut yaitu 76,78, 77,91 dan 77,91. Nilai kadar air daging sapi kontrol tanpa perlakuan kitosan dan daging sapi dengan perlakuan kitosan mengalami penurunan pada penyimpanan hari ke-2 dan ke-4. Pada penyimpanan hari ke-2 nilai kadar air untuk daging sapi kontrol tanpa pelapisan kitosan dan daging sapi dengan pelapisan kitosan secara berturut-turut yaitu 74,24, 76,35, 77,31 dan 76,27. Sedangkan, penyimpanan pada hari ke-4 nilai kadar air untuk daging sapi kontrol tanpa perlakuan kitosan dan daging sapi dengan perlakuan kitosan secara berturut-turut yaitu 73,96, 76,90, 77,02 dan 74,87. Diagram batang rata-rata nilai kadar air daging sapi dengan berbagai perlakuan konsentarsi kitosan disajikan pada Gambar 6. Keterangan : Angka-angka pada diagram batang yang diikuti dengan huruf superscrift yang berbeda a,b,c,d menunjukkan berbeda nyata p0,05 Keterangan : Angka-angka pada diagram batang yang diikuti dengan huruf superscrift yang berbeda a,b,c,d menunjukkan berbeda nyata p0,05 Gambar 6 Histogram nilai kadar air daging sapi dengan perlakuan larutan kitosan selama penyimpanan suhu dingin = kitosan kontrol, = kitosan 1, = kitosan 2, = kitosan 3 Berdasarkan hasil analisis ragam Lampiran 6 , penambahan kitosan sebagai edible coating memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai kadar air daging sapi selama penyimpanan hari ke-0, 2 dan 4 p0,05. Uji lanjut Duncan terhadap nilai kadar air pada penyimpanan hari ke-0, 2 dan 4, daging sapi dengan perlakuan konsentrasi kitosan 0 kontrol berbeda nyata secara signifikan dengan daging sapi dengan perlakuan konsentrasi kitosan 1, 2 dan 3. Penambahan kitosan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai 75,79a 74,24a 73,96a 76,78b 76,35b 76,90b 77,91b 77,31b 77,02b 78,18b 76,27b 74,87a 71,00 72,00 73,00 74,00 75,00 76,00 77,00 78,00 79,00 2 4 K ad ar ai r Lama penyimpanan hari kadar air daging sapi. Hal ini diduga karena sifat kitosan sebagai edible coating mempunyai kemampuan mencegah penguapan air dalam daging Simpson 1997. Daging sapi dengan perlakuan kitosan mempunyai kadar air yang lebih tinggi dibandingkan dengan daging kontrol karena air yang akan keluar dari produk ditahan oleh film yang melapisi produk, selain itu sifat film kitosan yang hidrokoloid memungkinkan film dapat menyimpan air. Adanya kitosan yang berbentuk membran berpori dapat menyerap air pada makanan, sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroba di dalam makanan. Molekul air kebanyakan ditahan secara kuat di dalam kitosan sehingga terjadi proses penggelembungan. Pernyataan ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Apriandi 2004 yang menyebutkan bahwa kadar air semakin meningkat dengan penambahan film kitosan karena larutan kitosan yang ditambahkan pada produk bersifat hidrofilik suka air, larutan tersebut dapat mengabsorbsi molekul air sehingga akan meningkatkan kadar air poduk gelnya Apriandi 2004. Keberadaan air terhadap mikroba sangatlah penting. Air akan mempengaruhi pertumbuhan mikroba dalam bahan pangan erat kaitannya dengan jumlah air yang tersedia untuk pertumbuhan mikroba di dalamnya. Jika kandungan air bahan diturunkan, maka pertumbuhan mikroba akan diperlambat. Oleh karena itu adanya kitosan yang berbentuk membran berpori dapat menyerap air pada makanan, sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroba di dalam makanan. Molekul air kebanyakan ditahan secara kuat di dalam kitosan sehingga terjadi proses penggelembungan. Selain itu, selama masa penyimpanan kadar air dipengaruhi oleh kelembaban nisbi udara di sekitarnya. Kondisi penyimpanan di dalam lemari pendingin 5 C yang memiliki kelembaban udara RH rendah yaitu 70 menyebabkan penguapan air dari produk menuju lingkungan. Penguapan tersebut menurunkan kadar air dalam dalam daging sapi sehingga daging sapi akan mengalami penurunan kadar airnya. Kitosan sebagai polimer film dari karbohidrat lainnya, memiliki sifat selektif permeable terhadap gas CO 2 dan O 2 , namun kurang mapu menghambat perpindahan air. Hal ini karena pelapis yang tersusun dari polisakarida dan turunanya hanya sedikit mampu menahan penguapan air, namun efektif untuk mengontrol difusi dari berbagai gas Nisperoscarriedo 1995 diacu dalam Herjanti 1997.

4.2.3 Kadar protein daging sapi

Pada umumnya protein di dalam bahan pangan menentukan mutu bahan pangan itu sendiri. Pada tubuh hewan protein terdapat di dalam otot atau daging, kulit kuku dan rambut. Protein merupakan suatu zat makanan yang sangat penting bagi tubuh manusia, karena protein selain berfungsi sebagai bahan bakar, bahan pengatur dan pembangun Winarno 2008. Hasil analisis rata-rata kadar protein pada daging sapi dengan perlakuan larutan kitosan selama penyimpanan suhu dingin disajikan pada Tabel 8, sedangkan data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 4. Tabel 8 Nilai rata-rata kadar protein daging sapi dengan perlakuan konsentrasi larutan kitosan selama penyimpanan suhu dingin Lama penyimpanan hari Nilai rata-rata kadar protein bobot basah Konsentrasi Konsentrasi 1 Konsentrasi 2 Konsentrasi 3 19,09 19,33 18,14 18,60 2 16,68 17,08 17,03 17,19 4 15,55 16,40 16,06 16,90 Daging sapi kontrol tanpa perlakuan kitosan dan daging sapi yang diberi perlakuan kitosan pada penyimpanan hari ke-0 mempunyai nilai kadar protein 18,14-19,33, penyimpanan pada hari ke-2 mempunyai kadar protein 16,68-17,19 dan penyimpanan pada hari ke-4 mempunyai kadar protein 15,55-16,90. Nilai kadar protein daging sapi kontrol tanpa perlakuan kitosan pada penyimpanan hari ke-0 yaitu 19,09 sedangkan untuk nilai kadar protein daging sapi dengan pelapisan kitosan 1, 2 dan 3 secara berturut-turut yaitu 19,33, 18,14 dan 18,60. Nilai kadar protein daging sapi kontrol tanpa perlakuan kitosan dan daging sapi dengan perlakuan kitosan mengalami penurunan pada penyimpanan hari ke-2 dan ke-4. Pada penyimpanan hari ke-2 nilai kadar protein untuk daging sapi kontrol tanpa perlakuan kitosan dan daging sapi dengan perlakuan kitosan secara berturut-turut yaitu 16,68, 17,08, 17,03 dan 17,19. Sedangkan penyimpanan pada hari ke-4 nilai kadar protein untuk daging sapi kontrol tanpa perlakuan kitosan dan daging sapi dengan perlakuan kitosan secara berturut-turut yaitu 15,55; 16,40; 16,06 dan 16,90. Diagram batang rata-rata nilai kadar protein daging sapi dengan berbagai perlakuan konsentarsi kitosan disajikan pada Gambar 7. Keterangan : Angka-angka pada diagram batang yang diikuti dengan huruf superscrift yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata p0,05 Gambar 7 Histogram nilai kadar protein daging sapi dengan perlakuan larutan kitosan selama penyimpanan suhu dingin = kitosan kontrol, = kitosan 1, = kitosan 2, = kitosan 3 Berdasarkan hasil analisis ragam Lampiran 6, penambahan kitosan sebagai edible coating memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap nilai kadar protein daging sapi selama penyimpanan hari ke-0, ke-2 dan ke-4 p0,05. Kadar protein daging sapi lebih dipengaruhi oleh adanya degradasi protein selama penyimpanan. Kitosan belum mampu untuk menghentikan proses degradasi protein. Hal ini disebabkan karena kitosan yang digunakan merupakan kitosan larut asam dengan BM 800.000 Dalton sampai 1.000.000 Dalton, sehingga kitosan yang digunakan ini belum mampu untuk menembus samapi ke bagian dalam daging sapi. Kadar protein daging sapi dengan perlakuan kitosan maupun kontrol selama penyimpanan mengalami penurunan. Penurunan kadar protein ini diduga karena terjadinya degradasi protein selama penyimpanan. Hal ini diakibatkan oleh kemampuan mikroorganisme yang dapat menghasilkan enzim proteolitik yang dapat memecah molekul protein dalam bahan pangan. Selain itu, kitosan mudah mengalami biodegradasi dan bersifat polielektrolit serta mudah berinteraksi dengan zat-zat organik lainnya seperti protein. Selain itu, penurunan 19,09a 16,68a 15,55a 19,33a 17,08a 16,40a 18,14a 17,03a 16,06a 18,60a 17,19a 16,90a 5 10 15 20 25 2 4 K ad ar p r o te in Lama penyimpanan hari kadar protein juga dipengaruhi oleh total koloni bakteri karena salah satu faktor yang dibutuhkan oleh bakteri untuk pertumbuhannya adalah protein. Pertumbuhan bakteri akan mempercepat denaturasi protein sehingga kadar protein akan menurun. Bakteri dapat memecah molekul-molekul kompleks dan zat-zat organik seperti polisakarida, lemak dan protein menjadi unit yang lebih sederhana. Pemecahan awal ini dapat terjadi akibat ekskresi enzim ekstraseluler yang sangat erat hubungannya dengan proses pembusukan bahan pangan Buckle et al. 1985. Kitosan mampu menghambat pertumbuhan baketri dan kapang, sehingga bakteri dan kapang yang tumbuh sedikit pada daging sapi yang diberi perlakuan kitosan lebih sedikit. Sedikitnya bakteri dan kapang yang tumbuh menyebabkan protein yang digunakan untuk aktivitas bakteri dan kapang sebagai sumber energi juga lebih sedikit, sehingga menjadi sedikit kehilangan dan kerusakan protein selama penyimpanan.

4.2.4 Uji mikrobiologi TPC selama penyimpanan

Kitosan memiliki kemampuan sebagai desinfektan atau antibakteri mengingat beberapa sifat yang dimilikinya yaitu kemampuannya dalam menghambat pertumbuhan mikroorganisme dan kemampuannya dalam memberikan pelapisancoating terhadap produk sehingga meminimalkan interaksi antara produk dengan lingkungannya. Daging sapi diberikan perlakuan dengan perendaman kitosan pada berbagai konsentrasi kitosan selama 3 menit. Kandungan TPC dalam daging sapi merupakan salah satu parameter mikrobiologis untuk melihat tingkat kemunduran mutu suatu bahan baku dan tingkat kelayakannya untuk dikonsumsi. Jumlah bakteri yang tumbuh pada sampel daging sapi hasil penelitian berkisar antara 3,5x10 3 sampai 2,8x10 6 kolonig sampel. Hasil analisis rata-rata TPC pada daging sapi dengan perlakuan larutan kitosan selama penyimpanan disajikan pada Tabel 9 dan Gambar 8, sedangkan data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 7. Selama penyimpanan daging sapi kontrol tanpa perlakuan kitosan memiliki nilai TPC yang lebih tinggi dibandingkan dengan nilai TPC daging sapi yang diberi perlakuan kitosan 1, 2 dan 3, baik pada penyimpanan hari ke-0, ke-2 maupun ke-4. Penyimpanan pada hari ke-0 nilai TPC daging sapi kontrol tanpa perlakuan kitosan yaitu sebesar 4,4 x 10 4 . Sedangkan nilai TPC untuk daging sapi dengan perlakuan konsentrasi kitosan 1, 2 dan 3 secara berturut- turut yaitu sebesar 6,0 x 10 3 , 4,1 x 10 3 dan 3,5 x 10 3 . Nilai TPC daging sapi kontrol tanpa perlakuan kitosan dan daging sapi dengan perlakuan kitosan mengalami kenaikan pada penyimpanan hari ke-2 dan ke-4. Pada penyimpanan hari ke-2 nilai TPC untuk daging sapi kontrol tanpa perlakuan kitosan dan daging sapi dengan perlakuan kitosan secara berturut-turut yaitu 4,0 x 10 5 , 2,6 x 10 4 , 6,7 x 10 3 dan 5,2 x 10 3 . Sedangkan penyimpanan pada hari ke-4 nilai TPC untuk daging sapi kontrol tanpa perlakuan kitosan dan daging sapi dengan perlakuan kitosan secara berturut-turut yaitu 2,8 x 10 6 ; 3,1 x 10 5 ; 1,9 x 10 5 dan 3,3 x 10 4 . Tabel 9 Nilai rata-rata TPC daging sapi dengan perlakuan konsentrasi larutan kitosan selama penyimpanan suhu dingin Lama penyimpanan hari Konsentrasi Kitosan Total bakteri unitgram log 4,4 x 10 4 4,6435 1 6,0 x 10 3 3,7782 2 4,1 x 10 3 3,6128 3 3,5 x 10 3 3,5441 2 4,0 x 10 5 5,6021 1 2,6 x 10 4 4,4150 2 6,7 x 10 3 3,8261 3 5,2 x 10 3 3,7160 4 2,8 x 10 6 6,4472 1 3,1 x 10 5 5,4914 2 1,9 x 10 5 5,2788 3 3,3 x 10 4 4,5185 Gambar 8 Grafik nilai TPC daging sapi dengan perlakuan larutan kitosan selama penyimpanan suhu dingin = kitosan kontrol, = kitosan 1, = kitosan 2, = kitosan 3 Gambar 8 menunjukkan bahwa hasil uji TPC daging sapi kontroltanpa perlakuan memiliki nilai yang paling tinggi dibandingkan dengan daging sapi yang diberi perlakuan kitosan. Berdasarkan hasil tersebut kitosan dengan konsentrasi 3 memiliki kemampuan terbesar dalam mengurangi jumlah mikroba dibandingan dengan kitosan dengan konsentrasi 1 dan 2. Hal ini terlihat dari nilai TPC yang lebih kecil jika dibandingan dengan konsentrasi kitosan lainnya, ini memperlihatkan bahwa kitosan memiliki daya dalam mengikat bakteri. Kitosan yang merupakan polikationik amina akan berinteraksi dengan kutub negatif pada lapisan sel dari bakteri. Hal ini sesuai dengan pernyataan Chaiyakosha et al. 2007 bahwa reduksi dari jumlah sel bakteri dipengaruhi oleh perubahan permukaan sel dan hilangnya fungsi barrier dari bakteri itu sendiri. Penggunaan kitosan sebagai antibakteri dan bahan pengawet sudah banyak diaplikasi pada bidang pangan. Edible film kitosan dapat digunakan untuk menjaga umur simpan dari precooked pizza. Rodriguez et al. 2003 melaporkan kitosan yang dilarutkan dalam larutan asam asetat untuk pembuatan edible coating 0.079 g100 g pizza dapat menghambat pertumbuhan Alternaria sp, Penicillium sp, dan Cladosporium sp Deuteromycetes pada precooked pizza. Perlakuan ini memberikan pengaruh yang sama dengan penggunaan pengawet lain seperti 0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 7,00 2 4 lo g T P C cf u g Lama penyimpanan hari kalsium propionat dan potassium sorbat. Selain itu, Edible film kitosan banyak digunakan untuk mengemas buah dan sayuran seperti apel, pir, strawberry, tomat, kelengkeng, mangga, pisang, jamur, lada, ketimun, wortel dan alpukat El Ghouth et al. 1992, Zhang dan Quantick, 1998. Hasil penelitian tersebut menunjukan adanya penurunan respirasi pada produk dan mengahambat pematangan. Menurut, Durango et al. 2006, penggunaan kitosan 1.5 dengan penambahan yam starch pada pembuatan edible coating untuk produk wortel yang diolah dengan proses minimal menjadi alternatif dalam menghambat pertumbuhan bakteri asam laktat, total koliform, kamir dan kapang selama penyimpanan. Edible coating kitosan dengan konsentrasi 1 bv dan 2 bv pada buah tomat dapat menurunkan tingkat produksi CO 2 sebesar 20 dan 25 dibandingkan dengan kontrol. Disamping itu kitosan dengan konsentrasi 2 bv dan 1 bv tidak memberikan pengaruh terhadap respirasi tetapi dapat menunda klimakterik. Konsentrasi kitosan 1 bv dan 2 bv dapat mempertahankan kekerasan buah tomat El Ghaouth et al. 1992. Menurut Zhang dan Quantrick 1997. Konsentrasi kitosan 1 bv dan 2 bv untuk melapisi buah leci mengakibatkan suplai oksigen menurun dan menghambat degradasi pektin. Mekanisme aktivitas antibakteri kitosan terjadi melalui interaksi gugus NH 3 glukosamin dengan permukaaan sel yang bermuatan negatif Eldin et al. 2008. Adanya daya tarik secara struktural antara dinding sel bakteri dan kitosan disebabkan karena dinding sel bakteri mengandung peptidoglikan yang struktur dasar rantai utamanya terdiri dari N- asetilglukosamin dan β-glikan Qujeq 2004. Menurut Rafaat et al. 2008, interaksi awal antara polikationik kitosan dan polimer dinding sel yang bermuatan negatif dipengaruhi oleh interaksi elektrostatis dan asam teikoat. Akibatnya, pengikatan kitosan pada polimer dinding sel memicu terjadinya efek seluler kedua, yaitu destabilisasi dan perusakan fungsi membran bakteri sehingga mengganggu fungsi membran sebagai pelindung. Permeabilitas membran terganggu dan mengakibatkan pergerakan substansi bakteri terhambat. Menurut Xheng dan Zhu 2003, mekanisme aktivitas antimikroba kitosan berbeda untuk bakteri gram negatif dan gram positif. Aktivitas antimikroba pada bakteri gram positif meningkat seiring dengan peningkatan bobot molekul kitosan dan pada bakteri gram negatif aktivitas mikroba meningkat seiring dengan penurunan molekul kitosan. Disebutkan bahwa pada bakteri gram positif, kitosan pada permukaan sel membentuk membran polimer yang dapat menghambat nutrien masuk ke dalam sel, sedangkan pada bakteri gram negatif, kitosan yang berbobot molekul rendah dapat masuk ke dalam sel melalui penyebaran. Kitosan pada konsentrasi lebih rendah memungkinkan berikatan dengan muatan negatif pada permukaan bakteri sehingga mengganggu membran sel dan menyebabkan kematian sel dengan membocorkan komponen intraseluler pada konsentrasi tinggi, kitosan mungkin menambah lapisan permukaan bakteri yang mencegah kebocoran komponen intraseluler yang sama dengan menghambat transfer massa pada sel. Selanjutnya Liu 2003 menjelaskan pula bahwa aktivitas antibakteri tergantung pada konsentrasi kitosan dalam larutan. Aktivitas antibakteri dari kitosan dalam medium akan meningkat jika konsentrasi kitosan meningkat.

4.2.5 Mikrostruktur edible coating daging sapi

Mutu suatu produk dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah penampakan ukuran, bentuk serta tekstur. Tekstur berkaitan dengan mikrostruktur dari komponen penyusun produk. Mikrostruktur dari edible coating kitosan yang melapisi produk bakso diamati menggunakan alat SEM Scanning Electron Microscope . Penggamatan menggunakan SEM bertujuan untuk memperlihatkan bahwa larutan kitosan mampu melapisi daging sapi dengan baik. Mikrostruktur daging sapi dengan pelapis kitosan memperlihatkan adanya perbedaan struktur pada permukaan daging sapi. Mikrostruktur daging sapi dengan pelapisan kitosan dan tanpa kitosan disajikan pada Gambar 9 dan 10. Menurut Noor 2001 prinsip kerja SEM adalah apabila suatu pancaran elektron diiradiasi pada permukaan spesimen, interaksi antara pancaran dan atom- atom yang dikandung oleh spesimen akan memberikan bermacam-macam informasi, antara lain penggamatan topografi suatu permukaan dan penggamatan struktur internal. SEM telah lama digunakan dalam ilmu dan teknologi daging untuk mempelajari permukaan ultrastruktur serat otot, penggaruh kontraksi otot selama rigor mortis , perubahan struktur otot selama penyimpanan post mortem Hatta 2005. Berdasarkan analisis yang dilakukan dengan menggunakan Scanning Electron Microscope menunjukkan bahwa, struktur pada permukaan daging sapi yang diberi perlakuan kitosan 1 Gambar 10 terdapat lapisan edible coating yang menutupi permukaan daging sapi. Pelapisan daging sapi dengan kitosan terlihat pada bagian permukaan daging sapi yang berbeda antara daging sapi kontrol Gambar 9 dengan daging sapi yang dilapisi kitosan 1. Pada daging sapi kotrol tanpa perlakuan kitosan serabut-serabut otot muscle bundle masih terlihat jelas dan perimisium memisahkan serabut otot yang satu dengan serabut otot yang lainnya. Namun, pada daging sapi yang diberi perlakuan kitosan 1, serabut-serabut otot tampak tidak terlihat jelas. Hal ini disebabkan karena bagian permukaan daging sapi tertutup oleh lapisan tipis kitosan. Edible coating kitosan ini akan berfungsi sebagi barrierpenghalang terhadap uap air serta pertukaran gas O 2 dan CO 2 Bourtoom 2008, sehingga bakteri aerob yang memanfaatkan gas O 2 pertumbuhannya menjadi terhambat. Selain itu edible coating kitosan akan menutupi pori-pori permukaan daging. Penyebab utama kerusakan makanan karena adanya pertumbuhan mikroba pada permukaan oleh mikroba pembusuk maupun mikroba penyebab penyakit. Mikroba yang menjadi penyebab rusaknya daging sapi terutama mikroba yang bersifat aerobik. Sehingga adanya edible coating yang memiliki sifat antimikroba menjadikan bahan makanan lebih tahan terhadap kerusakan yang ditimbulkan oleh pertumbuhan mikroba tersebut. Sehingga, dengan fungsinya sebagai barrier terhadap migrasi mikroba yang berhasil mengkontaminasi bahan pangan pada bagian permukaan, edible coating mampu memperpanjang masa simpan daging sapi Danggi 2008. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Hadi 2008, memperlihatkan bahwa larutan kitosan dan penambahan ekstrak bawang putih mampu melapisi bakso dengan baik. Mikrostruktur bakso dengan pelapis kitosan memperlihatkan adanya perbedaan struktur yaitu struktur bakso yang dilapisi oleh lapisan kitosan dan bakso tanpa pelapis. Struktur pada penampang melintang memperlihatkan bahwa adanya pelapisan edible coating yang menutupi permukaan produk. Pelapisan sampel terlihat pada dua bagian strukur yang berbeda yang membuktikan adanya dua lapisan, lapisan lapisan putih tipis pada bakso memperlihatkan lapisan coating kitosan dan lapisan kedua adalah marfologi dari tekstur bakso yang kasar rongga-rongga bakso Gambar dapat dilihat pada Lampiran 11. Ketebalan dari coating dipengaruhi oleh lamanya waktu pencelupan sehingga larutan kitosan dapat terserap ke dalam daging sapi, memungkinkan coating yang terbentuk akan lebih tebal dan melapisi daging sapi dengan sempurna. Pencelupan dalam larutan yang cukup lama dan konsentrasi kitosan yang tinggi membantu pelapisan yang lebih baik dan lebih tebal, sehingga daya tahan daging sapi dapat dipertahankan. Adanya edible coating pada daging sapi menunjukkan bahwa kitosan dapat melapisi daging sapi dengan baik dan dapat dibuktikan dari data pengujian pH, kadar air, kadar protein dan TPC yang memberikan penilaian bahwa edible coating dapat berfungsi sebagai barrier dengan menghambat pertumbuhan bakteri, khususnya pada permukaan bahan pangan, sehingga kitosan mampu mempertahankan mutu daging sapi jika dibandingkan dengan daging sapi tanpa adanya edible coating selama penyimpanan pada suhu dingin. A B a b B A Keterangan : Keterangan : A serabut otot muscle bundle, B perimisium Gambar 9 Lapisan permukaan daging sapi kontrol tanpa perlakuan kitosan a perbesaran 200X, lebar 660µm b perbesaran 750X, lebar 176µm A a A B b Keterangan : A serabut otot muscle bundle, B lapisan kitosan Gambar 10 Lapisan permukaan daging sapi dengan perlakuan kitosan 1 a perbesaran 200X, lebar 660µm b perbesaran 500X, lebar 264µm 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Kitosan komersil yang digunakan untuk penelitian telah memenuhi standar yang telah ditetapkan. Perlakuan kitosan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai pH dan kadar air daging sapi serta memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap kadar protein daging sapi selama penyimpanan 4 hari. Penyimpanan selama 4 hari pada suhu dingin menyebabkan terjadi kemunduran mutu daging sapi, baik daging sapi yang diberi perlakuan kitosan maupun daging sapi kontrol. Daging sapi kontrol memiliki umur simpan yang relatif lebih singkat dibandingkan dengan daging sapi yang diberi perlakuan kitosan 1, 2 dan 3. Daging sapi yang dengan perlakuan kitosan 3 memiliki nilai terbaik dalam menghambat pertumbuhan mikroba. Serabut-serabut otot muscle bundle dan perimisium pada daging sapi kontrol masih terlihat jelas jika dibandingkan dengan daging sapi yang diberi perlakuan kitosan 1. Struktur pada permukaan daging sapi yang diberi perlakuan kitosan 1 terdapat lapisan edible coating yang menutupi permukaan daging sapi.

6.2 Saran

Berdasarkan hasil yang telah didapatkan perlu dilakukan pengujian terhadap umur simpan dari daging sapi yang diberi perlakuan coating dengan kitosan serta pengujian bakteri-bakteri yang lebih spesifik, misalnya Escherichia coli, Staphylococcus aureus , Salmonella sp dan Coliform. DAFTAR PUSTAKA Abdou ES, Khaled SA, Nagy A, Maher Z, Elsabee B. 2007. Extraction and characterization of chitin and chitosan from local sources. Bioresources Technology 30: 300. Adams MR, Moss MO.1995. Food Microbiology. Cambridge: The Royal Society of Chemistry. Alamsyah R. 2006. Pengembangan proses produksi kitosan larut air. Di dalam Prosiding Seminar Nasional Kitin Kitosan . Bogor: Departemen Hasil Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Angka SL, Suhartono MT. 2000. Pemanfaatan Limbah Hasil Laut : Bioteknologi Hasil Laut. Bogor : Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, IPB. Apriyantono AD. 2002. Pengaruh Pengolahan Terhadap Nilai Gizi dan Keamanan Pangan. http:kharisma.de.fileshomemakalah anton.pdf. [13 Mei 2010]. [AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 1995. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemist . Virginia USA : Association of Official Analytical Chemist Inc, Arlington. Apriandi RA. 2004. Pengaruh penambahan larutan kitosan terhadap mutu produk gel surimi ikan nila [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Arlius. 1991. Mempelajari ekstraksi kitosan dari kulit udang dan pemanfaatannya sebagai bahan koagulasi protein limbah pengolahan pindang tongkol Euthynnus affinis [Tesis]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Benjakul S, Sophanodora P. 1993. Chitosan production from carapace and shell of Black tiger shrimp Penaerus monodon. ASEAN Food J. 8: 145-148. Bourtoom T. 2008. Edible films and coatings: characteristics and properties. International Food Research Journal 15: 237-248. Brine JC, Sandford PA, Zikakis JP. 1992. Andences in Chitin and Chitosan. London and New York : Elsevier Applied Science. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2000. SNI 01-6366-2000. Batas minimum cemaran mikroba pada daging. Jakarta : Dewan Standardisasi Nasional. ------------------------------------------. 2008. SNI 3932:2008. Mutu karkas dan daging sapi. Jakarta : Dewan Standardisasi Nasional. Buckle KA, Edward RA, Fleet GH, Wooton M. 1985. Ilmu Pangan. Purnomo H, Adiono, penerjemah. Jakarta: UI Press. Terjemahan dari : Food Science. Butler BL, Vernago PJ, Testin RF, Bunn JM, Wiles JL. 1996. Mechanical and barier properties of edible chitosan films as affected by composition and storage. Journal of Food Science 61: 953-955. Chaiyakosha S, Charernjirtragul W, Umsakul K, Vuddhakul V. 2007. Comparing the efficiency of chitosan with chlorine for reducing Vibrio parahaemolyticus in shrimp. Food Control 18: 1031-1035. Chang KLO, Tsai G, Lee J, Fu W. 1997. Heterogenous N-deacetylation of Chitin chitosan oligomer with different molecular weight. Int J Food microbial 74: 65-72. Chen P, Hwang Y, Kuo T, Liu F, Hsiesh H. 2007. Improvement in the properties of chitosan membranes using natural organic acid solutions as solvents for chitosan dissolution. J. Medical and Biological Engineering 271: 23-28 Coma A, Martial G, Garreau S. 2002. Edible Antimicrobial film based on chitosan Matrix. Journal Food Science. 67: 1162-1169. Danggi E. Aplikasi kitosan dengan penambahan esensial oil kunyit sebagai pengawet dan edible coating produk tahu [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Datson CR, Frank HA, Cavaletto CG. 1977. Indirect method as criteria of spongilae in tofu soybean curd. J Food Sci 43 : 969. Durango AM, Soares NFF, Benevides S, Teixeira J, Carvalho M, Wobeto C, Andrade NJ. 2006. Development and evaluation of an edible antimicrobial film based on yam starch and chitosan. Packaging technology and science. 19: 55 – 59. Eldin MSM, Soliman EA, AI Hashem, Tamer TM. 2008. Antibacterial activity of chitosan chemically modified with new technique. Trends Biomater Aktif Organs 22 : 121-133. El Ghaouth A, Ponnampalam R, Castaigne F, Arul J. 1992. Chitosan coating to extend the storage life tomatoes. Hort Science. 27: 1016-1018. Fardiaz S. 1992. Mikrobiologi Pangan I. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Fennema OR. 1985. Food Chemistry 2 nd Edition . New York : Marcel Dekker, Inc. Forrest JC, Aberle ED, Hendrict HB, Judge MD, Merkel RA, editor. 1975. Principle of Meat Science . San Fransisco: W.H.Freeman. Frazier WC. Hadi HNSS. 2008. Aplikasi kitosan dengan penambahan ekstrak bawang putih sebagai pengawet dan edible coating bakso sapi [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Hardjito L. 2006. Aplikasi kitosan sebagai bahan tambahan makanan dan pengawet. Di dalam Prosiding Seminar Nasional Kitin Kitosan. Bogor: Departemen Hasil Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Hatta W. 2005. Karakteristik daging dengan penambahan nacl pada berbagai waktu aging post mortem dan hubungannya dengan mutu sosis [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Herjanti RRAW. 1997. Pemanfaatan khitosan sebagai bahan pelapis tomat Lycopersicum esculentum Mill [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. Helander IM. 2001. Chitosan distrupts the barier properties of the outer membran of Gram-negative bacteria int J Food Microbiol Rev 57: 823 873. Kataren S. 2005. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: UI Press. Khan TA, Peh KK, Ch’ng HS. 2002. Reporting degree of deacetylation values of chitosan: the influense of analytical methods. J Pharmaceut Sci 5: 205- 212. Kofuji K, Qian CJ, Murata Y, Kawashima S. 2005. Preparation of chitosan microparticles by water-in-vegetable oil emulsion coalescence technique. Journal of Reactive and Functional Polymers 65: 77-83. Komariah S. 2008. Aplikasi substrat antimikroba dari Lactobacillus fermentum 2B4 sebagai biopreservatif pada daging sapi iris selama penyimpanan dingin [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Krochta JM, Baldwin EA, Nispero-Carriedo MO. 1994. Edible Coatings and Films to Improve Food Quality. 1 st ed . Lancaster Technomic Publishing Co. . Kumar MNR. 2000. A review of chitin and chitosan application. J. Reac and Func Poly . 46: 1-27. Kurnianingrum VI. 2008. Efektivitas desinfektan alami dari chitosan sebagai pereduksi bakteri Escherichia coli dan beberapa bakteri lain yang teridentifikasi pada udang galah segar [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Lin S, Huff HF, Hsieh F. 2002. Extruction process parameter, sensory characteristics and structural properties of a Hight moisture soy protein meat analog. J Food Sci 67: 1066-1072. Liu. J. 2003. Preparation and Characteritation of Chitosan Cu II Affinity Membrane for Area Adsorption. J. of Applied Polymer Science. 9. 1508- 1112. McHugh TH, Senesi E. 2000. Apple wraps: A novel method to improve the quality and extend the shelf life of fresh-cut apples. Journal of Food Science 65: 480-485. Muchtadi D. 1989. Keracunan sodium nitrit. http:web.ipb.ac.id~tpgdepubde_fdsf_keracunannitrit.php. [12 Maret 2011]. Muzzarelli RAA, Peter MG. 1997. Chitosan Handbook. European Chitin Society. Nadarajah K. 2005. Development and characterization of antimicrobial edible films from crawfish chitosan [dissertation]. Lousiana: The Departement of Food Science, Lousiana State University. No HK, Park NY, Lee SH, Meyer SP. 2002. Antibacterial activity of chitosan and chitosan oligomer with different molecular weight. Int J Food Microbial 74: 65-72. Noor RR. 2001. Scanning Electron Microscope. Bogor: Laboratorium Pemuliaan dan Genetika Ternak, Fakultas Petenakan, Institut Pertanian Bogor. Ornum JU. 1992. Shrimp Waste Must It Be Wasted. Infofish 6: 48-51. Ouattara B, Simard RE, Piette G, Bégin A, Holley RA. 2000. Inhibition of surface spoilage bacteria in processed meats by application of antimicrobial films prepared with chitosan. International Journal of Food Microbiology. 62: 139-48. Park HJ. 2002. Edible coatings for fruits dalam Fruit and vegetable processing, Improving quality , ed. Wim Jongen, Boca Raton, CRC Press. Pearson AM. 1987. Muscle Function and Postmortem Changes. In: J. F. Price B. S. Schweigert. The Science of Meat and Meat Product. Food and Nutrition Press Inc., Westport, Connecticut. Prasetiyo WK. 2010. Pembuatan kitin, bisnis masa depan. http:www.biomaterial.lipi.go.id?p=154 .[20 Januari 2011]. Pranoto Y, Salokhe Vilas M, Sudip K. Rakshit. 2005b. Physical and antibacterial properties of alginate-based edible film incorporated with garlic oil. Food Research International 38: 267 –272. Prashanth KVH, Taranathan RN. 2007. ChitinChitosan: modification and their unlimited application potential-an overview. Trends in Food Science and Technology 18: 117-131. Qujeq D, Mossavi SE. 2004. Antibacterial activity of chitosan against Escherichia coli . Babol Med Sci 7: 1-12. Rafaat D, Kristine von K, Albert H, Hans Georg S. 2008. Insight into the mode of action of chitosan as an antibacterial compound. Applied and Environment Microbiol 74 : 3764-3773. Rhoades J, Rastall B. 2009. Chitosan as an microbial agent. School of Food Biosciences, The University of Reading. Rinaudo M. 2006. Chitin and chitosan: properties and applications. Program Polymer Science 31: 603-632 Robert GAF. 1992. Chitin Chemistry. London: The Macmillan Press Ltd. Rochima E, Sugiyono, Syah D, Suhartono MT. 2004. Derajat deasetilasi kitosan hasil reaksi enzimatis kitin deasetilasi isolate Bacillus papandayan K29- 14. Di dalam : Seminar Nasional dan Konggres PATPI; Jakarta 17-18 Desember 2004. Bogor: Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Rodriguez MS, Ramos V, Anullo E. 2003. Antimicrobial action of chitosan against spoilage organisms in precooked pizza. J Food Sci 681: 271-4. Saesastro N. 2010. Pembuatan kitin, bisnis masa depan. http artikelpopular.com. [20 Januari 2011]. Shahidi, J Arachchi KV, and Jeon YJ. 1999. Food Aplication of Chitin and Chitosan. Trends in Food Science and Technology. 10: 37-51. Simpson BK. 1997. Utilization of Chitosan for preservation of Raw Shrimp. Food Biotechnology 2: 25-44. Soeparno. 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Steel RGD, Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika: Suatu Pendekatan Biometrik . Terjemahan: Bambang Sumantri. Jakarta: PT. Gramedia Utama. Suptijah P, Salamah E, Sumaryanto H, Purwaningsih S, Santosa J. 1992. Pengaruh berbagai metode isolasi kitin dari kulit udang terhadap kadar dan mutunya. Bogor : Laporan penelitian Faperikan. IPB. ………2006. Deskripsi Karakterisasi Fungsional dan Aplikasi Kitin dan Kitosan. Di dalam Prosiding Seminar Nasional Kitin Kitosan. Bogor: Departemen Hasil Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Surnarlim R. 1992. Karakteristik mutu bakso daging sapi dan pengaruh penambahan natrium klorida dan natrium tripospat terhadap perbaikan mutu [disertasi]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Tang ZX, Shi L, Qian J. 2007. Neutral Lipase from Aqueous Solutions on Chitosan nano particles. Journal Biochemical Engineering 34: 217-223. Thatte MR. 2004. Synthesis and antibacterial assessment of water-solube hydrophobic chitosan derivatives bearing quarternary ammonium fungctionality [dissertation]. Los Angeles: Lousiana State University and Agricultural and Mechanical Collage. Tsai GJ, Su WH. 2002. Antibacterial activity of shrimp chitosan against Escherichia coli . J Food Protect. 62: 239-243 Wilson NPR, Dyett EJ, Hughes RB, Jones CRV, editor. 1981. Meat and Meat. Improve Food Quality . Peesylvania: Tecnomic Publishing.Co.Inc. Winarno FG. 2008. Kimia pangan dan Gizi. Jakarta: Brio Press. Wong DWS, Camirand WM, Pavlath AE. 1994.Development of edible coating from Prawn Shells . Belfast: The Departement of Mechanical. Manufacturing, Aeronautical and Chemical Engineering. The Queens University. Yi H, Wu LQ, Bentley WE, Ghodssi R, Rubloff GW, Culver JN, Payne GF. 2005. Biofabrication with chitosan. Biomacromolecules 6: 2881-2894. Zhang D, Quantick. PC. 1997 Effects of chitosan coating on enzymatic browning and decay during postharvest storage of litchi Litchi chinensis Sonn. fruit. Postharvest Biology and Technology. 12: 195-202. Zheng LY, Zhu JF. 2003. Study of antimicrobial activity of chitosan with different molecular weight. J. Carbohidrate Polymers 544: 527-530. Lampiran 1 Uji proksimat kitosan komersil Bahan Ulangan Kadar abu Kadar protein Kadar lemak Kadar air Kadar karbohidrat KITOSAN 1 0,2101 8,29 2,4292 13,5696 75,5011 2 0,2125 8,29 2,5254 13,7741 75,1980 Rata-rata 0,2113 8,29 2,4773 13,6719 75,3496 stdev 0,002 0,000 0,068 0,145 0,214 Lampiran 2 Hasil analisis pH selama penyimpanan

a. pH pada peyimpanan hari ke-0

No Kode perlakuan Ulangan Rata- rata Rata-rata akhir Standar devisiasi 1 Kontrol 1 5,2700 5,2975 0,04 2 5,3250 2 1 1 5,0000 5,0950 0,12 2 5,1900 3 2 1 5,0800 5,0225 0,07 2 4,9650 4 3 1 4,3550 4,6800 0,56 2 5,0050

b. pH pada penyimpanan hari ke-2

No Kode perlakuan Ulangan Rata- rata Rata-rata akhir Standar devisiasi 1 Kontrol 1 5,4100 5,3800 0,04 2 5,3500 2 1 1 5,1300 5,1125 0,03 2 5,0950 3 2 1 5,3100 5,2100 0,14 2 5,1100 4 3 1 5,1800 5,1950 0,02 2 5,2100

c. pH pada penyimpanan hari ke-4

No Kode perlakuan Ulangan Rata- rata Rata-rata akhir Standar devisiasi 1 Kontrol 1 5,4900 5,4525 0,04 2 5,4150 2 1 1 5,0850 5,0600 0,03 2 5,0350 3 2 1 5,2550 5,2700 0,02 2 5,2850 4 3 1 5,0350 5,0900 0,06 2 5,1450